Kamis, 06 Februari 2014

MIMPI DAN FANTASI DALAM NOVEL POHON-POHON RINDU KARYA DUL ABDUL RAHMAN DAN ALTERNATIF BAHAN AJAR APRESIASI SASTRA BAGI SISWA SMA


MIMPI DAN FANTASI DALAM NOVEL POHON-POHON RINDU KARYA DUL ABDUL RAHMAN DAN ALTERNATIF BAHAN AJAR APRESIASI SASTRA BAGI SISWA SMA

(Skripsi Esi Susi Pratiwi, 2011. Fakultas Bahasa dan Seni IKIP PGRI Semarang)


Abstrak:

Skripsi ini berjudul “Mimpi dan Fantasi dalam novel Pohon-pohon Rindu karya Dul Abdul Rahman dan alternatif bahan ajar apresiasi sastra bagi siswa SMA.”
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah mimpi dan fantasi dalam novel Pohon-pohon Rindu karya Dul Abdul Rahman dan bagaimanakah mimpi dan fantasi dalam novel Pohon-pohon Rindu karya Dul Abdul Rahman sebagai bahan ajar di SMA.
Tujuan dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan mimpi dan fantasi yang dialami tokoh dalam novel Pohon-pohon Rindu karya Dul Abdul Rahman yang dapat digunakan sebagai bahan ajar di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis, metode kepustakaan dan pendekatan psikologi.
Hasil analisis mimpi dan fantasi dalam novel ini adalah pada tokoh Beddu Kamase yang mengalami mimpi dan fantasi. Hal ini dapat dilihat dari struktur kepribadian dan mental. Struktur kepribadian dipandang sebagai cara mengetahui kepribadian dasar yang pada akhirnya akan memperlihatkan psikologi id, ego, dan superego pada tokohnya. Sedangkan tingkatan mental dipandang sebagai cara untuk mengetahui tingkatan mental berupa kesadaran, keprasadaran, dan ketidaksadaran.
Berdasarkan hasil pembahasan dapat diketahui aspek mimpi dan fantasi dalam novel melalui struktur pembangun novel yang terdiri dari tokoh dan penokohan, dan latar. Jadi, melalui tokoh dan penokohan, dan latar atau setting diketahui segi mimpi dan fantasi.
Mimpi dan fantasi yang berkaitan dengan karakteristik tokoh dapat dijadikan pembelajaran sastra di SMA. Di dalam materi siswa SMA terdapat materi mengenai pembelajaran novel, sehingga untuk menentukan mimpi dan fantasi dalam novel Pohon-pohon Rindu karya Dul Abdul Rahman ini dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi siswa SMA.
Alternatif bahan ajar di SMA sesuai dengan Kompetensi Dasar (KD) Membandingkan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan dengan hikayat. Untuk menemukan mimpi dan fantasi, siswa terlebih dahulu membaca novel, dan setelah menemukan mimpi dan fantasi siswa secara berkelompok untuk berdiskusi menemukan unsur intrinsik dan menganalisis mimpi dan fantasi yang terdapat dalam novel. Kemudian tiap kelompok mengungkapkan hasil analisisnya dan ditanggapi oleh kelompok lain setelah guru memberikan tanggapan dari hasil analisis tiap kelompok sekaligus menyimpulkan hasil pembelajaran. Sebelum kegiatan berakhir siswa diberi kesempatan untuk bertanya apabila ada yang kurang dipahami, dan guru akan memberikan penjelasan lagi. Agar pembelajaran ini mencapai hasil yang maksimal, guru memberikan tugas kepada siswa untuk menemukan unsur intrinsik novel.

Ringkasan Analisis Penelitian
Unsur-unsur Novel
1. Tokoh
Tokoh yang terdapat dalam novel ini adalah Beddu Kamase, Andi Masniar (Nia), Hutbah, Dayat, Ambo Sakka, Orang tua Beddu Kamase, Orang tua Nia, Andi Mila Marlina, Tondeng, Ambo Karaseng, Kiai Ahmad Marsuki Hasan.
2. Penokohan.
            Beddu Kamase (Beddu)
            Beddu diungkapkan oleh pengarang secara analitik sebagai siswa paling pintar di sekolahnya dan ia dijuluki sebagai bintang sekolah. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

Setiap selesai semester selalu ada acara penerimaan rapor bersama. Dalam acara itu, setiap siswa berprestasi dipanggil satu per satu naik ke podium untuk menerima bingkisan.
Tibalah saat dibacakan peringkat kelas di kelas dua. Setelah tiba di kelasku, aku kian deg-degan.
Tiba waktunya wakil kepala sekolah membacakan peringkat.
“Yang menempati peringkat ketiga dengan nilai rata-rata 8,80 adalah Anton.”
“Peringkat dua adalah Dayat.”
“Rangking satu adalah Beddu Kamase.”
(Rahman, 2009: 58)

            Kutipan di atas menunjukkan bahwa Beddu adalah siswa yang paling pintar dan bintang sekolah.
Andi Masniar (Nia)
Nia diungkapkan oleh pengarang secara analitik sebagai gadis yang berparas cantik. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

Nia benar-benar perempuan tercantik yang pernah kutemui.
“Nia!”
Aku menyapanya sekali lagi. Dan, subhanallah. Wajah Nia yang memang berkarakter sendu kian ayu.
(Rahman, 2009: 77)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Nia adalah gadis yang berparas cantik dan Beddu Kamase mengagumi kecantikannya.
Anton
Tokoh Anton digambarkan pengarang secara analitik sebagai sahabat Beddu di SMA Negeri Bikeru Sinjai Selatan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:

Anton yang anak kepala kampung, menempelkan striker bertuliskan “No Problem”, sesuai dengan kepribadiannya yang cuek. Begitulah Anton, ia sering meminjam pulpen sana sini, lalu lupa mengembalikannya. Ketika ditagih, ia hanya cengar-cengir.
(Rahman, 2009: 7)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Anton orang yang berkepribadian cuek.

Dayat
Tokoh Dayat digambarkan pengarang secara analitik sebagai sahabat Beddu di SMA Negeri Bikeru Sinjai Selatan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:

Dayat yang bapaknya imam kampung. Ia merasa aman dan bangga dengan stiker bertuliskan “100% Muslim”. Begitulah Dayat yang merasa alim, meski ketika berada di Masjid, terkadang bikin ulah.
(Rahman, 2009: 7)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Dayat adalah teman yang paling alim dibandingkan empat sahabatnya yang lain.

Umar
Tokoh Umar digambarkan pengarang secara analitik sebagai sahabat Beddu di SMA Negeri Bikeru Sinjai Selatan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:

Meski perokok berat, biasanya ia merokok dengan sembunyi-sembunyi di kantin sekolah, stikernya bertuliskan, “No Smoking.”
Pernah suatu ketika Umar tertangkap basah tengah merokok oleh Pak Chaeruddin, lalu dibawa ke ruangan guru. Umar muntah-muntah makan tembakau sebagai hukuman. Tapi dasar Umar yang bandel. Anak pensiunan polisi itu tak kapok meski telah dihukum.
(Rahman, 2009:8)

Kutipan di atas menunjukkan tokoh Umar adalah tokoh yang bandel dibandingkan dengan empat sahabatnya. Umar tidak pernah kapok dengan hukuman.
Hutbah
Tokoh Hutbah digambarkan pengarang secara dramatik sebagai cowok playboy di sekolahnya. Ia sering menggoda siswi yang di sekolahnya. Ia paling cakep di antara empat sahabatnya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut:

Ia selalu menggoda adik-adik kelas yang cantik. Setiap kelas, ada siswi yang ditaksirnya dan hampir seratus persen pernyataan cintanya diterima. Mana ada siswi yang sanggup menolak cinta Hutbah yang kala itu mirip Rano Karno. Kalau Hutbah tersenyum dan alis mata kirinya berkedip naik turun, pastilah cewek yang duluan titip salam. Cakep memang.
(Rahman, 2009: 10)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Hutbah paling cakep daripada keempat sahabatnya dan sering ditaksir siswi-siswi SMA Negeri Bikeru Sinjai Selatan.

Sinopsis Novel “Pohon-Pohon Rindu”
Beddu, Anton, Dayat, Umar, dan Hutbah adalah teman sekelas yang saling melengkapi. Beddu, Anton, dan Dayat termasuk keluarga yang miskin tapi punya kemauan keras dan cita-cita mulia ingin kuliah dan menjadi guru. Hutbah dan Umar termasuk keluarga kaya yang tidak bercita-cita untuk kuliah, karena menurut mereka kuliah bukan jaminan masa depan, memang begitulah ‘paham’ kebanyakan orang di kampung Bikeru saat itu. Karena itu, Hutbah dan Umar bergabung ke kelompok Beddu supaya ada tempat menyontek bila ada tugas atau saat ujian. Gayung bersambut, karena Hutbah dan Umar menjadi sponsor pertemanan mereka. Hutbah yang anak pedagang kakao sukses punya dana taktis untuk mentraktir teman-teman mereka di warung sekolah setiap hari. Umar yang paling ditakuti di sekolah yang bertindak sebagai bodyguard kelompok.  
            Hutbah yang paling kaya plus berwajah tampan suka memacari adik kelasnya. Tapi gaya pacaran waktu itu hanya lewat surat saja. Beddu yang punya bakat menulis menjadi sekertaris pribadi Hutbah dalam membuat surat cinta. Beddu yang paling miskin dari kelima berteman yang sewaktu kecil hanya tukang gembala terkenal cerdas dan punya bakat sastra yang memadai. Saat penerimaan siswa baru Hutbah jatuh cinta pada seorang siswi yang bernama Andi Masniar. Tapi sial bagi Beddu ketika ia membuat surat cinta untuk Hutbah, disitu tertera nama Beddu secara tidak sengaja sehingga Andi Masniar mengembalikan surat cinta itu kepada Beddu dengan kasar dengan menyebut Beddu sebagai kumbang jelek. Peristiwa ini cukup menggemparkan seluruh sekolah. Beddu yang bintang sekolah ditolak cintanya mentah-mentah, padahal sesungguhnya surat cinta itu milik Hutbah tapi dikonsep oleh Beddu. Peristiwa ini membuat Beddu sangat malu dan trauma jadi konseptor surat cinta lagi. Ia hanya fokus belajar. 
            Kelima siswa ini akhirnya menjadi branding sekolah. Hal yang paling menonjol dari mereka ketika mereka membentuk KOMPITA(Kelompok Pecinta Alam). Alasan mereka membentuk KOMPITA karena prihatin dengan kondisi Hutan Lindung Balang di Sinjai yang rusak parah. Alasan lainnya adalah dengan membentuk Kompita mereka ingin menyibukkan diri pada hal-hal yang positif sehingga mereka tidak tercemar oleh kenakalan remaja dan narkoba yang saat itu mulai mewabah. Sejak mereka ikut dalam KOMPITA, Hutbah dan Umar mulai menjadi siswa yang rajin, Hutbah juga tidak suka lagi memacari adik-adik kelasnya.
            Keberadaan KOMPITA mendapatkan banyak apresiasi dari berbagai pihak. Setiap akhir pekan Kompita punya acara mengunjungi hutan-hutan serta tempat wisata sambil berkampanye “Save The Jungle! Save The World”(Selamatkan Hutan! Selamatkan Dunia). Banyak siswa-siswi yang tertarik masuk menjadi anggota Kompita termasuk Nia(Andi Masniar). Awalnya Beddu tidak senang Nia masuk anggota Kompita, tapi Umar sebagai ketua KOMPITA menerimanya. Sesungguhnya Nia masuk anggota Kompita karena ingin dekat dengan Beddu, rupanya Nia baru tahu bahwa Beddu sebenarnya banyak dipuja oleh banyak siswi karena menjadi bintang sekolah yang menguasai Bahasa Inggris, juga pemimpin redaksi mading sekolah yang tulisan-tulisannya menggugah. Tapi niat Nia tidak mendapat respon dari Beddu karena Beddu terlanjur menulis di ranselnya “No Time For Love”.
            Tapi Beddu tetap berjiwa besar dan menerima kehadiran Nia dalam kelompok Kompita. Sejak bergabungnya Nia di KOMPITA, teman-temannya selalu menjodoh-jodohkan Beddu dengan Nia. Dan meski belum mau pacaran, rupanya Beddu senang bila dijodoh-jodohkan. Sebenarnya Beddu memang jatuh hati kepada Nia dan memang Nia adalah perempuan yang pertama kali membuatnya jatuh hati. Hutbah juga sangat ingin Beddu dan Nia berpacaran. Rupanya Hutbah rela tidak mengejar Nia karena ia tahu Beddu memang menyukai Nia, apalagi Hutbah memang sudah tak mau pacaran lagi. Bukan hanya karena sudah bertekad tak mau pacaran dulu dan hanya fokus belajar membuat Beddu menjauhi Nia. Tapi Beddu sadar, dirinya dengan Nia sangat jauh perbedaan. Nia adalah putri dari bangsawan sekaligus anak pensiunan pejabat yang kaya, sedangkan Beddu berasal dari keluarga biasa-biasa saja sekaligus miskin.
            Rupanya Nia bercerita kepada orang tuanya tentang Beddu, bintang sekolah sekaligus konseptor KOMPITA. Kedua orang tua Nia sangat senang dengan Beddu. Meskipun tidak berpacaran, tapi Nia dan Beddu akhirnya berteman baik laiknya adik kakak. Barulah Beddu dan Nia resmi sebagai pasangan kekasih ketika Beddu tamat dari SMU Bikeru dan akan melanjutkan kuliah di Makassar. Hubungan cinta mereka diresmikan di Bukit Bulu Paccing, mereka berdua berjabat tangan dan berjanji akan saling mencintai dan menjaga. Mereka sengaja memilih Bukit Bulu Paccing dengan alasan cinta keduanya disimbolkan sebagai hutan dan pepohonan. Bila mereka rindu pada pasangan masing-masing maka cukuplah menatap pepohonan, dan bila salah satu dari mereka berkhianat maka sama halnya mereka menebang pepohonan. Nia yang akhirnya terpilih menjadi ketua KOMPITA bersumpah demi cintanya pada Beddu untuk menjaga hutan di Sinjai. Beddu pun begitu, demi cintanya pada Nia, ia akan menjaga hutan dan pepohonan dimana pun mereka berada. KOMPITA dibawah kepemimpinan Nia semakin maju, bahkan Nia membuat jargon KOMPITA yang lebih visioner karena Nia mengidentikkan hutan dan alam adalah perempuan. Nia berdalih dengan menyebut istilah “Ibu Kota” “Ibu Pertiwi” Sehingga hutan harus dijaga. Nia membuat istilah “SAVE THE MOTHER! SAVE THE MOTHERLAND”(JAGA IBU! JAGA IBU PERTIWI!).
            Kelima berteman, Beddu, Anton, Dayat, Umar dan Hutbah akhirnya kuliah di Makassar. Umar dan Hutbah akhirnya kuliah karena dorongan teman-temannya. Meski mereka kuliah di kampus berbeda, pun berbeda jurusan tetapi mereka tetap merasa sebagai anggota KOMPITA yang peduli pada hutan.
            Suatu hari tiba-tiba Beddu mendapat telepon dari Nia di Sinjai agar Beddu pulang kampung. Sejak kuliah Beddu memang belum pernah pulang ke Sinjai. Beddu berencana pulang kampung setelah final test, tapi nada bicara Nia yang terus merajuk membuat Beddu tidak tenang dan akhirnya ia pulang kampung. Kepulangan Beddu ke Sinjai karena memang juga sudah sangat kangen pada kedua orang tuanya sekaligus kangen pada Nia. Tapi manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Ternyata ketika Beddu tiba di Sinjai, Nia sudah berpulang ke Rahmatullah karena kanker darah yang terus menggerogoti tubuhnya. Beddu benar-benar sedih. Perempuan yang dulu mengembalikan surat cintanya dengan menyebut dirinya sebagai kumbang jelek. Perempuan yang pertamaa kali membuatnya jatuh cinta. Perempuan yang membuatnya berencana menikah muda. Ternyata perempuan itu kini telah meninggalkannya untuk selama-lamanya.
            Ternyata bukan hanya Beddu yang sangat kehilangan. Tapi ibu Nia sangat terpukul atas meninggalnya putrinya. Bahkan sejak kehilangan Nia, ibu Nia terjangkit penyakit aneh, ia tidak bisa kalau tidak melihat Beddu. Ibu Nia melihat Beddu sebagai halusinasio Nia. Beddu berusaha menyembuhkan penyakit ibunda almarhum Nia dengan meninggalkan kampung halamannya dan Makassar. Di saat yang sama Beddu beroleh beasiswa untuk kuliah di Malaysia.
            Sebelum meninggalkan Indonesia, Beddu mengunjungi pusara almarhum Nia dan mempertegas janjinya dulu di Bulu Paccing, bahwa demi cintanya pada Nia, ia bersumpah untuk menjaga hutan dan pepohonan. Beddu bahkan bersumpah. Demi cintanya pada Nia, ia tak akan membiarkan ada penggundulan hutan. Ia akan terus melanjutkan komitmen almarhum Nia “Save the Mother! Save the World”. Buat Beddu, meski Nia sudah meninggal, tapi hakikatnya Nia selalu ada, karena Nia menjelma jadi pepohonan. Beddu meninggalkan Sinjai dan Hutan Sinjai dengan linangan airmata. Airmata cinta yang mengalir di celah-celah pepohonan Hutan Sinjai. Beddu tetap bisa tersenyum karena senyum Nia tersungging di dedaunan pepohonan yang rindang. Pohon-pohon rindu yang akan terus dirindukan oleh Beddu meski kelak ia menatap pohon-pohon di Malaysia.



              


Minggu, 02 Februari 2014

GAYA BAHASA NOVEL SARIFAH KARYA DUL ABDUL RAHMAN



Gaya Bahasa Novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman

(Skripsi Erti Erriyawati, 2012, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Unismuh Surabaya)

Abstrak:
Latar belakang masalah adalah peneliti ingin menganalisis Gaya bahasa sebuah novel, dimana pengarang menuangkan inspirasinya kedalam novel yang merupakan salah satu unsur yang menarik dalam sebuah novel Sarifah karya pengarang Dul Abdul Rahman.

Penelitian ini bertujuan untuk menyimpulkan gaya bahasa yang ada atau yang terdapat dalam novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman. Menyebutkan dan menjelaskan gaya bahasa yang dominan dipakai oleh Dul Abdul Rahman dalam novel Sarifah.

Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian dapat diketahui rumusan masalah yang akan diteliti yaitu Gaya bahasa apa saja yang terdapat dalam novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman? dan gaya bahasa apa yang paling dominan terdapat dalam novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman?

Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif, dengan menggunakan metode penelitian stilistika. Stilistika adalah ilmu gaya bahasa, selain digunakan untuk menganalisis penggunaan gaya bahasa dalam novel Sarifah, stilistika juga dipakai untuk memahami makna yang terkandung didalamnya. Sumber data berasal dari novel Sarifah berupa teks yaitu kata, frase, kalimat dan artikel-artikel kajian pustaka berasal dari internet dan buku-buku sumber yang penulis baca. Teknik analisis datanya menggunakan teknik dokumentasi/study pustaka, teknik pengumpulan data menggunakan teknik catat. Validitas yang digunakan adalah triangulasi teori/teknik analisis mengalir, yang meliputi tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Prosedur penelitian yang dilakukan terdiri atas beberapa tahap yaitu pengumpulan data, penyeleksian data, menganalisis data yang telah diseleksi, dan membuat laporan penelitian.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa data yang diperoleh sebanyak 238 data yang dianalisis dalam gaya bahasanya, dan bahwa dalam novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman menggunakan beberapa gaya bahasa. Gaya bahasa yang terdapat dalam novel Sarifah sebanyak 27 macam gaya bahasa. Gaya bahasa tersebut adalah gaya bahasa Pengulangan terdiri dari epifora, anafora, kiasmus, asonansi, aliterasi dan epizeukis, gaya bahasa Penegasan terdiri dari retoris, klimaks, anti klimaks, repetisi, parafrase, polisideton, asindeton, dan tautologi, gaya bahasa Pertentangan terdiri dari erotetis, paradoks, dan antitesis, dan gaya bahasa perbandingan terdiri dari personifikasi, depersonifikasi, hiperbola, alusi, hipalase, pleonasme, epitet, litotes, simile, dan alegori.

Gaya bahasa yang paling dominan dipakai dalam novel Sarifah adalah hiperbola.
Deskripsi Alternatif :

The background issue is the researcher wants to analyze the language style of a novel, in which the author pours his inspirations into a novel that is one of the interesting elements in a novel Sarifah writers Dul Abdul Rahman.

This study aims to conclude there is a style that is contained in a novel or work of Sarifah writers Dul Abdul Rahman. Mention and explain the style of the dominant language used by Dul Abdul Rahman in Sarifah novel.

Based on the background and purpose of the study can be known formulation of the problem to be investigated what the style of the language contained in the novel work of Sarifah writers Dul Abdul Rahman? and style of the most dominant language contained in the novel work of Sarifah writers Dul AbdulRahman?

This form of qualitative descriptive research, using research methods stilistika. Stilistika is the science of style, but used to analyze the use of language in a novel style Sarifah, stilistika also used to understand the meanings contained therein. The source data came from a text that is novel Sarifah words, phrases, sentences and literature review articles from the internet and books that the author read the source. Data analysis techniques using the techniques of documentation / literature study, data collection techniques using the technique noted. The validity of the theory used is triangulation/flow analysis techniques, which include three components, namely data reduction, data presentation, and drawing conclusions. The procedure consists of research conducted over several stages of data collection, sorting data, analyze data that has been selected, and make a report.

From these results it can be concluded that the data obtained as many as 238 data analyzed in style, and that the novel works Sarifah Dul Abdul Rahman uses some stylistic. Style that is contained in the novel Sarifah by 27 different styles of language. The language style is the style of language consists of epifora repetition, anaphora, kiasmus, asonansi, alliteration and epizeukis, the language style of rhetorical assertion, climax, anti climax, repetition, paraphrasing, polisideton, asindeton, and tautology, a style of conflict erotetis , paradox, and antithesis, and stylistic comparisons of personification, depersonifikasi, hyperbole, allusion, hipalase, redundance, epithet, litotes, simile, and allegory.

The most dominant style of language used in the novel Sarifah is hyperbole.


Kata Kunci:
            Novel Sarifah, sastra, gaya bahasa.

Sinopsis:

          Sarifah (Pohon-Pohon Peluru)

            Empat orang petani bernama Barra Tobarani, Lahajji, Sallasa, dan Mattorang mencoba mempertahankan tanahnya. Pihak perkebunan karet PT Lonsum (PT London Sumatra) dengan dibantu oleh pemerintah setempat memang terus mengambil-alih tanah-tanah petani secara paksa. Bukan hanya itu empat sekawan tersebut mencoba membela petani-petani lainnya yang tanahnya dirampas oleh pihak perkebunan.

            Barra Tobarani yang paling tinggi sekolahnya di antara petani karena ia adalah jebolan SMA, sedangkan petani-petani lainnya kebanyakan tidak pernah mengenyam pendidikan, memprakarsai terbentuknya LSM Tobarani. LSM tersebut berusaha membela hak-hak petani yang tertindas. Keberanian empat sekawan yang dipimpin oleh Barra Tobarani mendapat simpati dan dukungan dari warga.

            Pihak perkebunan tidak tinggal diam dengan usaha-usaha Barra Tobarani dan kawan-kawan untuk menolak menyerahkan tanah-tanah mereka kepada pihak perkebunan. Pihak perkebunan menggunakan mandor-mandornya untuk meneror Barra Tobarani. Apalagi seorang mandor bernama Lamakking sejak dulu tidak menyukai Barra Tobarani. Dalam hati kecilnya, Lamakking sesungguhnya membela para petani yang tertindas, tapi ia dendam pada Barra Tobarani. Sarifah, isteri Barra Tobarani adalah perempuan yang sangat dicintai oleh Lamakking. Tapi saat itu Sarifah lebih memilih Barra Tobarani, seorang pemuda kampung yang miskin tapi dikenal sebagai pemuda yang baik dan berani. Sarifah menampik cinta Lamakking yang turunan bangsawan tapi dikenal sebagai preman di kampung, Sarifah dan Lamakking sebenarnya masih keluarga dekat.

            Karena mengetahui bahwa Barra Tobarani dan kawan-kawan bersatu dengan warga untuk mempertahankan tanah mereka, Lamakking mencoba mendekati Barra Tobarani secara halus. Lamakking membujuk Barra Tobarani dan kawan-kawan agar menjadi TKI di Malaysia. Bujukan Lamakking yang merupakan orang keprcayaan pihak perkebunan akhirnya sedikit demi sedikit meluluhkan hati Barra Tobarani dan kawan-kawan. Apalagi keadaan petani di sekitar perkebunan memang sangat miskin. Maka untuk mengubah hidup mereka lebih baik menjadi TKI saja. Sesungguhnya Lamakking dan pihak perkebunan fokus merayu Barra Tobarani dan isterinya agar mau menjadi TKI di Malaysia. Menurut perhitungan Lamakking dan pihak perkebunan, kalau Barra Tobarani sudah pergi ke Malaysia maka para petani tidak ada lagi berani melawan pihak perkebunan.

            Dengan alasan untuk biaya sekolah anak-anaknya kelak, Barra Tobarani akhirnya memutuskan akan menjadi TKI di Malaysia. Ia memang berpikiran kalau tetap tinggal di kampung dengan tanah yang tak seberapa luas maka penghidupannya tidak akan berubah, kelak anak-anaknya tidak bisa bersekolah seperti halnya dirinya karena tidak ada biaya sekolah. Tetapi Barra Tobarani tetap tidak akan menjual tanahnya kepada pihak perkebunan. Ia pun meminta kepada seluruh kawan-kawannya agar jangan menjual tanah-tanah mereka. Menurutnya menjual tanah-tanah mereka maka sama saja dengan membunuh kampung mereka. Karena kelak kampung mereka akan beralih fungsi menjadi lahan perkebunan milik kaum bermodal.

            Keberangkatan Barra Tobarani dan isterinya ke Sabah Malaysia diurus dan dibiayai oleh Lamakking. Selain bekerja sebagai mandor, Lamakking juga bekerja sebagai penyalur TKI ilegal ke Malaysia.

            Di saat Barra Tobarani akan berangkat ke Malaysia, ibu Barra Tobarani sakit keras. Barra Tobarani tidak mau meninggalkan ibunya yang sangat ia cintai, apalagi ia dibesarkan oleh ibunya dengan status single-parent karena ayahnya meninggal dunia semasa ia masih kecil. Lamakking ngotot agar Barra Tobarani dan Sarifah tetap berangkat ke Malaysia karena ia sudah mempersiapkan segala keperluan keduanya. Agar Lamakking tidak mengalami kerugian yang banyak, Barra Tobarani menganjurkan Sarifah tetap berangkat, ia akan menyusul kemudian setelah ibunya sembuh.

            Lamakking sangat senang dengan ide Barra Tobarani yang menganjurkan isterinya tetap berangkat. Bahkan keadaan seperti itulah sebenarnya yang sangat diinginkan oleh Lamakking. Bahkan ia sudah punya rencana tersendiri. Lamakking memang tidak pernah kehabisan akal.

            Akhirnya Sarifah dan kawan-kawan tiba di Malaysia atas jasa Lamakking. Rombongan Sarifah dan kawan-kawan ditempatkan di daerah sangat terpencil di kawasan Sabah, Malaysia. Rombongan Sarifah dan kawan-kawan hanya bisa berkomunikasi dengan keluarga mereka di kampung halaman dengan perantaraan Lamakking dan orang-orang kepercayaannya.

            Sementara Barra Tobarani di Bulukumba semakin berduka cita, ibu yang sangat dicintainya meninggal dunia. Dan berita yang paling membuat Barra Tobarani kemudian semakin berduka adalah berita yang dibawa oleh Lamakking dari Malaysia bahwa Sarifah, isterinya, di Malaysia diculik dan kemungkinannya sudah meninggal dunia karena ia sudah mencarinya tetapi Sarifah tidak ditemukan. Barra Tobarani pun tidak sanggup berangkat ke Malaysia untuk mencari isterinya karena ia tidak punya biaya, apalagi Lamakking memang berusaha keras agar Barra Tobarani tidak perlu berangkat ke Malaysia karena hanya membuang-buang uang saja. Lebih baik Barra Tobarani mendoakan saja almarhumah isterinya. Bahkan Lamakking berjanji akan membantu menyekolahkan anak-anak Barra Tobarani dan Sarifah. Hal itu dilakukan Lamakking sebagai penebus kesalahannya. Karena gara-gara dirinyalah yang ngotot sehingga Sarifah berangkat ke Malaysia tanpa kepergian suaminya.

            Barra Tobarani mengiyakan maksud baik Lamakking, bahkan ia berterima kasih pada Lamakking yang mau membiayai sekolah anak-anaknya. Sama sekali Barra Tobarani tidak curiga dengan niat jahat Lamakking. Karena sesungguhnya ia hanya berbohong kalau Sarifah sudah meninggal dunia.

            Lamakking memang diam-diam menyusun rencana busuk untuk mendapatkan kembali Sarifah. Melalui orang-orang kepercayaannya, Lamakking menculik Sarifah dengan diam-diam. Sarifah sebenarnya diambil baik-baik. Kala itu Sarifah berada seorang diri di barak TKI, saat itu Sarifah tidak bekerja karena kurang sehat. Saat itulah orang kepercayaan Lamakking datang memberitahukan kabar pada Sarifah bahwa Barra Tobarani meninggal di kampung. Orang tersebut bermaksud menjemput Sarifah untuk segera pulang ke Indonesia. Sarifah akan dijemput oleh Lamakking di Nunukan lalu bersama-sama pulang ke Bulukumba. Sarifah saat itu sangat sedih dan kaget, ia langsung pulang tanpa sempat memberitahu rekan-rekannya sesama TKI/TKW.

            Setiba di Nunukan, Sarifah bertemu dengan Lamakking. Sarifah lalu meminta Lamakking untuk segera mengantarnya pulang ke Bulukumba. Lamakking yang memang sangat mencintai Sarifah mulai menancapkan kuku-kuku rayuannya. Lamakking membujuknya agar tidak perlu pulang ke Bulukumba karena Barra Tobarani sudah dua minggu dikuburkan. Lamakking pun berjanji akan membiayai sekolah anak-anaknya di kampung. Di saat itu pula Lamakking mengungkapkan perasaannya bahwa ia sangat mencintai Sarifah dan akan menikahinya. Meski Sarifah terus menolak, Lamakking tidak pernah kehabisan akal. Akhirnya Sarifah takluk dengan segala rayuan dan janji Lamakking. Sarifah berpikir untuk apa menolak lamaran dan cinta Lamakking, apalagi ia hanyalah seorang janda. Bahkan jauh dalam relung hatinya, Sarifah sangat bangga mendapatkan cinta Lamakking. Lamakking memang sangat mencintai Sarifah hingga ia rela menjadi bujang lapuk. Dan yang paling membuat Sarifah tak mampu menampik cinta Lamakking karena Lamakking memang sudah menjadi idola gadis-gadis dan perempuan sesamanya TKW. Lamakking adalah pemuda, walau cukup berumur, tapi tetap nampak ganteng serupa Rano Karno. Lamakking pun sudah menjadi kaya.

            Lamakking pun menikahi Sarifah, lalu membawa Sarifah tinggal di Bontang. Lamakking membangunkan rumah mewah untuk isterinya. Sarifah hidup bahagia bersama dengan Lamakking. Di mata Sarifah, Lamakking benar-benar pria bertanggung jawab. Karena sudah silau dengan harta dan benda pula, Sarifah kadang menyesal mengapa bukan sejak dulu ia menikah dengan Lamakking. Tapi Sarifah juga tidak mau menyesali karena menikah dengan sosok lelaki macam Barra Tobarani. Meski dibenaknya suaminya sudah meninggal dunia, ia tetap mencintai suaminya.

Sejak menikahi Sarifah dan tinggal di Bontang, Lamakking hanya sebulan sekali pulang ke Indonesia atau pergi ke Malaysia. Untuk bisnis penyalur TKI illegal, Lamakking menggunakan orang-orang dekatnya.

            Ketika pulang ke Bulukumba, Lamakking yang sudah tidak menjadi mandor lagi di perkebunan mulai berbalik arah mendukung perjuangan petani dibawah LSM Tobarani yang dipimpin oleh Barra Tobarani. Bahkan Lamakking memberikan bantuan finansial kepada LSM Tobarani yang dipimpin oleh Barra Tobarani. Lamakking yang dulu menjadi musuh para petani berubah menjadi pahlawan. Barra Tobarani pun mulai kagum dengan Lamakking.

            Atas dukungan moral dan finansial dari Lamakking, Barra Tobarani dan kawan-kawan semakin berani melawan pihak perkebunan. Bahkan Barra Tobarani membuat target untuk merebut kembali tanah mereka yang sudah terlanjur direbut oleh pihak perkebunan. Pada suatu hari, Barra Tobarani dan kawan-kawan menjalankan aksinya untuk mengambil tanah mereka yang sudah dicaplok oleh pihak perkebunan. Pihak perkebunan dengan dibantu oleh aparat keamanan mencoba menghalau para petani. Barra Tobarani dan kawan-kawan melakukan perlawanan. Dalam peristiwa itu, akhirnya Barra Tobarani dan temannya Sallasa Tomacca meninggal dunia karena terkena peluru tajam oleh aparat keamanan. Meski sangat bersedih atas kejadian itu, diam-diam Lamakking tersenyum karena Barra Tobarani yang sudah lama ia isukan meninggal dunia, bahkan ia sudah rebut isterinya akhirnya benar-benar meninggal dunia. Namun Lamakking tetap melanjutkan aktingnya, ia terus memprakarsai dan menuntut bahwa kasus meninggalnya Barra Tobarani dan Sallasa Tomacca adalah pelanggaran HAM berat.

            Waktu terus berjalan. Sementara itu, Haji Hamide, yang dulunya juga adalah penyalur TKI ilegal yang akhirnya memilih profesi lain karena tidak bisa bersaing dengan Lamakking. Haji Hamide mencoba berdagang antar pulau bahkan antar negara. Ia bolak-balik antara Bulukumba – Pare-Pare – Nunukan – Sabah. Anak-anak Haji Hamide yang sudah menikah tinggal di tempat yang berbeda-beda. Bahkan seorang putrinya yang bersuamikan dengan pemuda dari pulau Jawa tinggal di Bontang. Dari anak dan menantunya, Haji Hamide mendengar kabar bahwa Lamakking sudah menikah dengan seorang perempuan cantik.

            Pada suatu ketika Haji Hamide mengunjungi anaknya di Bontang. Dan betapa terkejutnya Haji Hamide karena ternyata isteri Lamakking adalah Sarifah. Isteri dari almarhum Barra Tobarani. Namun ada yang janggal dibenak Haji Hamide, karena Barra Tobarani meninggal dunia baru setahun silam, padahal menurut pengakuan Sarifah ia menikah dengan Lamakking sejak lima tahun silam setelah suaminya meninggal dunia.

            Pada saat perjumpaan Haji Hamide dan Sarifah, Lamakking sedang berada di Malaysia mengurusi bisnis penyaluran TKI ilegal. Sarifah pun tidak bisa menahan kesedihan dan kekagetannya atas segala peristiwa yang menimpanya. Dan yang paling menusuk-nusuk ulu hatinya karena ternyata ia dinikahi oleh Lamakking ketika suaminya masih segar bugar di Bulukumba. Sarifah pun menghembuskan nafas terakhir karena tak sanggup menahan derita dan kesedihannya. Lamakking hadir di saat pemakaman isterinya. Ia pun teramat sedih. Pada pertemuan itu, Haji Hamide mencoba menghindar dari Lamakking. Lamakking mengira Haji Hamide masih tidak suka pada dirinya yang dulu saingannya dalam bisnis penyaluran TKI. Lamakking tidak sadar bahwa sesungguhnya Haji Hamide tidak suka pada dirinya karena ulahnya yang telah menikahi isteri orang. Tapi Haji Hamide tidak mau berurusan panjang, apalagi Barra Tobarani dan Sarifah sudah meninggal dunia. Haji Hamide tidak bermaksud membuka rahasia jahat Lamakking. Hanya saja Haji Hamide ingin mengultimatum Lamakking agar bertanggung jawab dengan nasib anak-anak almarhum Barra Tobarani dan almarhumah Sarifah.

ASPEK PSIKOLOGI NOVEL DAUN-DAUN RINDU KARYA DUL ABDUL RAHMAN DAN IMPLEMENTASI PEMBELAJARANNYA DI KELAS XII SMK NEGERI 1 JEPARA



ASPEK PSIKOLOGI NOVEL DAUN-DAUN RINDU KARYA DUL ABDUL RAHMAN DAN IMPLEMENTASI PEMBELAJARANNYA DI KELAS XII SMK NEGERI 1 JEPARA

(Skripsi Rohmad Widodo, 2011. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS IKIP PGRI Semarang)

Abstrak
Penelitian ini berjudul “Aspek Psikologi dalam Novel Daun-daun Rindu karya Dul Abdul Rahman dan Implementasi pengajarannya di Kelas XII SMK Negeri 1 Jepara Tahun 2011/2012”. IKIP PGRI Semarang. 2011. Pembimbing I Drs.Suyoto, M.Pd., Pembimbing II Dra.Ngatmini, M.Pd.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana aspek psikologi yang terkandung dalam novel Daun-daun Rindu karya Dul Abdul Rahman? Dan bagaimana implementasi pembelajaran aspek psikologi dalam novel Daun-daun Rindu karya Dul Abdul Rahman di kelas XII SMK Negeri 1 Jepara?

Tujuan dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan pembelajaran aspek yang terkandung dalam novel Daun-daun Rindu karya Dul Abdul Rahman dan mendeskripsikan pembelajaran aspek psikologi dalam novel Daun-daun Rindu karya Dul Abdul Rahman di kelas XII SMK Negeri 1 Jepara.

Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra, metode studi pustaka, metode deskriptif analisis, metode kualitatif deskriptif, teknik informal, teknik observasi, dan teknik kuantitatif.

Hasil analisis dan pembahasan diketahui bahwa aspek psikologi yang terkandung dalam novel Daun-daun Rindu karya Dul Abdul Rahman ialah (1) tentang jiwa nasionalisme atau cinta terhadap bangsa dan negaranya sendiri, (2) jiwa penyabar dan ulet dalam menghadapi permasalahan, dan (3) jiwa kasih sayang.

Implementasi pembelajaran aspek psikologi di kelas XII SMK Negeri 1 Jepara menggunakan metode ceramah, metode kontekstual, metode Tanya jawab, dan metode diskusi. Siswa membaca novel dua minggu sebelum waktu pembelajaran. Dalam pembelajaran, siswa memahami materi yang disampaikan oleh guru, kemudian siswa menganalisis novel tentang unsur intrinsik dan aspek psikologi yang terkandung di dalamnya. Untuk mengetahui hasil kemampuan pencapaian siswa digunakan teknik tes dengan memberikan beberapa pertanyaan yang mencakup unsur-unsur intrinsic dan pesan psikologo yang terkandung dalam novel Daun-daun Rindu karya Dul Abdul Rahman. Hasil implementasi pembelajaran ini dapat dikatakan berhasil karena sesuai dengan indicator dan tuntas sesuai KKM sekolah yakni 68 dengan pencapaian nilai rata-rata siswa adalah 73.

Penelitian ini menyarankan agar hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam proses pembelajaran khususnya pembelajaran novel. Di dalam sebuah novel terdapat banyak pesan positif bagi pembacanya. Maka dari itu, seorang pendidik dapat menggunakan novel sebagai media pembelajaran sehingga pembelajaran sastra terasa akan lebih menarik dan apresiatif sehingga memunculkan minat siswa untuk mempelajari mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.


Ringkasan Hasil Penelitian
A. Unsur Intrinsik Novel
            Unsur intrinsic dalam novel Daun-daun Rindu karya Dul Abdul Rahman terdiri dari tema, alur, tokoh dan penokohan, serta latar. Berikut dipaparkan dipaparkan unsur-unsur tersebut.

            1. Tema
            Tema merupakan gagasan atau ide atau pikiran utama dalam karya sastra, baik yang terungkap maupun tidak, Sudjiman (dalam Harjito, 2007:2). Di sini ada istilah baik terungkap atau tidak. Terungkap atau eksplisit manakala tema tadi disebutkan secara tersurat dalam wacana yang bersangkutan. Dinamakan tidak terungkap atau eksplisit manakala pembaca harus mereka-reka terlebih dahulu tentang tema yang dimaksud.

            Pada novel Daun-daun Rindu karya Dul Abdul Rahman menceritakan kisah seorang pemuda bernama Beddu Kamase, seorang anak muda keturunan suku Bugis yang menjalani kehidupan mahasiswa di sebuah universitas di Malaysia yang sebelum keberangkatannya, ia dilepas melalui upacara adat sebagai pasompe yaitu sebutan untuk orang yang akan merantau atau bepergian jauh. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini:

Data (1) “Malam itu adalah malam terakhirku di Kampung Kalobba, Sinjai. Esoknya, aku harus berangkat ke Makassar. Satu hari kemudian adalah jadwal keberangkatanku ke Kedah Darul Aman, Malaysia. Aku akan kuliah di Universiti Utara Malaysia (UUM). Layaknya orang yang akan bepergian jauh, malam itu para keluarga dan para tetangga, bahkan penduduk satu kampung berkumpul di rumahku. Serupa pesta perkawinan, suasana rumahku benar-benar ramai. Sebagai ritual orang kampung, aku akan dilepas sebagai pasompe.” (Rahman, 2010: 5)

            Dari kutipan (1) di atas menjelaskan bahwa Beddu Kamase adalah seorang yang memiliki semangat belajar yang tinggi dengan dibuktikan olehnya yang akan menjadi seorang mahasiswa di Universiti Utara Malaysia. Sebelum pergi jauh untuk menjalani kehidupan sebagai mahasiswa di luar negeri, ia terlebih dahulu dilepas melalui upacara adat sebagai seorang pasompe.

            Di perjalanan menuju Malaysia, Beddu Kamase teringat dengan keadaan kampung halamannya khususnya di bidang pendidikan. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut:

Data (2) “Di atas pesawat menuju Kuala Lumpur, ingatanku terus melayang-layang ke kampung halaman. Tentang banyaknya teman-temanku yang tak bisa kuliah atau bahkan tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP atau SMA. Penyebabnya bukan hanya factor biaya pendidikan, tetapi juga factor mental orang tua yang menganggap jadi sarjana tidak begitu penting karena banyak sarjana di kampungku yang tidak jadi PNS. Pikiran orang kampung kala itu, kuliah berarti akan jadi PNS. Kalau tidak jadi PNS, berarti hanya membuang-buang uang saja.” (Rahman, 2010: 29)

            Berdasarkan data (2) di atas menunjukkan bahwa Beddu Kamase tidak melupakan kampung halamannya dan memiliki semangat juang yang tinggi khususnya dalam bidang pendidikan karena ia tidak mau sama seperti teman-teman di kampungnya yang tidak mementingkan pendidikan.

            Sesampainya di Malaysia, dan dalam perjalanan daratnya di Malaysia, Beddu Kamase melihat pemandangan-pemandangan yang cukup membuatnya simpati. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini:

Data (3) “Pemandangan dari Sepang menuju Kuala Lumpur seperti melewati hutan kelapa sawit. Dimana-mana yang terlihat hanyalah perkebunan kelapa sawit. Aku melihat wajah-wajah Indonesia sibuk menadah buah kelapa sawit. Terbayang wajahku di sana, wajah bangsaku, bangsa buruh yang bekerja sebagai tenaga pesuruh di negeri orang, padahal memiliki sumber daya alam yang melimpah. Payah.” (Rahman, 2010: 33)

            Dari kutipan (3) di atas tampak bahwa Beddu Kamase memiliki jiwa social dan nasionalisme yang cukup tinggi. Ia menyayangkan keadaan alam Indonesia yang kaya akan sumber daya alam tetapi saudara-saudara sebangsanya hanya menjadi buruh di negeri orang.

            Jiwa nasionalisme yang dimiliki Beddu Kamase terlihat jelas ketika ia sudah memulai kehidupannya sebagai mahasiswa. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut:

Data (4) “Untuk memperart tali persaudaraan mahasiswa Indonesia yang kuliah di UUM yang berjumlah sekitar tiga puluhan dari berbagai jurusan, aku mengusulkan kepada teman-temanku untuk membuat madding yang kami beri judul Warta Indonesia. Mading itu sekaligus pelepas rindu akan berita tentang Indonesia buat kami, para mahasiswa Indonesia di negeri rantau.” (Rahman, 2010: 88)

            Dari kutipan (4) di atas terlihat bahwa sebenarnya jiwa nasionalisme yang dimiliki Beddu Kamase tidak hanya ia pelihara, namun lebih dari itu ia ingin menularkan rasa nasionalisme itu kepada mahasiswa yang juga berkuliah satu kampus dengannya.

            Rasa nasionalisme yang tinggi yang dimiliki Beddu Kamase juga dapat dilihat dalam kutipan berikut:

Data (5) “Aku tersenyum memandang ketiga temanku. Ketiganya hanya manggut-manggut. Mudah-mudahan mereka tidak mengatakan, kok yang dibanggakan cuma sejarah melulu? Tapi, aku tak peduli. Aku harus bercerita banyak tentang Indonesia. Aku harus membangun kesan positif pada mereka tentang Indonesia.” (Rahman, 2010: 227)

            Dari kutipan (5) di atas menjelaskan bahwa, Beddu Kamase ketika menceritakan Indonesia kepada teman-temannya tidak ingin membuat kesan negative. Ini terlihat bahwa rasa nasionalisme yang dimiliki oleh Beddu Kamase cukup tinggi.

            Jadi dapat disimpulkan dari uraian di atas, menceritakan bagaimana jiwa nasionalisme yang dimiliki oleh Beddu Kamase sangat tinggi. Ia lebih mencintai bangsanya sendiri meskipun ia tinggal di Malaysia yang lebih maju. Jadi tema yang terkandung dalam novel Daun-daun Rindu karya Dul Abdul Rahman ialah tentang nasionalisme.