Teropong Karaeng Pattingalloang, “Matturatema ri
Bulang dan Quo Vadis Mahasiswa Makassar”
Oleh: Dul Abdul
Rahman
(sastrawan dan
peneliti budaya)
Kerajaan
Gowa mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-15, I
Mannuntungi Daeng Mattola atau lebih dikenal dengan Sultan Malikussaid. Saat
itu, pelabuhan Makassar merupakan salah satu kota termasyhur di dunia. Di depan
istana Somba Opu, ibukota kerajaan Gowa yang berada di pesisir sungai
Jeneberang, juga tak kalah ramainya. Dermaga internasional Makassar banyak
disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia, seperti
Spanyol, Portugis, Inggris, atau Belanda. Tak ketinggalan kapal-kapal dagang
dari negara-negara Arab, Afrika, atau juga Asia khususnya kapal-kapal dagang
dari negeri Tiongkok dan Campa.
Orang
yang paling berjasa dalam menggapai kejayaan kerajaan Gowa, selain raja Gowa
sendiri, adalah seorang Mangkubumi kerajaan Gowa bernama Karaeng Pattingalloang
alias I Mangadacinna Daeng Sitaba. Ia menjabat sebagai mangkubumi (perdana
menteri, juru bicara, sekaligus panglima perang). Ia pun menjabat mangkubumi
sejak era pemerintahan Sultan Alauddin, Sultan Malikussaid, dan Sultan
Hasanuddin.
Karaeng
Pattingalloang adalah seorang intelektual sejati. Ia menguasai beberapa bahasa
asing, seperti bahasa Inggeris, Latin, Spanyol, Portugis, Belanda, Perancis,
Cina, dan tentu saja bahasa Arab. Dengan penguasaan beberapa bahasa itulah,
Karaeng Pattingalloang begitu gampang bekerjasama dan berdiplomasi dengan dunia
internasional.
Karaeng
Pattingalloang juga adalah seseorang yang sangat haus dengan ilmu pengetahuan.
Menurut catatan pastor Alexander de Rhodes yang sering berkunjung ke ruang
kerjanya, ruang kerja Karaeng Pattingalloang lebih menyerupai sebuah
perpustakaan daripada sebuah ruang kerja seorang perdana menteri, apalagi
seorang panglima perang. “Masakan seorang panglima perang tidak mempunyai alat
perang atau minimal replika alat perang dalam ruang kerjanya,” begitulah batin
de Rhodes.
Buku-buku
dari beragam bahasa terpampang di ruang perpustakaan (ruang kerja) Karaeng
Pattingalloang. Dari buku-buku Al-Ghazali yang berbahasa Arab hingga buku-buku
Louis de Granada yang berbahasa Spanyol. Dari buku-buku agama, sastra dan
filsafat hingga buku-buku sains.
Bahkan
Karaeng Pattingalloang sangat tergila-gila dengan ilmu sains khususnya
matematika dan fisika. Demi menunjang minatnya yang kuat terhadap ilmu sains,
ia pun memesan langsung atlas bumi dan teropong bintang dari negeri Belanda.
Saat itu, kedua barang tersebut sangat langka dan mahal, bahkan tergolong
barang rahasia negara. Andaikan bukan karena Karaeng Pattingalloang, maka tidak
mungkin kedua barang langka tersebut dikirim ke Somba Opu. Saingan Belanda kala
itu.
Saban
malam, bila berada di benteng Somba Opu, Karaeng Pattingalloang pun selalu
menggunakan teropong. Ia membayangkan suatu saat ada ilmuwan Tana Mangkasara
yang bisa mencapai bulan. Mungkin saja, sambil meneropong bulan dan
bintang-bintang, Karaeng Pattingalloang memekik, “Matturatema ri bulang.” (Saya
sudah sampai di bulan)
…
Siang
yang sangat terik. Macet di jalan Sultan Alauddin sungguh mencekik. Mahasiswa
yang berkampus di jalan poros Gowa-Makassar menutup jalan dengan kasar. Saya,
yang kebetulan melewati jalan itu selepas memberikan materi penulisan di kampus
Universitas (sultan) Hasanuddin, terperangkap dalam kemacetan panjang. Saya
memekik kepanasan, roda dua yang saya kendarai tak ber-AC. Saya yang memang
kurang sehat kala itu tak bisa bertahan, saya hampir pingsan. Saya pun
menepikan kendaraan dan mampir di sebuah masjid.
Saya
tertidur sejenak di dalam masjid. Dalam tidur saya bermimpi melihat Karaeng
Pattingalloang sedang asyik membaca buku di perpustakaan pribadinya, sesekali
ia memperhatikan atlas bumi yang berada di depannya. Keningnya mengerut,
mungkin ia berpikir mengapa yang tercatat dalam sejarah penemu Amerika adalah
Christopher Columbus, mengapa bukan orang-orang Celebes. Bukankah perahu-perahu
Pinisi dari Celebes sudah bisa mencapai Madagaskar atau Venecia, bahkan
terdampar di Pulau Acapulco jauh sebelum Columbus juga terdampar di pantai itu
lalu mengklaim diri sebagai penemu?
Karaeng
Pattingalloang berdiri sejenak. Ia memandangi buku-buku di perpustakaannya.. Sambil
tersenyum, Karaeng Pattingalloang berharap dalam hati, “Kelak anak-cucuku harus
banyak membaca dan meneliti, tana Mangkasara harus menjadi lokomotif ilmu
pengetahuan.”
Terlihat
Karaeng Pattingalloang memasang telinganya. Ia menuju jendela perpustakaannya.
Lalu ia mengambil teropongnya. Nampak nyata tana Mangkasara di pelupuk matanya.
Buku-buku di perpustakaan kampus tetap baru tapi berdebu karena jarang
tersentuh. “Dimana mahasiswa?” Batinnya sambil mengarahkan dan menge-zoom
teropongnya ke arah jalan Sultan Alauddin. Mahasiswa membakar dan
berteriak-teriak histeris sambil menutup jalan. Karaeng Pattingalloang pun
memekik, “Quo Vadis mahasiswa Makassar?”
Seorang
pakar kebohongan (bukan pakar pembohong) berkebangsaan Amerika Serikat bernama
Duke Christoffersen pernah melakukan penelitian apakah orang-orang Amerika
berlaku jujur atau berperilaku bohong. Pertanyaan Christoffersen hanya satu,
“Apakah Anda tidak pernah berbohong?” Hasilnya, hanya 5 persen saja orang
Amerika yang diwawancari oleh Christoffersen mengaku tidak pernah berbohong.
Berarti 95 persen orang Amerika adalah pembohong.
Christoffersen
membuat simpulan, 95 persen orang Amerika adalah orang-orang jujur, selebihnya
5 persen adalah pembohong besar. Ketika Christoffersen digugat oleh 5 persen
responden yang mengaku tidak pernah berbohong tetapi dikatakan sebagai
pembohong besar, maka Christoffersen pun memberi alasan yang sangat
mengejutkan, “Jika Anda mengaku tidak pernah berbohong, maka Anda telah
melakukan kebohongan terbesar dalam hidup Anda.”
Begitulah,
Christoffersen dalam bukunya The Shameless Liar’s Guide mengurai sekilas
sejarah Amerika yang penuh dengan kebohongan. Tentu saja sejarawan Amerika bersikap
jujur dalam menjelaskan kebohongan-kebohongan tersebut. Salah satunya yang
terjadi pada tahun 1999, ketika Presiden Amerika Serikat kala itu Bill Clinton
beberapa kali muncul di teve membuat pernyataan, “Saya tidak mempunyai hubungan
seksual dengan wanita lain, kecuali dengan isteri saya sendiri (Hillary Rodam
Clinton).” Tetapi akhirnya laku Clinton ketahuan juga, ia pun mengakui
perbuatannya lalu menuliskannya dalam sebuah buku.
Otobiografi
perselingkuhan Clinton dengan mantan sekretaris pribadinya bernama Monica
Lewinsky pun menjadi buku best-seller. Salah satu alasan buku tersebut diburu oleh
publik Amerika, karena Clinton jujur menceritakan kisah perselingkuhannya.
Clinton pun mengakui pendapat Friedrich Nietzsche, “Mulut boleh bohong, tetapi
meskipun demikian wajah kita menyiratkan kebenaran.”
...
Alasan
utama manusia berbohong adalah untuk bertahan, mempertahankan harga diri. Dan
yang paling mahal tentunya adalah mempertahankan ‘harga’ jabatan. Bukankah
sering seseorang menjual harga dirinya untuk membeli ‘harga’ jabatan? Dan
ketika kebohongan seseorang terbongkar maka jabatan pun akan hangus terbakar.
Kebohongan
memang adalah senjata untuk bertahan. Tetapi orang tidak sadar bahwa setiap
kali senjata kebohongan ditembakkan maka senjata tersebut akan mengalami kemiringan
beberapa derajat. Karena ketika senjata kebohongan ditembakkan maka saat itu
juga peluru-peluru kebenaran akan bergetar dalam sanubari sang pembohong. Ketika
kemiringan senjata kebohongan sudah mencapai angka 90 derajat, maka bila
seseorang tidak berhati-hati atau bertobat, dan terus menembakkan senjata
kebohongan, maka peluru-peluru kebenaran akan semakin bergetar menuju angka 180
derajat. Saat itu juga senjata kebohongan akan menembak diri sendiri.
Berbeda
dengan kebohongan, sesungguhnya kejujuran juga adalah alat untuk bertahan. Tetapi
kejujuran bukanlah sebuah senjata, ia adalah sebuah tameng. Semakin tameng kejujuran
terus terpasang maka tameng itu semakin menebal. Ketika tameng pertahanan diri
semakin menebal maka hati pun akan menjadi tenteram. Harga diri, apalagi ‘harga
jabatan’ pun akan bertahan.
Maka
sebelum senjata kebohongan mencapai kemiringan maksimal 180 derajat dan
menembaki dirinya sendiri, maka Clinton pun berusaha bertahan. Ia membuang
senjata kebohongan dan mencoba memasang tameng kejujuran. Ia pun selamat.
Bahkan isterinya Hillary, yang awalnya sangat sakit hati atas ulah sang suami,
akhirnya bisa memaafkan suaminya yang dengan gentlemen memasang tameng
kejujuran.
Bagaimana
dengan Muhammad Nazaruddin? Apakah aktor fenomenal dalam sandiwara korupsi di
Indonesia itu aman dari senjata kebohongan seperti halnya Clinton?
Meski
tema dan tingkat kedalaman kebohongan berbeda, tetapi rupanya Nazaruddin juga
paham bahwa alat untuk bertahan bukan hanya dengan senjata kebohongan, tetapi
ada yang lebih terhormat, tameng kejujuran. Maka, di saat-saat senjata
kebohongan sudah hampir mencapai kemiringan 180 derajat, Nazaruddin pun cepat
memasang tameng kejujuran. Ia membongkar dengan jujur segala senjata-senjata
kebohongan yang ia telah tembakkan secara berjamaah bersama rekan-rekannya
(berubah menjadi musuh-musuhnya).
Selamatkah
Nazaruddin? Sang Alim dari kepercayaan dan agama apa pun akan sepakat dengan
sebuah pernyataan, “Manusia akan selamat dengan memasang tameng kejujuran.”
Saya
kira Nazaruddin juga percaya dengan kalimat tersebut, sangat percaya malah.
Hanya saja, tameng kejujuran yang dipasang oleh Nazaruddin adalah tameng yang
terlalu tipis untuk menahan beribu-ribu senjata kebohongan yang terlanjur
membidik dirinya sendiri. Bukan hanya itu, senjata kebohongan Nazaruddin juga
siap menembak teman-teman aktornya dalam sandiwara korupsi di Indonesia.
Bermula
dari cerita I La Galigo, sebuah napak tilas manusia pertama di kerajaan bumi,
bahwa manusia pertama yang menghuni bumi adalah Batara Guru. Ia adalah tomanurung
(orang yang turun) dari langit. Sang tomanurung (Batara Guru) berjodoh
dengan We Nyiliq Timoq, perempuan totompoq (orang yang muncul) dari
dunia bawah (Peretiwi). Duet tomanurung dan totompoq yang maddara
takkuq (berdarah putih, bangsawan) kemudian beranak-pinak membentuk
kerajaan di jazirah Sulawesi.
Selanjutnya,
akibat pengaruh epik I La Galigo, yang dulunya sangat disakralkan dan dianggap
sebagai sebuah kitab suci, maka sejarah dan asal-usul kerajaan di jazirah
Sulawesi ikut terselubung oleh mitos tomanurung. Semua raja pertama
konon adalah tomanurung, manusia suci atau manusia sakti dari langit. Tentu
saja ini hanyalah sebuah mitos, tetapi sejak dahulu hingga sekarang orang tetap
percaya kepada mitos atau hal-hal gaib lainnya.
Sebenarnya,
pengakuan sebagai manusia tomanurung sengaja di-lontara-kan oleh pihak istana
kerajaan, lalu dituturkan secara lisan agar masyarakat semakin tunduk dan patuh
kepada sang raja yang notabene adalah tomanurung atau turunan tomanurung.
Itulah sebabnya, lontara I La Galigo hanya dimiliki keluarga kerajaan yang
dianggap sebagai kitab yang sangat sakral, dan tidak bisa dipindahtangankan
kepada pihak yang bukan turunan tomanurung. Makanya, ketika B.F Matthes
ingin memiliki lontara I La Galigo, ia terpaksa meminta Colliq Pujie Arung
Pancana Toa menyalin lontara tersebut untuknya.
Dalam
sejarah kerajaan di jazirah Sulawesi, konsep tomanurung tetap terjaga. Bila
suatu kerajaan mengalahkan kerajaan lain, maka sang pemenang tidak akan
mengganggu sistem kepemimpinan tomanurung pada kerajaan yang kalah.
Ketika Gowa takluk, Arung Palakka tidak serta merta punya hak berkuasa di Gowa.
Sebab Gowa hanya boleh dipimpin oleh turunan tomanurung di Gowa. Hanya
saja Arung Palakka yang bercita-cita ingin menyatukan kerajaan di Sulawesi
Selatan (termasuk Sulawesi Barat) punya taktik jitu, ia menikahkan La Patau
(putra mahkota kerajaan Bone) dengan putri Raja Gowa Karaeng Sanrabone alias I
Mappadulung Daeng Mattimung Sultan Abdul Jalil.
Yang
sangat menarik, dengan konsep tomanurung, tidak ada huru-hara dalam
pergantian kekuasan pada kerajaan-kerajaan terdahulu di Sulawesi Selatan. Tidak
ada peristiwa ala Ken Arok yang membunuh Tunggul Ametung lalu memperisteri Ken
Dedes dan berkuasa, selanjutnya adalah perebutan kekuasan dan pertumpahan
darah.
…
Di
era demokrasi sekarang ini, konsep tomanurung sebenarnya tidaklah hilang
(atau jangan dihilangkan). Ia hanya berubah wajah menjadi pemilu/pilkada.
Pemimpin yang terpilih lewat pilkada sebagai wajah lain konsep tomanurung,
semestinya disambut dengan suka cita sebagai orang ‘manurung’ (turun) untuk
membangun daerahnya menjadi lebih baik. Pihak yang kalah harus menyadari bahwa
mereka bukanlah tomanurung yang dinginkan oleh rakyat.
Di
sisi lain, mereka yang terpilih, harus juga sadar bahwa mereka adalah tomanurung,
orang yang turun membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Dan yang
terpenting, mereka yang terpilih harus benar-benar berperilaku sebagai tomanurung,
manusia suci yang turun dari langit suci demokrasi, manusia yang yang
bertanggung jawab, jujur, dan amanah. Sebab jika tidak, sang tomanurung
akan mendapat kutukan.
Pada
akhir cerita I La Galigo, Sang Patotoe menutup pintu langit sebagai sebuah
hukuman kepada tomanurung yang semena-mena memerintah di kerajaan bumi. Sejarah
juga mencatat, meski seorang pemimpin (raja) sudah terpilih, tetapi jika ia
menyalahi sumpah dan janji maka ia pun akan dicap sebagai sang peresola
(sang perusak) yang harus disingkirkan. Itulah yang menimpa Raja Gowa ke-13
Karaeng Tunipasulu Tepukaraeng Daeng Marabbung, ia dimakzulkan oleh Bate
Salapang (Dewan Adat) Kerajaan Gowa karena dianggap semena-mena dan tidak adil.
…
Sejatinya,
bilamana pemilu/pilkada dianggap sebagai wajah lain konsep tomanurung,
yang akan melahirkan sang pemimpin yang akan turun membawa perubahan ke arah
yang lebih baik, maka tidak ada lagi huru-hara yang mewarnai pesta demokrasi di
negeri ini, khususnya Sulawesi Selatan sebagai Bumi Tomanurung. Sebab yang
terpilih haruslah diselamati sebagai tomanurung yang turun membawa
perubahan. Pun, sang tomanurung yang terpilih harus berjanji pada
dirinya sendiri untuk turun gelanggang, menyingsingkan lengan baju untuk
menjalankan janji-janji program kampanyenya. Sebab tomanurung dalam wajah
demokrasi sekarang ini lebih bermakna sebagai seorang pelayan.
Sumber: KORAN TEMPO MAKASSAR, Kamis 26 September 2013
Sekitar abad XVI, persekutuan
Kerajaan Tellulimpoe (Lamatti, Bulo-Bulo, dan Tondong) melakukan perjanjian
dengan Raja Gowa X Karaeng Tunipallanggaalias I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung. Ketiga kerajaan yang
menjadi cikal-bakal Kabupaten Sinjai itu bersama persekutuan Pitulimpoe, diwakili
oleh Arung Lamatti bernama Arung Pali’e. Perjanjian tersebut berlangsung di
Aruhu di bawah pohon beringin. Perjanjian itu berisi kesepakatan antara
Kerajaan Gowa dan persekutuan Kerajaan Tellulimpoe untuk saling membantu dan
saling mengingatkan dalam hal kebaikan. Barang siapa yang mengingkari isi
perjanjian tersebut, maka ia akan ditimpa oleh pohon beringin yang sudah
ditanam bersama di Aruhu. Isi perjanjian lainnya, Gowa dan Tellulimpoe adalah
bersaudara. Gowa dan Tellulimpoe harus bersatu padu, bila Gowa meninggal di
pagi hari, maka Tellulimpoe menyusul di sore hari. Gowa dan Tellulimpoe akan Mate
Siwalung (mati bersama).
Belum cukup setahun peristiwa perjanjian
Aruhu tersebut, datanglah utusan Raja Gowa ke Tellulimpoe. Raja Gowa Karaeng
Tunipallangga meminta bantuan dari persekutuan Tellulimpoe untung menyerang
Kerajaan Bone. Tentu saja para arung di Tellulimpoe sangat terkejut dengan
permintaan Raja Gowa, sebab bagi Tellulimpoe, menyerang Bone sama dengan
menyerang dan mengkhianati saudara sendiri.
Maka berkumpullah para arung dan
bangsawan ketiga kerajaan persekutuan Tellulimpoe. Pertemuan berlangsung
hening, para bangsawan hanya terdiam, umumnya mereka menyesalkan Raja Gowa yang
ingin menyerang Bone, tetapi ada juga yang bisa memahami langkah Raja Gowa,
sebab Bone merupakan pesaing utama Gowa, apalagi saat itu Bone sudah menjalin
kerjasama erat dengan Soppeng dan Wajo atas prakarsa utama penasehat Kerajaan
Bone, La Mellong Kajao Laliddong.
Di tengah keheningan tersebut, Arung
Pali’e yang menjadi wakil persekutuan Tellulimpoe ketika mengadakan perjanjian
dengan Karaeng Tunipallangga, berdiri sambil memandang semua yang hadir.
“Kita tidak mungkin ikut menyerang
Bone yang merupakan saudara kita sendiri,” Arung Pali’e menggeleng-gelengkan
kepalanya, lalu melanjutkan kalimatnya, “tetapi kita tidak bisa juga menolak
permintaan Raja Gowa karena kita sudah mengikat perjanjian dengan mereka.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan,
Puang?” Tanya La Patolai yang kelak akan menggantikan Arung Pali’e bertahta di
Lamatti.
“Saya tidak rela pasukan Tellulimpoe
ikut menyerang Bone, tetapi karena Tellulimpoe terlanjur sudah mengikat
perjanjian dengan Gowa maka saya tetap akan mengutus seorang panglima
Tellulimpoe untuk bergabung dengan pasukan Gowa. Karena sayalah yang bertanggung
jawab langsung atas segala perjanjian dengan Gowa di Aruhu, maka saya
sendirilah satu-satunya utusan Tellulimpoe. Dan, kelak bila saya gugur dalam
perang, maka janganlah kalian menganggap saya gugur karena berperang melawan
saudara sendiri, tetapi anggaplah saya gugur dalam menegakkan harga diri orang
Tellulimpoe, harga diri kita adalah taro ada taro gau (satunya kata
dengan perbuatan).
Maka bergabunglah Arung Pali’e
seorang diri dari Tellulimpoe dengan pasukan Gowa untuk menyerang Bone. Dalam peperangan
antara Gowa dan Bone yang terkenal dengan nama perang Tobala tersebut, Arung
Pali’e pun tewas terbunuh. Orang Tellulimpoe pun menggelari Arung Pali’e
sebagai arung tolempu na magetteng (orang jujur dan teguh pendirian)
…
Arung Pali’e adalah sosok lelaki
Bugis yang memegang prinsip taro ada taro gau. Ia adalah sosok pemimpin
yang malempu (jujur) dan magetteng (teguh pendirian). Ia adalah
perwujudan nilai-nilai keteladanan orang Bugis-Makassar “Eppa’i gau’na
gettennge: tesalaie janci, tessoroe ulu ada, telluka anu pua teppinra
assituruseng, mabbicarai naparapi mabbinru’i tepupi napaja.” (Ada empat
perbuatan nilai keteguhan: tidak mengingkari janji, tidak menghianati
kesepakatan, tidak membatalkan keputusan, tidak mengubah kesepakatan).
Adakah
lelaki Bugis sekarang seperti Arung Pali’e? Lelaki Bugis yang rela menyerang
saudaranya sendiri, menyerang dirinya sendiri, mengorbankan dirinya sendiri, demi
menegakkan harga dirinya: taro ada taro gau.
Ah!
Jangan-jangan sekarang, lelaki Bugis berubah menjadi lelaki bengis. Lelaki yang
begitu gampang membuat janji lalu dengan sangat gampang pula menghianati janji
dan kesepakatan, karena ia adalah lelaki pengemis, pengemis harta dan jabatan.
Ataukah lelaki Bugis menjadi lelaki gamis, lelaki yang sering puasa senin-kamis,
tapi korupsinya juga berjalan lancar seperti air yang tak bertapis. Maka, wahai
lelaki Bugis! Jangan pernah memahat janji lalu sibuk mencari alibi untuk tidak
menepati janji. Ya, termasuk janji-janji politik. Assekki Ada Jancie
(Berpegang teguhlah pada janji).
Sumber: KORAN TEMPO MAKASSAR, Kamis 19 September 2013
Sekitar abad XVII, Raja Bone
mendengar kabar tentang seorang pemuda yang berani dan cerdas. Pemuda yang
bernama La Mellong tersebut berasal dari Kampung Laliddong, kampung kecil yang
masih berada dalam wilayah kekuasan Kerajaan Bone.
Raja
Bone pun memanggil pemuda tersebut untuk dijadikan sebagai kajao (penasehat
kerajaan). Tetapi sebelumnya, sang raja ingin mengetes kecerdasan pemuda
tersebut. Maka, sang raja pun memerintahkan La Mellong untuk mengumpulkan 70
orang buta dalam waktu yang singkat. Sang raja juga meminta La Mellong untuk
membawa benda pusaka miliknya. Setelah berpikir sejenak, La Mellong pun
mengiyakan kedua permintaan sang raja.
La
Mellong segera kembali ke rumahnya di kampung Laliddong. Ia mengambil tangga
rangkiang tua miliknya. Lalu ia menyeret tangga itu menuju istana kerajaan Bone.
Di tengah jalan, orang-orang pun bertanya, “Apa yang engkau bawa La Mellong?”
Setiap
ada orang yang bertanya, maka La Mellong pun meminta orang itu ikut bersamanya
menuju istana. Setiba di depan istana, sudah ada 69 orang yang mengikuti La Mellong.
“Hei!
Apa yang engkau bawa itu, La Mellong?” Tanya seorang pengawal istana ketika La
Mellong menyeret tangga rangkiang tuanya melewati gerbang istana.
“Pammasena
Dewatae (Syukur Alhamdulillah), saya sudah menemukan 70 orang buta,” ujar
La Mellong dalam hati sambil bergegas menemui sang raja.
“Tabek
Puang, saya sudah membawakan 70 orang buta dan juga benda pusaka milikku,” ujar
La Mellong.
“Ha?
Orang buta? Tangga rangkiang? Engkau jangan main-main La Mellong!” ujar sang
raja dengan suara meninggi.
“Ampun
Puang!” La Mellong menyembah, “Sungguh saya tidak bermaksud bermain-main
apalagi mau mengelabui Puang, tapi ketahuilah bahwa 70 orang yang datang bersamaku
ini adalah orang-orang buta. Buktinya, ketika saya berjalan sambil menyeret
tangga rangkiang dari kampungku menuju istana ini, mereka bertanya padaku
tentang apa yang saya bawa, andaikan mereka melihat bahwa yang saya bawa adalah
tangga rangkiang maka tentu mereka tidak akan bertanya. Begitulah Puang, banyak
diantara kita yang matanya melihat tetapi mata hatinya tidak melihat.”
Seketika
sang raja menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum, “Engkau benar La Mellong.”
Lalu sang raja menatap lekat-lekat tangga rangkiang tua milik La Mellong.
“Tapi
mengapa engkau membawa tangga rangkiang tuamu yang sudah mulai lapuk?”
La
Mellong cepat mengangkat tangga rangkiang tua miliknya yang terbuat dari bambu,
“Tabek Puang, inilah benda pusaka milikku.”
“Hah?
Benda pusaka? Lalu apa keistimewaan tangga rangkiangmu itu?” Cecar raja.
“Tabek
Puang, tangga ini mempunyai tiga keistimewaan. Pertama, bila saya
menemukan dua orang yang berselisih maka saya akan memberikan tangga ini kepada
keduanya agar mereka bisa bertemu dan saling mengenal, sebab penyebab utama dua
orang bertengkar atau berselisih paham karena mereka tidak saling mengenal. Kedua,
bila saya bertemu dengan orang yang lapar di tengah hutan sedangkan mereka
tidak bisa memanjat pohon, maka saya cukuplah memberi tangga ini agar orang
lapar itu bisa memetik sendiri buah-buahan yang ranum di pepohonan, kalau saya
memberikan mereka buah maka mereka akan kelaparan lagi bila buah pemberian
tersebut sudah habis. Ketiga, ketika saya berjumpa dengan seorang
pejabat kerajaan, maka saya akan memberikan tangga ini, agar mereka
berhati-hati naik tangga atau pun turun tangga, sebab bila seseorang terlalu
serakah melompat maka bisa saja ia akan terpeleset dan terjatuh,” jelas La
Mellong.
“Engkau
benar-benar cerdas La Mellong, mulai sekarang engkau akan kuangkat menjadi
penasehat utama kerajaan,” tegas sang raja.
La
Mellong pun resmi menjadi seorang penasehat kerajaan. Ia diberi gelar Kajao
Laliddong.
…
Makassar,
kota yang acapkali dicap kasar, karena penduduknya berkelahi melulu di layar
teve-teve juga mungkin kurang ajar
karena hanya mengejar pasar- padahal masih banyak sudut kota Makassar yang
damai tapi tak diberitakan. Makassar butuh tangga La Mellong agar warga yang
selalu bertikai tidak lagi saling melempar, tetapi saling mengunjungi dan
berdamai dengan hati sabar dan jiwa yang besar.
Tak
hanya sebatas kota Makassar, tetapi Indonesia saat ini sangat butuh tangga La
Mellong. Para pemimpin perlu memiliki tangga La Mellong, agar mereka selalu
berhati-hati dalam memanjat, baik memanjat pangkat maupun memanjat harta.
Karena bisa saja kalau mereka memanjat harta dengan melompat terlalu tinggi,
lalu mengambil yang bukan haknya, maka mereka akan terjatuh dalam penjara KPK. Maka,
sebelum mereka terkena kutukan adagium ‘sudah terjatuh tertimpa tangga pula’
maka sebaiknya mereka meminjam tangga La Mellong.
Sumber: KORAN TEMPO MAKASSAR, Kamis 22 Agustus 2013
Setelah berhitung segala ongkos
kepulangannya, pun plus-minusnya, akhirnya Sangkala memutuskan untuk mudik.
Lagipula tidak ada alasan baginya untuk tidak mudik. Tidak seperti lima tahun
sebelumnya, setiap lebaran tiba, Sangkala selalu terburu-buru memburu mudik.
Saat itu ia masih berstatus mahasiswa. Saat itu pula ia benar-benar menikmati
mudik. Mudik baginya seperti sebuah terapi untuk melupakan segala rutinitasnya
di kampus. Ia bisa bercengkerama dengan teman-teman sekolahnya, pun teman masa
kecilnya di kampungnya dulu. Ia bisa menikmati wajah-wajah kampung ramah dan
bersahabat. Pun ia bisa menjadi sosok idola bagi para bunga-bunga desa di
kampungnya. Predikat mahasiswa yang ia sandang kala itu seperti sebuah azimat
yang dapat meluluhkan hati setiap bunga desa yang ayu dan kemayu.
Tapi kini, setiap lebaran tiba,
Sangkala benar-benar berhitung masak-masak. Jarak antara Makassar dengan
kampung halamannya tidaklah terlalu jauh di pelosok desa di kabupaten Sinjai.
Uang transport pulang pergi cukuplah seratus lima puluh ribu rupiah saja. Tapi
bukan itu yang membuat Sangkala berpikir keras. Tapi oleh-oleh buat para
kerabat dekatnya, ponakan-ponakannya, bahkan para tetangganya adalah sesuatu
yang ia harus persiapkan. Ia malu bila ia tiba di rumah orang tuanya di kampung,
lalu banyak kerabat yang mengunjunginya tapi tidak diberikan apa-apa. Apalagi
Sangkala telah dicap di kampungnya sebagai orang sukses. Padahal sesungguhnya
pendapatan Sangkala hanyalah cukup untuk biaya hidup saja. Ia belum mapan,
apalagi mau disebut orang kaya. Tapi Sangkala harus mudik. Lalu. Mau tak mau ia
harus mengeringkan rekeningnya di bank.
…
Orang-orang seperti Sangkala sangat
mudah kita lihat dimana-mana. Di pelabuhan-pelabuhan, di terminal-terminal,
tapi jangan lihat di bandara-bandara. Kita bisa melihat wajah para pemudik yang
kuyu tetapi tetap terpancar kebahagiaan karena akan bertemu dengan para kerabat
dan handai tolan, meski kebanyakan dari mereka tetap membawa sebungkus
kegelisahan karena biaya mudik. Tapi hakekatnya mereka tetap bahagia.
Kata
mudik tidak persis sama dengan pulang, tapi jelasnya bila kita mendengar idiom
mudik maka yang terbayang dalam ingatan kita adalah pulang atau pulang kampung.
Berbeda dengan kata pulang, mudik mengandung arti tersendiri. Istilah mudik
baru dibicarakan pada saat-saat tertentu yang dianggap sakral seperti saat
lebaran, pun natalan.
Dengan mudik, orang-orang yang sudah
kehilangan jati dirinya dalam hiruk pikuk dan kepalsuan kota, ingin menemukan
dirinya kembali dengan mengenang masa-masa lalunya di kampung halaman yang
penuh dengan kenangan indah. Mereka yang di kota hanya dihitung sebagai angka-angka
pecahan, pun sebagai mor kecil yang berkarat dalam mesin raksasa kota yang
rakus ingin menemukan jati dirinya sebagai manusia. Mereka juga ingin melupakan
wajah-wajah kota yang garang untuk menikmati keramahan wajah-wajah kampung
dengan girang. Para pembantu rumah tangga ingin bebas sementara dari
majikan-majikan perempuan yang galak, atau mata majikan laki-laki yang jalang.
Para buruh-buruh pabrik ingin bebas dari raungan mesin-mesin yang pongah dengan
menikmati desahan sungai-sungai yang renyah. Dengan mudik, mereka dapat
merenungkan apa yang telah dikerjakannya dan merenungkan eksistensi dirinya
sebagai manusia. Itulah makna mudik.
“Mudik adalah salah satu terapi
untuk manusia modern,” kata Jalaluddin Rakhmat. “Manusia modern melahirkan
manusia robot,” kata Lewis Yablonsky. Manusia robot telah kehilangan
kreativitas, mereka menjadi mesin yang terikat pada rutinitas yang monoton,
mereka digerakkan secara massal oleh para pemegang kebijakan, baik penguasa
maupun pengusaha yang terkadang susah dibedakan. Pagi hari bangun, mandi,
sarapan lalu ke kantor untuk mengerjakan pekerjaan yang itu-itu juga. Sehingga
kota-kota besar telah menjadi rumah sakit jiwa yang besar yang dihuni oleh para
manusia robot sehingga penyembuhannya memerlukan suatu terapi yang memanusiakan
manusia. Ya, itulah makna mudik.
Sayang! Kebanyakan yang berburu dan
terburu-buru untuk mudik hanyalah orang-orang kecil saja. Alangkah indahnya
bila mudik sebagai terapi manusia modern dilakukan pula oleh para penguasa pun
pengusaha. Dan mudik jangan hanya pada waktu lebaran saja, sehingga mereka itu
para penguasa dan pengusaha bukan lagi manusia robot yang melibas manusia
dengan tangan kekuasaannya, tetapi mereka memperlakukan manusia secara
manusiawi sebab dengan mudik mereka akan menemukan kemanusiaan dirinya sebagai
manusia.
sumber: KORAN TEMPO MAKASSAR, Sabtu 3 Agustus 2013
Tidak
ada pelaut Eropa yang begitu tergila-gila terhadap nusantara daripada
Christopher Columbus. Terobsesi dari petualangan Marcopolo(abad XIII) dan Ibnu
Battuta(abad XIV) yang sebelumnya berkelana ke Asia, Columbus pun bertekad
berlayar ke Asia. Ada tiga tempat yang paling ingin dikunjungi oleh Columbus,
yaitu Quinsay (sekarang Hangzhou, Cina) kota terkaya dan terbesar di dunia pada
abad pertengahan. Kedua adalah India, ia sangat ingin bertemu dengan penguasa
Mongul Khan Agung. Tempat ketiga adalah nusantara (saat itu Malaka dan Maluku)
yang sangat terkenal dengan rempah-rempahnya.
Sejatinya,
Columbus berasal dari Genoa, Italia. Tetapi demi mencapai keinginannya untuk
berlayar ke Asia, ia menyeberang ke Portugis. Ia mendengar kabar bahwa Portugis
sedang gencar-gencarnya melakukan eksplorasi dan mencari dunia baru untuk
ditaklukkan dan diekploitasi.
Setiba
di Portugis, Columbus mengajukan proposal berlayar atas nama bangsa Portugis kepada
Raja Joao II. Tetapi proposal Columbus ditolak oleh sang raja. Columbus tidak
patah semangat, ia pun pergi ke Spanyol yang saat itu dipimpin oleh duet Raja
Ferdinand dan Ratu Isabella yang juga punya semangat membara untuk mencari
daerah-daerah taklukan untuk diekploitasi dan dijajah.
Alhasil,
Columbus pun berlayar menuju Asia dengan berbendera Spanyol. Saat itu ia
berlayar dengan tiga kapal induk, Santa Maria, Nina, dan Pinta. Kapal
induk utama Santa Maria dipimpin oleh Columbus, Nina dipimpin oleh Amerigo
Vespucci, Pinta dipimpin oleh Martin Alonso Pinzon.
Ketika
pelayaran Columbus hampir tiba di sebuah wilayah yang kelak diberi nama benua
Amerika, kapal Santa Maria berpisah dengan dua kapal induk lainnya. Santa Maria
mengejar perahu aneh yang juga sedang berlayar mendekati benua yang belum
bernama. Perahu aneh tersebut adalah perahu pinisi sepulang dari Venesia
membawa rempah-rempah. Columbus pun menyerang perahu itu hingga karam, sisa-sisa
perahu yang karam itu akhirnya terdampar di pantai Acapulco, Meksiko.
Sebelum
karam, awak perahu pinisi melakukan perlawanan sengit. Kapal Santa Maria pun
ikut karam. Untungnya Columbus berhasil diselamatkan oleh kapal Nina yang
dipimpin oleh Vespucci. Kapal Nina kemudian berlabuh di sebuah benua baru yang
kemudian bernama benua Amerika yang diambil dari nama depan Vespucci. Vespucci
dan Columbus sempat bersitegang soal nama, karena bagaimana pun Columbus adalah
panglima tertinggi. Tetapi Columbus tidak perlu begitu kecewa, karena dalam
sejarah, penemu benua Amerika adalah Christopher Columbus, bukan Amerigo
Vespucci.
Niat
Columbus untuk berlayar ke Asia tidak pernah pupus. Tetapi hingga pelayaran
keempat, armada Columbus tidak bisa mencapai Asia, bahkan kapal induk Santa
Maria pun diganti dengan kapal induk yang lebih besar bernama Maria Galante.
Namun Columbus punya seribu akal. Ia pun mengaku sudah sampai ke India dengan
mengatakan ia sudah bertemu dengan orang-orang India. Maka Columbus pun memberi
nama penduduk asli benua Amerika, orang Indian. Ia juga mengaku sudah
sampai di ujung timur terjauh dunia (nusantara) dan sudah melihat perahu-perahu
aneh (pinisi). Ketika ditanya apa nama perahu orang-orang timur jauh tersebut,
maka Columbus pun berkata, “perahu-perahu itu sering berada di Venesia.” Ketika
ada anak buahnya masih ingin bertanya, Calumbus pun berkata, “Kalian tidak usah
terlalu berisik!”
Setahun
silam, saya mengunjungi sentra pembuatan pinisi di Bulukumba. Saya bertemu
dengan seorang turis asal Amerika Serikat bernama Ferdinand Columbus. Rupanya
Columbus ingin memesan perahu pinisi.
Saya pun bertanya mengapa Columbus
ingin memesan perahu pinisi, bukankah banyak model kapal lain yang lebih modern
yang bisa dijadikan kapal pesiar? Columbus tertawa tertahan. Saya merasakan
ketawanya setengah mengejek. Dengan sangat bersahabat ia pun menjawab, “Saya
ini kan keturunan Columbus. Makanya, saya ingin mewujudkan keinginan beliau
yang dulu ingin sekali tiba di Indonesia. Saking inginnya tiba di Indonesia,
maka ia pun mengaku sudah sampai di Indonesia dan melihat perahu pinisi.”
“Benarkah?”
Ferdinand Columbus kembali tersenyum.
Kali itu senyumannya tulus. “Saya mencintai perahu pinisi, you jangan
khawatir, meski kelak perahu itu berlayar di perairan Amerika, namanya tetap
perahu pinisi, bukan perahu Columbus, dan sudah pasti seluruh dunia menganggap
saya pembohong kalau saya mengaku bahwa perahu pinisi adalah hasil kreasi orang
Amerika. Karena sejak dulu, perahu pinisi adalah simbol kebanggaan orang Bugis
Makassar.”
…
Seminggu
yang lalu, saya menghadiri acara bedah buku PINISI di Gedung Amanna Gappa, UNM.
Saya mendengar suara-suara berisik. Katanya perahu pinisi diambang kepunahan,
perahu pinisi dijadikan lambang daerah di sebuah kabupataen di Kalimantan.
Ternyata perahu-perahu pinisi yang sekarang yang berlenggak-lenggok anggun di
lautan milik orang-orang asing.
Saat
itu saya hanya teringat dengan ucapan Christopher Columbus, “jangan terlalu
berisik.” Pun, saya teringat dengan ucapan Ferdinand Columbus. Perahu Pinisi adalah
simbol bahari orang Bugis-Makassar.”
Ketika
meninggalkan Gedung Amanna Gappa, dan melewati Menara Pinisi milik UNM, saya
pun berkata dalam hati, “Tak peduli namanya Menara Pinisi, atau Menara Phinisi,
atau malah Phinisi Building. Pun siapapun yang memilikinya, UNM, UNHAS,
atau malah Universitas Columbus di Amerika Serikat, tetap dunia mengakuinya
bahwa pinisi adalah simbol bahari orang Bugis-Makassar.
Tapi
sama sekali tidak dilarang banyak berisik. Yuk, mari berisik positif!
PROFESI-UNM.COM - "Dengan delapan novel Bang Dul
masih memiliki energi. Apakah karena gen atau pergaulan yang membuat
bang Dul masih memiliki energi menulis sebanyak itu?" itulah salah satu
pertanyaan yang dilontarkan oleh audience, Andika Mappasomba dalam acara
Makassar Writer Day 2013, yang diselenggarakan oleh Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia UNM, Rabu (21/3).
Menanggapi pertanyaan tersebut, Dul Abdul Rahman sebagai pembicara menjelaskan,
bahwa dirinya selalu memiliki target untuk menyelesaikan tulisan yang ingin
dibuatnya. "Yang membuat saya tetap semangat menulis, karena punya target,
misalkan dalam 1 tahun saya akan selesaikan 2 buku," ungkap sastrawan dan
juga peneliti budaya ini.
Selain itu, pengarang novel Pohon-pohon Rindu ini juga menambahkan,
seorang yang ingin menjadi penulis harus istiqamah. "Istiqamah juga
penting dalam menulis," tuturnya.
Dia juga berpesan agar di Makassar nantinya ada yang menjadi penulis, sebagai
pelanjut estafet. "Harusnya di Makassar ada regenerasi penulis,"
harapnya. (*)
Permasalahan Agraria dalam Novel Sarifah karya
Dul Abdul Rahman: Tinjauan Sosiologi Sastra
(Skripsi Riani Eka Saputri, 2012, STKIP PGRI Pacitan
Jawa Timur)
Abstrak:
Karya
sastra diciptakan oleh pengarang sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasan,
ide, dan pemikiran dengan gambaran-gambaran pengalaman batin yang pernah
dialami oleh pengarang. Peristiwa-peristiwa yang ada dalam kehidupan masyarakat
menjadi dasar olahan pengarang. Sosiologi sastra menganalisis masalah-masalah
social yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian
menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi.
Berdasarkan
latar belakang di atas alasan penulis memilih judul Permasalahan Agraria
Dalam Novel Sarifah Karya Dul Abdul Rahman: Tinjauan Sosiologi Sastra
adalah; 1) untuk mengetahui permasalahan agraria yang terjadi dalam novel Sarifah
karya Dul Abdul Rahman; 2) selain itu, novel Sarifah ini belum ada yang
meneliti maupun menelaah baik dari segi instrinsik maupun ekstrinsiknya.
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui; 1) permasalahan agraria yang terdapat dalam
novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman; 2) dampak permasalahan agrarian
terhadap masyarakat dalam novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman. Kedua
hal ini diungkap dengan menggunakan tinjauan sosiologi sastra. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif, maka metode yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Data yang dikumpulkan
berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Teknik pengumpulan data
menggunakan teknik pustaka, simak, dan catat.
Hasil
analisis data dinyimpulkan bahwa: 1) masalah utama dalam novel Sarifah adalah
permasalahan tanah antara petani dengan PT Lonsum. 2) permasalahan agraria yang
terjadi antara petani dengan PT Lonsum disebabkan oleh beberapa hal yaitu tanah
petani diambil secara paksa, rumah-rumah petani dibakar, tanaman jagung petani
dibulldozer, petani disiksa dan ditangkap polisi. 3) dampak permasalahan
agraria terhadap masyarakat yaitu petani merasa sedih kehilangan tanah,
kehilangan rumah. Juga petani mengalami luka-luka, membuat hubungan yang tidak
harmonis antara petani dengan kepala desa, dan dua orang petani yang meninggal
karena mempertahankan tanahnya.
Empat orang petani bernama Barra
Tobarani, Lahajji, Sallasa, dan Mattorang mencoba mempertahankan tanahnya.
Pihak perkebunan karet PT Lonsum (PT London Sumatra) dengan dibantu oleh pemerintah
setempat memang terus mengambil-alih tanah-tanah petani secara paksa. Bukan
hanya itu empat sekawan tersebut mencoba membela petani-petani lainnya yang
tanahnya dirampas oleh pihak perkebunan.
Barra Tobarani yang paling tinggi
sekolahnya di antara petani karena ia adalah jebolan SMA, sedangkan
petani-petani lainnya kebanyakan tidak pernah mengenyam pendidikan,
memprakarsai terbentuknya LSM Tobarani. LSM tersebut berusaha membela hak-hak
petani yang tertindas. Keberanian empat sekawan yang dipimpin oleh Barra
Tobarani mendapat simpati dan dukungan dari warga.
Pihak perkebunan tidak tinggal diam
dengan usaha-usaha Barra Tobarani dan kawan-kawan untuk menolak menyerahkan
tanah-tanah mereka kepada pihak perkebunan. Pihak perkebunan menggunakan
mandor-mandornya untuk meneror Barra Tobarani. Apalagi seorang mandor bernama
Lamakking sejak dulu tidak menyukai Barra Tobarani. Dalam hati kecilnya,
Lamakking sesungguhnya membela para petani yang tertindas, tapi ia dendam pada
Barra Tobarani. Sarifah, isteri Barra Tobarani adalah perempuan yang sangat
dicintai oleh Lamakking. Tapi saat itu Sarifah lebih memilih Barra Tobarani,
seorang pemuda kampung yang miskin tapi dikenal sebagai pemuda yang baik dan
berani. Sarifah menampik cinta Lamakking yang turunan bangsawan tapi dikenal
sebagai preman di kampung, Sarifah dan Lamakking sebenarnya masih keluarga
dekat.
Karena mengetahui bahwa Barra
Tobarani dan kawan-kawan bersatu dengan warga untuk mempertahankan tanah
mereka, Lamakking mencoba mendekati Barra Tobarani secara halus. Lamakking
membujuk Barra Tobarani dan kawan-kawan agar menjadi TKI di Malaysia. Bujukan
Lamakking yang merupakan orang keprcayaan pihak perkebunan akhirnya sedikit
demi sedikit meluluhkan hati Barra Tobarani dan kawan-kawan. Apalagi keadaan petani
di sekitar perkebunan memang sangat miskin. Maka untuk mengubah hidup mereka
lebih baik menjadi TKI saja. Sesungguhnya Lamakking dan pihak perkebunan fokus
merayu Barra Tobarani dan isterinya agar mau menjadi TKI di Malaysia. Menurut
perhitungan Lamakking dan pihak perkebunan, kalau Barra Tobarani sudah pergi ke
Malaysia maka para petani tidak ada lagi berani melawan pihak perkebunan.
Dengan alasan untuk biaya sekolah
anak-anaknya kelak, Barra Tobarani akhirnya memutuskan akan menjadi TKI di
Malaysia. Ia memang berpikiran kalau tetap tinggal di kampung dengan tanah yang
tak seberapa luas maka penghidupannya tidak akan berubah, kelak anak-anaknya
tidak bisa bersekolah seperti halnya dirinya karena tidak ada biaya sekolah.
Tetapi Barra Tobarani tetap tidak akan menjual tanahnya kepada pihak
perkebunan. Ia pun meminta kepada seluruh kawan-kawannya agar jangan menjual
tanah-tanah mereka. Menurutnya menjual tanah-tanah mereka maka sama saja dengan
membunuh kampung mereka. Karena kelak kampung mereka akan beralih fungsi
menjadi lahan perkebunan milik kaum bermodal.
Keberangkatan Barra Tobarani dan
isterinya ke Sabah Malaysia diurus dan dibiayai oleh Lamakking. Selain bekerja
sebagai mandor, Lamakking juga bekerja sebagai penyalur TKI ilegal ke Malaysia.
Di saat Barra Tobarani akan
berangkat ke Malaysia, ibu Barra Tobarani sakit keras. Barra Tobarani tidak mau
meninggalkan ibunya yang sangat ia cintai, apalagi ia dibesarkan oleh ibunya
dengan status single-parent karena ayahnya meninggal dunia semasa ia
masih kecil. Lamakking ngotot agar Barra Tobarani dan Sarifah tetap berangkat
ke Malaysia karena ia sudah mempersiapkan segala keperluan keduanya. Agar
Lamakking tidak mengalami kerugian yang banyak, Barra Tobarani menganjurkan
Sarifah tetap berangkat, ia akan menyusul kemudian setelah ibunya sembuh.
Lamakking sangat senang dengan ide
Barra Tobarani yang menganjurkan isterinya tetap berangkat. Bahkan keadaan
seperti itulah sebenarnya yang sangat diinginkan oleh Lamakking. Bahkan ia
sudah punya rencana tersendiri. Lamakking memang tidak pernah kehabisan akal.
Akhirnya Sarifah dan kawan-kawan
tiba di Malaysia atas jasa Lamakking. Rombongan Sarifah dan kawan-kawan
ditempatkan di daerah sangat terpencil di kawasan Sabah, Malaysia. Rombongan
Sarifah dan kawan-kawan hanya bisa berkomunikasi dengan keluarga mereka di
kampung halaman dengan perantaraan Lamakking dan orang-orang kepercayaannya.
Sementara Barra Tobarani di
Bulukumba semakin berduka cita, ibu yang sangat dicintainya meninggal dunia.
Dan berita yang paling membuat Barra Tobarani kemudian semakin berduka adalah
berita yang dibawa oleh Lamakking dari Malaysia bahwa Sarifah, isterinya, di
Malaysia diculik dan kemungkinannya sudah meninggal dunia karena ia sudah
mencarinya tetapi Sarifah tidak ditemukan. Barra Tobarani pun tidak sanggup
berangkat ke Malaysia untuk mencari isterinya karena ia tidak punya biaya,
apalagi Lamakking memang berusaha keras agar Barra Tobarani tidak perlu
berangkat ke Malaysia karena hanya membuang-buang uang saja. Lebih baik Barra
Tobarani mendoakan saja almarhumah isterinya. Bahkan Lamakking berjanji akan
membantu menyekolahkan anak-anak Barra Tobarani dan Sarifah. Hal itu dilakukan
Lamakking sebagai penebus kesalahannya. Karena gara-gara dirinyalah yang ngotot
sehingga Sarifah berangkat ke Malaysia tanpa kepergian suaminya.
Barra Tobarani mengiyakan maksud
baik Lamakking, bahkan ia berterima kasih pada Lamakking yang mau membiayai
sekolah anak-anaknya. Sama sekali Barra Tobarani tidak curiga dengan niat jahat
Lamakking. Karena sesungguhnya ia hanya berbohong kalau Sarifah sudah meninggal
dunia.
Lamakking memang diam-diam menyusun
rencana busuk untuk mendapatkan kembali Sarifah. Melalui orang-orang
kepercayaannya, Lamakking menculik Sarifah dengan diam-diam. Sarifah sebenarnya
diambil baik-baik. Kala itu Sarifah berada seorang diri di barak TKI, saat itu
Sarifah tidak bekerja karena kurang sehat. Saat itulah orang kepercayaan
Lamakking datang memberitahukan kabar pada Sarifah bahwa Barra Tobarani
meninggal di kampung. Orang tersebut bermaksud menjemput Sarifah untuk segera
pulang ke Indonesia. Sarifah akan dijemput oleh Lamakking di Nunukan lalu
bersama-sama pulang ke Bulukumba. Sarifah saat itu sangat sedih dan kaget, ia
langsung pulang tanpa sempat memberitahu rekan-rekannya sesama TKI/TKW.
Setiba di Nunukan, Sarifah bertemu dengan
Lamakking. Sarifah lalu meminta Lamakking untuk segera mengantarnya pulang ke
Bulukumba. Lamakking yang memang sangat mencintai Sarifah mulai menancapkan
kuku-kuku rayuannya. Lamakking membujuknya agar tidak perlu pulang ke Bulukumba
karena Barra Tobarani sudah dua minggu dikuburkan. Lamakking pun berjanji akan
membiayai sekolah anak-anaknya di kampung. Di saat itu pula Lamakking
mengungkapkan perasaannya bahwa ia sangat mencintai Sarifah dan akan
menikahinya. Meski Sarifah terus menolak, Lamakking tidak pernah kehabisan
akal. Akhirnya Sarifah takluk dengan segala rayuan dan janji Lamakking. Sarifah
berpikir untuk apa menolak lamaran dan cinta Lamakking, apalagi ia hanyalah
seorang janda. Bahkan jauh dalam relung hatinya, Sarifah sangat bangga mendapatkan
cinta Lamakking. Lamakking memang sangat mencintai Sarifah hingga ia rela
menjadi bujang lapuk. Dan yang paling membuat Sarifah tak mampu menampik cinta
Lamakking karena Lamakking memang sudah menjadi idola gadis-gadis dan perempuan
sesamanya TKW. Lamakking adalah pemuda, walau cukup berumur, tapi tetap nampak
ganteng serupa Rano Karno. Lamakking pun sudah menjadi kaya.
Lamakking pun menikahi Sarifah, lalu
membawa Sarifah tinggal di Bontang. Lamakking membangunkan rumah mewah untuk
isterinya. Sarifah hidup bahagia bersama dengan Lamakking. Di mata Sarifah,
Lamakking benar-benar pria bertanggung jawab. Karena sudah silau dengan harta
dan benda pula, Sarifah kadang menyesal mengapa bukan sejak dulu ia menikah
dengan Lamakking. Tapi Sarifah juga tidak mau menyesali karena menikah dengan
sosok lelaki macam Barra Tobarani. Meski dibenaknya suaminya sudah meninggal
dunia, ia tetap mencintai suaminya.
Sejak
menikahi Sarifah dan tinggal di Bontang, Lamakking hanya sebulan sekali pulang
ke Indonesia atau pergi ke Malaysia. Untuk bisnis penyalur TKI illegal,
Lamakking menggunakan orang-orang dekatnya.
Ketika pulang ke Bulukumba,
Lamakking yang sudah tidak menjadi mandor lagi di perkebunan mulai berbalik
arah mendukung perjuangan petani dibawah LSM Tobarani yang dipimpin oleh Barra
Tobarani. Bahkan Lamakking memberikan bantuan finansial kepada LSM Tobarani
yang dipimpin oleh Barra Tobarani. Lamakking yang dulu menjadi musuh para
petani berubah menjadi pahlawan. Barra Tobarani pun mulai kagum dengan
Lamakking.
Atas dukungan moral dan finansial
dari Lamakking, Barra Tobarani dan kawan-kawan semakin berani melawan pihak
perkebunan. Bahkan Barra Tobarani membuat target untuk merebut kembali tanah
mereka yang sudah terlanjur direbut oleh pihak perkebunan. Pada suatu hari,
Barra Tobarani dan kawan-kawan menjalankan aksinya untuk mengambil tanah mereka
yang sudah dicaplok oleh pihak perkebunan. Pihak perkebunan dengan dibantu oleh
aparat keamanan mencoba menghalau para petani. Barra Tobarani dan kawan-kawan
melakukan perlawanan. Dalam peristiwa itu, akhirnya Barra Tobarani dan temannya
Sallasa Tomacca meninggal dunia karena terkena peluru tajam oleh aparat
keamanan. Meski sangat bersedih atas kejadian itu, diam-diam Lamakking
tersenyum karena Barra Tobarani yang sudah lama ia isukan meninggal dunia,
bahkan ia sudah rebut isterinya akhirnya benar-benar meninggal dunia. Namun
Lamakking tetap melanjutkan aktingnya, ia terus memprakarsai dan menuntut bahwa
kasus meninggalnya Barra Tobarani dan Sallasa Tomacca adalah pelanggaran HAM
berat.
Waktu terus berjalan. Sementara itu,
Haji Hamide, yang dulunya juga adalah penyalur TKI ilegal yang akhirnya memilih
profesi lain karena tidak bisa bersaing dengan Lamakking. Haji Hamide mencoba
berdagang antar pulau bahkan antar negara. Ia bolak-balik antara Bulukumba –
Pare-Pare – Nunukan – Sabah. Anak-anak Haji Hamide yang sudah menikah tinggal
di tempat yang berbeda-beda. Bahkan seorang putrinya yang bersuamikan dengan
pemuda dari pulau Jawa tinggal di Bontang. Dari anak dan menantunya, Haji
Hamide mendengar kabar bahwa Lamakking sudah menikah dengan seorang perempuan
cantik.
Pada suatu ketika Haji Hamide
mengunjungi anaknya di Bontang. Dan betapa terkejutnya Haji Hamide karena
ternyata isteri Lamakking adalah Sarifah. Isteri dari almarhum Barra Tobarani.
Namun ada yang janggal dibenak Haji Hamide, karena Barra Tobarani meninggal
dunia baru setahun silam, padahal menurut pengakuan Sarifah ia menikah dengan
Lamakking sejak lima tahun silam setelah suaminya meninggal dunia.
Pada saat perjumpaan Haji Hamide dan
Sarifah, Lamakking sedang berada di Malaysia mengurusi bisnis penyaluran TKI
ilegal. Sarifah pun tidak bisa menahan kesedihan dan kekagetannya atas segala
peristiwa yang menimpanya. Dan yang paling menusuk-nusuk ulu hatinya karena ternyata
ia dinikahi oleh Lamakking ketika suaminya masih segar bugar di Bulukumba.
Sarifah pun menghembuskan nafas terakhir karena tak sanggup menahan derita dan
kesedihannya. Lamakking hadir di saat pemakaman isterinya. Ia pun teramat
sedih. Pada pertemuan itu, Haji Hamide mencoba menghindar dari Lamakking.
Lamakking mengira Haji Hamide masih tidak suka pada dirinya yang dulu
saingannya dalam bisnis penyaluran TKI. Lamakking tidak sadar bahwa
sesungguhnya Haji Hamide tidak suka pada dirinya karena ulahnya yang telah
menikahi isteri orang. Tapi Haji Hamide tidak mau berurusan panjang, apalagi
Barra Tobarani dan Sarifah sudah meninggal dunia. Haji Hamide tidak bermaksud
membuka rahasia jahat Lamakking. Hanya saja Haji Hamide ingin mengultimatum
Lamakking agar bertanggung jawab dengan nasib anak-anak almarhum Barra Tobarani
dan almarhumah Sarifah.
MENCARI JEJAK “NEGERI CINA” DALAM KITAB SASTRA LA
GALIGO
Oleh: dul abdul rahman
(Sastrawan
dan peneliti budaya, penulis novel “La Galigo”)
Semula
saya tertarik mengadaptasi Kitab Sastra La Galigo kedalam bentuk novel yang easy
reading karena dua hal. Pertama, saya “terprovokasi” oleh tulisan Nirwan
Ahmad Arsuka, “Kesakralan Sureq Galigo yang membuatnya tak dapat diakses oleh
sembarang orang, tampaknya memang harus disembelih dan dikorbankan. Kesakralan
itu perlu dibunuh agar seperti We Oddang Nriuq yang meninggal tujuh hari
setelah dilahirkan dan menjelma Sangiang Serri, dari tubuhnya tumbuh padi yang
akan menghidupi manusia beribu tahun,… wujud yang paling sederhana adalah
penulisan ulang dalam bentuk novel.” Kedua, saya selalu ditagih oleh
kawan-kawan yang berada di Tana Jawa yang ingin mengetahui kehebatan
Sawerigading. Rupanya kisah Sawerigading ketika menaklukkan Banynyaq Paguling
dari Manynyapaiq (Majapahit) juga menjadi cerita yang turun-temurun di Tana
Jawa. Lalu setelah novel La Galigo diterbitkan oleh Diva Press Yogyakarta, maka
pertanyaan yang muncul adalah tentang setting Negeri Cina. Apakah setting
tersebut mengacu ke Negeri Cina yang sesungguhnya?
Memang,
setting Cina dalam La Galigo selalu menjadi perdebatan apakah benar-benar
mengacu ke Negeri Cina yang sesungguhnya, atau hanya mengacu ke Cina yang ada
di Bone ataupun di Wajo. Menurut Nurhayati Rahman, penyebab terjadinya kontroversi
tersebut disebabkan oleh dua hal, pertama, pada umumnya orang meletakkan La
Galigo sebagai karya sejarah; kedua, pendekatan tersebut tidak didahului oleh
pendekatan filologi melalui kritik teks dan telaah naskah.
Begitulah,
menurut Nurhayati Rahman, para peneliti La Galigo selalu menganggap bahwa
teks-teks La Galigo adalah kenyataan sejarah, sehingga selalu mencoba
mencocokkan setting yang tertera dalam La Galigo ke dalam dunia nyata. Menurut
pengamatan penulis sendiri, pendapat para peneliti yang bervariasi tentang
latar Negeri Cina menunjukkan bahwa teks-teks La Galigo adalah teks sastra yang
polyinterpretable. Itulah dunia sastra yang multitafsir.
Latar Cina mengacu ke Negeri Cina
Pendapat pertama adalah latar Negeri
Cina mengacu kepada Negeri Cina yang sesungguhnya. pendapat ini berdasarkan
atas perjalanan Sawerigading dari Ale Luwuq ke Negeri Cina selama
berbulan-bulan. Kalau saja Negeri Cina hanya berada di Sulawesi
maka tidak dibutuhkan pelayaran selama berbulan-bulan. Alasan lainnya adalah
selama pelayaran ke Negeri Cina, pasukan Sawerigading dibawah komando La
Pananrang dan La Massaguni melakukan pertempuran di laut selama tujuh kali
sebelum sampai di Negeri Cina.
Dan pertempuran pertama adalah
pasukan Sawerigading melawan pasukan Banynyaq Paguling dari Majapahit. Pasukan
Sawerigading juga melakukan pertempuran dengan pasukan La Tuppuq Gellang dari
Jawa ri Aja (Jawa Barat, kemungkinan dari kerajaan Pajajaran).
Data selanjutnya yang menunjukkan
bahwa Sawerigading menuju Negeri Cina, setelah menaklukkan Banynyak Paguling
dan La Tuppuq Gellang, serta La Tuppuq Soloq, La Togeq Tana, dan La Tenripulaq,
pasukan Sawerigading bergegas ke utara menuju Laut Cina Selatan sehingga
bertemu dengan pasukan La Tenrinyiwiq dari Malaka.
Latar Cina Mengacu ke Cina di Wajo
Sebagian peneliti berpendapat bahwa
latar Negeri Cina bukan mengacu ke Negeri Cina yang sesungguhnya, tetapi
mengacu kepada Cina yang ada di Wajo. Bahkan Andi Zainal Abidin (Nurhayati Rahman,
2006: 420) yakin bahwa Negeri Cina dalam La Galigo mengacu ke Cina di Kecamatan
Pammanna, Kabupaten Sengkang. Hal ini berdasarkan silsilah raja Cina yang ada
di Pammanna.
Data dalam La Galigo yang mendukung
pendapat ini adalah ketika putri Sawerigading dan I We Cudaiq bernama I We
Tenridio sakit keras, menurut para dukun istana dan Puang Matowa, bahwa I We
Tenridio hanya bisa disembuhkan dengan peralatan bissu manurung yang ada di Ale
Luwuq. Peralatan bissu tersebut milik saudara kembar Sawerigading We Tenriabeng
yang sudah gaib ke Boting Langiq. Maka Sawerigading pun mengutus I La Galigo
kembali berlayar ke Ale Luwuq untuk mengambil peralatan bissu tersebut. Lalu I
La Galigo dengan dikawal oleh tujuh puluh pengawal khususnya berlayar menuju
Ale Luwuq.
Pelayaran I La Galigo dari Negeri
Cina menuju Ale Luwuq sangat bertolak belakang dari pelayaran Sawerigading dari
Ale Luwuq menuju Negeri Cina. Kalau pelayaran Sawerigading selama
berbulan-bulan, maka pelayaran I La Galigo hanya dalam sehari saja. Padahal
perahu yang mereka tumpangi sama yaitu Perahu Welenrengnge. I La Galigo
meninggalkan Negeri Cina pagi hari dan tiba di Ale Luwuq pada malam hari.
Bahkan sebenarnya I La Galigo bisa berlayar hanya setengah hari seandainya
mereka tidak singgah di Siwa dan Takkebiroq. Dari dua tempat yang singgahi menunjukkan
bahwa Negeri Cina tidak jauh dari Ale Luwuq.
Latar Cina di Kalimantan
Selain dua pendapat di atas, ada
juga pendapat yang mengatakan bahwa Negeri Cina bukan mengacu ke Negeri Cina
yang sesungguhnya dan bukan pula Cina yang ada di Wajo. Pendapat ini didukung
oleh Fachruddin Ambo Enre (Nurhayati Rahman, 2006: 421).
Menurut Fachruddin, Negeri Cina
dalam La Galigo mengacu ke negeri Kinabalu (Kalimantan, bagian Malaysia).
Menurutnya, Kinabalu berasal dari kata Cina Baru. Karena pada umumnya orang
Tionghoa susah melafalkan huruf R maka lama kelamaan Cina Baru menjadi Kina
Balu. Huruf C menjadi huruf K mengikuti ejaan Melayu.
Tidak ada data tersurat dalam La
Galigo yang mendukung pendapat Fachruddin ini. Hanya saja dalam pelayaran
Sawerigading menuju Negeri Cina, ketika pasukan Sawerigading berhasil
mengalahankan pasukan La Tenriniwiq dari Malaka, tak lama kemudian Sawerigading
tiba di Negeri Cina. Jadi kalau kita mengikuti arah pelayaran Sawerigading maka
bisa saja Negeri Cina itu berada di Kalimantan
atau paling jauh di Semenanjung Melayu (Malaysia Barat).
Setting Negeri Cina adalah sebuah
Simbol?
Setelah membandingkan tiga pendapat
di atas yang masing-masing punya alasan, maka penulis berpendapat bahwa
sesungguhnya latar Negeri Cina dalam La Galigo lebih mengacu ke sebuah simbol.
Sebagai sebuah simbol (bisa dibaca: simbol Bugis) maka tentu saja Negeri Cina
mengacu ke Wajo atau Bone.
Menurut hemat penulis, bisa saja
Negeri Cina hanyalah sebuah sebutan untuk menunjukkan bahwa sebuah negeri
dikatakan maju. Apalagi saat itu pelayaran Negeri Cina sudah sangat pesat.
Kalau pendapat penulis ini benar adanya maka akan menguatkan pendapat bahwa
asal-usul manusia Bugis pertama bukan dari Luwu sebagaimana klaim banyak ahli
termasuk dari Belanda yang mencoba menelusuri asal-usul manusia Bugis dari
perspektif La Galigo, tetapi dari Wajo atau Bone.
Dalam data La Galigo, Sawerigading
yang berasal dari Ale Luwuq (Luwu) berlayar Ke Negeri Cina yang sering disebut Tana
Ugiq. Jadi bisa saja Tana Ugiq (Wajo dan Bone) disebut negeri Cina karena sudah
sangat maju menyaingi Ale Luwuq. Nah kalau belakangan muncul pendapat apakah
orang Luwu adalah suku Bugis atau suku Luwu? Maka itu adalah hal yang wajar.
Tetapi harus dicatat bahwa versi La Galigo mengatakan bahwa yang berkuasa di
Ale Luwuq (Luwu) dan Negeri Cina (Bone, dan tana Ugiq lainnya?) adalah
keturunan Sawerigading dan I We Cudaiq, perpaduan Ale Luwuq dan Negeri Cina.
Epilog
Sampai
saat ini perdebatan tentang setting Negeri Cina terus berlanjut. Dan itu
berarti La Galigo akan terus dibicarakan. Bahkan saat ini muncul banyak versi
tentang La Galigo. Karena La Galigo adalah ‘simbol’ orang Bugis, maka di setiap
daerah, baik yang berada di Indonesia ataupun luar negeri, yang mengaku
keturunan orang Bugis maka biasanya cerita La Galigo akan tumbuh. Cerita La
Galigo dengan tokoh utama Sawerigading bisa juga menjadi simbol keheroikan
orang Bugis bukan hanya di lautan tetapi di daratan. Kurru Sumange!dulabdul@gmail.com