PROFESI-UNM.COM - "Dengan delapan novel Bang Dul
masih memiliki energi. Apakah karena gen atau pergaulan yang membuat
bang Dul masih memiliki energi menulis sebanyak itu?" itulah salah satu
pertanyaan yang dilontarkan oleh audience, Andika Mappasomba dalam acara
Makassar Writer Day 2013, yang diselenggarakan oleh Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia UNM, Rabu (21/3).
Menanggapi pertanyaan tersebut, Dul Abdul Rahman sebagai pembicara menjelaskan,
bahwa dirinya selalu memiliki target untuk menyelesaikan tulisan yang ingin
dibuatnya. "Yang membuat saya tetap semangat menulis, karena punya target,
misalkan dalam 1 tahun saya akan selesaikan 2 buku," ungkap sastrawan dan
juga peneliti budaya ini.
Selain itu, pengarang novel Pohon-pohon Rindu ini juga menambahkan,
seorang yang ingin menjadi penulis harus istiqamah. "Istiqamah juga
penting dalam menulis," tuturnya.
Dia juga berpesan agar di Makassar nantinya ada yang menjadi penulis, sebagai
pelanjut estafet. "Harusnya di Makassar ada regenerasi penulis,"
harapnya. (*)
Permasalahan Agraria dalam Novel Sarifah karya
Dul Abdul Rahman: Tinjauan Sosiologi Sastra
(Skripsi Riani Eka Saputri, 2012, STKIP PGRI Pacitan
Jawa Timur)
Abstrak:
Karya
sastra diciptakan oleh pengarang sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasan,
ide, dan pemikiran dengan gambaran-gambaran pengalaman batin yang pernah
dialami oleh pengarang. Peristiwa-peristiwa yang ada dalam kehidupan masyarakat
menjadi dasar olahan pengarang. Sosiologi sastra menganalisis masalah-masalah
social yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian
menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi.
Berdasarkan
latar belakang di atas alasan penulis memilih judul Permasalahan Agraria
Dalam Novel Sarifah Karya Dul Abdul Rahman: Tinjauan Sosiologi Sastra
adalah; 1) untuk mengetahui permasalahan agraria yang terjadi dalam novel Sarifah
karya Dul Abdul Rahman; 2) selain itu, novel Sarifah ini belum ada yang
meneliti maupun menelaah baik dari segi instrinsik maupun ekstrinsiknya.
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui; 1) permasalahan agraria yang terdapat dalam
novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman; 2) dampak permasalahan agrarian
terhadap masyarakat dalam novel Sarifah karya Dul Abdul Rahman. Kedua
hal ini diungkap dengan menggunakan tinjauan sosiologi sastra. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif, maka metode yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Data yang dikumpulkan
berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Teknik pengumpulan data
menggunakan teknik pustaka, simak, dan catat.
Hasil
analisis data dinyimpulkan bahwa: 1) masalah utama dalam novel Sarifah adalah
permasalahan tanah antara petani dengan PT Lonsum. 2) permasalahan agraria yang
terjadi antara petani dengan PT Lonsum disebabkan oleh beberapa hal yaitu tanah
petani diambil secara paksa, rumah-rumah petani dibakar, tanaman jagung petani
dibulldozer, petani disiksa dan ditangkap polisi. 3) dampak permasalahan
agraria terhadap masyarakat yaitu petani merasa sedih kehilangan tanah,
kehilangan rumah. Juga petani mengalami luka-luka, membuat hubungan yang tidak
harmonis antara petani dengan kepala desa, dan dua orang petani yang meninggal
karena mempertahankan tanahnya.
Empat orang petani bernama Barra
Tobarani, Lahajji, Sallasa, dan Mattorang mencoba mempertahankan tanahnya.
Pihak perkebunan karet PT Lonsum (PT London Sumatra) dengan dibantu oleh pemerintah
setempat memang terus mengambil-alih tanah-tanah petani secara paksa. Bukan
hanya itu empat sekawan tersebut mencoba membela petani-petani lainnya yang
tanahnya dirampas oleh pihak perkebunan.
Barra Tobarani yang paling tinggi
sekolahnya di antara petani karena ia adalah jebolan SMA, sedangkan
petani-petani lainnya kebanyakan tidak pernah mengenyam pendidikan,
memprakarsai terbentuknya LSM Tobarani. LSM tersebut berusaha membela hak-hak
petani yang tertindas. Keberanian empat sekawan yang dipimpin oleh Barra
Tobarani mendapat simpati dan dukungan dari warga.
Pihak perkebunan tidak tinggal diam
dengan usaha-usaha Barra Tobarani dan kawan-kawan untuk menolak menyerahkan
tanah-tanah mereka kepada pihak perkebunan. Pihak perkebunan menggunakan
mandor-mandornya untuk meneror Barra Tobarani. Apalagi seorang mandor bernama
Lamakking sejak dulu tidak menyukai Barra Tobarani. Dalam hati kecilnya,
Lamakking sesungguhnya membela para petani yang tertindas, tapi ia dendam pada
Barra Tobarani. Sarifah, isteri Barra Tobarani adalah perempuan yang sangat
dicintai oleh Lamakking. Tapi saat itu Sarifah lebih memilih Barra Tobarani,
seorang pemuda kampung yang miskin tapi dikenal sebagai pemuda yang baik dan
berani. Sarifah menampik cinta Lamakking yang turunan bangsawan tapi dikenal
sebagai preman di kampung, Sarifah dan Lamakking sebenarnya masih keluarga
dekat.
Karena mengetahui bahwa Barra
Tobarani dan kawan-kawan bersatu dengan warga untuk mempertahankan tanah
mereka, Lamakking mencoba mendekati Barra Tobarani secara halus. Lamakking
membujuk Barra Tobarani dan kawan-kawan agar menjadi TKI di Malaysia. Bujukan
Lamakking yang merupakan orang keprcayaan pihak perkebunan akhirnya sedikit
demi sedikit meluluhkan hati Barra Tobarani dan kawan-kawan. Apalagi keadaan petani
di sekitar perkebunan memang sangat miskin. Maka untuk mengubah hidup mereka
lebih baik menjadi TKI saja. Sesungguhnya Lamakking dan pihak perkebunan fokus
merayu Barra Tobarani dan isterinya agar mau menjadi TKI di Malaysia. Menurut
perhitungan Lamakking dan pihak perkebunan, kalau Barra Tobarani sudah pergi ke
Malaysia maka para petani tidak ada lagi berani melawan pihak perkebunan.
Dengan alasan untuk biaya sekolah
anak-anaknya kelak, Barra Tobarani akhirnya memutuskan akan menjadi TKI di
Malaysia. Ia memang berpikiran kalau tetap tinggal di kampung dengan tanah yang
tak seberapa luas maka penghidupannya tidak akan berubah, kelak anak-anaknya
tidak bisa bersekolah seperti halnya dirinya karena tidak ada biaya sekolah.
Tetapi Barra Tobarani tetap tidak akan menjual tanahnya kepada pihak
perkebunan. Ia pun meminta kepada seluruh kawan-kawannya agar jangan menjual
tanah-tanah mereka. Menurutnya menjual tanah-tanah mereka maka sama saja dengan
membunuh kampung mereka. Karena kelak kampung mereka akan beralih fungsi
menjadi lahan perkebunan milik kaum bermodal.
Keberangkatan Barra Tobarani dan
isterinya ke Sabah Malaysia diurus dan dibiayai oleh Lamakking. Selain bekerja
sebagai mandor, Lamakking juga bekerja sebagai penyalur TKI ilegal ke Malaysia.
Di saat Barra Tobarani akan
berangkat ke Malaysia, ibu Barra Tobarani sakit keras. Barra Tobarani tidak mau
meninggalkan ibunya yang sangat ia cintai, apalagi ia dibesarkan oleh ibunya
dengan status single-parent karena ayahnya meninggal dunia semasa ia
masih kecil. Lamakking ngotot agar Barra Tobarani dan Sarifah tetap berangkat
ke Malaysia karena ia sudah mempersiapkan segala keperluan keduanya. Agar
Lamakking tidak mengalami kerugian yang banyak, Barra Tobarani menganjurkan
Sarifah tetap berangkat, ia akan menyusul kemudian setelah ibunya sembuh.
Lamakking sangat senang dengan ide
Barra Tobarani yang menganjurkan isterinya tetap berangkat. Bahkan keadaan
seperti itulah sebenarnya yang sangat diinginkan oleh Lamakking. Bahkan ia
sudah punya rencana tersendiri. Lamakking memang tidak pernah kehabisan akal.
Akhirnya Sarifah dan kawan-kawan
tiba di Malaysia atas jasa Lamakking. Rombongan Sarifah dan kawan-kawan
ditempatkan di daerah sangat terpencil di kawasan Sabah, Malaysia. Rombongan
Sarifah dan kawan-kawan hanya bisa berkomunikasi dengan keluarga mereka di
kampung halaman dengan perantaraan Lamakking dan orang-orang kepercayaannya.
Sementara Barra Tobarani di
Bulukumba semakin berduka cita, ibu yang sangat dicintainya meninggal dunia.
Dan berita yang paling membuat Barra Tobarani kemudian semakin berduka adalah
berita yang dibawa oleh Lamakking dari Malaysia bahwa Sarifah, isterinya, di
Malaysia diculik dan kemungkinannya sudah meninggal dunia karena ia sudah
mencarinya tetapi Sarifah tidak ditemukan. Barra Tobarani pun tidak sanggup
berangkat ke Malaysia untuk mencari isterinya karena ia tidak punya biaya,
apalagi Lamakking memang berusaha keras agar Barra Tobarani tidak perlu
berangkat ke Malaysia karena hanya membuang-buang uang saja. Lebih baik Barra
Tobarani mendoakan saja almarhumah isterinya. Bahkan Lamakking berjanji akan
membantu menyekolahkan anak-anak Barra Tobarani dan Sarifah. Hal itu dilakukan
Lamakking sebagai penebus kesalahannya. Karena gara-gara dirinyalah yang ngotot
sehingga Sarifah berangkat ke Malaysia tanpa kepergian suaminya.
Barra Tobarani mengiyakan maksud
baik Lamakking, bahkan ia berterima kasih pada Lamakking yang mau membiayai
sekolah anak-anaknya. Sama sekali Barra Tobarani tidak curiga dengan niat jahat
Lamakking. Karena sesungguhnya ia hanya berbohong kalau Sarifah sudah meninggal
dunia.
Lamakking memang diam-diam menyusun
rencana busuk untuk mendapatkan kembali Sarifah. Melalui orang-orang
kepercayaannya, Lamakking menculik Sarifah dengan diam-diam. Sarifah sebenarnya
diambil baik-baik. Kala itu Sarifah berada seorang diri di barak TKI, saat itu
Sarifah tidak bekerja karena kurang sehat. Saat itulah orang kepercayaan
Lamakking datang memberitahukan kabar pada Sarifah bahwa Barra Tobarani
meninggal di kampung. Orang tersebut bermaksud menjemput Sarifah untuk segera
pulang ke Indonesia. Sarifah akan dijemput oleh Lamakking di Nunukan lalu
bersama-sama pulang ke Bulukumba. Sarifah saat itu sangat sedih dan kaget, ia
langsung pulang tanpa sempat memberitahu rekan-rekannya sesama TKI/TKW.
Setiba di Nunukan, Sarifah bertemu dengan
Lamakking. Sarifah lalu meminta Lamakking untuk segera mengantarnya pulang ke
Bulukumba. Lamakking yang memang sangat mencintai Sarifah mulai menancapkan
kuku-kuku rayuannya. Lamakking membujuknya agar tidak perlu pulang ke Bulukumba
karena Barra Tobarani sudah dua minggu dikuburkan. Lamakking pun berjanji akan
membiayai sekolah anak-anaknya di kampung. Di saat itu pula Lamakking
mengungkapkan perasaannya bahwa ia sangat mencintai Sarifah dan akan
menikahinya. Meski Sarifah terus menolak, Lamakking tidak pernah kehabisan
akal. Akhirnya Sarifah takluk dengan segala rayuan dan janji Lamakking. Sarifah
berpikir untuk apa menolak lamaran dan cinta Lamakking, apalagi ia hanyalah
seorang janda. Bahkan jauh dalam relung hatinya, Sarifah sangat bangga mendapatkan
cinta Lamakking. Lamakking memang sangat mencintai Sarifah hingga ia rela
menjadi bujang lapuk. Dan yang paling membuat Sarifah tak mampu menampik cinta
Lamakking karena Lamakking memang sudah menjadi idola gadis-gadis dan perempuan
sesamanya TKW. Lamakking adalah pemuda, walau cukup berumur, tapi tetap nampak
ganteng serupa Rano Karno. Lamakking pun sudah menjadi kaya.
Lamakking pun menikahi Sarifah, lalu
membawa Sarifah tinggal di Bontang. Lamakking membangunkan rumah mewah untuk
isterinya. Sarifah hidup bahagia bersama dengan Lamakking. Di mata Sarifah,
Lamakking benar-benar pria bertanggung jawab. Karena sudah silau dengan harta
dan benda pula, Sarifah kadang menyesal mengapa bukan sejak dulu ia menikah
dengan Lamakking. Tapi Sarifah juga tidak mau menyesali karena menikah dengan
sosok lelaki macam Barra Tobarani. Meski dibenaknya suaminya sudah meninggal
dunia, ia tetap mencintai suaminya.
Sejak
menikahi Sarifah dan tinggal di Bontang, Lamakking hanya sebulan sekali pulang
ke Indonesia atau pergi ke Malaysia. Untuk bisnis penyalur TKI illegal,
Lamakking menggunakan orang-orang dekatnya.
Ketika pulang ke Bulukumba,
Lamakking yang sudah tidak menjadi mandor lagi di perkebunan mulai berbalik
arah mendukung perjuangan petani dibawah LSM Tobarani yang dipimpin oleh Barra
Tobarani. Bahkan Lamakking memberikan bantuan finansial kepada LSM Tobarani
yang dipimpin oleh Barra Tobarani. Lamakking yang dulu menjadi musuh para
petani berubah menjadi pahlawan. Barra Tobarani pun mulai kagum dengan
Lamakking.
Atas dukungan moral dan finansial
dari Lamakking, Barra Tobarani dan kawan-kawan semakin berani melawan pihak
perkebunan. Bahkan Barra Tobarani membuat target untuk merebut kembali tanah
mereka yang sudah terlanjur direbut oleh pihak perkebunan. Pada suatu hari,
Barra Tobarani dan kawan-kawan menjalankan aksinya untuk mengambil tanah mereka
yang sudah dicaplok oleh pihak perkebunan. Pihak perkebunan dengan dibantu oleh
aparat keamanan mencoba menghalau para petani. Barra Tobarani dan kawan-kawan
melakukan perlawanan. Dalam peristiwa itu, akhirnya Barra Tobarani dan temannya
Sallasa Tomacca meninggal dunia karena terkena peluru tajam oleh aparat
keamanan. Meski sangat bersedih atas kejadian itu, diam-diam Lamakking
tersenyum karena Barra Tobarani yang sudah lama ia isukan meninggal dunia,
bahkan ia sudah rebut isterinya akhirnya benar-benar meninggal dunia. Namun
Lamakking tetap melanjutkan aktingnya, ia terus memprakarsai dan menuntut bahwa
kasus meninggalnya Barra Tobarani dan Sallasa Tomacca adalah pelanggaran HAM
berat.
Waktu terus berjalan. Sementara itu,
Haji Hamide, yang dulunya juga adalah penyalur TKI ilegal yang akhirnya memilih
profesi lain karena tidak bisa bersaing dengan Lamakking. Haji Hamide mencoba
berdagang antar pulau bahkan antar negara. Ia bolak-balik antara Bulukumba –
Pare-Pare – Nunukan – Sabah. Anak-anak Haji Hamide yang sudah menikah tinggal
di tempat yang berbeda-beda. Bahkan seorang putrinya yang bersuamikan dengan
pemuda dari pulau Jawa tinggal di Bontang. Dari anak dan menantunya, Haji
Hamide mendengar kabar bahwa Lamakking sudah menikah dengan seorang perempuan
cantik.
Pada suatu ketika Haji Hamide
mengunjungi anaknya di Bontang. Dan betapa terkejutnya Haji Hamide karena
ternyata isteri Lamakking adalah Sarifah. Isteri dari almarhum Barra Tobarani.
Namun ada yang janggal dibenak Haji Hamide, karena Barra Tobarani meninggal
dunia baru setahun silam, padahal menurut pengakuan Sarifah ia menikah dengan
Lamakking sejak lima tahun silam setelah suaminya meninggal dunia.
Pada saat perjumpaan Haji Hamide dan
Sarifah, Lamakking sedang berada di Malaysia mengurusi bisnis penyaluran TKI
ilegal. Sarifah pun tidak bisa menahan kesedihan dan kekagetannya atas segala
peristiwa yang menimpanya. Dan yang paling menusuk-nusuk ulu hatinya karena ternyata
ia dinikahi oleh Lamakking ketika suaminya masih segar bugar di Bulukumba.
Sarifah pun menghembuskan nafas terakhir karena tak sanggup menahan derita dan
kesedihannya. Lamakking hadir di saat pemakaman isterinya. Ia pun teramat
sedih. Pada pertemuan itu, Haji Hamide mencoba menghindar dari Lamakking.
Lamakking mengira Haji Hamide masih tidak suka pada dirinya yang dulu
saingannya dalam bisnis penyaluran TKI. Lamakking tidak sadar bahwa
sesungguhnya Haji Hamide tidak suka pada dirinya karena ulahnya yang telah
menikahi isteri orang. Tapi Haji Hamide tidak mau berurusan panjang, apalagi
Barra Tobarani dan Sarifah sudah meninggal dunia. Haji Hamide tidak bermaksud
membuka rahasia jahat Lamakking. Hanya saja Haji Hamide ingin mengultimatum
Lamakking agar bertanggung jawab dengan nasib anak-anak almarhum Barra Tobarani
dan almarhumah Sarifah.
MENCARI JEJAK “NEGERI CINA” DALAM KITAB SASTRA LA
GALIGO
Oleh: dul abdul rahman
(Sastrawan
dan peneliti budaya, penulis novel “La Galigo”)
Semula
saya tertarik mengadaptasi Kitab Sastra La Galigo kedalam bentuk novel yang easy
reading karena dua hal. Pertama, saya “terprovokasi” oleh tulisan Nirwan
Ahmad Arsuka, “Kesakralan Sureq Galigo yang membuatnya tak dapat diakses oleh
sembarang orang, tampaknya memang harus disembelih dan dikorbankan. Kesakralan
itu perlu dibunuh agar seperti We Oddang Nriuq yang meninggal tujuh hari
setelah dilahirkan dan menjelma Sangiang Serri, dari tubuhnya tumbuh padi yang
akan menghidupi manusia beribu tahun,… wujud yang paling sederhana adalah
penulisan ulang dalam bentuk novel.” Kedua, saya selalu ditagih oleh
kawan-kawan yang berada di Tana Jawa yang ingin mengetahui kehebatan
Sawerigading. Rupanya kisah Sawerigading ketika menaklukkan Banynyaq Paguling
dari Manynyapaiq (Majapahit) juga menjadi cerita yang turun-temurun di Tana
Jawa. Lalu setelah novel La Galigo diterbitkan oleh Diva Press Yogyakarta, maka
pertanyaan yang muncul adalah tentang setting Negeri Cina. Apakah setting
tersebut mengacu ke Negeri Cina yang sesungguhnya?
Memang,
setting Cina dalam La Galigo selalu menjadi perdebatan apakah benar-benar
mengacu ke Negeri Cina yang sesungguhnya, atau hanya mengacu ke Cina yang ada
di Bone ataupun di Wajo. Menurut Nurhayati Rahman, penyebab terjadinya kontroversi
tersebut disebabkan oleh dua hal, pertama, pada umumnya orang meletakkan La
Galigo sebagai karya sejarah; kedua, pendekatan tersebut tidak didahului oleh
pendekatan filologi melalui kritik teks dan telaah naskah.
Begitulah,
menurut Nurhayati Rahman, para peneliti La Galigo selalu menganggap bahwa
teks-teks La Galigo adalah kenyataan sejarah, sehingga selalu mencoba
mencocokkan setting yang tertera dalam La Galigo ke dalam dunia nyata. Menurut
pengamatan penulis sendiri, pendapat para peneliti yang bervariasi tentang
latar Negeri Cina menunjukkan bahwa teks-teks La Galigo adalah teks sastra yang
polyinterpretable. Itulah dunia sastra yang multitafsir.
Latar Cina mengacu ke Negeri Cina
Pendapat pertama adalah latar Negeri
Cina mengacu kepada Negeri Cina yang sesungguhnya. pendapat ini berdasarkan
atas perjalanan Sawerigading dari Ale Luwuq ke Negeri Cina selama
berbulan-bulan. Kalau saja Negeri Cina hanya berada di Sulawesi
maka tidak dibutuhkan pelayaran selama berbulan-bulan. Alasan lainnya adalah
selama pelayaran ke Negeri Cina, pasukan Sawerigading dibawah komando La
Pananrang dan La Massaguni melakukan pertempuran di laut selama tujuh kali
sebelum sampai di Negeri Cina.
Dan pertempuran pertama adalah
pasukan Sawerigading melawan pasukan Banynyaq Paguling dari Majapahit. Pasukan
Sawerigading juga melakukan pertempuran dengan pasukan La Tuppuq Gellang dari
Jawa ri Aja (Jawa Barat, kemungkinan dari kerajaan Pajajaran).
Data selanjutnya yang menunjukkan
bahwa Sawerigading menuju Negeri Cina, setelah menaklukkan Banynyak Paguling
dan La Tuppuq Gellang, serta La Tuppuq Soloq, La Togeq Tana, dan La Tenripulaq,
pasukan Sawerigading bergegas ke utara menuju Laut Cina Selatan sehingga
bertemu dengan pasukan La Tenrinyiwiq dari Malaka.
Latar Cina Mengacu ke Cina di Wajo
Sebagian peneliti berpendapat bahwa
latar Negeri Cina bukan mengacu ke Negeri Cina yang sesungguhnya, tetapi
mengacu kepada Cina yang ada di Wajo. Bahkan Andi Zainal Abidin (Nurhayati Rahman,
2006: 420) yakin bahwa Negeri Cina dalam La Galigo mengacu ke Cina di Kecamatan
Pammanna, Kabupaten Sengkang. Hal ini berdasarkan silsilah raja Cina yang ada
di Pammanna.
Data dalam La Galigo yang mendukung
pendapat ini adalah ketika putri Sawerigading dan I We Cudaiq bernama I We
Tenridio sakit keras, menurut para dukun istana dan Puang Matowa, bahwa I We
Tenridio hanya bisa disembuhkan dengan peralatan bissu manurung yang ada di Ale
Luwuq. Peralatan bissu tersebut milik saudara kembar Sawerigading We Tenriabeng
yang sudah gaib ke Boting Langiq. Maka Sawerigading pun mengutus I La Galigo
kembali berlayar ke Ale Luwuq untuk mengambil peralatan bissu tersebut. Lalu I
La Galigo dengan dikawal oleh tujuh puluh pengawal khususnya berlayar menuju
Ale Luwuq.
Pelayaran I La Galigo dari Negeri
Cina menuju Ale Luwuq sangat bertolak belakang dari pelayaran Sawerigading dari
Ale Luwuq menuju Negeri Cina. Kalau pelayaran Sawerigading selama
berbulan-bulan, maka pelayaran I La Galigo hanya dalam sehari saja. Padahal
perahu yang mereka tumpangi sama yaitu Perahu Welenrengnge. I La Galigo
meninggalkan Negeri Cina pagi hari dan tiba di Ale Luwuq pada malam hari.
Bahkan sebenarnya I La Galigo bisa berlayar hanya setengah hari seandainya
mereka tidak singgah di Siwa dan Takkebiroq. Dari dua tempat yang singgahi menunjukkan
bahwa Negeri Cina tidak jauh dari Ale Luwuq.
Latar Cina di Kalimantan
Selain dua pendapat di atas, ada
juga pendapat yang mengatakan bahwa Negeri Cina bukan mengacu ke Negeri Cina
yang sesungguhnya dan bukan pula Cina yang ada di Wajo. Pendapat ini didukung
oleh Fachruddin Ambo Enre (Nurhayati Rahman, 2006: 421).
Menurut Fachruddin, Negeri Cina
dalam La Galigo mengacu ke negeri Kinabalu (Kalimantan, bagian Malaysia).
Menurutnya, Kinabalu berasal dari kata Cina Baru. Karena pada umumnya orang
Tionghoa susah melafalkan huruf R maka lama kelamaan Cina Baru menjadi Kina
Balu. Huruf C menjadi huruf K mengikuti ejaan Melayu.
Tidak ada data tersurat dalam La
Galigo yang mendukung pendapat Fachruddin ini. Hanya saja dalam pelayaran
Sawerigading menuju Negeri Cina, ketika pasukan Sawerigading berhasil
mengalahankan pasukan La Tenriniwiq dari Malaka, tak lama kemudian Sawerigading
tiba di Negeri Cina. Jadi kalau kita mengikuti arah pelayaran Sawerigading maka
bisa saja Negeri Cina itu berada di Kalimantan
atau paling jauh di Semenanjung Melayu (Malaysia Barat).
Setting Negeri Cina adalah sebuah
Simbol?
Setelah membandingkan tiga pendapat
di atas yang masing-masing punya alasan, maka penulis berpendapat bahwa
sesungguhnya latar Negeri Cina dalam La Galigo lebih mengacu ke sebuah simbol.
Sebagai sebuah simbol (bisa dibaca: simbol Bugis) maka tentu saja Negeri Cina
mengacu ke Wajo atau Bone.
Menurut hemat penulis, bisa saja
Negeri Cina hanyalah sebuah sebutan untuk menunjukkan bahwa sebuah negeri
dikatakan maju. Apalagi saat itu pelayaran Negeri Cina sudah sangat pesat.
Kalau pendapat penulis ini benar adanya maka akan menguatkan pendapat bahwa
asal-usul manusia Bugis pertama bukan dari Luwu sebagaimana klaim banyak ahli
termasuk dari Belanda yang mencoba menelusuri asal-usul manusia Bugis dari
perspektif La Galigo, tetapi dari Wajo atau Bone.
Dalam data La Galigo, Sawerigading
yang berasal dari Ale Luwuq (Luwu) berlayar Ke Negeri Cina yang sering disebut Tana
Ugiq. Jadi bisa saja Tana Ugiq (Wajo dan Bone) disebut negeri Cina karena sudah
sangat maju menyaingi Ale Luwuq. Nah kalau belakangan muncul pendapat apakah
orang Luwu adalah suku Bugis atau suku Luwu? Maka itu adalah hal yang wajar.
Tetapi harus dicatat bahwa versi La Galigo mengatakan bahwa yang berkuasa di
Ale Luwuq (Luwu) dan Negeri Cina (Bone, dan tana Ugiq lainnya?) adalah
keturunan Sawerigading dan I We Cudaiq, perpaduan Ale Luwuq dan Negeri Cina.
Epilog
Sampai
saat ini perdebatan tentang setting Negeri Cina terus berlanjut. Dan itu
berarti La Galigo akan terus dibicarakan. Bahkan saat ini muncul banyak versi
tentang La Galigo. Karena La Galigo adalah ‘simbol’ orang Bugis, maka di setiap
daerah, baik yang berada di Indonesia ataupun luar negeri, yang mengaku
keturunan orang Bugis maka biasanya cerita La Galigo akan tumbuh. Cerita La
Galigo dengan tokoh utama Sawerigading bisa juga menjadi simbol keheroikan
orang Bugis bukan hanya di lautan tetapi di daratan. Kurru Sumange!dulabdul@gmail.com
BENARKAH LA GALIGO MERUPAKAN KARYA SASTRA TERPANJANG
DI DUNIA?
oleh: dul abdul rahman*
Ya
benar sekali! Kitab sastra La Galigo yang merupakan kitab sastra klasik Bugis
adalah kitab sastra terpanjang di dunia. Pengakuan ini bukan datang dari
orang-orang Bugis. Jangankan mengklaim sebagai sastra terpanjang di dunia,
orang Bugis sendiri awam dengan La Galigo. Yang mengklaim La Galigo sebagai
karya sastra terpanjang di dunia adalah para ilmuwan Belanda.
Seorang
ilmuwan Belanda yang bernama R.A.Kern dalam bukunya Catalogus van de
Boegineesche tot de I La Galigocyclus Behoorende Handschriften der Leidsche
Universiteitbibliotheek yang diterbitkan oleh Universiteitbibliotheek Leiden
(1939: 1) menempatkan Kitab La Galigo sebagai karya sastra terpanjang dan
terbesar di dunia setaraf dengan kitab Mahabarata dan Ramayana dari India,
serta sajak-sajak Homerus dari Yunani.
Sejalan
dengan pendapat R.A. Kern, sejarawan dan ilmuwan Belanda lainnya, Sirtjof
Koolhof, berpendapat bahwa Kitab Galigo adalah karya sastra terpanjang di dunia
yang panjangnya mencapai lebih 300.000 baris, sementara epos Mahabarata jumlah
barisnya antara 160.000 – 200.000 baris.
Pendapat R.A. Kern dan Sirtjof Koolhof
berdasarkan atas 12 jilid naskah La Galigo yang kini berada di Perpustakaan
Universitas Leiden, Belanda. Naskah tersebut ditulis oleh Colliq Pujie Arung
Pancana Toa pada abad ke-19 atas permintaan B.F Matthes (1818-1908). B.F
Matthes adalah seorang missionaris Belanda yang pernah bertugas di Sulawesi.
Sejatinya, Colliq Pujie hanyalah mengumpulkan dan menyalin kembali cerita La
Galigo yang sudah mengakar (cerita lisan) pada masyarakat yang mendiami jazirah
selatan Pulau Sulawesi –masyarakat Bugis.
Begitulah jawaban saya ketika salah
seorang peserta diskusi budaya yang berlangsung di Kota Solo di awal tahun 2011
silam, bertanya kepada saya, “Benarkah La Galigo merupakan kitab sastra
terpanjang di dunia?”
Hampir semua peserta diskusi
terperangah dengan penjelasan saya, antara percaya dan tidak. Hanyalah sebagian
kecil yang manggut-manggut tetapi tetap dengan mimik penasaran. Mereka yang
manggut-manggut mungkin sudah membaca berita atau mungkin menonton pementasan
“Teater La Galigo” yang disutradari oleh sutradara papan atas Amerika, Robert
Wilson. Atau mungkin mereka sudah membaca novel-novel saya yang diterbitkan
oleh Penerbit Diva Yogyakarta, yang juga
menjadi pendukung acara diskusi budaya tersebut. Mungkin karena saya
‘kecanduan’ cerita La Galigo sejak kecil yang diceritakan oleh ayah saya, maka
tak sah rasanya saya bercerita dan berimajinasi tanpa ‘menyentil’ La Galigo.
Maka berhamburanlah teks-teks La Galigo dalam catatan kaki novel-novel saya.
Dan terpaksalah novel-novel saya diberi catatan kaki karena pembaca di Jawa
sangat asing dengan La Galigo. Padahal sudah menjadi pameo sebagian besar
penerbit nasional di Jawa, hanyalah buku-buku yang layak baca di Pulau Jawa
yang diprioritaskan untuk diterbitkan. Mungkin saja para penerbit menganggap
pembaca di luar Pulau Jawa termasuk Makassar bukan ‘pembeli buku’ yang baik.
Saking bersemangatnya saya bicara,
khas bicara orang Bugis-Makassar, semua peserta diskusi mulai percaya dengan
penjelasan saya bahwa Kitab Sastra La Galigo adalah kitab sastra terpanjang di
dunia. Mereka tak asal percaya sama saya, karena meski beretnis Bugis dan
tinggal di Makassar, saya menghafal dan menguasai Kitab Sastra (Serat)
Centhini. Sebuah kitab sastra klasik Jawa.
Tiba-tiba salah seorang peserta
diskusi bertanya, “Lalu bagaimana caranya saya mengetahui isi cerita La
Galigo?” Saya tersentak. Saya yang semula berbicara serupa La Pananrang, juru
bicara Sawerigading. Atau serupa La Pangoriseng, juru bicara Batara Lattuq,
tiba-tiba terdiam minder seperti La Tenrijelloq karena takut menghadapi pasukan
Ale Luwuq pimpinan La Pangoriseng dan La Temmalureng.
Sebenarnya
saya bisa saja menjawab dengan sedikit judes bin ketus, “Dengan
membacanya dong!” Tapi buku La Galigo apa yang mesti mereka baca? Memang sudah
banyak buku-buku transliterasi La Galigo atas jasa-jasa para kaum intelektual
Sulsel seperti Muhammad Salim, M.Johan Nyompa, Fahruddin Ambo Enre, dan
Nurhayati Rahman –mereka patut disebut pejuang La Galigo– Tapi saya sangsi para
pembaca dari Jawa ‘kewalahan’ atau mungkin bosan membaca naskah dalam bentuk
transliterasi. Jangankan transliterasi La Galigo, transliterasi Serat Centhini
saja mereka malas membacanya. Serat Centhini pun barulah ramai dibaca setelah
digubah dalam bentuk bacaan ‘santai’ seperti novel yang diterbitkan oleh Diva
Press Yogyakarta.
Antara La Galigo dan Serat
Centhini
Mungkin
tidak banyak pembaca sastra di Indonesia yang mengetahui bahwa sekarang ini
terdapat dua kitab sastra klasik Indonesia yang menjadi perbincangan di kancah
dunia internasional. Keduanya adalah Kitab Serat Centhini, sebuah kitab
sastra klasik Jawa, dan Kitab Sastra La Galigo, sebuah kitab sastra
klasik Bugis.
Serat
Centhini mendapat banyak sebutan sebagai sastra monumental, pun sebagai sastra
kanon. Serat Centhini sudah dialihperanciskan oleh Elizabeth D. Inandiak, yang
kemudian diindonesiakan kembali dari versi Perancis. Serat Centhini mengalami
sebuah ‘perjalanan panjang’ dari Jawa-Perancis-Indonesia.
Serupa
dengan Serat Centhini, La Galigo pun mengalami ‘perjalanan panjang’. Meski
lahir di Tanah Bugis, Indonesia, namun ia ‘besar’ di negeri Belanda. Selain
salinan naskah aslinya yang terdiri atas 12 jilid yang tersimpan di
Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, Kitab La Galigo pun menjadi primadona
bagi para mahasiswa Belanda untuk melakukan riset sastra dan budaya untuk
meraih gelar magister dan doktor.
Setelah
pulang kampung ke negeri asalnya, hingar-bingar sebagai karya sastra klasik
yang ramai diperbincangkan di negeri orang, namun tidak sebingar di tanah
kelahirannya. Serat Centhini sedikit lebih baik, karena masyarakat pendukung
utamanya, masyarakat Jawa, ramai-ramai memperbincangkannya, bahkan menuliskannya.
Sedangkan
La Galigo, yang pada tahun 2011 ini mendapat penghargaan khusus karena badan
PBB UNESCO menetapkan naskah klasik La Galigo sebagai warisan dunia dan diberi
anugerah Memory of The World (MOW).
Tetapi
kelak ketika saya diundang ke Jawa untuk berbicara budaya Bugis-Makassar,
terkhusus tentang La Galigo, maka dengan tidak canggung, saya akan
berteriak seperti teriakan Batara Guru, Batara Lattuq, Sawerigading, dan I La
Galigo. “Kurru Sumange! Bacalah La Galigo, karya sastra terpanjang di dunia!”
Itu
karena Penerbit Diva Press Yogyakarta yang memopulerkan Serat Centhini lewat
novel, berusaha juga memopulerkan La Galigo. Bahkan penerbit yang berusaha
mengangkat sastra-sastra klasik tersebut menantang saya menuliskan La Galigo
dalam bentuk novel. Dan ‘Alhamdulillah ya’, tantangan itu berhasil saya
‘hadang’. Kurru Sumange! (dul abdul rahman, sastrawan dan peneliti budaya)
Judul
: La Galigo, Napak Tilas
Manusia Pertama di Kerajaan Bumi
Penulis
: Dul Abdul Rahman
Editor
: Rinastone Lubis
Tata
sampul : Ferdika
Cetakan
: Januari 2012
Tebal
: 374 halaman
Penerbit
: DIVA Press
La Galigo, sebuah
harta karun literatur dari Bugis kini mendunia bersama-sama dengan Serat
Centhini sebagai sastra kanon asli dari Kepulauan Nusantara. Berbeda
dengan Serat Centhini yang telah terlebih dulu populer karena
sentuhan seorang Perancis Elizabeth D. Inandiak, La Galigotampaknya
agak tertinggal meski perjalanan babad asli dari nusa Celebes
ini juga tidak kalah panjangnya. Meski lahir di Bugis, La Galigo besar
di Belanda. Salinan naskah asli tertuanya kini disimpan di Perpustakaan
Universitas Leiden, Belanda. Tersusun atas lebih dari 300.000 baris, La
Galigo jauh melampaui epos Mahabarata (sekitar
160.000 – 200.000 baris) dan sajak-sajak Homer. Kitab inimenawarkan
sumber riset yang sangat menggoda bagi mahasiswa, peneliti, dan kaum akademisi
untuk menelitinya.
Novel karya Dul Abdul Rahman ini, La Galigo, Napak Tilas Manusia
Pertama di Kerajaan Bumimerupakan pemfiksian bagian pertama dari 12
jilid La Galigo. Bagian ini ditulis dengan berdasarkan ingatan
si penulis yang tumbuh bersama cerita-cerita La Galigo yang
dikisahkan secara verbal, dari mulut ke mulut. Ibarat bab pertama, La
Galigo bercerita tentang awal mula terbentuknya dunia. Konon, di
Langit terdapat sebuah Kerajaan Raya yang dipimpin oleh Sang Patotoqe (Dewa
Penentu Nasib) bersama Istrinya, Datu Palingeq, bersama anak-anak mereka.
Dikisahkan, Bumi saat itu masih kosong. Ibarat anugerah yang tersia-sia, tak
terurus dan tak terawat. Para Dewa di Langit dan Samudra juga merasa resah
karena tidak ada yang menyembah dan menghormati keberadaan mereka—yang
sekaligus membuktikan stempel kedewaan mereka. Sang Patotoge kemudian
memerintahkan putra sulung-nya untuk menjadi manusia pertama yang diturunkan ke
bumi. Dialah Sang Batara Guru, manusia pertama yang bertugas memakmurkan bumi
serta menurunkan anak-anak manusia di penjuru bumi.
Secara umum, novel ini ditulis dengan nuansa lokal Bugis yang kental, namun
tema yang diangkat sangat universal. Hampir mendekati kisah penciptaan dunia
yang banyak memiliki kemiripan di berbagai tradisi dan budaya. Penulisan novel
ini, diharapkan menjadi langkah pertama dari upaya menjadikan karya sastra yang
konon terpanjang di dunia ini (lebih dari 300.000 baris) sebagai bacaan yang
tidak asing di negerinya sendiri. bagi pembaca yang merindukan bacaan dengan
latar budaya etnik nan kuat, sekaligus memberikan tambahan pengetahuan mengenai
khazanah budaya Nusantara, maka novel La Galigo ini bisa menjadi semacam
referensi yang luar biasa mewakili.
Ada satu pertanyaan fundamental dalam benak
saya tentang karya sastra La Galigo. Mengapa karya sastra La Galigo dianggap
bermutu tinggi lalu disejajarkan dengan kisah Mahabarata dan Ramayana dari India? Setelah
saya membaca novel La Galigo terbitan Diva Press Yogyakarta yang ditulis oleh
sastrawan Sulawesi Selatan, Dul Abdul Rahman, saya menemukan jawabannya yaitu
karena luhurnya nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra La Galigo
tersebut.
Penggalan kisah pertama yang sangat
menarik untuk disimak, yaitu mengapa Sang Patotoqe(penguasa langit) memilih La
Togeq Langiq diantara putra-putranya untuk menjadi penguasa di Kerajaan Bumi?
Itu karena Sang Patotoqe melihat bahwa pada diri La Togeq Langiq terdapat
karakter seorang pemimpin. La Togeq Langiq sangatlah tekun dalam latihan. Dia
dengan sangat cepat menguasai ilmu perang dan mampu mengalahkan para
panglima-panglima di langit setiap kali latihan. Dan untuk keahlian di
bumi, memang semua butuh latihan dan ketekunan. Sang Patotoqe melihat
bahwa hanya La Togeq Langiqlah yang mampu menghadapi kehidupan di bumi yang
penuh liku-liku dan perjuangan.
Sikap La Togeq Langiq sendiri
sungguhlah menakjubkan. Ia bersedia menukar kehidupannya di langit yang penuh
dengan kemewahan dengan kehidupan bumi yang sepi tanpa fasilitas. Adakah yang
mampu melakukan itu? Kehidupannya di langit begitu nyaman, mempunyai ribuan
dayang yang siap melayaninya sebagai putra mahkota setiap saat. Istana yang
megah, makanan yang lezat, dan gadis-gadis yang cantik. Ia rela menukar semua
itu dengan kehidupan di bumi yang sepi, tak ada istana melainkan ia hanya
bernaung di bawah pohon. Bahkan makanan pun ia harus cari sendiri dengan
bersusah payah. Semua itu ia terima dengan ketaatannya kepada ayahnya Sang
Patotoqe. La Togeq Langiq siap memakmurkan bumi dengan semangat Resopa
Temmangingi na malomo naletei pammase Dewata Sewae.
Ketika
Batara Guru (nama La Togeq Langiq setelah menghuni bumi) akan diberikan
pendamping hidup, ia mendengar cerita dari La Punna Uwae (penjaga sungai, Sang
Buaya) bahwa calon isterinya yang berasal dari Kerajaan Peretiwi bukanlah putri
yang cantik, calon isterinya tersebut sangatlah jelek parasnya lagi bermata
juling. Namun Batara Guru tetap siap menerima dengan ikhlas siapa pun yang akan
dikirimkan padanya sebagai jodohnya. Ia selalu yakin bahwa Sang Patotoqe tidak
pernah salah, dan pasti akan memberikan yang terbaik untuknya. Akhirnya Batara
Guru mendapat kiriman isteri dari Kerajaan Peretiwi bernama I We Nyiliq Timoq
yang sangat cantik. Sikap berprasangka baik dan berpikir positif kepada
Tuhan seperti itulah yang seharusnya selalu kita tanamkan dalam hati.
Nilai
luhur selanjutnya yang terjadi dalam cerita La Galigo yaitu ketika terjadinya
bencana di Kerajaan Tompoq Tikkaq. Penguasanya yang bernama La Urung Mpessi
bersikap melampau batas. Ia mengutuk dan menghambur-hamburkan nasi ke sungai
karena kecewa tamu yang diundangnya hanyalah sedikit yang datang. Local
wisdom ini seharusnya dijaga secara terus menerus, karena hal ini pun
diajarkan dalam agama. Manusia harus menghargai makanan dan tidak boleh mubazir.
Bahkan dalam agama, orang yang makan diharuskan menghabiskan makanan dalam
piring dan tidak boleh menyisakannya.
Lalu
penggalan kisah yang menarik lainnya ketika dua orang putri pewaris Tompoq
Tikkaq yang terbuang, yaitu We Adiluwuq dan We Datu Sengngeng. Keduanya
bersabar menerima takdir yang digariskan oleh Sang Patotoqe. Keduanya bersabar
melarikan diri ke hutan dengan semangat kurru sumange. Mereka bertahan
dalam keprihatinan di hutan, hanya memakan dedaunan. Karena kesabaran dan
keikhlasannya menerima takdir, akhirnya berbuah manis. Sang Patotoqe mempertemukan
We Datu Sengngeng dengan Batara Lattuq (putra sulung Batara Guru), We Adiluwuq
juga dipertemukan dengan seorang pangeran yang turun dari langit bernama I La
Jiriuq. Maka yakinlah buah dari kesabaran pasti kebaikan.
Sedangkan paman dan bibi mereka yang sebelumnya mengusir mereka dan juga
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, akhirnya mendapatkan balasan yang
setimpal. Maka yakinlah perbuatan dosa buahnya adalah keburukan.
Penggalan
kisah selanjutnya yang sangat menarik ketika Batara Guru naik ke Boting Langiq
untuk memintakan keturunan bagi Batara Lattuq dan We Datu Sengngeng. Pada saat
itu sedang bulan keramat yang dipercaya bukan hari baik menurunkan tunas ke
bumi. Sang Patotoqe pun menasehati putranya agar menunggu berlalunya bulan
keramat lalu menurunkan tunas. Ia pun memberikan penjelasan bahwa We Datu
Sengngeng akan melahirkan kembar emas, dan bilamana diberikan tunas pada bulan
keramat, maka kembar emasnya nanti akan saling jatuh cinta. Dan kalau sampai
kembar emas itu menikah satu sama lain maka kehancuran akan menimpa bumi.
Namun, karena ingin membahagiakan Batara Lattuq dan isterinya, Batara Guru
tetap minta segera diturunkan tunas buat menantu dan anaknya, Sang Patotoqe pun
meluluskannya. Alhasil, We Datu Sengngeng begitu menderita ketika proses
bersalin tiba. Ia bahkan merasakan kesakitan selama dua bulan lamanya. Tak ada
tanda-tanda kelahiran meski semua bissu (pemimpin ritual dalam
kepercayaan Bugis Kuno) dan dukun melakukan ritual. Akhirnya Batara Guru pun
sadar bahwa itu akibat dari ketidaksabarannya meminta keturunan. Maka ia pun
mewasiatkan kepada seluruh keturunannya, “Mereka harus bersabar agar
hidupnya tidak kesasar, hindarilah sikap cemburu yang mengarah kepada sikap iri
hati dan dengki.”
Apa
yang dikatakan oleh Sang Patotoqe benar adanya. Setelah dewasa, akhirnya
Sawerigading jatuh cinta terhadap kembar emasnya yang bernama We Tenriabeng.
Karena hasrat cintanya yang teramat besar kepada We Tenriabeng, Sawerigading
tetap ngotot ingin menikahi kembar emasnya tersebut. Bahkan Sawerigading
membunuh seorang juru bicara Ale Luwuq bernama Rajeng Makdopeq, karena juru
bicara tersebut menasehatinya agar tidak menikahi saudaranya sendiri.
Lalu
ketika sadar akan kesalahannya membunuh Rajeng Makdopeq, lagi pula We
Tenriabeng memberikan penjelasan bahwa ia benar-benar kembar emasnya, lalu
meminta saudara kembarnya tersebut berangkat ke Negeri Cina untuk menikah
dengan seorang perempuan yang mirip dirinya bernama I We Cudaiq. Maka
Sawerigading pun meninggalkan Ale Luwuq. Ialu Sawerigading pun bersumpah untuk
tidak menginjakkan kaki di Ale Luwuq. Saat itu banyak penasehat Ale Luwuq yang
meminta Sawerigading kembali ke Ale Luwuq bila sudah menyunting Putri Cina.
Saat itu Sawerigading berpidato, “Puang ri Wareq dan seluruh pembesar dan
penasehat Kerajaan Manurung Ale Luwuq! Memang benar kehormatan Ale Luwuq akan
berkurang bilamana aku tidak ada disini, tetapi lebih berkurang lagi kehormatan
dan kesakralan Ale luwuq bilamana aku mengingkari janji yang sudah kuucapkan.
Ingatlah! Seorang pemimpin tidak boleh bicara dua kali.” Negeri ini
sungguh membutuhkan pemimpin yang berkarakter seperti Sawerigading.
Perjalanan
Sawerigading ke Negeri Cina selain sebagai bentuk penyesalan, ia pun
sesungguhnya ingin melupakan patah hatinya terhadap We Tenriabeng yang akhirnya
kembar emasnya tersebut dinikahi oleh penghuni langit bernama Remmang Rilangiq.
Namun ditengah perjalanan menuju Negeri Cina, rombongan Sawerigading dihadang
oleh beberapa musuh. Yang sangat menarik dari cara Sawerigading memimpin
pasukan adalah mereka selalu menghindar tujuh kali ke kanan dan tujuh kali ke
kiri bilamana dihadang oleh musuh. Inilah kalimat panglima perang Sawerigading
yang juga sepupunya sendiri bernama La Pananrang, “Adikku La Massaguni,
ingatlah bahwa tujuan kita berlayar ke Negeri Cina bukanlah untuk menciptakan
keributan. Sebisa mungkin kita berusaha menghindarinya. Tapi kalau memang sudah
menjadi takdir kita bertemu musuh, maka apa boleh buat, musuh jangan dicari,
tetapi bila berjumpa, maka haram hukumnya mundur walau selangkah pun.”
Sungguh
banyak nilai-nilai kearifan lokal yang berserakan dalam sastra La Galigo. Pun
memuat cikal bakal munculnya budaya Bugis yang sekarang mulai terkikis. Sungguh
banyak orang Bugis yang mulai melupakan budayanya sendiri. Dan mungkin saja
orang Bugis itu sendiri tidak pernah tahu bahwa sastra klasik Bugis bernama La
Galigo adalah karya sastra terpanjang di dunia. Dan penghargaan juga perlu
ditujukan kepada sastrawan Sulawesi Selatan, Dul Abdul Rahman, yang menovelkan
kitab sastra La Galigo, sehingga mudah dibaca dan dipahami.
Blogwalking ke
tempat sahabat, Ne, dapat kabar bahwa tanggal 17 Mei adalah Hari Buku Nasional.
Maka, bertepatan juga dengan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei, ingin
kuceritakan sekilas buku yang baru saja kutamatkan berjudul La Galigo, 374
halaman, novel yang ditulis oleh Dul
Abdul Rahman, penerbit Divapress, Januari 2012. Kurasa epik La Galigo ini
dapat membangkitkan percaya diri bangsa kita dengan prestasinya yang sudah
mendunia.
Sejatinya, La
Galigo adalah kisah yang diceritakan secara lisan turun temurun di masyarakat
Bugis, Sulawesi Selatan, yang diperkirakan sudah ada sejak abad 14, ketika
masih jaman pra Islam. Barulah pada abad 19 atas permintaan B.F Matthes
(1818-1908) La Galigo ditulis oleh Colliq Pujie Arung Pancana Toa, terdiri dari
300.000 baris, lebih panjang daripada epos Mahabharata (160.000-200.000 baris)
sumber : Kata Pengantar La Galigo. Salinan ini terdiri dari 12 volume dan kini
tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden,
Belanda. Naskah ini berbentuk puisi dan ditulis dalam aksara dan bahasa Bugis
kuno.
UNESCO pada
2011 menganugerahkan La Galigo gelar sastra klasik warisan dunia, Memory of the World (MOW). Meskipun La Galigo
kurang bergema di negaranya sendiri, tetapi di dunia internasional memang sudah
sangat dikenal. Banyak ilmuwan yang meriset naskah ini untuk tesisnya. Hikayat
La Galigo semakin dikenal dunia internasional setelah dibuat pertunjukan teater
I La Galigo oleh Robert Wilson sutradara asal Amerika Serikat, pada 2004 (dari
pemberitaan tentang teater inilah dulu pertama kali kudengar tentang La
Galigo), tentu saja banyak dukungan seniman Indonesia, termasuk pemerannya yang
berasal dari Bugis.
Isi novel La Galigo bukanlah
terjemahan dari manuskrip di Leiden itu, tetapi berdasarkan apa yang ditangkap
oleh penulis dari dongeng turun temurun, tetapi nama tokoh masih mengikuti
manuskrip kuno. Nama ini penting, karena di banyak tempat di Sulawesi atau di Malaysia tokoh
di La Galigo ini punya nama berbeda.
Dikisahkan bumi
(Sulawesi) saat itu masih tak berpenghuni.
Hanya ada para dewa di Dunia Atas (Boting Langiq) dipimpin oleh Sang Patotoqe
dan Dunia Bawah (Peretiwi). Untuk mengisi kekosongan di bumi diutuslah putra
tertua sang Raja Dewa Dunia Atas, Batara Guru, seorang diri di bumi hingga dia
bisa membuktikan diri sebagai manusia biasa. Setelah itu barulah diturunkan
istana dari kahyangan beserta perlengkapannya termasuk para pengikut dan selir,
menjadi kerajaan bernama Ale Luwuq. Kemudian dia menikah dengan sepupunya dari
Dunia Bawah, bernama We Nyiliq Timoq. Mereka berputra mahkota Batara Lattuq
yang kemudian menikah dengan sepupunya , We Datu Sengngeng dari kerajaan
manurung Tompoq Tikkaq (kerajaan diturunkan dari langit).
Tokoh yang
paling banyak dibicarakan dan diangkat ceritanya adalah putra Batara Lattuq,
bernama Sawerigading. Ia jatuh cinta kepada saudara kembar yang telah dipisahkan
dari bayi, seorang putri bernama We Tenriabeng. Karena patah hati, Sawerigading
bersumpah meninggalkan negrinya dan tak akan kembali lagi, hanya keturunannya
yang boleh kembali ke Ale Luwuq. Atas saran We Tenriabeng ia pergi mencari
jodoh ke negeri Ale Cina. Dalam perjalanan menembus lautan berbulan-bulan
banyak dikisahkan keberaniannya menghadapi peperangan dengan rombongan kapal
dari negeri lain, sampai akhirnya ia tiba di Ale Cina dan menikah dengan I We
Cudaiq. Putra mereka bernama I La Galigo. Sampai di sini berakhirlah cerita
novel ini. Sedangkan di versi aslinya cerita masih bersambung sampai dengan
putra I La Galigo.
Selain tentang
mitos dewa-dewa dan seni budaya Bugis kuno, di cerita ini ada juga kisah yang
mirip dengan kisah yang banyak dikenal di Jawa, yaitu tentang dewi padi, Dewi
Sri. Di kisah ini sang dewi bernama Sangiang Serri, yaitu padi yang menjelma
dari makam bayi putri Batara Guru.
Meskipun
awalnya agak susah menghafal begitu banyak nama yang asing, tetapi sangat
menyenangkan bisa tahu seni budaya kuno milik bangsa kita. Semoga semakin
dikenal, semakin berkibar kisah I La Galigo di negara sendiri.
HAKIKAT PENCIPTAAN MANUSIA DALAM NOVEL “LA GALIGO”
Oleh: Syamsuddin
S, S.Pd
(Guru Bahasa dan
Sastra Indonesia SMP Negeri
15 Makassar)
Sudah
sejak lama saya bertanya-tanya tentang La Galigo. Yang paling membuat
saya bertanya-tanya karena konon katanya karya sastra tersebut adalah kitab
sastra terpanjang di dunia. Dan buku asli kitab sastra tersebut dalam bentuk
tulisan tangan berada di Negeri Belanda nun jauh disana.
Suatu
ketika saya mengajar bidang studi Bahasa Indonesia di kelas dengan materi
pokok: Apresiasi Sastra Indonesia.
Tiba-tiba seorang siswa bertanya pada saya tentang La Galigo. Saya tergagap,
jujur saya tidak tahu isi kitab La Galigo tersebut. Saya meminta kepada
siswa-siswi saya untuk bersabar dan memberi waktu kepada saya untuk
menjawabnya. Jeda waktu untuk menjawab tentang La Galigo, saya sedikit tegang
karena setiap kali saya masuk di kelas, siswa-siswa selalu menagih janji,
padahal saya belum mendapatkan buku tentang La Galigo.
Alhamdulillah,
akhirnya saya bisa mendapatkan sebuah novel berjudul La Galigo yang
ditulis oleh sastrawan yang berasal dari Sulawesi Selatan, Dul Abdul Rahman.
Novel tersebut diterbitkan oleh penerbit nasional, Diva Press Yogyakarta. Dan
pada akhirnya saya bisa menjelaskan kepada siswa-siswi saya tentang isi La
Galigo.
Benar
kabar yang saya dengar bahwa La Galigo adalah kitab sastra terpanjang di
dunia. Mengutip tulisan pengantar dari penulisnya bahwa memang La Galigo adalah
kitab sastra terpanjang di dunia setara dengan kitab Mahabarata dan Ramayana
dari India
sebagaimana pengakuan ilmuwan Belanda bernama R.A.Kern. Bahkan tidak
tanggung-tanggung, sejarawan dan ilmuwan Belanda lainnya bernama Sirtjof
Koolhof berpendapat bahwa La Galigo adalah karya sastra terpanjang di dunia
yang terdiri dari 300.000 baris. Epos Mahabarata jumlah barisnya hanya antara
160.000-200.000 baris saja.
Dalam
novel La Galigo diceritakan bahwa dahulu kala, Kerajaan Bumi hanyalah tanah
kosong yang benar-benar tak berpenghuni. Lalu Sang Dewata (Sang Patotoqe) yang
berada di Kerajaan Langit segera memutuskan bahwa Kerajaan Bumi tidak bisa
dibiarkan terlalu lama kosong. Manusia harus diturunkan untuk menyuburkannya
dan tentu saja menyembah-Nya.
Maka
atas hasil musyawarah seluruh Dewata penghuni Kerajaan Langit, maka Sang
Patotoqe mengirimkan putra sulungnya bernama La Togeq Langiq menjadi manusia
pertama yang menghuni bumi. Dialah kemudian menjelma menjadi Batara Guru.
Tidaklah
mudah menjadi penguasa di Kerajaan Bumi, meski sang manusia adalah titisan
Dewata tersebut bisa saja meminta bantuan Langit untuk mempermudah tugasnya.
Tapi sang Dewata mengharuskan Batara Guru untuk berusaha. Karena memang
begitulah hakekat penciptaan manusia.
“Adinda
Datu Palingeq! Tidak usahlah khawatir bila anak kita kelak menjelma manusia
lalu mengalamai cobaan di Bumi. Karena memang sudah menjadi hukum Bumi bahwa
sesungguhnya hidup adalah cobaan. Juga bukanlah manusia bila tidak tahan
menghadapi cobaan,” ujar Sang Patotoqe kepada permaisurinya. (La Galigo,
hal.15)
Etos Kerja
Local wisdom utama yang
dijumpai pada awal-awal novel La Galigo adalah kerja keras. Diceritakan bahwa
ketika pertama kali menghuni bumi, Batara Guru bersedih dan bermalas-malasan.
Bahkan ia terus menangis dan mengadu kepada ayahandanya yang berada di Kerajaan
Langit. Batara Guru terus meminta agar dikirimkan makanan dan minuman serta
pendamping karena ia kelaparan, kehausan, dan kesepian di bumi.
Tentu saja keinginan Batara Guru
tidak diamini oleh Sang Patotoqe (Dewata) di Kerajaan Langit. Karena menurut
ketentuan Dewata ketika manusia sudah menghuni Bumi maka ia tidak boleh
bergantung kepada Kerajaan Langit. Tetapi manusia harus berusaha sendiri.
Naluriah manusia dalam diri Batara
Guru akhirnya muncul, ia mencari makanan dan minuman sendiri. Karena memang
bersamaan munculnya Batara Guru di Bumi terciptalah juga hutan-hutan,
sungai-sungai, tumbuhlah segala jenis buah-buahan. Intinya Sang Patotoqe di
Kerajaan Langit sudah menyebarkan rahmatnya di muka bumi, tinggallah manusia
sendiri yang mencarinya.
Jadi hidup di Bumi manusia harus
bekerja keras. Ini pun sejalan dengan Kitab Suci Al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 11 yang artinya,
“…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri….” Poin ini pun sejalan dengan local
wisdom Bugis-Makassar yang berbunyi “Resopa temmangingi namalomo naletei
pammase dewata sewae” (Usaha yang sungguh-sungguh disertai keikhlasan yang
mendapat ridha dari Tuhan Yang Maha Esa)
“Bekerja dan Bekerja”. Mungkin
itulah maksud Sang Dewata ketika menurunkan kapak emas dari Langit ketika
Batara Guru terus bersedih karena kelaparan dan kehausan di Bumi.
Dan ketika menurunkan kapak emas
kepada Batara Guru di Bumi, seolah Sang Dewata juga ingin berkata, “Bekerjalah!
Bekerjasamalah!” Itu dibuktikan karena bersamaan diturunkannya kapak emas,
diturunkan pula seorang pembantu bernama La Oro Kellong. Selanjutnya La Oro
Kelling membantu Batara Guru membuka lahan pertanian dengan kapak emasnya.
Selanjutnya local wisdom yang
penting dari novel La Galigo gubahan Dul Abdul Rahman adalah selain bekerja
diperlukan pemahaman (ilmu pengetahuan). Dikisahkan bahwa setiap ingin bekerja,
sang pembantu dari Langit, La Oro Kelling sangat bersemangat. Ia selalu ingin tampil
mengerjakan semua pekerjaan dan meminta Batara Guru beristirahat saja. Pada
suatu hari Batara Guru dan La Oro Kelling ingin membuka lahan pertanian.
Awalnya Batara Guru yang memulai menebang pohon tetapi La Oro Kelling mengambil
alih pekerjaan itu karena ia merasa dirinyalah yang harus bekerja keras karena
ia seorang pembantu.
La
Oro Kelling pun menebang sebatang pohon. Tetapi kemudian ia mengeluh karena
sebatang pohon saja ia butuh waktu yang lama untuk menebangnya. Apalagi kalau
harus membabat hutan. Batara Guru tahu akan keresahan hati La Oro Kelling, ia
pun mengambil kapak emas lalu menebang pohon yang besar yang letaknya paling
atas. Pohon besar itu terjatuh menimpa pohon yang ada di dekatnya. Lalu pohon
lainnya menimpa pohon yang ada di dekatnya pula. Hingga kawasan yang awalnya
hutan menjelma jadi lahan pertanian hingga ke pinggir sungai.
Maka berkatalah Batara Guru kepada
La Oro Kelling: “Begitulah La Oro Kelling! Bekerja harus pakai otak. Manusia
tidak akan pernah mampu menaklukkan Bumi dengan tenaganya saja. Manusia hanya
bisa menaklukkan Bumi dengan bantuan pikirannya.” (La Galigo, hal.67)
Membaca novel La Galigo tulisan
Dul Abdul Rahman yang diadaptasi dari kitab sastra La Galigo sungguhlah sangat
menarik. Novel yang cukup tebal tersebut memberi banyak pelajaran-pelajaran
sangat berharga. Pantaslah kalau menurut penulisnya yang saya sempat bertemu
dengannya bahwa kitab sastra La Galigo sangat diminati oleh mahasiswa di
Belanda untuk melakukan kajian sastra. Dan yang paling melegakan adalah badan
PBB, UNESCO sudah menetapkan kitab La Galigo sebagai naskah warisan dunia dan
diberi anugerah Memory of the World (MOW).