Selasa, 05 April 2011

CERPEN dul abdul rahman: M A N D U L

MANDUL


Cerpen: dul abdul rahman

“Lelaki tidak pernah mandul.” Selalu begitu ucapan Basir setiap kali ia ketemu denganku. Nadanya begitu provokatif seolah memecahkan gendang kelaki-lakianku. Entah, ia bermaksud menyemangati atau menyudutkan aku. Tetapi tetap saja wajahku bersemu merah.
“Jangan tersinggung dulu Bur, kalimat itu hanya kukutip dari kakekku.”
“Lalu?”
“Ya, aku setuju saja. Lihat sendiri kan, aku berumah tangga dengan Dinny selama tujuh tahun tapi tak punya anak. Dinny selalu menuduhku mandul. Tapi setelah aku menikah lagi dengan Hesty akhirnya aku bisa punya anak.”
“Maksudmu, kau menyuruhku menceraikan isteriku lalu menikah lagi?”
“Tak perlu Bur, bisa kok poligami.” Nada Basir semakin provokatif seakan ingin memproklamirkan bahwa dirinya benar-benar pejantan tangguh.
Meski pernyataan-pernyataan Basir hanya kuanggap angin lalu. Tetapi tetap saja berarak di langit-langit akalku. Lalu menjelma hujan, membasahi hatiku, membasahi hati isteriku, membasahi kerinduan kami akan hadirnya buah hati perekat tali kasih.
“Bagaimana Bur? Lelaki boleh kok punya lebih dari satu isteri.” Basir meruntuhkan lamunanku.
“Kata siapa?”
“Kata laki-laki.”
“Kalau kata perempuan?” Sergahku.
Basir hanya tergeragap. Walau kami sesama lelaki dan bersahabat sejak masih kuliah dulu, tetapi banyak pendapatnya tentang perempuan yang aku kurang setuju. Ia memang begitu mudah meluluhkan hati perempuan. Perempuan manasih yang tidak tertarik pada Basir. Selain wajah cakep, pun harta warisannya tidak akan habis dimakan sampai tujuh turunan.
Aku memang tidak pernah setuju dengan omongan Basir. Buaya darat yang selalu lupa daratan. Yang menganggap perempuan hanyalah tempat persinggahan yang bisa didatangi kalau rindu menggoda, dan ditinggalkan pergi begitu saja kalau rasa bosan datang menyergap. Tidak. Aku tidak akan pergi meninggalkan isteriku walau sementara, apalagi harus menceraikannya. “Bedebah Basir, buaya darat.” Umpatku dalam hati.
Tak mungkin aku menyakiti isteriku. Aku mencintainya. Teramat mencintainya. Tak sia-sia rasanya aku mengejar-ngejarnya selama dua tahun demi mendapatkan sekerat cintanya yang menurutku tidak akan basi dihembus waktu yang beraroma perselingkuhan yang saat ini makin trend.
Safitri. Isteriku tercinta. Memang cantik luar dalam. Blasteran Arab-Ambon. Meski sedikit berkulit gelap tapi manisnya melebihi madu Arab. Soal kesetiaan jangan ditanya lagi. Selama sepuluh tahun kami berumah tangga, tak pernah aku melihat mendung di wajahnya. Tak pernah aku menatap bola api di matanya. Tak pernah ada resah, apalagi keluh kesah yang menghiasi bibirnya yang selalu basah. Isteriku memang bukan sembarang perempuan. Senyumnya kembang segala bunga. Ia tetesan dari taman surga, taman dari segala harum bunga.
“Bang! Kita harus selalu bersabar ya, boleh jadi Allah belum menitipkan buah hati kepada kita berdua karena Dia masih ingin menguji kesabaran dan kesetiaan kita.” Isteriku selalu meredakan kegelisahanku dengan nadanya serupa cericit burung di pagi hari.
“Terima kasih sayang, betapa kau begitu berarti buatku.” Aku terus membelai-belai rambutnya yang semerbak. Sesekali aku menutup bibirnya dengan bibirku. Protes cecak di dinding yang ber-ck..ck..ck tak aku hiraukan. Peduli amat. Kami sudah menikah kok. Sejak menikah, memang aku tak pernah membiarkan malam berlalu tanpa bait-bait kemesraan. Aku tak pernah membiarkan pagi menyapa tanpa lakon-lakon asmaradana. Tetapi tetap saja cecak bertingkah di dinding seolah-olah bersekutu dengan Basir menertawaiku. “Payah Bur, menanam terus tiap hari, tapi tak pernah ada yang tumbuh. Dasar petani mandul.”

Yang aku kurang sependapat dengan Basir hanyalah soal perempuan saja. Meski aku sering mengutuknya karena komentar-komentarnya tentang perempuan yang terlalu menyudutkan, apalagi aku yang sangat mencintai dan menghormati sosok ibuku dan isteriku. Terkadang aku melihat komentar-komentar tersebut ada pula sisi realnya, cuma aku tetap mengedepankan sisi kesetiaan. Aku memang alumni Fakultas Sastra, sedangkan Basir alumni Fakultas Ekonomi. Tapi aku tak pernah berpikir bahwa Fakultas Sastra itu lebih “setia” daripada Fakultas Ekonomi.
Sebenarnya aku cukup mengagumi sosok Basir. Meski masih muda, tetapi jiwa entrepreneur-nya sungguh luar biasa. Usaha yang dikelolanya berkembang pesat. Ia juga sangat memperhatikan kesejahteraan para karyawannya. Ia pun sosok yang sangat merakyat di mata karyawan. Dan karyawannya yang teristimewa tentu saja adalah aku. Aku adalah tangan kanan di perusahaannya. Pertemanan kami sejak kuliah tak pernah berubah. Kami tetap saja menyapa dengan nama masing-masing tanpa embel-embel kata pak, kecuali dalam pertemuan-pertemuan formal. Dan gelarnya sebagai buaya darat cap kampus yang pernah kusematkan padanya sewaktu kuliah dulu sepertinya tetap lestari. Tetapi yang kukagumi ia tak pernah macam-macam pada karyawannya. Padahal aku tahu, ia punya sekertaris yang masih muda dan cantik sekaligus primadona di kantor tersebut, namanya Indri. Aku juga mengaguminya, hanya sebatas itu.
“Begitulah aku Bur. Sejak dulu memang prinsipku begitu, ya lelaki tak pernah mandul.” Basir mulai lagi memprovokasi. Aku hanya terdiam.
“Begini Bur, supaya kau tak berpikiran macam-macam tentang kakekku, akan kujelaskan makna kalimat tersebut. Kakekku selalu mengucapkan kalimat ‘lelaki tidak pernah mandul’ hanya untuk menyemangatiku. Maksudnya kita sebagai lelaki harus terus dan terus berusaha, pantang menyerah. Laki-laki adalah tumpuan keluarga. Dan aku pikir berkat semangat dari kakekku itu pulalah aku bisa seperti sekarang ini.” Kali ini kata-kata Basir begitu bijak dan menyemangati.
“Tetapi kau selalu mengaitkan filosofi itu kepada perempuan.” Ujarku seperti tidak percaya seratus persen omongan Basir.
“Apa salahnya Bur? Bukankah salah satu alasan utama menikah untuk mendapatkan keturunan? Coba bayangkan Bur, kalau nanti kau jadi kakek-kakek, siapa yang akan mengurusimu. Ponakan? Saudara? Paling-paling mereka hanya menginginkan hartamu.”
Basir beranjak pergi setelah menghunjamkan kata-katanya di dadaku. Dalam kesendirian aku hanya termangu. Terpekur. Sejurus kemudian pandanganku gelap, tetapi sekilas ada seberkas cahaya yang diam-diam memantul di dinding-dinding kalbuku. Adapula desiran angin perlahan-lahan menyejukkan batinku lalu menjelma jadi tangisan bayi yang teramat aku rindukan.
Karena aku tak mau lagi Basir terus mengaduk-aduk perasaanku dan menggerogoti kesetiaanku pada isteriku. Akhirnya aku bermufakat dengan isteriku untuk mengadopsi anak.
“Aku terserah Abang saja, aku sangat percaya dan sayang sama Abang.” Ujarnya sambil memamerkan senyum simpulnya yang selalu membuat perasaanku berdesir-desir.
“Demi kau yang teramat kucinta, apapun bisa kulakukan yang penting halal.” Aku menarik dan memeluk tubuh isteriku. Cecak yang selalu bertingkah setiap aku bermesraan dengan isteriku entah kemana. Mungkin ia telah bersepakat dengan Basir untuk tidak menertawaiku lagi. Atau mungkin ia mengira aku sudah masuk dalam perangkapnya. Bah!
“Tapi Bang, aku ingin kita punya anak sepasang ya, laki dan perempuan.” Isteriku nampak bahagia sekali, seolah bayi sudah ada dalam gendongannya. Akh!
Basir begitu bersemangat ketika kuceritakan bahwa aku dan isteriku bersepakat untuk mengadopsi anak. Setiap ada permasalahan memang selalu aku terbuka padanya. Ia pun selalu terbuka padaku.
“Ok Bur, aku mengagumi kesetiaanmu pada isteri, sungguh beruntung isterimu bersuamikan denganmu.” Basir mengangguk-angguk seolah-olah apa yang kuungkapkan padanya adalah sebuah proyek besar.
“Aku sangat mencintai Safitri, Basir. Aku tak akan pernah meninggalkannya.”
Basir terus mengangguk-angguk seolah-olah ia pemenang tender dalam sebuah proyek.
“Baik…baik…Bur. Tapi ingat, tak boleh asal mengadopsi anak. Anak yang diadopsi harus ada pertalian darah denganmu.”
“Tolong aku ya Basir, yang penting aku dan isteriku bisa punya anak, walau hanya anak adopsi.”
“Baik! Jangan khawatir Bur, serahkan padaku. Aku akan mencarikan jalan terbaik.” Basir melipat map-nya seperti dana proyek sudah cair. Selanjutnya kami berdua hanya bersitatap. Lalu tersenyum. Hanya kami berdua yang bisa memaknai senyuman itu.

Bayi perempuan itu berhidung mancung. Berkulit putih. Bermata tajam. Berambut lurus. Dalam tangisnya ia tersenyum teramat ikhlas padaku.
“Bang! Anak kita cantik ya, pintar sekali abang mencari anak adopsi ya, akh aku tak akan pernah bilang lagi anak adopsi, anak kandung ya.” Isteriku terus menggendong bayi mungil itu. Laiknya seorang ibu, ia terus berkicau dan berkicau. Tak pernah kulihat sebelumnya isteriku sebahagia ini.
“Mmm…lihat Bang! Hidung dan matanya mirip sekali hidung dan mata Abang.” Isteriku mengecup kening bayi itu sambil melirikku mesra sekali.
Aku tergeragap. Namun cepat aku menguasai keadaan. Aku tersenyum. Lalu mendekat dan mencium kening isteriku. Mataku basah. Mata isteriku juga basah.
Isteriku tidak mengetahui asal-usul bayi tersebut. Menurut Basir, sebaiknya seorang ibu tidak usah mengetahui asal-usul bayi yang diadopsi, karena bisa saja rasa sayang ibu berkurang apabila mengetahui siapa sebenarnya bayi tersebut.
Anak yang ada dalam gendongan isteriku sebenarnya adalah anak dari teman sekantorku. Indri memang sudah menikah dengan seorang pria beristeri. Ia rela dijadikan isteri kedua. Sayang, takdir berkata lain. Sesaat setelah melahirkan anaknya, ia meninggal dunia. Seluruh teman-teman sekantor Indri sangat berduka cita. Dan entah, akulah yang merasa paling bersedih atas kepergiannya.
Bayi itu tumbuh sehat dan lucu. Isteriku sangat mencintainya. Terang saja aku teramat bahagia. “Abang! Sejak dulu kan aku pingin sekali punya sepasang anak.”
“Isteriku sayang, kalau aku sejak dulu ingin punya sebelas anak, satu kesebelasanlah.” Ujarku setengah menggodanya.
“Kalau begitu Abang boleh menikah lagi.” Ujar isteriku cemberut sambil membelakangiku.
“Sayangku! Aku hanya menginginkan anak dari rahimmu.”
Isteriku berbalik kearahku. Matanya berkaca-kaca. Rupanya ia terluka dengan kata-kataku yang seolah-olah menagih anak dari rahimnya. “Aku ikhlas Abang berpoligami.” Hujan semakin membadai di matanya.
Aku memeluk isteriku. “Sayangku, untuk apa aku berpoligami? Aku sudah punya isteri yang cantik dan setia, pun punya seorang anak perempuan yang cantik nan jelita.”
“Tapi bukan darah daging sendiri?”
“Sayangku, yang namanya anak tetap anak, tak perduli anak apa namanya. Hakekatnya sama, pertanggungjawaban dihadapan Allah tetap sama.”
Isteriku terus terisak di pangkuanku.”Abang adalah sosok yang sempurna buatku, aku sebenarnya tak pernah rela kalau Abang berpoligami, aku cuma ingin mengetes kesetiaan Abang.”
Sekali lagi aku tergeragap. Cepat aku menguasai keadaan. Aku terus memeluk isteriku. Aku teramat bahagia. Aku mengecup keningnya berkali-kali. Mataku basah. Lalu mataku semakin basah saja ketika aku mengecup kening putriku, aku terkenang akan ibu kandungnya yang telah meninggal dunia, isteriku sendiri.

Kendari-Makassar, 2006

1. Cerpen ”MANDUL” dimuat Harian FAJAR, Ahad 18 FEBRUARI 2007

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 8. CINTA DI BUKIT GOJENG)

8. CINTA DI BUKIT GOJENG
Salah satu tempat bersejarah yang akan dikunjungi anggota Kompita adalah Taman Purbakala Batu Pakke Gojeng. Taman Purbakala itu terletak di sebelah barat Kota Balanipa, ibukota Kabupaten Sinjai. Tepatnya di Bukit Gojeng dengan ketinggian 85 meter dari permukaan laut. Untuk mencapai puncak, pengunjung harus menyusuri kurang lebih 182 anak tangga. Dari puncak Gojeng itulah, para pengunjung bisa menyaksikan deretan sembilan pulau yang menyembul dari dasar laut, seperti sembilan jelmaan bidadari yang siap menuju alam kahyangan setelah menikmati indahnya panorama Kota Sinjai dan sekitarnya, Sungai Tangka, dan Teluk Bone. Para pelancong tak sah rasanya bila berkunjung ke Sinjai tanpa mampir dulu di Bukit Gojeng. Di puncak Gojeng ini pula, para pelancong bisa menikmati panorama kota Balanipa. Kota Balanipa yang tidak begitu besar tetapi nampak asri serupa bidadari cantik nan jelita mematung di bibir Teluk Bone ditemani sembilan bidadari kecil yang menggigil kedinginan di tengah lautan.

Deretan pulau-pulau itulah yang dikenal dengan Pulau Sembilan. Pulau-pulau Sembilan terdiri dari 9 buah pulau yakni Pulau Burungloe, Pulau Liang-liang, Pulau Kambuno, Pulau Kodingare, Pulau Batanglampe, Pulau Katingdoang, Pulau Kanalo 1, Pulau Kanalo 2, dan Pulau Larearea. Kesembilan pulau-pulau tersebut dianggap keramat oleh para nelayan dan penduduk setempat. Konon bila nelayan memasuki kawasan Pulau-pulau Sembilan tanpa ‘permisi’ dulu maka perahu mereka akan ditenggelamkan oleh penunggu kawasan Pulau-pulau Sembilan. Entah benar atau tidak.

Aku punya pengalaman melewati Pulau Sembilan yang terkenal angker itu. Saat liburan penaikan kelas dari kelas satu ke kelas dua di SMU Bikeru, aku berlibur ke Kolaka ke rumah keluargaku selama sepuluh hari. Saat itu pelabuhan penyeberangan Bajoe(Bone)-Kolaka di Kabupaten Bone belum berfungsi. Pun Pelabuhan Larea-rea yang sekarang ini sedang dibangun waktu itu belum ada kabar beritanya. Jadilah aku berangkat ke Kolaka lewat rute Sinjai-Kolaka dengan kapal tradisonal yang digerakkan oleh motor mesin dan layar. Saat itu ada dua kapal yang akan berangkat, tapi cuma satu kapal yang berfungsi mesinnya dengan baik, yang satunya rusak dan akan diperbaiki di Kolaka. Jadi kapal yang bagus menarik kapal yang rusak dengan menggunakan tali. Karena kapal yang bagus sudah penuh muatan, aku bersama dengan sepupuku yang bernama Tekko serta seorang nakhoda kapal yang bernama Rustam berada di kapal yang rusak tersebut. Kebetulan kapal berangkat di malam hari dan harus melewati kawasan Pulau-pulau Sembilan. Saat melewati Pulau-pulau Sembilan, Rustam membangunkan aku dan Tekko untuk membuang telur yang diperuntukkan untuk penjaga kawasan yang angker itu. Hanya Tekko yang bangun, aku sendiri yang baru pertama kali naik kapal layar kala itu masih mabuk oleh hempasan gelombang.

“Ombaknya belum seberapa lah.” Rustam berkata padaku dengan logat Malaysia, ia memang pernah jadi TKI di Malaysia sebelum jadi nakhoda kapal. Meski ombaknya biasa-biasa saja, aku sudah muntah-muntah.

“Bangun! Ini kawasan Pulau Sembilan yang keramat.” Aku tak perduli dengan omongan Rustam dan Tekko meski omongannya bernada memaksa.

Besoknya kami bertiga kaget bukan main, karena tali yang digunakan untuk menarik kapal yang kami tumpangi terputus di tengah jalan dan tak seorangpun yang mengetahuinya. Rustam dan Tekko sangat ketakutan. Mereka menganggap akulah yang menjadi penyebabnya. Penunggu kawasan Pulau-pulau Sembilan murka karena aku tidak bangun membuang telur padahal aku baru pertama kali melewati kawasan itu. Jadilah aku yang menenankan Tekko dan Rustam. Meski aku juga dilanda kecemasan yang amat sangat, tapi sebagai orang beriman, aku lebih percaya pada Allah Azza Wajalla daripada penunggu Pulau Sembilan itu. Aku terus berdoa semoga kami beroleh selamat dan berharap ada kapal nelayan yang lewat di sekitar kami.

Setelah kami terombang-ambing selama satu hari di tengah lautan barulah kemudian bertemu dengan kapal yang menarik kami semula. Nakhoda kapal yang menarik kami mengaku tak tahu kalau tali penarik itu putus di tengah jalan. Kulihat semua penumpang komat-kamit, mungkin membaca doa atau mantra, ada juga yang memercik air ke lautan serupa Puang Sanro memercik air di Sungai Bejo. Mereka yakin yang memutuskan tali itu pastilah penjaga Pulau Sembilan. Aku tenang-tenang saja karena sudah bertemu kembali dengan kapal yang menarik kami. Kesimpulanku, tali itu putus karena memang talinya sudah tua. Kalau tidak ada yang tahu dan merasakan ketika tali putus karena memang kejadiannya pada tengah malam di saat semua penumpang sedang tidur lelap. Nakhoda kapal pun mungkin agak mengantuk dan tidak memperhatikan keadaan kapal.

“Untung saja penghuni Pulau Sembilan tidak menenggelamkan kapal kita.”

Kudengar seseorang memberi komentar. Karena sudah menguasai diri, aku tertawa saja mendengar komentar orang tua itu. Menurutku adalah hal yang biasa kalau ada perahu nelayan yang tenggelam di sekitar wilayah Pulau-pulau Sembilan karena memang disitu ada pertemuan arus sehingga air laut terkadang menderas dan meliuk-liuk di saat gelombang datang. Seperti halnya dengan Segitiga Masalembo di Teluk Mandar, atau Segitiga Bermuda di Lautan Atlantik. Tapi pertemuan arus di kawasan Pulau Sembilan tidak segalak dengan Segitiga Masalembo, atau tidak sekejam Segitiga Bermuda. Tapi begitulah keangkeran kawasan Pulau-pulau Sembilan tersebut menurut orang-orang yang percaya. Meski aku tak percaya tetapi tetap saja bulu-bulu kudukku merinding mengingat kejadian yang telah berlalu. Andai kapal penarik tidak menemukan kami, mungkin kami sudah tenggelam di laut lepas dan mayat kami dicincang oleh segerombolan ikan hiu. Atau kami terdampar di New Zealand ketemu dengan suku Maori. Atau terdampar di Australia ketemu dengan suku Aborijin.

Laiknya Pulau Sembilan, Taman Purbakala Batu Pakke Gojeng juga dianggap keramat oleh sebagian orang. Menurut kepercayaan masyarakat yang berdomisili di kawasan itu, Bukit Gojeng mempunyai ‘penunggu’. Penunggu Batu Pakke Gojeng mewujud menjadi seekor ayam hitam yang ekornya panjang yang konon telah berusia ratusan bahkan ribuan tahun. Banyak yang meyakini, bila seseorang menjumpai sosok ‘penunggu’ itu maka ia akan beroleh celaka ataupun orang-orang terdekatnya akan ketiban sial. Bahkan tahun sebelumnya, sehari sebelum Pasar Sentral Balanipa dilalap oleh si jago merah dan menghanguskan seluruh ruko yang terbuat dari kayu, banyak warga yang melihat penjaga Batu Pakke Gojeng itu menyatu dengan ayam-ayam ternak penduduk sekitar. Bahkan ada warga yang mengaku melihat manu bolong petti (ayam hitam pekat) itu bertengger di pintu gerbang Pasar Sentral Balanipa sebelum terjadi kebakaran. Yang menyeramkan, ada warga mendengar ayam hitam itu berbunyi meraung-raung serupa orang menangis. Begitulah orang-orang yang percaya pada hal-hal berbau mitos, selalu menghubung-hubungkan kejadian ini kejadian itu. Tapi memang bisa saja jadi petanda. Tanda-tanda alam. Maka bersahabtlah dengan alam! Begitulah pesan penyanyi Ebiet G Ade.

Meski banyak cerita bahwa Bukit Gojeng agak angker dan keramat, aku mencoba meyakinkan teman-temanku yang menjadi anggota Kompita untuk tidak takut berkunjung ke kawasan itu. Memang semua tempat yang dikunjungi itu ada ‘penunggunya’, makanya kita sebagai pendatang atau sebagai tamu harus menghormati ‘tuan rumah’. Tapi kita harus yakin bahwa hanya Allah saja Yang Maha Kuasa dan menentukan takdir manusia. Kita tidak boleh mempercayai bahwa penunggu itu maha kuasa dan menentukan baik buruknya nasib kita, tetapi kita tidak boleh sombong dan takabbur. Karena memang Allah menciptakan sesuatu yang gaib dan kita harus percaya pada yang gaib itu. Begitulah yang aku dengar dari Kiyai Haji Ahmad Marsuki Hasan di pengajian Pesantren Darul Istiqamah Sinjai. Soal petuah agama, aku memang banyak berkhidmat pada beliau, beliau adalah sosok yang sangat alim dan punya kelebihan khusus. Bayangkan, beliau sudah berusia 80-an dan kalau berjalan harus pakai tongkat atau dipapah, tapi beliau masih bisa memimpin sholat malam sampai berjam-jam lamanya. Dayat, Anton, dan Aku selalu mengikuti pengajian Kiyai Ahmad Marsuki Hasan setiap malam Jumat. Bahkan di bulan Ramadhan kami mengikuti program Shalat Lail di Pesantren Darul Istiqamah pimpinan beliau.

“Kalau begitu Hutan Lindung Balang juga mempunyai penunggu.” Hutbah bergidik.

“Pastilah ada.” Dayat meyakinkan Hutbah.

“Apakah penunggunya berwujud manusia atau berwujud binatang?” Hutbah penasaran.

“Penunggunya berwujud manusia, laki-laki dan perempuan. Ada juga penunggunya seorang bidadari cantik nan jelita.” Kala itu aku yang menjawab sambil mengerling ke arah Nia.

“Bidadari cantik?” Umar ikut penasaran.

“Ya, itu bidadarinya.” Sekali lagi aku mengerling ke arah Nia.

“Jangan main-main Beddu!” Koor Hutbah dan Umar. Kedua teman kami itu memang rasa keingintahuannya tinggi, cuma terkadang mereka kurang tanggap dan setiap perkara harus dijelaskan secara runut dan runtut. Pun sering menuntut.

“Maksudku penunggu Hutan Lindung Balang itu adalah orang yang menjaga kelestariannya. Ya, kita-kita ini sebagai anggota Kompita.” Aku tersenyum.

“Ooo…begitu…ternyata bidadari itu ada dalam penguasaan Beddu.” Hutbah merasa punya kesempatan lagi menggoda Nia.

Kami semua tertawa atas joke-joke kami yang segar. Kulihat Nia menunduk dengan muka memerah. Entah apa yang ada dibenaknya, karena barusan juga aku bercanda memuji kecantikannya. Aku memujinya secara refleks saja. Kalimat itu mengalir saja. Belakangan itu memang aku melihat Nia selalu tersipu-sipu bila aku memandangnya sekilas. Dan aku suka melihat wajahnya yang tersipu-sipu, bola mata berputar-putar, menunduk malu, bersemu merah, memandang sekilas, lalu senyum dikulum, begitu indah. Begitulah sikap gadis desa sebenarnya. Meski Nia pernah sekolah di Pesantren IMMIM yang notabene banyak teman-temannya dari kota, tapi aku melihat Nia tetaplah sosok gadis desa yang terkadang pemalu, tetapi tetap ramah dan sopan. Cuma sekali saja aku melihat Nia tidak ramah dan tidak sopan, ketika dia mengembalikan surat cintaku dulu.

Kami memilih berkunjung ke Bukit Gojeng pada hari Sabtu sore. Kami memang punya waktu hanyalah Sabtu sore dan hari Minggu. Kami sengaja tidak berkunjung pada hari Minggu karena biasanya pengunjung sangat ramai. Di hari Sabtu sore kami bebas melihat-lihat pemandangan tanpa berdesak-desakan dengan pengunjung lain. Selain itu, tujuan kami mengunjungi Bukit Gojeng bukan sekedar rekreasi saja tapi ingin mengetahui banyak hal tentang Bukit Gojeng, tentang mitos-mitosnya. Kompita berencana membuat laporan tentang tempat-tempat yang mempunyai nilai historis yang dikunjungi. Laporan itu akan disimpan di perpustakaan sekolah sebagai bacaan muatan lokal bagi teman-teman lain. Selama itu memang kami tak punya bacaan-bacaan yang bertema lokal. Jadilah kami tidak banyak mengetahui cerita-cerita tentang kampung kami sendiri. Entah siapa yang salah. Tapi kami bukanlah generasi yang suka menyalahkan, tapi kami adalah generasi yang bekarya nyata.

Kami mendaki puncak Gojeng dengan ditemani seorang penjaga Gojeng yang bernama Pak Bennu yang berumur sekitar 60-an. Kami sengaja memintanya dengan sedikit uang tips karena kami yakin dari usianya yang kian senja pasti banyak tahu dengan cerita-cerita yang berhubungan dengan Bukit Gojeng baik itu berupa mitos, legenda, atau pun dongengnya.

Sebagai anggota Kompita yang punya visi menjaga dan melestarikan hutan serta mengunjungi tempat-tempat bersejarah, kami banyak mempelajari bahwa kekayaan budaya dalam suatu masyarakat merupakan ruh dari masyarakat tersebut. Cerita-cerita keangkeran suatu tempat bisa menjadi sebuah budaya lokal apabila mampu digali secara baik dan dituliskan. Kala itu aku sudah bercita-cita untuk menjadi penulis dan mengangkat budaya-budaya lokal daerah kami. Mungkin nanti aku akan mengangkat cerita cinta tapi yang berhubungan dengan adat istiadat orang Sinjai atau budaya Bugis-Makassar. Bahkan menulis aneka budaya dan adat istiadat yang begitu beraneka ragam di seluruh pelosok nusantara tercinta.

Di puncak Gojeng, kami benar-benar menikmati pemandangan kota Balanipa. Bukan hanya itu, kami juga menikmati cerita Pak Bennu yang berhubungan dengan Bukit Gojeng. Ada satu cerita Pak Bennu yang sangat mengharubirukan perasaan kami, bahkan kulihat airmata Nia menetes karena menjiwai cerita tersebut. Tapi Pak Bennu meminta kami untuk tidak menuliskan cerita tersebut karena cerita itu diragukan kebenarannya, bahkan dianggap dongeng saja. Tapi Buat kami anggota Kompita, apapun namanya, baik berupa mitos, legenda, atau dongeng pastilah ada hubungannya dengan budaya setempat. Olehnya itu harus digali untuk kekayaan budaya setempat.

Pak Bennu lalu bercerita. Konon, dahulu kala pernah ada sepasang kekasih yang bunuh diri di puncak Bukit Gojeng. Sepasang kekasih itu bernama La Bandu dan Andi Besse. Masih tanda tanya sebenarnya apakah mereka berdua sengaja bunuh diri atau sengaja dibunuh. Yang jelasnya keduanya ditemukan tewas di puncak Gojeng. Keduanya menjalin cinta terlarang. La Bandu yang turunan ata terlarang bersanding dengan Andi Besse yang turunan bangsawan. Tapi keduanya tetap merajut tali kasih dan memahatnya pada kata cinta yang tak direstui oleh adat mereka. Hubungan terlarang itu membuat sang raja murka dan mengusir anak putrinya. Akibat tindakan putrinya yang menjalin cinta terlarang, Raja merasa ditimpuki dengan berton-ton tahi kelelawar. Sebuah aib yang tak ada duanya.

“Tapi cerita ini sengaja ditutup-tutupi.”

Pak Bennu mengambil nafas sesaat, seolah ingin menegaskan kembali pada kami bahwa kisah yang ia ceritakan adalah cerita rahasia dan kami terlarang menyebarluaskannya. Entah ada apa dibalik cerita Pak Bennu, seperti cerita bermuatan politis saja. Kami tak sabar menunggu Pak Bennu melanjutkan ceritanya.

“Andi Besse adalah turunan Puatta yang masih sangat dililit oleh beribu macam sabda dan pemali. Ia pun masih diikat, bahkan dicegat oleh adat bila ingin merekat tali kasih dengan pria yang tak sepadan baginya. Sementara La Bandu adalah turunan ata yang sungguh tak pantas meminang anak Puatta. Orang biasa saja tak pantas mempersunting ana’dara turunan sompa empat enam apalagi yang masuk golongan ata’ seperti La Bandu.”

Begitulah kerajaan-kerajaan di Sinjai dahulu kala membagi masyarakat ke dalam beberapa sompa. Sompa 46 yang dimiliki oleh turunan bangsawan tulen. Sompa 44 dimiliki oleh turunan bangsawan tapi tidak lagi bergelar puang. Kedua sompa inilah yang memiliki ata’. Selanjutnya sompa 42 yang dimiliki oleh orang-orang awam, mereka tidak mempunyai ata’ sekaligus tidak diper-ata-kan yang biasa disebut to’ maradeka. Sedangkan sompa terendah sekelas sompa ata’ adalah sompa 36 dan sompa 22. Sompa 22 dimiliki oleh orang yang benar-benar turunan ata’. Sompa 36 dimiliki oleh ata’ yang sudah campuran Sompa 42, 44, pun 46. Terkadang orang-orang yang mempunyai sompa 36 selalu mau disebut puang dan bangsawan.

Dengan sistem kasta seperti itu, Andi Besse resah karena banyak tantenya yang terpaksa kering jodoh gara-gara terbakar statistik sompa. Karena turunan ningrat, peluang jodoh hanyalah dari laki-laki turunan ningrat pula. Sedangkan laki-laki turunan ningrat biasanya bebas memilih jodoh dari kalangan manapun. Dimana pun, lelaki biasanya punya teori sama dalam mencari jodoh ‘yang penting cantik dulu’. Dan tentu saja tantenya Besse kering jodoh selain karena peluang jodoh memang sedikit, pun tak begitu cantik rupawan. Besse? Tak mungkinlah ia akan kering jodoh seperti tantenya, karena hanyalah lelaki yang minder duluan yang tak mau mendekati Besse. Selain bangsawan dan hartawan, Besse pun sangat cantik rupawan, plus tutur kata yang lembut dan menawan. Tentu saja, La Bandu meraih kasih dan cinta Besse dengan modal pas-pasan plus nekat, meski ujung-ujungnya ia dipagut oleh sakaratul maut.

“Mengapa orang tua Andi Besse tidak rela menerima La Bandu jadi menantunya Pak?” Nia yang biasanya laksana bidadari yang selalu mematung di teluk Bone kala itu sangat penasaran dengan cerita Pak Bennu. Ataukah karena ia mempunyai sompa 46? Kala itu aku yang bertanya-tanya dalam hati.

“Orang tua Andi Besse sangat malu punya cucu yang jadi ata.”

“Kok ata?” Hutbah ikut-ikutan penasaran.

“Ya. Karena yang menentukan garis keturunan adalah sompa pihak laki-laki. Meski pun anak darah daging Besse tapi tetesan darah dari La Bandu, maka yang menentukan adalah sompa La Bandu.”

Kami semua mengangguk-angguk pertanda memahami penjelasan Pak Bennu. Sebagian dari kami sangat terharu dengan cerita itu. Nampaknya hanya aku yang tak begitu terharu karena cerita tentang La Bandu dan Andi Besse sudah aku dengar dari ayahku. Yang paling aku suka dari ayahku memang adalah kepiawaiannya mendongeng yang kala aku masih kecil aku menyebutnya mapparumama (mungkin dari kata perumpamaan). Karena kami tak punya teve atau radio di rumah, maka ayahku selalu mapparumama sebagai hiburan buat anak-anaknya. Ayahku mapparumama sebagai hadiah buat kami. Biasanya sebelum mapparumama, kami harus belajar dulu, atau mengaji dengan baik. Kebiasaan mapparumama ayahku itulah yang membuatku banyak mengetahui cerita-cerita rakyat. Sayangnya, kebiasaan ayahku tidak menular pada orang tua sekarang ini. Bahkan anak-anak sekarang bebas memilih tontonan sendiri. Celakanya banyak tontonan yang tak layak jadi tuntunan, padahal proses belajar anak-anak adalah meniru.

“Begitulah ceritanya Nak.” Pak Bennu mengakhiri ceritanya.

Senja memang mulai merapat di Bukit Gojeng. Kami harus segera meninggalkan Bukit Gojeng. Menurut Pak Bennu saat-saat seperti itu tak baik berada di Puncak Gojeng karena biasanya penjaga Bukit Gojeng yang berwujud ayam hitam akan berkeliaran. Meski aku tak percaya dengan hal-hal yang berbau angker, aku juga tak mau sombong sebagaimana pesan Kiyai Haji Ahmad Marsuki Hasan padaku.

Senja kian merapat.

Aku menatap ke bibir pantai. Kota bidadari itu benar-benar cantik tatkala para nelayan di kawasan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Lappa mulai menyalakan lentera pada bagang-bagang mereka. Sebentar lagi mereka akan segera melaut. TPI Lappa memang dikenal baik di seluruh pelosok Sulsel. Konsumsi ikan untuk mayoritas masyarakat Sulsel sebagian besar disuplai dari Sinjai. TPI Lappa Sinjai oleh sebagian besar nelayan di Teluk Bone, menjadi tempat yang strategis mendaratkan dan memasarkan hasil tangkapan ikan setelah berhari-hari di laut lepas. Aku kian memperhatikan kawasan TPI Lappa dan Sungai Tangka. Nampak dari kejauhan, kota Balanipa membentuk siluet bidadari yang menggiring aku pada kisah cinta La Bandu dan Andi Besse.
Meski aku menganggap cerita sompa itu sebagai warisan adat saja. Tapi tiba-tiba aku disemat keresahan. Aku tahu, Nia mempunyai sompa 46 seperti Andi Besse, aku memang tidak seperti La Bandu yang bersompa ata, tetapi tetap tidak akan direstui oleh adat untuk bersanding dengan sompa 46 karena aku hanyalah sompa 42. Sompa 46 sebenarnya masih direstui oleh adat menikah dengan sompa 42 asalkan laki-lakinya yang sompa 46 dan perempuannya yang sompa 42. Sedangkan aku dan Nia sebaliknya. Sebenarnya bukan soal sompa saja yang kukhawatirkan, tetapi perbedaan aku dan Nia memang terlampau jauh. Keluarga Nia berpangkat dan berharta.

“Kak Beddu, kok melamun. Teman-teman semua sudah turun bersama Pak Bennu?”

Tiba-tiba Nia mengangetkan aku dari kisah cinta La Bandu dan Andi Besse. Aku kaget sekaligus heran mengapa teman-temanku tidak mengajakku turun bersama-sama. Ataukah Hutbah yang punya skenario supaya aku dan Nia berdua-duaan? Ataukah mereka sengaja mengetes keberanianku yang memang selalu mengaku tidak takut pada tempat-tempat angker?

“Nia! kenapa kamu tidak ikut bersama mereka?” Tanyaku heran.

“Apakah kakak tak senang Nia ada disini?” Ia balik bertanya sambil menatapku.
Aku heran saja karena selama itu Nia selalu tampak malu-malu padaku, apalagi ketika aku mencandanya sebagai bidadari penjaga Hutan Lindung Balang. Ia terus menatapku. Tapi bukan tatapan bidadari nakal. Aku percaya padanya.

“Bukan begitu Nia, tempat ini angker.” Jawabku.

“Aku tak takut karena ada kak Beddu yang menjagaku, seperti La Bandu menjaga Andi Besse.”

“Nia…” Aku tercegat.

“Kak, aku masih merasa bersalah sama kakak atas kejadian yang dulu. Aku sangat menyesal memperlakukan kakak dengan tidak sopan. Aku….”

“Lupakan saja Nia, aku sudah melupakan peristiwa itu.” Aku memotong kalimatnya.
Nia menunduk. Aku memandang jauh ke arah bagang-bagang nelayan yang sudah mulai menuju kawasan Pulau-pulau Sembilan. Meski dikenal angker, kebanyakan nelayan tetap mengunjungi kawasan itu karena banyak ikannya.

Magrib sebentar lagi menyapa.

Aku harus turun ke bawah menuju tempat penginapan dan bergabung dengan teman-teman lainnya.

“Ayolah Nia kita turun ke bawah, nanti kita ketinggalan sholat Magrib.”
Aku bangkit dari tempat dudukku. Nia masih juga belum bangkit dari tempat duduknya. Aku memandang jauh ke arah bagang-bagang nelayan yang mulai lalu lalang seperti kunang-kunang. Mataku mampir ke Pasar Sentral Balangnipa yang pernah terbakar.
Lalu.

“Kukuruyuuuk…”

Tiba-tiba kami tersentak. Bunyi itu membuat kami merinding. Nia langsung bangkit merapatkan tubuhnya dengan tubuhku dengan wajah memucat. Kupegang erat tangannya karena aku tak mau berpelukan. Tapi saking terkejutnya, ia memelukku refleks saja. Akupun tiada mau mengecewakannya. Aku merangkulnya. Aku kikuk, tapi aku berusaha menepisnya. Kurasakan tubuh Nia begitu dingin.

“Tenang! Itu cuma bunyi ayam kampung.” Kataku meyakinkan meski bulu kudukku juga ikut berdiri.

Aku mencoba menenankan perasaanku. Bagaimana pun saat itu aku adalah pelindung buat Nia dan buat diriku sendiri. Aku yakinkan diriku sendiri kalau memang yang berbunyi adalah penunggu Bukit Gojeng, ia juga makhluk ciptaan Tuhan. Aku membaca ayat kursi tiga kali untuk menguatkan hatiku. Kulihat Nia kian pucat. Kuberanikan diri kian memeluknya erat. Kubelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Tapi aku sedikit gemetar. Mungkin Nia menyangka aku gemetar karena juga takut akan bunyi ayam misterius itu. Padahal bukan. Aku gemetar karena tubuhku bersentuhan dengan tubuh perempuan yang selama itu mengusik mimpi-mimpiku. Dan baru kali itu aku memeluk perempuan karena terpaksa untuk melindunginya dari rasa takut. Aku takut kejadian itu akan membuatnya sakit. Aku tak mau ia sakit. Aku sayang dia. Aku tak bisa membohongi kata hatiku. Dan tentu aku merasa sangat bahagia bisa memeluk Nia. Bukan karena aku memanfaatkan kesempatan, tapi karena aku bisa mengayominya. Mengayomi sebenarnya adalah identitas laki-laki dan kebutuhan perempuan. Begitulah menurut buku yang pernah aku baca di perpustakaan “Men are from Mars, woman are from Venus” karangan John Grey.

“Tenang sayang!”

Aku menenankan Nia dengan terus merangkulnya. Aku juga sedikit penasaran. Mana mungkin ada ayam kampung berbunyi jam-jam begitu. Tapi aku mencoba tegar dan menegarkan Nia. Kalaupun yang berbunyi adalah ayam ‘penjaga’ Bukit Gojeng itu, aku berharap bukanlah pertanda buruk bagiku, bukan pula tanda-tanda bahwa bila aku saling mencintai dengan Nia, kami akan dipisahkan oleh takdir. Ataukah kalau memang penunggu Bukit Gojeng berbunyi, mudah-mudahan adalah peringatan bagiku bahwa jalan hidupku masih penuh cobaan dan tantangan. Intinya, semua tanda-tanda alam harus kuarahkan pada hal-hal yang positif, bukan pada hal-hal negatif yang akan melemahkan semangat hidupku.

Kemudian kami berdua segera turun ke bawah. Nia tetap memegang tanganku erat. Aku pun memegang tangannya kuat-kuat sebagai simbol aku melindunginya. Aku ingin segera sampai di tempat penginapan. Aku ingin memarahi teman-temanku yang sengaja meninggalkan kami berdua di Bukit Gojeng.

Sesampai di tempat penginapan di rumah keluarga Umar yang memang tak jauh dari Bukit Gojeng. Aku menampakkan raut cemberut. Belum juga aku mengomel pada mereka. Hutbah sudah menyambutku dengan segala keusilannya.

“Hmm, ada cinta ya di Bukit Gojeng.”

Aku tak perduli dengan Hutbah. Perhatianku langsung tertuju kepada Umar sebagai ketua Kompita.

“Tidak semestinya kalian tinggalkan kami berdua di Bukit Gojeng menjelang maghrib.”

“Hu…Hutbah yang punya ide.” Umar menjawab geragapan.

“Tidak apa-apa kan Beddu, Kamu kan tidak penakut.” Kilah Hutbah.

“Bukan soal penakut tidaknya Hutbah. Cuma kalian tinggalkan kami berdua dengan Nia di saat menjelang Magrib seperti itu, apakah kalian rela ada hal-hal yang tidak diinginkan menimpa kami berdua?”

Setelah aku jelaskan peristiwa yang terjadi di Bukit Gojeng yang membuat Nia masih pucat, barulah teman-teman mengerti dan sadar akan kesalahannya. Mereka minta maaf dan berusaha menghibur Nia. Aku jelaskan pada mereka bahwa sebenarnya yang membuat orang sakit sepulang dari mengunjungi tempat-tempat yang dianggap angker bukan karena penjaga tempat yang murka, tapi si pengunjung yang mungkin terkejut sehingga jantungnya berdegup kencang, peredaran dan tekanan darahnya tiba-tiba berubah. Itulah yang menyebabkan sakit. Aku juga jelaskan pada mereka bahwa pergantian siang ke malam sering dianggap saat-saat paling angker di suatu tempat yang memang angker ataupun tidak angker, karena saat-saat seperti itu semua makhluk dimuka bumi berlalu lalang, makhluk gaib, makhluk galib, pun makhluk yang kasat mata. Makhluk yang beraktifitas siang berarti pulang ke tempat tinggalnya. Sebaliknya makhluk yang beraktifitas malam mulai keluar dari tempat peraduannya. Itulah sebabnya orang tua berpesan jangan tidur menjelang magrib dan pada pagi hari. Bahkan ilmu hitam dan ilmu pelet biasanya digunakan pada saat-saat menjelang magrib dan menjelang pagi hari. Begitulah yang selalu aku dengar dari orang-orang tua di kampung.

“Apakah parakan juga muncul di pergantian waktu tersebut?”Ambo Sakka penasaran.

“Benar. Karena parakan itu kebanyakan beraktifitas malam, maka saat-saat menjelang magrib itu ia juga keluar dari sarangnya, begitulah yang aku dengar dari ayahku.”

“Kalau poppo?” Pertanyaan Ambo Sakka kian menakutkan.

“Sudahlah Ambo.” Hutbah bergidik.

“Poppo juga beraktifitas malam.” Jawabku.


Begitulah. Malam itu teman-temanku mengerti dan tidak menggodaku terutama Hutbah tatkala aku berusaha menemani dan menghibur Nia. Aku mengajaknya berbicara dan bercanda sampai ia benar-benar mengantuk dan hendak tidur. Aku tak mau Nia mengingat pengalaman Magrib di Bukit Gojeng yang bisa membuatnya sakit. Aku juga takut Nia akan kesurupan sebagaimana yang sering terjadi bila orang berkunjung ke tempat keramat. Menurut Kiyai Ahmad Marsuki Hasan, orang itu kesurupan karena mereka berkhayal kosong sehingga dimasuki roh jahat. Makanya seseorang tidak boleh membiarkan pikirannya kosong, mereka harus selalu mengingat Allah. Aku juga mengingatkan Nia demikian. Nia hanya tersenyum serupa senyum bidadari padaku yang membuat mataku susah terpejam sampai pagi hari. Tapi aku sangat bahagia, karena tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada Nia kala itu.