Selasa, 14 Juni 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 14. SAVE THE MOTHER! SAVE THE MOTHERLAND)

14. SAVE THE MOTHER!
SAVE THE MOTHERLAND!

Menghadapi ujian akhir sekolah, kami yang duduk di kelas tiga saat itu tak bisa lagi aktif pada acara-acara eksternal Kompita. Maka untuk memperlancar urusan-urusan Kompita, diadakanlah pemilihan ketua yang baru menggantikan Umar. Pemilihan ketua Kompita diadakan di bukit Bulu Paccing yang berada di belakang sekolah kami yang berjarak sekitar tiga ratusan meter. Sengaja kami memilih bukit itu karena paling dekat dari sekolah kami dibandingkan dengan Hutan Lindung Balang atau Bukit Gojeng. Lagi pula, ketua Kompita yang akan terpilih pada saat itu harus fokus menghijaukan Bukit Bulu Paccing.

Tidak seperti waktu rapat penentuan apakah perempuan bisa jadi anggota Kompita yang kala itu Umar dan Hutbah sempat melontarkan gagasan masing-masing. Hutbah kala itu tidak setuju kalau perempuan jadi anggota Kompita, sebaliknya Umar setuju. Maka pada pemilihan ketua Kompita menggantikan Umar tak ada lagi dikotomi antara perempuan dan laki-laki, semua sama saja. Dengan Kompita bukan hanya kami belajar mencintai lingkungan dan hutan tetapi juga belajar berdemokrasi, beremansipasi, memahami, dan menerima saran dan pendapat. Setelah melalui proses demokrasi dan diskusi yang cukup alot laiknya pemilihan ketua partai politik maka terpilihlah Nia sebagai ketua Kompita menggantikan Umar.

Kami mendukung sepenuhnya atas terpilihnya Nia. Sebagai perempuan, Nia mempunyai visi yang visioner. Program pertama Nia adalah memperbaiki sticker baru sebagai ciri khas Kompita era kepemimpinan Nia. Nia mengusulkan stricker baru dalam dua bahasa yang berbunyi “SAVE THE THE JUNGLE SAVE THE WORLD! SAVE THE MOTHER SAVE THE MOTHERLAND!” dan “SELAMATKAN HUTAN SELAMATKAN DUNIA! SELAMATKAN IBU SELAMATKAN IBU PERTIWI!”

Selanjutnya Nia menjelaskan panjang lebar makna sticker barunya, “Ibu dan ibu pertiwi adalah dua hal yang harus disayang karena dari keduanyalah sumber cinta dan kasih sayang yang suci. Seorang anak bila ingin bertumbuh dengan sehat dan cerdas maka ia harus menyusu pada ibu, dan bila anak itu sudah dewasa dan ingin hidup bahagia dan sejahtera maka ia harus menyusu pada ibu pertiwi. Bila ibu dan ibu pertiwi murka maka tidak ada lagi kehidupan. Dan yang paling harus dicamkan oleh semuanya adalah murka ibu dan murka ibu pertiwi merupakan murka Tuhan.”

Kami semua memuji ide-ide Nia yang cerdas. Aku sendiri begitu terpesona dengan gagasan Nia yang begitu menjiwai makna ibu dan ibu pertiwi. Aku kian kagum padanya. Nia benar-benar sosok perempuan yang kelak akan jadi ibu dan menjelma jadi ibu pertiwi.

Kami melewati ujian akhir nasional dengan deg-degan. Saat itu Ujian Akhir Nasional, yang kala itu bernama Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasioal (EBTANAS), diujicobakan dengan sistem komputerisasi. Aku sendiri bukan soal ujian yang kutakuti tapi lembar jawabannya yang akan diperiksa oleh komputer. Jangan sampai komputer tak mampu membaca lembar jawabanku.

Kami menjawab soal-soal dengan ekstra hati-hati jangan sampai salah isi. Aku sendiri selalu berdoa agar bisa lulus ujian akhir. Aku memang telah berusaha maksimal dengan belajar keras bukan hanya saat menghadapi ujian tapi setiap saat.
Setelah kami melewati ujiaan akhir, kami benar-benar cemas menunggu detik-detik pengumuman kelulusan tiba. Meski yakin mampu menjawab soal-soal dengan baik, Dayat, Anton, dan aku tetap khawatir kalau-kalau lembar jawaban kami salah isi sehingga tidak lulus. Hutbah dan Umar kelihatan pasrah, tapi keduanya tak begitu resah karena mereka juga sudah belajar keras menghadapi ujian akhir. Mereka selalu bersama kami berlatih menjawab soal-soal pilihan ganda.

Akhirnya tibalah saatnya pengumuman kelulusan sekolah. Tapi saat itu pengumuman bukan ditempel di sekolah tapi di kantor polisi. Jika lembaran pengumuman ditempel di sekolah maka dikhawatirkan siswa yang tidak lulus akan membuat kerusakan, karena memang sudah diprediksi bahwa yang tidak lulus kebanyakan siswa yang malas dan nakal. Kami berlima berencana bila lulus dari sekolah, kami akan langsung menanam pohon pinus atau pohon-pohon lainnya di Bukit Bulu Paccing sebagai ungkapan nadzar. Kami sengaja tidak memilih pagi hari di saat semua teman-teman kami yang lain melihat pengumuman. Di pagi hari, kami berlima mengadakan “ekspedisi khusus” berjalan-jalan ke Hutan Lindung Balang untuk mencari bibit-bibit pepohonan yang akan ditanam di Bukit Bulu Paccing bila lulus Ebtanas. Nanti di sore hari kami akan melihat pengumuman kemudian menuju Bukit Bulu Paccing.

“Nadzar kita kan menanam pepohonan kalau lulus ujian, bagaimana kalau tidak lulus?” Hutbah kelihatan tidak begitu bersemangat mencari bibit pepohonan untuk ditanam karena khawatir tidak lulus.

“Sebaiknya kita lupakan dulu pengumuman sekolah, kita fokus dulu mencari bibit pepohonan.” Dayat menyemangati Hutbah.

“Sebaiknya kita bersegera mencari bibit pepohonan untuk menghijaukan Bukit Bulu Paccing sebelum meninggalkan Bikeru untuk kuliah di Ujung Pandang.” Umar memotivasi seolah-olah kami sudah lulus semuanya.

“Bagaimana kalau ada yang tidak lulus?” Anton sedikit protes dengan ketakabburan Umar yang sudah mengklaim kami akan meninggalkan Bikeru.

“Begini. Masing-masing kita menyiapkan pepohonan yang akan ditanam di Bulu Paccing. Kalau misalnya nanti ada diantara kita yang tidak lulus maka tetap kita kompak berlima ke Bukit Bulu Paccing.” Umar rupanya masih menjiwai jabatannya sebagai ketua Kompita yang kini dipegang Nia.

“Kan kalau tidak lulus, tidak ada kewajiban menanam pohon.” Hutbah keberatan.

“Begini saja. Kita ini kan pemrakarsa Kompita, jadi sebaiknya kita mendukung pendapat Umar. Walau ada di antara kita yang tidak lulus tetapi tetap harus berjiwa besar membawa bibit pohonnya ke Bukit Bulu Paccing. Kalau memang tidak mau menanam pohonnya karena nadzarnya tak kesampaian, kita merelakan teman yang lulus menanam pohon yang kita bawa.” Aku mencoba menengahi.

“Setuju.”

Teman-temanku langsung merespon. Akhirnya kami semangat mencari bibit pepohonan sambil memohon kepada Sang Pencipta pepohonan agar kami semua lulus ujian, lalu mengadakan penghijauan di Bukit Bulu Paccing. Setelah mendapat bibit-bibit pohon kami menuju kantor Polisi Resort Sinjai Selatan di Joalampe. Sekitar lima ratus meter dari kampus SMU Bikeru.

Kami berlima bergandengan tangan erat saat melihat pengumuman. Hutbah yang punya usul agar kami seperti dalam pertandingan sepak bola pada saat adu penalti. Kami berganti-gantian melihat pengumuman. Kesempatan pertama yang mengambil tendangan penalti alias melihat pengumuman adalah Umar, disusul Dayat, Anton, Hutbah, dan terakhir adalah aku.

Kami semua komat-kamit ketika Umar menuju ke papan pengumuman mencocokkan nomor tesnya. Kami terdiam sesaat ketika melihat pandangan Umar kesana kemari dan sesaat menoleh ke arah kami tanpa ekspresi. Lalu.

“Yes!”

Umar berteriak serupa menjebol gawang lawan. Umar lulus ujian. Umar bergabung berpegangan dengan kami. Ia terus tersenyum. Umarlah yang paling bahagia diantara kami. Selanjutnya Dayat maju ke depan. Dayat langsung menatap papan pengumuman sekilas. Dan.

“Yes!”

Dayat langsung sujud syukur. Skor 2-0. Anton maju dengan langkah pasti. Lalu.

“Yes!”

Ia melompat mengacungkan tangan. Skor 3-0. Hutbah bergegas tapi ia kelihatan lemas. Tingkah Hutbah membuat aku deg-degan, ketiga temanku sudah sumringah tapi mereka menahan perayaan kemenangan karena Hutbah dan aku belum melihat pengumuman. Ketika Hutbah mundur ke arah kami, kami terdiam karena Hutbah tidak punya ekspresi apa-apa. “Hutbah tidak lulus.” kami membatin. Tapi ketika Hutbah tiba ke tempat kami semula ia langsung mengangkat bibit pohonnya tinggi-tinggi.

“Yes! Pohon-pohon kesuksesan.”

Hutbah ternyata bercanda. Keempat temanku sudah berpesta karena mereka yakin kami sudah lulus semua. Mereka berpikir aku tidak mungkin tidak lulus.
Aku maju melihat pengumuman. Tapi hatiku tetap deg-degan. Kalau sampai aku tidak lulus, aku pasti akan jatuh pingsan. Aku mencocokkan nomor tesku. Lalu. Aku terdiam. Dan aku mendadak lemas. Dan jatuh di depan papan pengumuman. Kulihat teman-temanku berlarian ke arahku. Tidak ada suara dan tawa dari mereka. Mereka mengerumuniku. Hutbah langsung memelukku sambil menangis. Umar langsung memberiku air putih supaya aku minum. Dayat dan Anton tak bisa berkata apa-apa. Mereka tak percaya dengan kenyataan itu bahwa aku tak lulus ujian. Ketika kulihat dua orang polisi mendekati kami bermaksud menolong kami yang tidak lulus ujian. Aku langsung bangun mengambil bibit pohonku dan langsung mengangkat tinggi-tinggi.

“Allahu Akbar! Hidup pohon cinta! Hidup pohon kenangan! Hidup pohon kemenangan!”

Dayat, Anton, dan Umar geleng-geleng kepala. Hutbah kelihatan lemas dan malu-malu karena ia barusan menangis, pun aku mengalahkan aktingnya. Akhirnya kami merayakan kemenangan fantastik dengan skor 5-0. Polisi yang berjalan ke arah kami tadi akhirnya berbalik arah sambil mengomel.

“Dasar anak-anak nakal!”

Kami tak menghiraukan omelan Pak Polisi.

Kami bergegas ke Bukit Bulu Paccing memenuhi nazar kami. Kami merayakan keberhasilan lulus ujian dengan mengadakan penghijauan. Kami menanam pohon-pohon kemenangan. Tapi kami tetap ikut prihatin karena kami mendengar kabar bahwa ebtanas saat itu benar-benar naas. Hampir seluruh SMU di Sinjai bahkan Sulawesi Selatan anjlok dalam tingkat kelulusan. Di SMU Bikeru sendiri tingkat kelulusan hanya mencapai tiga puluh persen. Di kelas kami, dari empat puluh siswa hanya sepuluh yang lulus. Dan perjuangan kami anak-anak Kompita benar-benar mulus. Semua anggota Kompita dinyatakan lulus ujian.


Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Sabtu, 04 Juni 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 13 FALSAFAH HIDUP)

13. FALSAFAH HIDUP

Kalau aku tipe yang tak percaya kepada segala macam bentuk takhyul atau tempat-tempat keramat. Atau tidak takut kepada parakan, karena memang aku adalah lepasan sekolah agama. Sebelum melanjutkan pendidikan di SMU Bikeru Sinjai, aku bersekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri(MTsN) Tanete Bulukumba. Sebelumnya aku sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Swasta(MIS) Buludatu Kalobba Sinjai Tellulimpoe.

Dari belajar ilmu agama di Madrasah itulah, aku menangkap banyak filosofi-filosofi hidup yang sangat bermakna dalam perjalanan hidupku. Ayat Al-Qur’an yang selalu terngiang-ngiang di telingaku adalah Surah Ar-ra’d ayat 11 yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah tidak akan merobah keadaan suatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Ayat itu menjadi stricker di kamarku, tapi supaya lebih keren aku menuliskannya dalam Bahasa Inggris yang berbunyi, “VERILY, ALLAH WILL NOT CHANGE THE CONDITON OF A PEOPLE AS LONG AS THEY DO NOT CHANGE THEIR STATE THEMSELVES.”

Kadang-kadang ada temanku yang berkunjung ke rumahku dan masuk di kamarku lalu membaca stickerku. Rata-rata mereka menganggap stickerku tidak gaul dan tidak keren, tapi aku cuek saja. Mungkin temanku itu tak bisa menangkap saripati makna dari ayat tersebut. Memang saat itu teman-teman sekampungku yang merasa gaul mempunyai sticker yang rata-rata gaul menurut versi kebanyakan anak muda kala itu. Dayat punya sticker ‘Bongkar’ di samping poster Iwan Fals yang memang sedang menyanyi. Mungkin yang dinyanyikan memang lagu berjudul ‘Bongkar’. Di kamar Anton tertulis ‘Lorong Hitam’. Entah apa yang dimaksud Anton karena dinding kamarnya ternyata bercat putih bersih, tapi disamping sticker itu ada poster grup musik Slank dengan segala ke-slengean-nya. Umar sebagaimana ekspresi jiwanya kala itu tertulis ‘Preman 77’ disamping sticker itu ada poster Ikang Fawzi dengan gaya khas musik roknya mengikat kepalanya dengan pita sambil mengepalkan tangan, mungkin maknanya adalah ‘Sang Preman’ Umar kelahiran 1977. Untung saja sticker itu hanya di kamarnya saja bukan menempel di tasnya karena Pak Chaeruddin sudah pasti akan merazianya. Hutbah seperti biasa ia membuat sticker yang berbau cinta-cintaan. Di kamarnya tertulis ‘Tembang Lara Dukanya Cinta’. Sticker Hutbah mirip judul lagu dangdut. Kala itu memang Hutbah suka lagu-lagu Hamdan ATT. Rambut Hutbah mirip dengan rambut Hamdan ATT, tapi di bawah sticker itu terdapat poster Nike Ardilla dan Desy Ratnasari dalam berbagai pose yang menantang adrenalin kaum Adam. Jujur kuakui bahwa ada juga satu poster Nike Ardilla yang memakai kerudung putih terpampang di kamarku. Mungkin poster itu diambil di Bulan Suci Ramadhan. Poster Nike Ardilla kutempel di kamarku sejak aku mengenal Nia. Asal tahu saja, bias kecantikan Nike Ardilla melekat jelas di wajah Nia. Mata Nike Ardilla dan mata Nia serupa mata bidadari yang siap melumpuhkan keegoisan kaum lelaki. Aku juga selalu menebak-nebak bunyi sticker yang tertempel di kamar Nia. Mungkin stikernya berbunyi ‘Kumbang jelek itu ternyata sayapnya kuat dan cerdas’. Lalu disamping sticker itu terdapat gambar kumbang dan gambar Rony Sianturi, salah satu personil kelompok musik trio libels. Teman-temanku terkadang menganggapku mirip Rony Sianturi, sayangnya aku berkulit hitam karena terbakar oleh nasib yang membuatku banyak bergumul dengan sawah dan hewan ternak sewaktu masih sekolah di Madrasah Ibtidaiyah dulu. Sejak kecil aku banyak di sawah membantu ayahku sekaligus jadi pengembala ternak yang sudah dipakai membajak sawah. Tak salah memang kalau Nia menyebutku kumbang hitam jelek. Gelar kerbau hitam pun layak aku sandang, karena aku mantan pengembala kerbau.

Supaya mempunyai keseimbangan hidup, aku memadukan surat Ar-ra’d itu dengan Surah Ibrahim ayat 7 yang berbunyi: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah ni’mat kepadamu, dan jika kamu mengingkari ni’mat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Aku pun menuliskannya dalam Bahasa Inggris di kamarku yang berbunyi, “IF YOU GIVE THANKS, I WILL GIVE YOU MORE; BUT IF YOU THANKLESS, VERILY, MY PUNISHMENT IS INDEED SEVERE.”

Soal ayat mensyukuri nikmat itu, Umar pernah protes sambil bercanda kepadaku. Kata Umar, tidak semua nikmat harus disyukuri terutama bagi perempuan. Ketika aku tanya nikmat apa yang tak perlu disyukuri, Umar menjawab, “Lelaki tidak boleh bersyukur dengan satu isteri, karena nanti Tuhan akan menambahkannya.” Aku tertawa saja karena pemahaman agama Umar memang pas-pasan. Lagi pula ia sudah tertular endemik kelucuan Dayat dan Anton. Sayangnya ia tidak tahu rumus bercanda.

“Laki-laki yang mempunyai isteri harus bersyukur supaya Allah memberikan rezeki yang melimpah berupa anak-anak yang sehat dan pintar, serta harta yang berkecukupan. Tak boleh berburuk sangka!”

Aku memberi penjelasan pada Umar. Ia hanya manggut-manggut. Semoga saja penjelasanku nyangkut di hatinya, bukan nyangkut di otaknya yang memang gampang diobrak-abrik oleh beragam gagasan yang tak bertanggung jawab. Aku juga jelaskan padanya bahwa tak boleh asal bercanda. Bercanda juga punya rumus dan etika. Bercanda sesungguhnya hanyalah untuk mengurangi ketegangan urat syaraf saja. Bahan candaan cukuplah tema yang ringan-ringan, serta tidak ada pihak yang dirugikan karena candaan itu. Candaan harus bebas dari unsur SARA (Suku, Agama, dan Ras).

Karena dua ayat di atas kusatukan jadi satu motto, aku tak suka dengan pendapat orang yang menurutku agak pesimis lalu mengatakan “Syukuri saja apa adanya.” Motto itu tidak cocok bagi orang yang belum berusaha maksimal. Menurutku kita harus berusaha keras dulu menggapai sesuatu yang dicita-citakan. Apapun hasilnya yang penting sudah berusaha sungguh-sungguh maka harus disyukuri. Aku ingat dengan pelajaran agama di Madrasah Ibtidaiyah dulu yang mengatakan bahwa manusia harus berusaha sekuat tenaganya. Usaha adalah ibadah, beribadah harus sungguh-sungguh, tapi manusia harus tahu bahwa ada usaha manusia yang memang bersifat sunnatullah. Yang sunnatullah itu langsung bisa dilihat hasilnya seperti; kalau kita belajar giat hasilnya kita akan pintar, kalau kita rajin berolah raga hasilnya badan kita akan sehat, kalau kita menjaga kelestarian hutan maka kita akan terhindar dari bencana alam seperti banjir bandang dan longsor. Shalat lima waktu bukanlah sunnatullah, maka kalau kita shalat belum tentu akan kaya secara materi, karena memang pahala shalat akan dibalas oleh Allah di hari akhirat kelak. Tapi kalau kita tidak shalat berarti kita menggali lubang neraka untuk diri sendiri karena seluruh yang bernyawa pastilah akan mati.

Untuk benar-benar menyeimbangkan pola hidupku, aku juga menempel sticker kertas di meja belajarku tentang Hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, “TUNTUTLAH DUNIAMU SEAKAN-AKAN ENGKAU AKAN HIDUP SELAMANYA, DAN BERIBADAHLAH UNTUK AKHIRATMU SEAKAN-AKAN ENGKAU AKAN MATI BESOK.” Sebuah penyemangat yang benar luar biasa bagiku. Aku menyempurnakan stickerku dengan puisi “Doa” Chairil Anwar.

TUHAN!
DI PINTUMU AKU MENGETUK,
AKU TIDAK BISA BERPALING.

Selain belajar ilmu agama, ayahku juga mengajari aku pencerahan-pencerahan budaya lokal Bugis-Makassar, meski sekolahnya hanya sampai Sekolah Rakyat atau SR(Sekarang SD), ayahku bisa baca tulis aksara lontara dengan baik. Lontara adalah aksara asli Bahasa Bugis dan Makassar.

“Begitulah Nak, engkau harus menjadi pribadi yang menyenangkan supaya orang lain senang kepadamu. Engkau harus memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran leluhurmu dalam bergaul. Yang kamu harus pahami dan implementasikan dalam hidupmu diantaranya adalah nilai alempureng (kejujuran), amaccang (kearifan), asitinajang (kepatutan), agettengeng (keteguhan), reso (usaha) serta siri’ (harga diri).”

“Apakah nilai-nilai itu tidak bertentangan dengan agama dan konsep negara kita, Ayah?” Aku menyelidik. Aku takut pengetahuan agamaku dikacaukan oleh konsep budaya setempat serta mengurangi rasa kebangsaan yang sudah mendarah daging dalam tubuhku.

“Tidak anakku, nilai-nilai yang terkandung dalam budaya kita adalah hasil ramuan dari ajaran atau keyakinan nenek moyang serta ajaran Islam. Pun nilai-nilai itu semakin menguatkan nilai-nilai kebersamaan kita sebagai anak bangsa.”

Aku benar-benar tercengang dengan penjelasan ayahku. Meski ia hanya tamatan SD, tapi gaya bicaranya serupa guru PMP(Pendidikan Moral Pancasila, kini bidang studi PKN) di sekolahku.

Ayahku melanjutkan penjelasannya dengan sesekali batuk-batuk, tapi sungguh aku tak pernah mengantuk mendengarnya. Aku mencatatnya baik-baik dalam buku diary khusus yang aku beri tulisan di sampulnya “Pappaseng” (Pesan-pesan). Aku juga mencatatnya dalam Bahasa Bugis tapi versi latin, bukan versi lontara. Di antara nilai-nilai kearifan yang tertera dalam Lontara yang aku harus pegang teguh dalam pergaulan yang aku catat baik-baik itu adalah

Pertama. Kejujuran (Alempureng). Konsep itu berbunyi, “Eppai’i gau’na lempu’naa risalaie naddampeng, niparennuangie temmaceko bettuanna risanresi teppabeleang, temmangoangenngi tania olona, tennaseng deceng rekko nassamarini pudecengngi.” (Ada empat perbuatan jujur: 1.memaafkan orang yang berbuat salah padanya, 2.dipercaya lalu tidak curang, artinya disandari lalu tidak berdusta, 3.tidak serakah kepada yang bukan haknya, 4.tidak memandang kebaikan kalau hanya buat dirinya).

Kedua. Usaha (Reso). Konsep itu berbunyi, “Resopa temmangingi namalomo naletei pammasena dewata sewae.” (Usaha yang sungguh-sungguh disertai keikhlasan yang mendapat ridha Allah Yang Maha Esa).

Ketiga. Harga diri (Siri’). Aku membuat beberapa catatan tentang konsep siri’ diantaranya adalah “Naiya tau matanre siri’e tenna pujiwi minreng, tenna puji toi mellau.” (Orang yang memiliki harga diri itu tidak suka mengutang dan meminta-minta). Bila mengingat poin ketiga itu, aku sangat malu dengan negaraku yang konon katanya setiap bayi yang dilahirkan sudah menanggung utang. Kasihan!

Selanjutnya aku mencatat nilai-nilai kearifan tentang konsep kebaikan yang berbunyi: “Iya ritu decengnge kui mompo ri lempue. Naiya tomalempue ripujiwi ri Allah Taala, narielori ri tolinoe. Apa’nakko malempu’ki, mangkau’ madecengngi ri padatta tau. Naiya gau’ madecengnge ripogau’, nakko tetallei decenna ri aleta, kupasi ri ana’ta, ri wija-wijatta talle decenna. De’ pura-pura tenna pakkecappakiwi deceng Alla Taala tau mangkau’ madecengnge, enrengnge to malempu’e. Naiya gau’ bawangnge, enrengnge cekoe, narekko tetallei ja’na riidi’, kupasi ri ana’ta, ri wija-wijata talle ja’na. Apa’ de pura-pura nakulle tenna cappakeng ja’ gau’ bawangnge, enrengnge cekoe.” (Adapun kebaikan itu, muncul dari sifat kejujuran. Adapun orang jujur, dikasihani oleh Allah Taala, serta disukai oleh sesamanya manusia. Sebab jika kita jujur dan berbuat baik kepada sesama manusia, maka perbuatan baik itu balasannya kalau bukan kepada kita sendiri adalah kepada anak dan turunan kita. Tidak mungkin Allah Taala tidak membalas kebaikan dan kejujuran. Begitu juga sifat kesewenang-wenangan serta keculasan, jika tidak nampak kejelekannya kepada kita, maka dampaknya kepada anak dan keturunan kita. Sebab tidak mungkin perbuatan kejelekan itu tidak berakhir dengan kejelekan, yang diakibatkan dari sifat kesewenang-wenangan dan keculasan.

Sebagai penutup buku diary pappaseng, aku mencatat tiga filosofi kehormatan yang terkenal dengan istilah tellu cappa atau tiga ujung kehormatan. Lelaki Bugis hanya akan disegani dan dihormati bila menjaga tiga ujung kehormatan tersebut.
Pertama. Menjaga ujung lidah. Tidak berkata kecuali yang benar. Tidak berjanji kecuali untuk ditepati. Tidak memerintah kecuali apa yang diperintah sanggup dikerjakan sendiri, artinya mampu jadi teladan. Simpulannya, satunya kata dengan perbuatan.

Kedua. Menjaga ujung keris. Demi harga diri, nyawalah taruhannya. Lelaki Bugis tidak boleh mencari musuh, tapi jika musuh datang menghampiri, tidak boleh mundur meski hanya selangkah. Filosofi yang kedua itu banyak disalahartikan, padahal intinya hanyalah menjaga kehormatan diri, menjaga kehormatan keluarga, bangsa dan negara, filosofi itu juga bermakna rasa nasionalisme yang tinggi.

Ketiga. Menjaga ujung kemaluan. Tidak boleh berzina, tidak boleh berhubungan dengan isteri orang lain. Dan yang paling penting, harus punya turunan yang baik-baik untuk kelangsungan generasi.

Suatu ketika teman-temanku berkunjung ke rumahku. Hutbah iseng-iseng membuka buku diaryku yang berjudul Pappaseng yang memang aku menganggapnya bukan catatan rahasia. Ia langsung berujar
“Sepertinya buku ini berisi jampi-jampi untuk mendapatkan cewek.” Aku menjawab seadanya

“Ya benar, pelajari saja baik-baik isinya!”

Dayat, Umar, dan Anton juga berebut untuk membacanya. Aku tersenyum-senyum. Entah apa yang ada dibenak Dayat dan Anton, belum mau pacaran tapi ikut-ikutan kasak-kusuk mencari jampi-jampi penakluk perempuan. Tapi aku kira sikap Dayat dan Anton normal-normal saja.

“Mana mantra-mantranya Beddu?” Umar penasaran.

“Baca semua isi pappaseng itu lalu amalkan semuanya, pasti kau akan menjadi orang yang baik dan disegani pula, sehingga kau akan disukai oleh cewek.”

Semua tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasanku. Tapi Hutbah kelihatannya lemas dan berguling di kasur. Aku geleng-geleng kepala. Hutbah sepertinya tidak menyadari kelebihannya bawaannya, fisik yang cakep serta warisan yang menggunung, untuk apa pakai mantra segala. Andai ia bisa memahami pappaseng di atas, ia benar-benar bahagia dunia dan akhirat.

Buku diaryku yang berjudul Pappaseng termasuk buku yang aku bawa setiap hari ke sekolah. Setiap aku membaca dan mendapatkan kata-kata bijak aku selalu menuliskannya dalam buku diary Pappaseng. Karena aku suka belajar Bahasa Inggris, aku suka kata-kata bijak Mahatma Ghandi yang berkaitan dengan tenses (bentuk-bentuk waktu). Bentuk waktu dalam Bahasa Inggris hanyalah tiga, yaitu Present Tense(waktu sekarang), Past Tense(waktu lampau), dan Future Tense(waktu yang akan datang), bentuk-bentuk waktu lainnya hanyalah pengembangan dari tiga bentuk ini.

Mahatma Ghandi mengatakan “Yesterday is Past, Tomorrow is Future, Today is Present. So enjoy your present!” (Kemarin adalah masa lalu, besok adalah masa depan, sekarang adalah hadiah. Maka dari itu, nikmatilah hadiahmu!). Sekarang aku baru mengerti mengapa hadiah itu dalam Bahasa Inggris disebut ‘present’. Hadiah bukan yang kemarin(Past) yang memang sudah lewat dan tinggal angan-angan belaka. Hadiah bukan pula besok(Tomorrow) yang belum pasti kedatangannya. Ataupun kalau datang belum tentu menjadi hadiah buat kita. Hadiah adalah hari ini. Ya hari ini. Makanya “Never put off until tomorrow” (Jangan menunda sampai hari esok), karena hari esok belum tentu milik kita. Aku membuka halaman berikutnya buku Pappaseng karena seolah-olah Mahatma Ghandi berteriak kepadaku “Buka sekarang juga bukumu Beddu, jangan belagu! jangan tunggu besok!”

Di halaman terakhir dari halaman diaryku yang sudah terisi kudapati kata-kata yang sangat bergizi yang kian mengipas-ngipas sayapku sebagai kumbang untuk terbang menggapai langit-langit kesuksesan. Meski pernah diteriaki sebagai kumbang jelek oleh seorang perempuan, tapi teriakan itu kian memanas-manasi sayapku untuk terbang meninggalkan jejak kenangan yang tak bermakna. Kata-kata bergizi itu seperti kudengar dan kulihat langsung dari mulut tokoh pergerakan Pakistan, Muhammad Iqbal. “BERAPA LAMAKAH KAU AKAN TETAP MENGGELEPAR MENGGANTUNG DI SAYAP ORANG? KEMBANGKAN SAYAPMU SENDIRI DAN TERBANGLAH LEPAS SERAYA MENGHIRUP UDARA BEBAS DI TAMAN LUAS.”


Aku tersenyum puas. Benar-benar puas. Seolah aku berada di negeri antah berantah. Kiyai Haji Ahmad Marsuki Hasan datang mengelus imanku. Mahatma Ghandi memberiku tongkat kebijaksanaan. Dan Muhammad Iqbal mengepakkan sayapku. “Yes, aku bisa!” Aku berjanji pada diri sendiri.

Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)