Rabu, 01 Februari 2012

LA GALIGO, KARYA SASTRA TERPANJANG DI DUNIA

Kitab sastra La Galigo merupakan kitab sastra klasik Bugis adalah kitab sastra terpanjang di dunia. Pengakuan ini bukan datang dari orang-orang Bugis (baca: orang Indonesia). Jangankan mengklaim sebagai sastra terpanjang di dunia, orang Bugis sendiri awam dengan La Galigo. Yang mengklaim La Galigo sebagai karya sastra terpanjang di dunia adalah para ilmuwan Belanda.

Seorang ilmuwan Belanda yang bernama R.A.Kern dalam bukunya Catalogus van de Boegineesche tot de I La Galigocyclus Behoorende Handschriften der Leidsche Universiteitbibliotheek yang diterbitkan oleh Universiteitbibliotheek Leiden (1939: 1) menempatkan Kitab La Galigo sebagai karya sastra terpanjang dan terbesar di dunia setaraf dengan kitab Mahabarata dan Ramayana dari India, serta sajak-sajak Homerus dari Yunani.

Sejalan dengan pendapat R.A. Kern, sejarawan dan ilmuwan Belanda lainnya, Sirtjof Koolhof, berpendapat bahwa Kitab Galigo adalah karya sastra terpanjang di dunia yang panjangnya mencapai lebih 300.000 baris, sementara epos Mahabarata jumlah barisnya antara 160.000 – 200.000 baris.

Pendapat R.A. Kern dan Sirtjof Koolhof berdasarkan atas 12 jilid naskah La Galigo yang kini berada di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah tersebut ditulis oleh Colliq Pujie Arung Pancana Toa pada abad ke-19 atas permintaan B.F Matthes (1818-1908). B.F Matthes adalah seorang missionaris Belanda yang pernah bertugas di Sulawesi. Sejatinya, Colliq Pujie hanyalah mengumpulkan dan menyalin kembali cerita La Galigo yang sudah mengakar (cerita lisan) pada masyarakat yang mendiami jazirah selatan Pulau Sulawesi –masyarakat Bugis.

Saat ini sudah muncul buku-buku transliterasi La Galigo atas jasa-jasa para kaum intelektual Sulsel seperti Muhammad Salim, M.Johan Nyompa, Fahruddin Ambo Enre, dan Nurhayati Rahman –mereka patut disebut pejuang La Galigo– Tetapi transliterasi tersebut nampaknya masih susah dibaca dan dicerna oleh masyarakat.

La Galigo, hadir dalam bentuk sebuah novel

La Galigo mengalami ‘perjalanan panjang’. Meski lahir di Tanah Bugis, Indonesia, namun ia ‘besar’ di negeri Belanda. Selain salinan naskah aslinya yang terdiri atas 12 jilid yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, Kitab La Galigo pun menjadi primadona bagi para mahasiswa Belanda untuk melakukan riset sastra dan budaya untuk meraih gelar magister dan doktor.

Setelah pulang kampung ke negeri asalnya, hingar-bingar sebagai karya sastra klasik yang ramai diperbincangkan di negeri orang, namun tidak sebingar di tanah kelahirannya.

La Galigo, yang pada tahun 2011 ini mendapat penghargaan khusus karena badan PBB UNESCO menetapkan naskah klasik La Galigo sebagai warisan dunia dan diberi anugerah Memory of The World (MOW).

Anda yang ingin mengetahui isi La Galigo, silakan dibaca novel “La Galigo” yang diterbitkan oleh Penerbit Diva Press Yogyakarta, Januari 2012

Selasa, 24 Januari 2012

POHON-POHON RINDU

16. ADA JANJI DI BULU PACCING

Secara de facto, aku dan Nia sebenarnya sudah menjadi sepasang kekasih. Tetapi tak sah rasanya kalau kami tidak meresmikan hubungan cinta kami secara lisan. Kami sengaja berjanjian bertemu di sebuah pagi yang indah pada saat hari cerah. Kami berjanji bertemu di Bulu Paccing. Bulu Paccing adalah sebuah bukit yang terletak di sebelah selatan SMU Bikeru. Dari puncak bukit itu kami bisa menikmati indahnya pepohonan yang menghijau di Hutan Lindung Balang. Dari kejauhan di ujung utara nampak Taman Purbakala Batu Pakke Gojeng yang indah. Sebuah pagi yang benar-benar indah. Burung-burung lalu lalang semakin menambah indahnya panorama alam. Cericit unggas pagi yang menunggu mentari pagi menemani kami. Di kaki Bukit Bulu Paccing memang menghampar sawah nan luas. Kami memandang puas. Sengaja kami memilih Bukit Bulu Paccing karena kami ingin agar hutan dan pepohonan menjadi saksi hubungan cinta kami.

Perasaanku deg-degan ketika mulai meraih tangan Nia. Entah mengapa perasaan deg-degan itu tiba-tiba melandaku padahal sebelumnya aku sudah memegang erat bahkan memeluknya di Bukit Gojeng. Mungkin karena saat itu berbeda dengan saat ketika di Bukit Gojeng. Di Bukit Gojeng aku memegang tangannya dan memeluknya untuk menghibur dan menguatkannya dari rasa takut. Sedangkan di Bukit Bulu Paccing aku memegang tangannya sebagai ungkapan mencintainya dalam bahasa non-verbal. Lalu.

Kami berpegangan tangan erat. Hanya itu. Kami tak mau berpelukan apatah lagi berciuman. Kami merasa tak pantas dan tak etis melakukannya. Biarlah setan mencap kami kampungan dalam berpacaran, yang jelasnya kami tak mau kesetanan dalam mengenal dan menyatakan cinta. Sesungguhnya kami hanya ingin menyatakan dan menyatukan perasaan dulu. Tangan kami berdua seolah saling mengaliri api cinta. Api cinta yang tak akan pernah padam meski ditelan misteri waktu.

“Nia! Aku mencintaimu, aku menyayangimu. Aku ingin engkaulah cinta pertama dan terakhirku.”

Aku menggenggam tangannya erat. Ia menunduk. Ia menangis. Mungkin ia menyesal dan kesal. Ia tak bisa mengucapkan ucapan yang sama kepadaku. Karena sebelumnya ia memang berpacaran dengan Hutbah.

“Kakak mungkin tidak percaya, tapi kakaklah laki-laki yang pertama yang benar-benar membuatku jatuh cinta.” Ucapnya memohon supaya aku memahaminya.

“Bagaimana dengan Hutbah?” Aku sedikit menggodanya.

“Kakaklah cinta pertamaku, yang sebelumnya hanyalah….” Kalimatnya menggantung.

“Cinta monyet?”

“Semacam itulah mungkin, Kak?”

“Jadi Nia menganggap Hutbah sebagai monyet? Nanti aku lapor ke Hutbah.”

Aku kian mencandanya. Ia menunduk malu-malu, tapi kakinya refleks menginjak kakiku. Sakit, tapi aku tak peduli, karena rasa cintaku padanya mengalahkan rasa sakit itu. Aku terus menatap wajahnya yang menunduk. Baru saat itu aku benar-benar menikmati kecantikan wajah Nia yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Kecantikannya serupa keindahan pepohonan yang menghiasi Hutan Lindung Balang, keindahan alami, kecantikan alami, keindahan dan kecantikan asasi.

Selanjutnya. Tangan kami berpegangan kian erat. Hati kami seolah terikat. Tak ada lagi sekat. Kami merasa berat untuk berpisah. Setelah kami merasa aliran rasa sayang dari kedua tangan kami sudah cukup menyatu dan bersekutu, akhirnya kami saling melepaskan pegangan tangan. Saat itu bukan lagi tangan kami yang berpegangan tapi hati kamilah yang berpegangan erat, terpahat oleh kalimat, bersahabat dengan adat yang ketat. Hati kami saling berjanji tak akan pernah berpisah. Hati kami tak mau mengikuti jejak kisah. Kisah sedih tentang cinta dan pengkhianatan cinta.

“Dik Nia! Besok kakak harus berangkat ke Ujung Pandang untuk kuliah, dan mungkin lama baru kita bisa berjumpa kembali.”

Aku menatap jauh ke puncak pepohonan Hutan Lindung Balang sambil menunggu reaksi Nia atas kepergianku besok.

“Aku selalu dihati kakak dan kakak selalu dihatiku. Hakekatnya kita tak berpisah Kak. Ketahuilah olehmu Kak, hanya kakaklah laki-laki yang kucinta dan kutunggu.” Jawabnya filosofis tapi kurasakan begitu romantis.

“Kini kakak sangat bahagia, kakak sudah ikhlas pergi jauh mengejar cita-cita untuk menggapai cinta.” Aku sedikit menekan kalimatku, karena memang hanya modal pendidikanlah yang bisa kuandalkan di hadapan Nia dan keluarga Nia.

“Tapi aku berpesan, meski kakak sudah kuliah tetapi tetap harus mencintai hutan, karena hutan dan pepohonan menjadi lambang cinta kita.”

“Hutan adalah cinta kita.” Aku meyakinkannya.

“Kakakku sayang! Aku bersumpah atas nama Bukit Bulu Paccing dan Hutan Lindung Balang, aku tak akan menduakan cinta kakak.” Nia bersumpah tapi ia seperti memohon pada pepohonan.

“Adindaku tercinta! Aku pun bersumpah atas nama pepohonan yang menghiasi Hutan Lindung Balang, aku tak akan mengkhianati cinta adinda.” Aku seperti merajuk pada pepohonan yang mulai menghijau di Bukit Bulu Paccing.

Sejenak kami saling diam. Kami bersama-sama memandang jauh. Memandang jejeran pepohonan yang menghijau di Hutan Lindung Balang. Sesekali mata kami menyapu Bukit Gojeng yang jauh di ujung sana membawa kami pada cerita cinta La Bandu dan Andi Besse. Kami terdiam, tapi hati kami saling berjanji dan berbisik bila kami saling kangen maka cukuplah kami memandang hutan. Hutan rindu. Hutan kenangan. Hutan tunangan.


Aku memang sungguh beruntung karena ayah Nia bukanlah sosok ayah Andi Besse yang setiap ucapannya selalu bertaburan sompa, sabda, dan pemali. Ketika mentari pagi sudah mulai tak bersahabat, kami meninggalkan Bukit Bulu Paccing dengan berpelukan perasaan. Hembusan angin pagi yang sepoi-sepoi membuat pepohonan merunduk ke arah kami, seolah pepohonan memohon pada kami, tak boleh ada pengkhianatan cinta, termasuk cinta pada pepohonan. Cinta pada hutan.

Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
6. S a r i f a h (Novel, Penerbit Diva Press Yogyakarta 2011)
7. La Galigo (Novel, Penerbit Diva Press Yogyakarta 2012)

Minggu, 22 Januari 2012

POHON-POHON RINDU

15. TKI, YES! TAPI…

Aku menunggu pengumuman UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dengan harap-harap cemas. Bahkan terkadang aku lemas bila membayangkan tidak lulus nanti. Kalau aku tak lulus UMPTN maka pupuslah sudah harapanku untuk duduk di bangku kuliah pada tahun itu. Orang tuaku tak sanggup membiayai kuliahku bila aku kuliah di Perguruan Tinggi Swasta. Kuliah di PTS memang pembayarannya berlipat-lipat dari PTN. Kala itu, di tahun 1993, SPP di Unhas hanyalah Rp.90.000,- persemester, sedangkan di PTS rata-rata tiga kali lipat dari Unhas. Bukan hanya itu yang membuat para orang tua di kampungku tak semangat bila anaknya kuliah di PTS, karena di kampungku sudah banyak sarjana alumni PTS yang tak punya pekerjaan versi orang kampung. Versi orang kampung, kuliah berarti akan jadi PNS. Jadi jika belum PNS berarti kuliahnya dianggap tidak sukses. Pemikiran yang kurang tepat. Tetapi begitulah pemahaman orang kampung kala itu.

Memang aku tak bisa menutup mata, bahwa banyak sarjana di kampungku yang alumni PTS tertentu back to kampong dengan bekerja dengan imej tak positif sebagai sarjana.
Baron yang alumni Fakultas Sastra di sebuah PTS saat itu membuka kios untuk berjualan di rumahnya bersama isterinya yang juga sarjana dari PTS. Banton yang sarjana Agama lebih memiriskan lagi, ia jadi penjual ikan di pasar, dan bila pergi shalat jumat di mesjid selalu masbuk karena khawatir Sang Khatib absen dan khawatir ia akan ditunjuk sebagai naib. Ataukah Malatta yang alumni Sospol, setiap hari bolak-balik di kampung dengan vespa bututnya dengan mesin yang meraung-raung serupa bunyi mesin penggiling padi. Kata orang, Malatta aktif di MLM(Multi level marketing). Itulah sebenarnya yang meruntuhkan motivasi orang tua untuk menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi. Buat apa membuang-buang uang kalau hanya akan jadi penjual ikan, pedagang kios-kiosan, atau bekerja sebagai MLM. Tapi aku sangat bersyukur, orang tuaku yang tak punya sekolah tinggi-tinggi memiliki pemikiran lain. Ia tak membuat dikotomi PTN dan PTS, intinya anak harus punya pendidikan. Soal peluang kerja tergantung pada individu masing-masing. Banyak juga alumni PTS yang sukses, dan tidak semuanya alumni PTN berhasil. Kalau orang tuaku tak bermaksud memasukkan di PTS hanyalah karena alasan biaya semata.

Jeda antara test UMPTN dengan pengumuman hasil UMPTN berkisar satu bulan. Aku memanfaatkan waktu jeda itu dengan menjadi tenaga harian pemetik cengkeh di kampung untuk membeli baju baru bila jadi kuliah di Ujung Pandang nanti. Bulan Juli-September memang bertepatan dengan musim cengkeh. Kampungku terkenal paling luas kebun cengkehnya. Sayangnya kebun cengkeh yang luas itu milik pejabat-pejabat dari kota kabupaten bahkan dari propinsi. Penduduk setempat kebanyakan hanya jadi tukang petik cengkeh di kampung sendiri. Jadi pembantu di kampung sendiri.

Begitulah, pada awalnya kebun-kebun cengkeh itu milik warga setempat, tetapi sedikit demi sedikit dijual untuk kebutuhan tertentu seperti menikahkan anak, membangun rumah. Pembelinya adalah orang kaya yang umumnya juga adalah pejabat-pejabat dari kota. Warga yang telah menjual kebunnya kepada pejabat kembali bekerja di kebun tersebut tetapi bukan lagi sebagai pemilik tetapi sebagai tukang petik cengkeh dengan gaji harian. Tidak puas hanya sebagai pekerja, warga yang sudah tak punya kebun yang cukup untuk menghidupi keluarganya akhirnya bertransmigrasi ke Tenggara(Sulawesi Tenggara). Begitulah umumnya proses orang Selatan(Sulawesi Selatan) yang berasal dari Kabupaten Sinjai bertransmigrasi ke Tenggara.

Ketika aku lagi asyik-asyiknya memetik cengkeh, ibuku datang memberitahukan bahwa sudah ada pengumuman hasil UMPTN. Ibuku mendapat khabar dari orang tuanya Dayat. Kabarnya Dayat lulus UMPTN. Sayangnya kabar kelulusan UMPTN hanya mengabarkan Dayat seorang, karena informasi datang dari keluarga Dayat di Ujung Pandang yang menelepon ke keluarganya di Kota Sinjai. Dari Kota Sinjai kabar itu sampai ke kampung, di kampung memang kala itu tak ada telepon. Listrik juga belum ada.
Aku menunda pekerjaanku lalu bergegas menuju Sinjai Kota. Teman-temanku seperti Dayat, Anton, Umar dan Hutbah memang menunggu pengumuman di Ujung Pandang. Mereka semua tinggal di rumah keluarganya, sedangkan aku harus banting tulang dulu mencari dana tambahan sebagai tukang petik cengkeh. Tak masalah.

Aku langsung menuju agen koran di sudut Kota Sinjai. Aku deg-degan, pengumuman UMPTN itulah yang akan menentukan nasibku. Kalau aku tak lulus UMPTN berarti aku gagal kuliah dan ujung-ujungnya pasti merantau ke Malaysia. Kegagalan yang paling akan mengharubiru buatku adalah cintaku pada Nia akan kandas. Tak mungkin orang tua Nia mau menerimaku jadi mantu kalau hanya jadi TKI. Satu-satunya jalan untuk berjodoh dengan Nia adalah aku harus punya pendidikan yang tinggi. Memang cuma pendidikan saja yang bisa jadi aset kebanggaanku. Aku tak punya harta dan benda. Ya, pendidikan satu-satunya jalan untuk mengubah jalan hidupku.

Pelan-pelan aku buka halaman koran Harian Fajar yang memuat pengumuman UMPTN, tapi koran itu agak lusuh karena edisi hari sebelumnya, untung saja agen koran itu menyimpan satu eksemplar. Mula-mula aku baca Surah Al-Ikhlas berkali-kali supaya tidak gemetar membolak-balik surat kabar. Nomor testku 293-193647 kucocokkan dengan hasil pengumuman. Kupelototi nomor-nomor test dengan seksama. Mataku tak berkedip, hatiku kian ketar-ketir. Kucari dan kucari nomor testku, nomor test 193646 atas nama Kim Gioan Sie tertera jelas, siapakah gerangan sesudah nomor test nama mandarin yang unik itu? Mansur Laupe dengan nomor test 193649. Berarti nomor test 193647 dan 193648 dinyatakan tak lulus. Apes.

Aku langsung lemas. Tak bisa bernafas. Untungnya aku duduk di kursi yang punya sandaran. Tatapan mataku berkunang-kunang. Lalu ada mendung, kemudian jadi gerimis. Lalu gerimis di mataku menjelma hujan. Kasihan. Aku menangis. Sirnalah semua angan-anganku untuk menyandang predikat mahasiswa, dan kandaslah jua cintaku pada Nia. Aku benar-benar malu, malu pada kedua orang tuaku, malu pada Nia dan orang tua Nia. Aku mengutuk dan meratapi diri sendiri, mengapa aku tak lulus padahal soal-soal UMPTN bisa kujawab dengan mudah. Koran kuangkat tinggi-tinggi untuk menutupi wajahku agar agen koran tidak melihatku menangis, tapi ternyata ia mendengarku terisak-isak. Agen koran bergegas menepuk pundakku sambil mengucapkan sesuatu.
“Dik! Jangan bersedih, kegagalan itu adalah kesuksesan yang tertunda, kuliah di Perguruan Tinggi Swasta juga bisa jadi sarjana.”

Aku sedikit terhibur dengan nasehat klise agen koran yang berulang-ulang aku dengar dari orang lain itu. Tapi setidaknya nasehat itu bisa sedikit menahan airmataku yang menderas yang hampir membanjiri Sungai Mangottong dan Sungai Tangka. Sayangnya agen koran itu tidak tahu kondisiku. Aku tak mungkin kuliah di PTS karena alasan biaya. Aku membuka-buka lagi koran, tapi ingatanku sudah tak ada lagi di Sinjai tapi sudah terbang jauh di Malaysia sana. Cuma satu pilihan, aku akan jadi TKI. Aku membayangkan diriku di tengah perkebunan kelapa sawit. Ataukah aku lari terbirit-birit karena takut sama polis Malaysia, atau aku menyabit rumput di halaman rumah Taikong sebagai tukang kebun.

Meski aku tak semangat lagi, aku mencari nomor test Umar dan Hutbah. Tapi entah kala itu aku berniat jahat kepada kedua sahabatku itu. Doaku benar-benar jahat karena aku berharap keduanya juga tak lulus UMPTN. Sebenarnya bukan bermaksud dengki kepada keduanya, tapi posisiku benar-benar tersudut. Kalau sampai mereka berdua lulus, entah dimana aku akan taruh mukaku, nama baikku sebagai bintang sekolah akan ternoda. Alhamdulillah keduanya pun tak lulus. Ucapan Alhamdulillah yang bukan pada tempatnya. Dayat kubayangkan sudah jadi mahasiswa dan menertawaiku yang selalu mengalahkannya di Madrasah Ibtidaiyah dan di SMU Bikeru. Selanjutnya aku mencari nomor test Anton, rupanya Anton juga lulus UMPTN. Aku kian tak berdaya, lemas. Perasaan yang salah, karena aku iri dan dengki dengan keberhasilan teman-temanku. Tapi aku tidak percaya kalau tidak lulus. Soal-soal kujawab dengan mulus.
Sudah satu jam aku duduk membaca koran pengumuman. Agen koran pun seolah memahami perasaanku dan tak mau mengusikku. Entah aku merasa pengumuman itu sangat tak adil. Ataukah pengumumannya yang tak akurat? Aku seperti tidak bisa menerima kegagalanku. Aku mencoba kembali membuka-buka koran dengan pikiran mengada-ada, siapa tahu tiba-tiba dapat mukjizat lalu namaku muncul di atas nama Mansur Laupe. Tiba-tiba aku sedikit menyesali ayahku yang salah memberi nama Beddu Kamase, mengapa bukan Beddu Laupe. Kamase dalam Bahasa Bugis berarti kasihan, sedangkan Laupe berarti beruntung. Apakah namaku yang sial? Tidak. Aku meyakinkan diriku. Menurut ayahku, namaku sangat bagus, Beddu adalah nama Bugis yang berasal dari kata Abdul atau Abdullah yang berarti hamba Allah. Nama Beddu Kamase bermakna hamba Allah yang selalu kasihan. Hamba Allah yang selalu merasa kasihan bila melihat penderitaan orang lain. Aku sedikit terhibur dengan mengutak-atik makna namaku. Meskipun William Shakespeare pernah bilang apalah arti sebuah nama, tetapi nama tetap punya makna bagi yang empunya nama.

Karena mengingat namaku yang bermakna baik dan juga nasehat ayahku, aku menyesal bersedih atas kelulusan Anton dan Dayat, dan sebaliknya bergembira dengan ketidaklulusan Hutbah dan Umar. Aku mencoba menguasai diri, aku beristighfar berkali-kali. Aku mencoba mengingat kata-kata Robert Schuller yang sangat menggugah.

Kegagalan tidak berarti anda gagal…
Namun anda belum berhasil.
Kegagalan bukan berarti tidak mencapai apa-apa…
Namun anda telah memahami sesuatu.
Kegagalan tidak berarti anda harus menyerah…
Namun anda harus mencoba lebih keras.
Kegagalan tidak berarti anda tidak pernah akan berhasil…
Namun anda hanya membutuhkan waktu sedikit lebih lama.
Kegagalan tidak berarti Tuhan mengabaikan anda…
Namun Tuhan memiliki ide yang lebih baik.

Dan Alhamdulillah, saat itu aku sudah kuat dengan kegagalan itu. Kulihat agen koran tersenyum kepadaku karena ia melihatku sudah mampu tersenyum. Aku bertekad pergi merantau ke Malaysia jadi TKI. Aku akan menabung semua gajiku untuk biaya kuliah, aku tak terlalu berharap untuk lulus UMPTN karena tahun itu saja ketika otakku masih fresh tapi gagal. Tapi aku akan berangkat ke Malaysia dengan membawa semua contoh-contoh soal UMPTN. Aku akan belajar di sela-sela menadah buah kelapa sawit, rencana dua tahun aku jadi TKI. Aku masih punya kesempatan terakhir mengikuti UMPTN, tapi kalau gagal UMPTN masih ada PTS, gaji yang kutabung selama jadi TKI pasti sudah cukup untuk biaya kuliah. Niatku untuk jadi penulis pun tak pernah pupus. Aku akan tulis semua catatan perjalananku sebagai TKI yang kelak bisa kujadikan novel.

Sebelum berangkat ke Malaysia jadi TKI, aku harus menemui Dayat dan Anton untuk mengucapkan selamat atas kelulusannya sekaligus minta maaf atas penyakit hatiku sebelumnya. Aku juga akan menemui Umar dan Hutbah untuk menyemangati keduanya untuk kuliah di PTS saja karena orang tua mereka mampu membiayai kuliah mereka. Aku pikir Umar dan Hutbah tak boleh menunggu tahun-tahun berikutnya seperti aku. Aku takut semangat keduanya untuk kuliah hilang lagi. Aku ingin semua teman-temanku kuliah dan sukses. Yang aku tidak mau temui hanyalah Nia dan orang tuanya. Aku malu pada mereka. Orang tua Nia pasti akan mencapku “Gayanaji”. Aku akan berangkat ke Malaysia dengan sembunyi-sembunyi dari Nia. Tak ada lagi yang bisa kuandalkan dimatanya. Sekarang aku benar-benar seperti kumbang hitam yang akan mencari setetes madu di hutan belantara Malaysia yang ganas. Aku benar-benar tahu diri saat itu. Nia terlalu tinggi untuk kugapai. Aku dan Nia seperti bumi dan langit. Akh duhai kau cinta!

Saat itu aku ingin beranjak, aku ingin berterima kasih kepada agen koran yang memberiku nasehat yang sangat bervitamin. Aku tak akan pernah melupakan nasehat itu “Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda”. Aku bangkit dari tempat duduk dengan semangat baru, aku tak mau berlama-lama, aku akan langsung menemui Toke di kampung yang akan membawa TKI ke Malaysia minggu depannya, semoga kedua orang tuaku menerima kenyataan bahwa aku tak lulus UMPTN dan merestui keberangkatanku ke Malaysia.

“Yes!”
Aku mengepalkan tangan kuat-kuat. Aku tak boleh berkecil hati. Aku terus membatin.
“TKI, Yes!”
“Kuliah yes, tapi dua tahun lagi.”
“Terima kasih Pak atas nasehatnya tadi.” Aku menjabat tangan agen koran itu dengan kuat. Aku seperti teraliri semangat baru. Jiwa baru.
“Semoga sukses ya!”

Agen koran itu juga menggenggam erat tanganku. Mungkin ia senang melihat anak muda sepertiku yang tak larut dalam kesedihan akibat kegagalan sementara bahkan cepat-cepat menyusung strategi untuk langkah selanjutnya. Aku tersenyum sempurna kepadanya. Tapi tiba-tiba hatiku bergetar lagi, tapi kala itu ada harapan yang tiba-tiba menyeruak ke dalam hatiku tatkala aku melihat ada lembaran pengumuman lain yang berserakan tak jauh dari tempat dudukku. Mungkin halaman surat kabar edisi pengumuman UMPTN yang tercecer. Aku membatin. Tapi belum juga aku mengambil lembaran itu otak kecilku berkata, mana mungkin nomor testku disimpan tercecer, dan nyata-nyata nomorku dilewati pada koran yang telah aku baca.

Aku bergegas menuju Pasar Sentral untuk mencari mobil yang menuju Bikeru, atau langsung ke Kalobba. Lembaran pengumuman UMPTN yang tercecer tetap kuambil dengan iseng-iseng. Sekali lagi aku iseng-iseng mengecek ulang pengumuman. Dan cesss! Hatiku berdebar-debar ketika kudapati nomor test 193646 bukan lagi bernama Kim Goan Sie tapi Abdullah Atong, aku seperti tak percaya tapi kucari lagi sambungannya karena sesudah nomor test dengan nama Abdullah Atong tertulis “bersambung ke halaman 13”. Angka sial? Aku tak peduli. Cepat kucari halaman 13, dan aku tak sanggup menahan diri dengan berteriak-teriak “Allahu Akbar” berkali-kali ketika sambungan pengumuman yang terletak di sebelah kiri atas tertulis jelas nomor test 293-193647 Beddu Kamase. Kulihat agen koran terheran-heran menatapku, mungkin ia menganggapku stress karena tak lulus UMPTN.

Lalu. Aku bergegas kembali ke tempat agen koran seperti semula. Aku belum tahu sesungguhnya aku sadar atau bermimpi. Kuraih halaman koran yang memuat nama Kim Goan Sie. Astagfirullah! Ternyata yang aku baca sebelumnya adalah kelompok IPA yang berkode 193, padahal aku memilih Jurusan Sastra Inggris sebagai pilihan pertama dan Jurusan Sastra Perancis sebagai pilihan kedua yang masuk kelompok IPS yang berkode 293. Aku langsung sujud syukur dengan lembaran koran yang memuat namaku sebagai sajadah supaya aku tak mencium pasir bercampur tanah.

Setelah kujelaskan duduk perkaranya bahwa aku salah baca pengumuman, agen koran langsung merangkulku dan mengucapkan selamat kepadaku. Agen koran pun langsung menghidangkan aku secangkir kopi hangat dan sebungkus roti coklat. Mungkin sebagai ucapan selamat. Tapi aku kurang setuju dengan agen koran itu. Semestinya ia menghidangkan aku minuman untuk menghiburku ketika aku menangis karena menyangka tidak lulus UMPTN. Aku memang tidak suka merayakan sesuatu yang aku anggap pesta pora. Semestinya yang kita bantu dan semangati adalah orang yang susah dan orang gagal. Agen koran mewakili kebanyakan orang Indonesia yang suka berpesta pora tanpa peduli dengan nasib orang kecil. Agen koran memberiku lagi satu pelajaran. Tapi aku sangat salut dan menghargai agen koran itu yang telah menasehatiku, dan memang nasehat yang diberikan tak bisa digantikan oleh secangkir kopi dan sebungkus roti.

Aku bergegas pulang. Aku ingin sekali memberitahu kedua orang tuaku berita yang menggembirakan itu. Di atas mobil aku terus tersenyum. Peduli amat kalau ada penumpang yang menganggapku kurang normal. Aku benar-benar bahagia. Dan telah kucatat dalam buku harianku kebahagian lulus UMPTN adalah kebahagian yang terbahagia dalam hidupku.

Ayah dan ibuku memelukku erat ketika mereka tahu aku lulus UMPTN. Bahkan mereka tak bisa menahan rasa haru ketika aku menceritakan pengalamanku ketika melihat pengumuman UMPTN. Tentang angan-anganku merantau ke Malaysia andaikan memang benar-benar tak lulus. Tentang cita-citaku tetap kuliah sepulang dari merantau.

“Tidak mungkin ayah tidak mengirimmu ke Ujung Pandang untuk kuliah Nak. Kalaupun ayah berkata bahwa engkau hanya boleh kuliah di PTN, itu hanyalah motivasi agar engkau benar-benar sungguh-sungguh belajar dengan baik. Andaikan pun engkau tak lulus UMPTN, ayah akan memasukkanmu ke UMI (Universitas Muslim Indonesia), untuk biaya kuliahmu ayahlah yang bermaksud akan berangkat ke Malaysia mencari uang.”

Kalimat ayahku membuatku terharu. Biru.
“Tidak ayah, ayah tak boleh pergi jauh, ayah tak boleh meninggalkan mama, ayah tak boleh meninggalkan kami semua.”
Aku menatap ayah. Kulihat ayahku merenung. Seperti ada yang berkecamuk dalam relung hatinya.
“Sebaiknya ayah tak boleh pergi jauh.” Aku mendura pada ayahku.
“Ya sudahlah Nak. Insyaallah ayah memang tak jadi berangkat ke Malaysia, tapi ayah akan menjual tanah di samping rumah ini yang memang adalah bagianmu kelak kalau engkau sudah dewasa.”

Aku memahami maksud ayahku. Harta warisan yang diperuntukkan buatku kelak akan dijual untuk biaya kuliahku. Berarti pada saat itu, aku tak punya lagi warisan dalam bentuk harta tapi akan berbentuk pendidikan. Jadi kalau aku gagal dalam pendidikan berarti aku tak punya apa-apa lagi untuk masa depanku. Tapi aku sangat senang dengan suasana seperti itu karena aku benar-benar akan lebih fokus kuliah. Sejak saat itu aku semakin yakin, kekurangan diriku, kekurangan keluargaku, sesungguhnya bukanlah kelemahan tetapi kekuatan baru buatku dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh gelombang, tetapi aku yakin selalu ada cahaya gemintang yang ikhlas menyinariku. Pun saat itu aku semakin percaya dengan ayat-ayat Tuhan, “Ada perkara yang manusia suka dan menginginkannya tapi sebenarnya tidak baik untuknya, dan ada perkara yang manusia tidak suka dan tak menginginkannya tapi sebenarnya baik untuknya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”

Aku benar-benar tak rela bila ayahku pergi jauh jadi TKI di Malaysia hanya gara-gara mencari dana tambahan untuk biaya kuliahku. Aku yakin di Ujung pandang nanti aku bisa bekerja sampingan sambil kuliah, tapi itu akan kulakukan setelah tiga semester perkuliahan setelah aku bebas DO (drop out).

Aku sangat terinspirasi mendengar cerita seorang guruku yang menjadi tukang becak sewaktu kuliah dulu. Sengaja ia memilih jadi tukang becak karena profesi itu tidak begitu mengganggu waktu belajarnya sebagai mahasiswa. Katanya, ia bisa belajar di becaknya sambil menunggu penumpang. Pun ia bisa beristirahat sambil tidur di becaknya. Bahkan ia bisa mengayuh becaknya sambil menghafal kosa kata Bahasa Arab atau Bahasa Inggris dengan menuliskan kosa kata tersebut di secarik kertas dan menempelkannya di becaknya. Luar biasa bervitamin pengalaman itu buatku. Tapi aku berniat akan melakukan hal yang berbeda, apalagi kemampuan Bahasa Inggerisku cukup lumayan untuk mengajar privat Bahasa Inggris bagi anak-anak. Pokoknya apapun akan kulakukan yang penting halal untuk pembayaran kuliahku nanti kalau uang dari orang tuaku tak cukup. Yang penting ayahku tak pergi jauh jadi TKI. Aku tak rela kalau ayahku yang sudah mulai menua jadi tenaga kerja kasar di Malaysia. Pun aku sangat tidak rela kalau ibuku kembali harus jadi kaki tangan pedagang dan keliling kampung mencari barang dagangan saban pagi dan sore hari. Pengorbanan kedua orang tuaku sudah sangat luar biasa untukku. Aku merasa sangat berdosa kalau hanya gara-gara aku, ayahku harus jadi TKI.


Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
6. S a r i f a h (Novel, Penerbit Diva Press Yogyakarta 2011)
7. La Galigo (Novel, Penerbit Diva Press Yogyakarta 2012)