Selasa, 14 Juni 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 14. SAVE THE MOTHER! SAVE THE MOTHERLAND)

14. SAVE THE MOTHER!
SAVE THE MOTHERLAND!

Menghadapi ujian akhir sekolah, kami yang duduk di kelas tiga saat itu tak bisa lagi aktif pada acara-acara eksternal Kompita. Maka untuk memperlancar urusan-urusan Kompita, diadakanlah pemilihan ketua yang baru menggantikan Umar. Pemilihan ketua Kompita diadakan di bukit Bulu Paccing yang berada di belakang sekolah kami yang berjarak sekitar tiga ratusan meter. Sengaja kami memilih bukit itu karena paling dekat dari sekolah kami dibandingkan dengan Hutan Lindung Balang atau Bukit Gojeng. Lagi pula, ketua Kompita yang akan terpilih pada saat itu harus fokus menghijaukan Bukit Bulu Paccing.

Tidak seperti waktu rapat penentuan apakah perempuan bisa jadi anggota Kompita yang kala itu Umar dan Hutbah sempat melontarkan gagasan masing-masing. Hutbah kala itu tidak setuju kalau perempuan jadi anggota Kompita, sebaliknya Umar setuju. Maka pada pemilihan ketua Kompita menggantikan Umar tak ada lagi dikotomi antara perempuan dan laki-laki, semua sama saja. Dengan Kompita bukan hanya kami belajar mencintai lingkungan dan hutan tetapi juga belajar berdemokrasi, beremansipasi, memahami, dan menerima saran dan pendapat. Setelah melalui proses demokrasi dan diskusi yang cukup alot laiknya pemilihan ketua partai politik maka terpilihlah Nia sebagai ketua Kompita menggantikan Umar.

Kami mendukung sepenuhnya atas terpilihnya Nia. Sebagai perempuan, Nia mempunyai visi yang visioner. Program pertama Nia adalah memperbaiki sticker baru sebagai ciri khas Kompita era kepemimpinan Nia. Nia mengusulkan stricker baru dalam dua bahasa yang berbunyi “SAVE THE THE JUNGLE SAVE THE WORLD! SAVE THE MOTHER SAVE THE MOTHERLAND!” dan “SELAMATKAN HUTAN SELAMATKAN DUNIA! SELAMATKAN IBU SELAMATKAN IBU PERTIWI!”

Selanjutnya Nia menjelaskan panjang lebar makna sticker barunya, “Ibu dan ibu pertiwi adalah dua hal yang harus disayang karena dari keduanyalah sumber cinta dan kasih sayang yang suci. Seorang anak bila ingin bertumbuh dengan sehat dan cerdas maka ia harus menyusu pada ibu, dan bila anak itu sudah dewasa dan ingin hidup bahagia dan sejahtera maka ia harus menyusu pada ibu pertiwi. Bila ibu dan ibu pertiwi murka maka tidak ada lagi kehidupan. Dan yang paling harus dicamkan oleh semuanya adalah murka ibu dan murka ibu pertiwi merupakan murka Tuhan.”

Kami semua memuji ide-ide Nia yang cerdas. Aku sendiri begitu terpesona dengan gagasan Nia yang begitu menjiwai makna ibu dan ibu pertiwi. Aku kian kagum padanya. Nia benar-benar sosok perempuan yang kelak akan jadi ibu dan menjelma jadi ibu pertiwi.

Kami melewati ujian akhir nasional dengan deg-degan. Saat itu Ujian Akhir Nasional, yang kala itu bernama Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasioal (EBTANAS), diujicobakan dengan sistem komputerisasi. Aku sendiri bukan soal ujian yang kutakuti tapi lembar jawabannya yang akan diperiksa oleh komputer. Jangan sampai komputer tak mampu membaca lembar jawabanku.

Kami menjawab soal-soal dengan ekstra hati-hati jangan sampai salah isi. Aku sendiri selalu berdoa agar bisa lulus ujian akhir. Aku memang telah berusaha maksimal dengan belajar keras bukan hanya saat menghadapi ujian tapi setiap saat.
Setelah kami melewati ujiaan akhir, kami benar-benar cemas menunggu detik-detik pengumuman kelulusan tiba. Meski yakin mampu menjawab soal-soal dengan baik, Dayat, Anton, dan aku tetap khawatir kalau-kalau lembar jawaban kami salah isi sehingga tidak lulus. Hutbah dan Umar kelihatan pasrah, tapi keduanya tak begitu resah karena mereka juga sudah belajar keras menghadapi ujian akhir. Mereka selalu bersama kami berlatih menjawab soal-soal pilihan ganda.

Akhirnya tibalah saatnya pengumuman kelulusan sekolah. Tapi saat itu pengumuman bukan ditempel di sekolah tapi di kantor polisi. Jika lembaran pengumuman ditempel di sekolah maka dikhawatirkan siswa yang tidak lulus akan membuat kerusakan, karena memang sudah diprediksi bahwa yang tidak lulus kebanyakan siswa yang malas dan nakal. Kami berlima berencana bila lulus dari sekolah, kami akan langsung menanam pohon pinus atau pohon-pohon lainnya di Bukit Bulu Paccing sebagai ungkapan nadzar. Kami sengaja tidak memilih pagi hari di saat semua teman-teman kami yang lain melihat pengumuman. Di pagi hari, kami berlima mengadakan “ekspedisi khusus” berjalan-jalan ke Hutan Lindung Balang untuk mencari bibit-bibit pepohonan yang akan ditanam di Bukit Bulu Paccing bila lulus Ebtanas. Nanti di sore hari kami akan melihat pengumuman kemudian menuju Bukit Bulu Paccing.

“Nadzar kita kan menanam pepohonan kalau lulus ujian, bagaimana kalau tidak lulus?” Hutbah kelihatan tidak begitu bersemangat mencari bibit pepohonan untuk ditanam karena khawatir tidak lulus.

“Sebaiknya kita lupakan dulu pengumuman sekolah, kita fokus dulu mencari bibit pepohonan.” Dayat menyemangati Hutbah.

“Sebaiknya kita bersegera mencari bibit pepohonan untuk menghijaukan Bukit Bulu Paccing sebelum meninggalkan Bikeru untuk kuliah di Ujung Pandang.” Umar memotivasi seolah-olah kami sudah lulus semuanya.

“Bagaimana kalau ada yang tidak lulus?” Anton sedikit protes dengan ketakabburan Umar yang sudah mengklaim kami akan meninggalkan Bikeru.

“Begini. Masing-masing kita menyiapkan pepohonan yang akan ditanam di Bulu Paccing. Kalau misalnya nanti ada diantara kita yang tidak lulus maka tetap kita kompak berlima ke Bukit Bulu Paccing.” Umar rupanya masih menjiwai jabatannya sebagai ketua Kompita yang kini dipegang Nia.

“Kan kalau tidak lulus, tidak ada kewajiban menanam pohon.” Hutbah keberatan.

“Begini saja. Kita ini kan pemrakarsa Kompita, jadi sebaiknya kita mendukung pendapat Umar. Walau ada di antara kita yang tidak lulus tetapi tetap harus berjiwa besar membawa bibit pohonnya ke Bukit Bulu Paccing. Kalau memang tidak mau menanam pohonnya karena nadzarnya tak kesampaian, kita merelakan teman yang lulus menanam pohon yang kita bawa.” Aku mencoba menengahi.

“Setuju.”

Teman-temanku langsung merespon. Akhirnya kami semangat mencari bibit pepohonan sambil memohon kepada Sang Pencipta pepohonan agar kami semua lulus ujian, lalu mengadakan penghijauan di Bukit Bulu Paccing. Setelah mendapat bibit-bibit pohon kami menuju kantor Polisi Resort Sinjai Selatan di Joalampe. Sekitar lima ratus meter dari kampus SMU Bikeru.

Kami berlima bergandengan tangan erat saat melihat pengumuman. Hutbah yang punya usul agar kami seperti dalam pertandingan sepak bola pada saat adu penalti. Kami berganti-gantian melihat pengumuman. Kesempatan pertama yang mengambil tendangan penalti alias melihat pengumuman adalah Umar, disusul Dayat, Anton, Hutbah, dan terakhir adalah aku.

Kami semua komat-kamit ketika Umar menuju ke papan pengumuman mencocokkan nomor tesnya. Kami terdiam sesaat ketika melihat pandangan Umar kesana kemari dan sesaat menoleh ke arah kami tanpa ekspresi. Lalu.

“Yes!”

Umar berteriak serupa menjebol gawang lawan. Umar lulus ujian. Umar bergabung berpegangan dengan kami. Ia terus tersenyum. Umarlah yang paling bahagia diantara kami. Selanjutnya Dayat maju ke depan. Dayat langsung menatap papan pengumuman sekilas. Dan.

“Yes!”

Dayat langsung sujud syukur. Skor 2-0. Anton maju dengan langkah pasti. Lalu.

“Yes!”

Ia melompat mengacungkan tangan. Skor 3-0. Hutbah bergegas tapi ia kelihatan lemas. Tingkah Hutbah membuat aku deg-degan, ketiga temanku sudah sumringah tapi mereka menahan perayaan kemenangan karena Hutbah dan aku belum melihat pengumuman. Ketika Hutbah mundur ke arah kami, kami terdiam karena Hutbah tidak punya ekspresi apa-apa. “Hutbah tidak lulus.” kami membatin. Tapi ketika Hutbah tiba ke tempat kami semula ia langsung mengangkat bibit pohonnya tinggi-tinggi.

“Yes! Pohon-pohon kesuksesan.”

Hutbah ternyata bercanda. Keempat temanku sudah berpesta karena mereka yakin kami sudah lulus semua. Mereka berpikir aku tidak mungkin tidak lulus.
Aku maju melihat pengumuman. Tapi hatiku tetap deg-degan. Kalau sampai aku tidak lulus, aku pasti akan jatuh pingsan. Aku mencocokkan nomor tesku. Lalu. Aku terdiam. Dan aku mendadak lemas. Dan jatuh di depan papan pengumuman. Kulihat teman-temanku berlarian ke arahku. Tidak ada suara dan tawa dari mereka. Mereka mengerumuniku. Hutbah langsung memelukku sambil menangis. Umar langsung memberiku air putih supaya aku minum. Dayat dan Anton tak bisa berkata apa-apa. Mereka tak percaya dengan kenyataan itu bahwa aku tak lulus ujian. Ketika kulihat dua orang polisi mendekati kami bermaksud menolong kami yang tidak lulus ujian. Aku langsung bangun mengambil bibit pohonku dan langsung mengangkat tinggi-tinggi.

“Allahu Akbar! Hidup pohon cinta! Hidup pohon kenangan! Hidup pohon kemenangan!”

Dayat, Anton, dan Umar geleng-geleng kepala. Hutbah kelihatan lemas dan malu-malu karena ia barusan menangis, pun aku mengalahkan aktingnya. Akhirnya kami merayakan kemenangan fantastik dengan skor 5-0. Polisi yang berjalan ke arah kami tadi akhirnya berbalik arah sambil mengomel.

“Dasar anak-anak nakal!”

Kami tak menghiraukan omelan Pak Polisi.

Kami bergegas ke Bukit Bulu Paccing memenuhi nazar kami. Kami merayakan keberhasilan lulus ujian dengan mengadakan penghijauan. Kami menanam pohon-pohon kemenangan. Tapi kami tetap ikut prihatin karena kami mendengar kabar bahwa ebtanas saat itu benar-benar naas. Hampir seluruh SMU di Sinjai bahkan Sulawesi Selatan anjlok dalam tingkat kelulusan. Di SMU Bikeru sendiri tingkat kelulusan hanya mencapai tiga puluh persen. Di kelas kami, dari empat puluh siswa hanya sepuluh yang lulus. Dan perjuangan kami anak-anak Kompita benar-benar mulus. Semua anggota Kompita dinyatakan lulus ujian.


Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Sabtu, 04 Juni 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 13 FALSAFAH HIDUP)

13. FALSAFAH HIDUP

Kalau aku tipe yang tak percaya kepada segala macam bentuk takhyul atau tempat-tempat keramat. Atau tidak takut kepada parakan, karena memang aku adalah lepasan sekolah agama. Sebelum melanjutkan pendidikan di SMU Bikeru Sinjai, aku bersekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri(MTsN) Tanete Bulukumba. Sebelumnya aku sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Swasta(MIS) Buludatu Kalobba Sinjai Tellulimpoe.

Dari belajar ilmu agama di Madrasah itulah, aku menangkap banyak filosofi-filosofi hidup yang sangat bermakna dalam perjalanan hidupku. Ayat Al-Qur’an yang selalu terngiang-ngiang di telingaku adalah Surah Ar-ra’d ayat 11 yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah tidak akan merobah keadaan suatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Ayat itu menjadi stricker di kamarku, tapi supaya lebih keren aku menuliskannya dalam Bahasa Inggris yang berbunyi, “VERILY, ALLAH WILL NOT CHANGE THE CONDITON OF A PEOPLE AS LONG AS THEY DO NOT CHANGE THEIR STATE THEMSELVES.”

Kadang-kadang ada temanku yang berkunjung ke rumahku dan masuk di kamarku lalu membaca stickerku. Rata-rata mereka menganggap stickerku tidak gaul dan tidak keren, tapi aku cuek saja. Mungkin temanku itu tak bisa menangkap saripati makna dari ayat tersebut. Memang saat itu teman-teman sekampungku yang merasa gaul mempunyai sticker yang rata-rata gaul menurut versi kebanyakan anak muda kala itu. Dayat punya sticker ‘Bongkar’ di samping poster Iwan Fals yang memang sedang menyanyi. Mungkin yang dinyanyikan memang lagu berjudul ‘Bongkar’. Di kamar Anton tertulis ‘Lorong Hitam’. Entah apa yang dimaksud Anton karena dinding kamarnya ternyata bercat putih bersih, tapi disamping sticker itu ada poster grup musik Slank dengan segala ke-slengean-nya. Umar sebagaimana ekspresi jiwanya kala itu tertulis ‘Preman 77’ disamping sticker itu ada poster Ikang Fawzi dengan gaya khas musik roknya mengikat kepalanya dengan pita sambil mengepalkan tangan, mungkin maknanya adalah ‘Sang Preman’ Umar kelahiran 1977. Untung saja sticker itu hanya di kamarnya saja bukan menempel di tasnya karena Pak Chaeruddin sudah pasti akan merazianya. Hutbah seperti biasa ia membuat sticker yang berbau cinta-cintaan. Di kamarnya tertulis ‘Tembang Lara Dukanya Cinta’. Sticker Hutbah mirip judul lagu dangdut. Kala itu memang Hutbah suka lagu-lagu Hamdan ATT. Rambut Hutbah mirip dengan rambut Hamdan ATT, tapi di bawah sticker itu terdapat poster Nike Ardilla dan Desy Ratnasari dalam berbagai pose yang menantang adrenalin kaum Adam. Jujur kuakui bahwa ada juga satu poster Nike Ardilla yang memakai kerudung putih terpampang di kamarku. Mungkin poster itu diambil di Bulan Suci Ramadhan. Poster Nike Ardilla kutempel di kamarku sejak aku mengenal Nia. Asal tahu saja, bias kecantikan Nike Ardilla melekat jelas di wajah Nia. Mata Nike Ardilla dan mata Nia serupa mata bidadari yang siap melumpuhkan keegoisan kaum lelaki. Aku juga selalu menebak-nebak bunyi sticker yang tertempel di kamar Nia. Mungkin stikernya berbunyi ‘Kumbang jelek itu ternyata sayapnya kuat dan cerdas’. Lalu disamping sticker itu terdapat gambar kumbang dan gambar Rony Sianturi, salah satu personil kelompok musik trio libels. Teman-temanku terkadang menganggapku mirip Rony Sianturi, sayangnya aku berkulit hitam karena terbakar oleh nasib yang membuatku banyak bergumul dengan sawah dan hewan ternak sewaktu masih sekolah di Madrasah Ibtidaiyah dulu. Sejak kecil aku banyak di sawah membantu ayahku sekaligus jadi pengembala ternak yang sudah dipakai membajak sawah. Tak salah memang kalau Nia menyebutku kumbang hitam jelek. Gelar kerbau hitam pun layak aku sandang, karena aku mantan pengembala kerbau.

Supaya mempunyai keseimbangan hidup, aku memadukan surat Ar-ra’d itu dengan Surah Ibrahim ayat 7 yang berbunyi: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah ni’mat kepadamu, dan jika kamu mengingkari ni’mat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Aku pun menuliskannya dalam Bahasa Inggris di kamarku yang berbunyi, “IF YOU GIVE THANKS, I WILL GIVE YOU MORE; BUT IF YOU THANKLESS, VERILY, MY PUNISHMENT IS INDEED SEVERE.”

Soal ayat mensyukuri nikmat itu, Umar pernah protes sambil bercanda kepadaku. Kata Umar, tidak semua nikmat harus disyukuri terutama bagi perempuan. Ketika aku tanya nikmat apa yang tak perlu disyukuri, Umar menjawab, “Lelaki tidak boleh bersyukur dengan satu isteri, karena nanti Tuhan akan menambahkannya.” Aku tertawa saja karena pemahaman agama Umar memang pas-pasan. Lagi pula ia sudah tertular endemik kelucuan Dayat dan Anton. Sayangnya ia tidak tahu rumus bercanda.

“Laki-laki yang mempunyai isteri harus bersyukur supaya Allah memberikan rezeki yang melimpah berupa anak-anak yang sehat dan pintar, serta harta yang berkecukupan. Tak boleh berburuk sangka!”

Aku memberi penjelasan pada Umar. Ia hanya manggut-manggut. Semoga saja penjelasanku nyangkut di hatinya, bukan nyangkut di otaknya yang memang gampang diobrak-abrik oleh beragam gagasan yang tak bertanggung jawab. Aku juga jelaskan padanya bahwa tak boleh asal bercanda. Bercanda juga punya rumus dan etika. Bercanda sesungguhnya hanyalah untuk mengurangi ketegangan urat syaraf saja. Bahan candaan cukuplah tema yang ringan-ringan, serta tidak ada pihak yang dirugikan karena candaan itu. Candaan harus bebas dari unsur SARA (Suku, Agama, dan Ras).

Karena dua ayat di atas kusatukan jadi satu motto, aku tak suka dengan pendapat orang yang menurutku agak pesimis lalu mengatakan “Syukuri saja apa adanya.” Motto itu tidak cocok bagi orang yang belum berusaha maksimal. Menurutku kita harus berusaha keras dulu menggapai sesuatu yang dicita-citakan. Apapun hasilnya yang penting sudah berusaha sungguh-sungguh maka harus disyukuri. Aku ingat dengan pelajaran agama di Madrasah Ibtidaiyah dulu yang mengatakan bahwa manusia harus berusaha sekuat tenaganya. Usaha adalah ibadah, beribadah harus sungguh-sungguh, tapi manusia harus tahu bahwa ada usaha manusia yang memang bersifat sunnatullah. Yang sunnatullah itu langsung bisa dilihat hasilnya seperti; kalau kita belajar giat hasilnya kita akan pintar, kalau kita rajin berolah raga hasilnya badan kita akan sehat, kalau kita menjaga kelestarian hutan maka kita akan terhindar dari bencana alam seperti banjir bandang dan longsor. Shalat lima waktu bukanlah sunnatullah, maka kalau kita shalat belum tentu akan kaya secara materi, karena memang pahala shalat akan dibalas oleh Allah di hari akhirat kelak. Tapi kalau kita tidak shalat berarti kita menggali lubang neraka untuk diri sendiri karena seluruh yang bernyawa pastilah akan mati.

Untuk benar-benar menyeimbangkan pola hidupku, aku juga menempel sticker kertas di meja belajarku tentang Hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, “TUNTUTLAH DUNIAMU SEAKAN-AKAN ENGKAU AKAN HIDUP SELAMANYA, DAN BERIBADAHLAH UNTUK AKHIRATMU SEAKAN-AKAN ENGKAU AKAN MATI BESOK.” Sebuah penyemangat yang benar luar biasa bagiku. Aku menyempurnakan stickerku dengan puisi “Doa” Chairil Anwar.

TUHAN!
DI PINTUMU AKU MENGETUK,
AKU TIDAK BISA BERPALING.

Selain belajar ilmu agama, ayahku juga mengajari aku pencerahan-pencerahan budaya lokal Bugis-Makassar, meski sekolahnya hanya sampai Sekolah Rakyat atau SR(Sekarang SD), ayahku bisa baca tulis aksara lontara dengan baik. Lontara adalah aksara asli Bahasa Bugis dan Makassar.

“Begitulah Nak, engkau harus menjadi pribadi yang menyenangkan supaya orang lain senang kepadamu. Engkau harus memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran leluhurmu dalam bergaul. Yang kamu harus pahami dan implementasikan dalam hidupmu diantaranya adalah nilai alempureng (kejujuran), amaccang (kearifan), asitinajang (kepatutan), agettengeng (keteguhan), reso (usaha) serta siri’ (harga diri).”

“Apakah nilai-nilai itu tidak bertentangan dengan agama dan konsep negara kita, Ayah?” Aku menyelidik. Aku takut pengetahuan agamaku dikacaukan oleh konsep budaya setempat serta mengurangi rasa kebangsaan yang sudah mendarah daging dalam tubuhku.

“Tidak anakku, nilai-nilai yang terkandung dalam budaya kita adalah hasil ramuan dari ajaran atau keyakinan nenek moyang serta ajaran Islam. Pun nilai-nilai itu semakin menguatkan nilai-nilai kebersamaan kita sebagai anak bangsa.”

Aku benar-benar tercengang dengan penjelasan ayahku. Meski ia hanya tamatan SD, tapi gaya bicaranya serupa guru PMP(Pendidikan Moral Pancasila, kini bidang studi PKN) di sekolahku.

Ayahku melanjutkan penjelasannya dengan sesekali batuk-batuk, tapi sungguh aku tak pernah mengantuk mendengarnya. Aku mencatatnya baik-baik dalam buku diary khusus yang aku beri tulisan di sampulnya “Pappaseng” (Pesan-pesan). Aku juga mencatatnya dalam Bahasa Bugis tapi versi latin, bukan versi lontara. Di antara nilai-nilai kearifan yang tertera dalam Lontara yang aku harus pegang teguh dalam pergaulan yang aku catat baik-baik itu adalah

Pertama. Kejujuran (Alempureng). Konsep itu berbunyi, “Eppai’i gau’na lempu’naa risalaie naddampeng, niparennuangie temmaceko bettuanna risanresi teppabeleang, temmangoangenngi tania olona, tennaseng deceng rekko nassamarini pudecengngi.” (Ada empat perbuatan jujur: 1.memaafkan orang yang berbuat salah padanya, 2.dipercaya lalu tidak curang, artinya disandari lalu tidak berdusta, 3.tidak serakah kepada yang bukan haknya, 4.tidak memandang kebaikan kalau hanya buat dirinya).

Kedua. Usaha (Reso). Konsep itu berbunyi, “Resopa temmangingi namalomo naletei pammasena dewata sewae.” (Usaha yang sungguh-sungguh disertai keikhlasan yang mendapat ridha Allah Yang Maha Esa).

Ketiga. Harga diri (Siri’). Aku membuat beberapa catatan tentang konsep siri’ diantaranya adalah “Naiya tau matanre siri’e tenna pujiwi minreng, tenna puji toi mellau.” (Orang yang memiliki harga diri itu tidak suka mengutang dan meminta-minta). Bila mengingat poin ketiga itu, aku sangat malu dengan negaraku yang konon katanya setiap bayi yang dilahirkan sudah menanggung utang. Kasihan!

Selanjutnya aku mencatat nilai-nilai kearifan tentang konsep kebaikan yang berbunyi: “Iya ritu decengnge kui mompo ri lempue. Naiya tomalempue ripujiwi ri Allah Taala, narielori ri tolinoe. Apa’nakko malempu’ki, mangkau’ madecengngi ri padatta tau. Naiya gau’ madecengnge ripogau’, nakko tetallei decenna ri aleta, kupasi ri ana’ta, ri wija-wijatta talle decenna. De’ pura-pura tenna pakkecappakiwi deceng Alla Taala tau mangkau’ madecengnge, enrengnge to malempu’e. Naiya gau’ bawangnge, enrengnge cekoe, narekko tetallei ja’na riidi’, kupasi ri ana’ta, ri wija-wijata talle ja’na. Apa’ de pura-pura nakulle tenna cappakeng ja’ gau’ bawangnge, enrengnge cekoe.” (Adapun kebaikan itu, muncul dari sifat kejujuran. Adapun orang jujur, dikasihani oleh Allah Taala, serta disukai oleh sesamanya manusia. Sebab jika kita jujur dan berbuat baik kepada sesama manusia, maka perbuatan baik itu balasannya kalau bukan kepada kita sendiri adalah kepada anak dan turunan kita. Tidak mungkin Allah Taala tidak membalas kebaikan dan kejujuran. Begitu juga sifat kesewenang-wenangan serta keculasan, jika tidak nampak kejelekannya kepada kita, maka dampaknya kepada anak dan keturunan kita. Sebab tidak mungkin perbuatan kejelekan itu tidak berakhir dengan kejelekan, yang diakibatkan dari sifat kesewenang-wenangan dan keculasan.

Sebagai penutup buku diary pappaseng, aku mencatat tiga filosofi kehormatan yang terkenal dengan istilah tellu cappa atau tiga ujung kehormatan. Lelaki Bugis hanya akan disegani dan dihormati bila menjaga tiga ujung kehormatan tersebut.
Pertama. Menjaga ujung lidah. Tidak berkata kecuali yang benar. Tidak berjanji kecuali untuk ditepati. Tidak memerintah kecuali apa yang diperintah sanggup dikerjakan sendiri, artinya mampu jadi teladan. Simpulannya, satunya kata dengan perbuatan.

Kedua. Menjaga ujung keris. Demi harga diri, nyawalah taruhannya. Lelaki Bugis tidak boleh mencari musuh, tapi jika musuh datang menghampiri, tidak boleh mundur meski hanya selangkah. Filosofi yang kedua itu banyak disalahartikan, padahal intinya hanyalah menjaga kehormatan diri, menjaga kehormatan keluarga, bangsa dan negara, filosofi itu juga bermakna rasa nasionalisme yang tinggi.

Ketiga. Menjaga ujung kemaluan. Tidak boleh berzina, tidak boleh berhubungan dengan isteri orang lain. Dan yang paling penting, harus punya turunan yang baik-baik untuk kelangsungan generasi.

Suatu ketika teman-temanku berkunjung ke rumahku. Hutbah iseng-iseng membuka buku diaryku yang berjudul Pappaseng yang memang aku menganggapnya bukan catatan rahasia. Ia langsung berujar
“Sepertinya buku ini berisi jampi-jampi untuk mendapatkan cewek.” Aku menjawab seadanya

“Ya benar, pelajari saja baik-baik isinya!”

Dayat, Umar, dan Anton juga berebut untuk membacanya. Aku tersenyum-senyum. Entah apa yang ada dibenak Dayat dan Anton, belum mau pacaran tapi ikut-ikutan kasak-kusuk mencari jampi-jampi penakluk perempuan. Tapi aku kira sikap Dayat dan Anton normal-normal saja.

“Mana mantra-mantranya Beddu?” Umar penasaran.

“Baca semua isi pappaseng itu lalu amalkan semuanya, pasti kau akan menjadi orang yang baik dan disegani pula, sehingga kau akan disukai oleh cewek.”

Semua tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasanku. Tapi Hutbah kelihatannya lemas dan berguling di kasur. Aku geleng-geleng kepala. Hutbah sepertinya tidak menyadari kelebihannya bawaannya, fisik yang cakep serta warisan yang menggunung, untuk apa pakai mantra segala. Andai ia bisa memahami pappaseng di atas, ia benar-benar bahagia dunia dan akhirat.

Buku diaryku yang berjudul Pappaseng termasuk buku yang aku bawa setiap hari ke sekolah. Setiap aku membaca dan mendapatkan kata-kata bijak aku selalu menuliskannya dalam buku diary Pappaseng. Karena aku suka belajar Bahasa Inggris, aku suka kata-kata bijak Mahatma Ghandi yang berkaitan dengan tenses (bentuk-bentuk waktu). Bentuk waktu dalam Bahasa Inggris hanyalah tiga, yaitu Present Tense(waktu sekarang), Past Tense(waktu lampau), dan Future Tense(waktu yang akan datang), bentuk-bentuk waktu lainnya hanyalah pengembangan dari tiga bentuk ini.

Mahatma Ghandi mengatakan “Yesterday is Past, Tomorrow is Future, Today is Present. So enjoy your present!” (Kemarin adalah masa lalu, besok adalah masa depan, sekarang adalah hadiah. Maka dari itu, nikmatilah hadiahmu!). Sekarang aku baru mengerti mengapa hadiah itu dalam Bahasa Inggris disebut ‘present’. Hadiah bukan yang kemarin(Past) yang memang sudah lewat dan tinggal angan-angan belaka. Hadiah bukan pula besok(Tomorrow) yang belum pasti kedatangannya. Ataupun kalau datang belum tentu menjadi hadiah buat kita. Hadiah adalah hari ini. Ya hari ini. Makanya “Never put off until tomorrow” (Jangan menunda sampai hari esok), karena hari esok belum tentu milik kita. Aku membuka halaman berikutnya buku Pappaseng karena seolah-olah Mahatma Ghandi berteriak kepadaku “Buka sekarang juga bukumu Beddu, jangan belagu! jangan tunggu besok!”

Di halaman terakhir dari halaman diaryku yang sudah terisi kudapati kata-kata yang sangat bergizi yang kian mengipas-ngipas sayapku sebagai kumbang untuk terbang menggapai langit-langit kesuksesan. Meski pernah diteriaki sebagai kumbang jelek oleh seorang perempuan, tapi teriakan itu kian memanas-manasi sayapku untuk terbang meninggalkan jejak kenangan yang tak bermakna. Kata-kata bergizi itu seperti kudengar dan kulihat langsung dari mulut tokoh pergerakan Pakistan, Muhammad Iqbal. “BERAPA LAMAKAH KAU AKAN TETAP MENGGELEPAR MENGGANTUNG DI SAYAP ORANG? KEMBANGKAN SAYAPMU SENDIRI DAN TERBANGLAH LEPAS SERAYA MENGHIRUP UDARA BEBAS DI TAMAN LUAS.”


Aku tersenyum puas. Benar-benar puas. Seolah aku berada di negeri antah berantah. Kiyai Haji Ahmad Marsuki Hasan datang mengelus imanku. Mahatma Ghandi memberiku tongkat kebijaksanaan. Dan Muhammad Iqbal mengepakkan sayapku. “Yes, aku bisa!” Aku berjanji pada diri sendiri.

Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Selasa, 17 Mei 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 12 PESAN CINTA DARI KAJANG)

12. ADA PARAKAN DI SUMPANG ALE’

Hutan Sumpang Ale’ terletak di daerah perbatasan Sinjai-Bulukumba. Hutan itu salah satu pemasok oksigen terbesar di wilayah Sinjai dan Bulukumba. Sayangnya, sedikit demi sedikit hutan itu menjadi lahan pertanian bagi warga. Meski tidak ada hak kepemilikan tanah, warga tetap bebas menggarapnya dengan semena-mena. Yang aneh, pemerintah tak peduli sama sekali, bahkan banyak mantan pejabat daerah yang menguasai lahan tersebut.

Saat itu aku masih di Madrasah Ibtidaiyah di Buludatu, ketika hutan Sumpang Ale’ mulai ramai-ramai dibuka untuk menjadi lahan pertanian. Hutan itu dibabat secara sembunyi-sembunyi oleh warga dengan dibekingi oleh pejabat setempat. Bahkan kala itu ayahku juga salah satu warga yang punya lahan di hutan Sumpang Ale’. Menurut pengakuan ayahku, hutan itu dibabat sembunyi-sembunyi terlebih dahulu, kalau pohon-pohonnya sudah habis terbabat dan sudah ditanami tanaman lain seperti merica, cengkeh, kopi, atau tanaman lainnya, biasanya pemerintah tak menggubrisnya lagi. Apalagi kalau yang membekingi juga adalah pejabat yang punya proyek liar.

Meski aku masih kecil kala itu, aku sudah mengenal istilah kongkalikong. Pejabat yang membekingi pembukaan hutan tersebut ternyata punya jaringan kuat serta berita akurat. Supaya pemerintah daerah Sinjai dan Bulukumba dianggap tetap memperhatikan dan menjaga hutan, maka pejabat mengirim polisi dan tentara untuk menjaga hutan tersebut. Tapi biasanya aparat keamanan hanya berpatroli dua kali seminggu. Pada saat aparat keamanan berpatroli, warga beristirahat tapi jika tidak ada patroli mereka membabat hutan lagi. Sebuah drama pembantaian hutan yang dramatis. Pohon-pohon pun menangis. Teriris.

Pemerintah sebenarnya melarang membuka hutan itu sebagai lahan pertanian, tapi larangan mereka memang tidak sungguh-sungguh. Mungkin kalau ada lagi tekanan dari pihak tertentu, maka pemerintah bertindak lagi. Pada suatu ketika pemerintah benar-benar bertindak. Pasukan tentara didatangkan untuk mengobrak-abrik seluruh lahan yang dibuka dan sudah ditanami. Semua dangau kecil yang ada dilokasi hutan Sumpang Ale’ dirubuhkan dan dibakar. Semua pembabat hutan bubar. Dangau ayahku juga ikut dibakar, kala itu kulihat ayahku tak menyesal karena memang lahan yang dibuka adalah kawasan hutan yang harus dilindungi. Ayahku memang ikut membuka lahan karena dipanggil oleh seorang pegawai kehutanan, apalagi memang ayahku hanya mempunyai sekeping kebun.

Tapi tak berapa lama kemudian warga kembali membuka lahan dan semakin berani membuat rumah permanen. Dan saat itu yang membekingi lebih kuat dari yang sebelumnya. Periode babak kedua pembabatan dan pembantaian hutan Sumpang Ale’ hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu. Kebanyakan yang membuka hutan hanyalah orang-orang kaya yang sudah punya tanah yang luas, sedangkan orang miskin seperti ayahku tidak diberi bagian. Kasihan

Akhirnya hutan Sumpang Ale’ semakin porak-poranda karena sudah di kapling oleh orang-orang kaya sekaligus orang-orang kuat. Bahkan para pejabat atau pensiunan punya lahan di hutan tersebut. Tapi yang aku dengar status tanah mereka belum bersertifikat hak milik. Aku pikir harus ada LSM yang harus membela hutan tersebut. Meski bukan LSM, Kompita akan memulainya sebagai langkah awal. Semoga ada yang mengawal perjuangan selanjutnya.

Sebelum berkunjung ke hutan Sumpang Ale’, ternyata banyak nada-nada ketakutan dari anggota Kompita. Mereka khawatir dengan berbagai cerita yang mengerikan. Konon di kampung Sumpang Ale’ terdapat banyak parakan. Kampung Sumpang Ale adalah bagian hutan yang sudah dijadikan lahan pertanian yang ditempati oleh warga. Tapi kami pentolan Kompita sekali lagi meyakinkan mereka bahwa manusialah yang paling keramat dibanding dengan makhluk atau benda-benda lain. Apalagi tujuan kami ke Hutan Sumpang Ale’ bukan untuk merusak tapi ingin melihat kerusakan hutan lalu membuat program penyelamatan hutan sesuai dengan posisi kami sebagai pelajar. Kalaupun Kompita tidak mampu mempengaruhi penduduk setempat untuk tidak merusak hutan, minimal kami sudah bertindak sebagai penganjur kebaikan.

Seorang warga yang mungkin punya lahan di Hutan Sumpang Ale’ dan mengetahui rencana kunjungan kami bercerita kepada kami sebelum kami memasuki hutan Sumpang Ale’. Meski kunjungan kami tidak begitu membahayakan karena kami hanyalah siswa tapi kami tetap akan melaporkan kejadian-kejadian yang diketemukan lewat mading kami. Mereka khawatir bisa saja lewat mading kami, pembabatan hutan itu akan terkekspos ke media.

“Kampung Sumpang Ale’ benar-benar mencekam belakangan ini, Nak. Warga kebanyakan mendekam di rumah masing-masing. Mereka takut kalau peristiwa meninggalnya warga secara aneh menimpa juga dirinya atau keluarganya. Seminggu ini dua warga meninggal dunia secara aneh. Seorang dukun beranak yang bernama Koneng meninggal tiga hari yang lalu padahal sebelumnya ia tidak sakit. Koneng pulang pada malam hari dari membantu persalinan di kampung sebelah. Setibanya di rumah, Koneng langsung demam, lalu mendadak tubuhnya lebam, tapi setelah diperiksa oleh pegawai puskesmas, katanya Koneng tidak keracunan.” Warga itu bercerita sangat khidmat. Mereka tidak tahu bahwa kami tak begitu percaya pada hal-hal yang berbau keramat.

“Apa yang menyebabkan dukun Koneng meninggal secara mengenaskan, Pak?” Umar langsung mengajukan pertanyaan pembuka.

“Koneng pasti dimakan parakan.” Warga itu nampak bergidik, tapi kami penuh selidik, tingkahnya seperti dibikin-bikin.

“Parakan?” Kulihat Dayat pura-pura bergidik, tapi ia berbisik padaku bahwa ia hanya menyelisik.

“Parakan adalah makhluk halus jelmaan manusia, pun ada dari kaum jin. Parakan bisa mewujud seperti manusia bisa juga berupa binatang. Makhluk halus dari jin lebih senang tinggal di tempat-tempat yang rimbun seperti pepohonan. Hutan adalah tempat tinggal utamanya.”


“Apakah parakan itu jahat Pak?” Hutbah bertanya asal-asalan.
“Benar sekali Nak, bahkan parakan paling tidak suka dengan pendatang.” Warga itu kian menampakkan sikap yang dibuat-buat.

“Tapi kami tidak bermaksud jahat Pak, kami hanya ingin berekreasi melihat-lihat kawasan Hutan Sumpang Ale’.” Kala itu Anton ikut bicara.

“Sebaiknya dibatalkan rencananya saja Nak, karena parakan tak pandang bulu.” Aku hampir tertawa mendengar warga itu yang seolah-olah menasehati anak-anak TK.

“Tapi kami cuma berkunjung pada siang hari Pak, bukankah tadi dukun Koneng dimakan parakan pada malam hari?” Umar ternyata sudah cukup berani.

“Parakan disini sudah merajalela Nak, kampung ini memang terkenal sebagai kampung parakan.”

Kami tak menghiraukan jawaban warga itu. Tapi kami tak mau berdebat panjang lebar dengannya. Aku pikir cerita parakan yang dihembuskan oleh salah seorang warga itu hanyalah konspirasi untuk menjegal kami mengunjungi Hutan Sumpang Ale’ yang sebagian telah porak-poranda.

“Kita tinggalkan saja jalan ini, kita cari jalur lain, tidak usah kita berdebat dengan parakan itu.” Aku memberi aba-aba kepada temanku dalam Bahasa Inggris agar warga yang bermaksud menghalangi kunjungan kami tidak paham. Hutbah dan Umar yang memang sudah bisa berbahasa Inggris menahan ketawanya karena aku menyebut warga itu sebagai parakan.

Kami meninggalkan jalur itu. Kulihat warga itu tersenyum. Senyum parakan. Kami memang terbiasa menyebut seseorang sebagai parakan sebagai ungkapan kejengkelan. Soal makhluk halus yang bernama parakan sesungguhnya kami tidak menafikan keberadaannya karena kami percaya kepada yang gaib. Dan Tuhan juga memang mencipakan makhluk gaib. Jin, setan, atau malaikat adalah makhluk gaib yang diciptakan oleh Tuhan. Kami hanya tidak takut kepada makhluk gaib tersebut karena kami merasa bahwa kami juga adalah makhluk yang diciptakan Tuhan. Bukan berarti menyombongkan diri sebagai manusia, tapi kami tak mau percaya bahwa makhluk gaib itu bisa menentukan jalan hidup kami. Hanya Tuhanlah yang menentukan jalan hidup kami.

Soal cerita parakan, aku sudah banyak mendengarnya dari beberapa warga di kampungku. Tapi aku yakin cerita itu terlalu dibuat-buat bahkan dianggap sebagai media untuk menakut-nakuti anak-anak kecil saja. Biasanya kalau orang tua melarang anaknya keluar rumah di malam hari, mereka akan berkata, “Awas! Ada batito.” Batito adalah salah satu sebutan parakan di Sinjai. Aku bahkan tidak habis pikir mengapa di negeri ini malam Jumat selalu dikait-kaitkan dengan parakan, konon malam Jumat banyak parakan. Padahal dalam agama, malam Jumat adalah malam yang baik untuk beribadah, bahkan membaca Surah Yasin pada malam Jumat lebih banyak pahalanya dibanding dengan malam-malam yang lain. Bahkan di kampungku dulu, anak-anak kecil takut pergi ke mesjid kalau malam Jumat. Aku sendiri paling suka ke mesjid kalau malam Jumat.

Aku teringat ucapan dari Kiyai Ahmad Marsuki Hasan bahwa ketakutan itu berasal dari perasaan sendiri. Pak Kiyai benar, aku pernah mencobanya, pernah suatu malam Jumat aku dan seorang temanku berjalan melewati sebuah jembatan yang katanya angker. Saat itu temanku memang sudah takut duluan, sedangkan aku sama sekali tidak takut. Ketika kami berjalan, tiba-tiba ada buah mangga jatuh karena memang ada pohon mangga disamping jembatan tersebut, temanku langsung ketakutan karena mengira yang jatuh itu adalah parakan. Padahal yang jatuh hanyalah buah mangga yang sudah masak. Supaya temanku yakin bahwa yang jatuh hanyalah buah mangga, aku memungut mangga itu dan memakannya. “Kuncinya supaya tidak takut, maka tenangkanlah perasaan dengan membaca ayat kursi.” Ucap Kiyai Ahmad Marsuki Hasan kala itu.

Konon, manusia yang menjadi parakan karena menganut ilmu sesat. Ilmu sesat itu biasanya digunakan untuk cepat kaya, atau ilmu kekebalan tubuh. Ilmu parakan bisa didapatkan secara turun temurun, pun bisa dengan berguru. Konon pula, untuk mengenali seseorang yang menjadi parakan sangatlah mudah. Biasanya parakan mempunyai mata yang memerah dan tajam. Seseorang yang menjadi parakan, bisa sekonyong-konyong tubuhnya mewujud jadi binatang, atau matanya memerah dengan pandangan yang menusuk-nusuk bila ingin mengambil mangsa. Menurut cerita tetua di kampung kami, katanya kalau parakan mau memakan orang, ia melihat orang itu serupa nangka. Di saat seseorang sakit, parakan melihatnya dan merasakannya serupa nangka yang sudah masak dan lezat.

Masih menurut cerita tetua di kampungku, konon bila seseorang jadi parakan, ia tidak sakit kalau tubuhnya yang dipukul tetapi harus bayangannya. Makanya parakan hanya mau bereaksi di tempat gelap. Atau kalau ia berada di tempat terang ia berusaha berada tepat dibawah sumber cahaya sehingga ia tak punya bayangan. Waktu yang paling disukai parakan untuk bereaksi tepat siang hari ketika matahari tepat berada di atas kepala. Tapi kita juga harus berhati-hati memukul bayangan parakan, karena ia hanya mempan dipukul satu kali, pukulan kedua dan seterusnya membuat pukulan pertama tidak mempan lagi. Entah. Sampai sekarang, cerita itu kuanggap dongeng saja. Bahkan aku biasa menakut-nakuti adikku dengan menyebut nama batito atau parakan.


Kami pulang dari Hutan Sumpang Ale’ membawa banyak cerita dan berita. Cerita tentang parakan menjadi bahan yang kadangkala menakutkan sekaligus menggelikan, karena kami yakin parakan hanyalah semacam istilah perlambang ketakutan saja. Dan biasanya wujud parakan diekspos oleh kaum perfilman dengan berbagai macam cara dan gaya. Wajah parakan tergantung dari imajinasi sang sutradara. Bahkan terkadang muncul di teve gambar parakan yang tidak menakutkan tapi menggelikan.
Sedangkan berita yang kami bawa adalah tentang penggundulan hutan sudah terjadi dimana-dimana. Kami memprediksi bahwa negeri ini kelak akan dilanda berbagai macam musibah bila tidak ada penanganan serius dari pemerintah.

Begitulah yang tertulis dalam kolom “Cerita” dan “Berita” di mading kami sebagai catatan perjalanan Kompita ke Hutan Sumpang Ale. Sayangnya berita itu tidak pernah dibaca oleh pejabat. Supaya berita itu memancing pembaca, Hutbah memberinya judul kecil “Berita Besar di Mading Kecil di Kolom kecil yang dibuat oleh Orang Kecil”, Hutbah rupanya sudah punya naluri jurnalistik yang tinggi.


Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Minggu, 15 Mei 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 11 PESAN CINTA DARI KAJANG)

11. PESAN CINTA DARI KAJANG

Kompita benar-benar peduli dengan kelestarian hutan. Banyaknya bencana alam yang menimpa negeri ini karena alam dijamah dengan serakah oleh manusia yang berwajah tak ramah. Jamak manusia terlalu tamak mengeruk hasil hutan untuk kepentingan pribadi. Mereka tidak sadar bahwa ulahnya itu di kemudian hari akan menimbulkan amarah alam. Banjir bandang, erosi, longsor, adalah bahasa alam untuk menegur bangsa manusia yang tak berperikemanusiaan dan berperikealaman.

Untuk lebih menggugah kepedulian kami atas kelestarian hutan, kami anggota Kompita berencana mengunjungi Tanah Kajang untuk study banding atas keberhasilannya menjaga hutan mereka. Kajang terletak di Kabupaten Bulukumba tapi berbatasan langsung dengan Kabupaten Sinjai. Untuk kunjungan ke Tanah Kajang, oleh teman-temanku aku didaulat sebagai pimpinan rombongan. Aku memang mahir berbahasa Konjo sebagai bahasa sehari-hari orang Kajang. Kemahiranku berbahasa Konjo karena aku pernah sekolah di MTsN Tanete yang rata-rata siswanya dari kawasan Tanah Kajang dan Herlang yang memang berbahasa Konjo. Bahasa Konjo termasuk rumpun Bahasa Makassar.

“Nia saja yang jadi sekretarisnya.” Seperti biasa setiap rapat Hutbah merasa tak sah kehadirannya kalau tidak menggoda dan bercanda.

Entah, belakangan itu aku mulai senang-senang saja bila dijodoh-jodohkan dengan Nia. Bahkan terkadang aku yang memancing Hutbah untuk menggodaku. Hubungan Nia dan aku sesungguhnya adalah hubungan antar adik dan kakak saja, tapi godaan teman-teman kami seperti penguat bahwa kami memang serasi dan sehati. Bahkan pernah suatu ketika Hutbah menjelaskan perbedaan garis keturunan patrilineal dengan matrilineal lalu mengambil contoh Nia dan aku sebagai hubungan suami isteri. Tempo itu Nia langsung mengerling ke arahku, disaat yang sama aku menatapnya tanpa berkedip dengan seulas senyuman penuh arti. Nia menunduk sesaat, lalu kembali menatapku dengan senyuman yang sangat bermakna buatku, berbeda seratus delapan puluh derajat ketika ia mengembalikan surat cintaku dulu dan menyebutku sebagai kumbang jelek.

Kami anggota Kompita sepakat berkunjung ke Kajang pada hari Sabtu dan hari Minggu. Kebetulan Sabtu depan kala itu sekolah diliburkan karena tanggal merah.

“Tapi kata orang hari Sabtu ini adalah hari bilakkaddaro.” Umar nampak takut.
“Bilakkaddaro?” Nia ikut bergidik kaget.

“Ya, orang-orang kampung berkata begitu.” Umar mencoba meyakinkan, tapi nada kalimatnya juga seperti mengandung kecemasan.

“Semua hari itu baik, tergantung pada niat kita sendiri. Hari Sabtu nanti adalah hari baik kalau hari itu niat kita baik. Pun hari Sabtu nanti jelek kalau pada hari itu niat kita jelek.” Aku memberi penjelasan mengulang kalimat Kiyai Haji Ahmad Marsuki Hasan.

“Tidak semua hari itu baik, Beddu.” Hutbah menatapku seolah memperingatkan bahwa memang ada hari sial.

“Hari apa yang tidak baik?”

“Bilakkaddaro.” Hutbah menjawab mantap, tapi ia menatap ragu.

Hutbah dan Umar memang selalu seperguruan. Tapi mereka masih kalah dengan perguruanku, karena mereka selalu mengikuti pendapatku meski dengan pertanyaan yang membabi buta.

“Baguslah kalau hari keberangkatan Kompita ke Kajang bertepatan dengan hari bilakkaddaro, supaya kita semuanya berhati-hati.”

“Bilakkaddaro itu cuma takhyul.” Dayat mendukung pendapatku.

“Takhyul yang dimitoskan.” Anton menyela mendukung Dayat. Hutbah dan Umar tak bisa berkutik. Akhirnya keduanya menurut.

Kami tetap berangkat ke Tanah Kajang meski sebelumnya terjadi perdebatan bahwa waktu keberangkatan kami bertepatan dengan hari bilakkaddaro. Tetapi supaya keberangkatan kami merupakan inisiatif bersama dan bila terjadi hal-hal yang tak diinginkan merupakan tanggung jawab bersama, maka aku mengusulkan diadakan voting. Hasilnya, semuanya setuju berangkat. Akhirnya semua anggota Kompita berangkat ke Kajang. Hutbah dan Umar yang awalnya mempermasalahkan hari bilakkaddaro ternyata paling bersemangat, kedua temanku itu kuncinya memang cuma butuh penjelasan karena mereka berdua mudah menerima pendapat orang.

Kami memilih rute Bikeru-Tanete-Balangriri-Kajang. Kami sengaja memilih rute itu karena kami ingin menikmati pemandangan hutan karet yang membentang luas. Perkebunan karet milik perusahaan Lonsum(London Sumatera) itu hampir menguasai wilayah Bulukumba bagian Utara dan Timur bahkan sudah mulai merambah wilayah Sinjai.

Sebelum memasuki wilayah adat Kajang, kami mampir dulu di rumah salah seorang warga Kajang yang menyewakan pakaian hitam, karena kami tidak boleh memasuki wilayah adat tanpa pakaian hitam. Kami sekaligus menyewa seorang warga sebagai pengantar. Kami menyebutnya sebagai guide. Bersama seorang pengantar yang berasal dari daerah Kajang Luar itu kami memasuki kawasan tanah adat atau Kajang Dalam. Wilayah Kajang memang terbagi atas daerah Kajang Luar dan Kajang Dalam, kedua daerah itu dibatasi oleh balai kayu hitam. Memasuki daerah Kajang Dalam, semua tamu diwajibkan memakai pakaian hitam. Kalau melanggar, konon mereka akan beroleh celaka dan hilang diperjalanan. Tapi bukan alasan itu yang membuat kami anggota Kompita yang pada umumnya tak percaya dengan hal-hal berbau takhyul rela memakai pakaian hitam. Tetapi memang itulah peraturan yang kami harus patuhi sebagai tamu. Kami ikhlas memakai pakaian hitam, karena merupakan bentuk penghormatan atas masyarakat setempat. Masyarakat Kajang dalam kehidupan sehari-harinya pun memakai pakaian hitam-hitam seperti baju hitam, sarung hitam, dan ikat kepala hitam. Menurut mereka, warna hitam melambangkan kesederhanaan hidup dan simbol kedekatan dengan alam.

Kami memasuki wilayah Kajang Dalam yang terkenal mistis. Tapi kami tidak merasakan kemistisannya, karena penduduk setempat menyambut kami dengan ramah. Teramat ramah malah. Bahkan kami seperti tamu terhormat yang memasuki suatu wilayah. Banyak penduduk menyambut kami, membuka pintu, tersenyum, melambaikan tangan, atau mungkin banyak gadis-gadis Kajang yang malu-malu mengintip di celah-celah pintu menyaksikan kami. Pun anak-anak kecil berlarian di belakang kami seperti takut kehilangan momen penting. Kami berjalan kaki dari balai kayu hitam menuju rumah adat Ammatoa. Di rumah adat itulah kami akan dipersilakan berdiskusi dengan Ammatoa, pemimpin adat Kajang. Rumah panggung yang diperuntukkan bagi tamu itu berwarna hitam tanpa menggunakan paku sebagai perekat, tapi hanya diikat dengan tali yang biasanya terbuat dari bambu muda yang sudah dibuat serupa tali rafia. Rumah adat itu dikelilingi oleh pagar batu yang juga sudah dicet hitam.

Kami memasuki rumah adat dengan deg-degan. Kami bertanya-tanya bagaimana gerangan rupa Ammatoa. Menurut kabar yang kami dengar Ammatoa punya kesaktian. Selang beberapa menit kemudian, Ammatoa tiba bersama para Galla dengan menggunakan pakaian hitam dilengkapi dengan tudung kepala berwarna hitam. Galla merupakan kepala desa yang berada di luar kawasan yang berada dibawah pimpinan Ammatoa, Galla itu juga berperan mengingatkan masyarakat untuk mematuhi peraturan yang ada.

Kami memfokuskan diskusi pada topik bagaimana Ammatoa menjaga dan melestarikan hutan yang berada di kawasan Kajang.

“Masyarakat Kajang menganggap bahwa hutan adalah sesuatu yang sakral dan harus dihormati. Menjaga kelangsungan hutan berarti menghormati leluhur dan menjaga kelangsungan hidup masyarakat Kajang. Makanya masyarakat tidak boleh sembarangan menebang pohon di tanah Kajang.” Ujar juru bicara Ammatoa. Yang menjabat Ammatoa kala itu memang mempunyai juru bicara karena Ammatoa tidak begitu fasih berbahasa Indonesia.

“Jadi kalau masyarakat dilarang menebang pepohonan lalu dimana mereka mengambil kayu untuk membangun rumah Pak?” Aku mewakili Kompita mengajukan pertanyaan.

“Masyarakat boleh menebang pohon di hutan tetapi harus ada izin dan pertimbangan dari Ammatoa dulu karena hutan dan pohon terkait pasang, peraturan adat. Pertimbangan dari Ammatoa mencakup jumlah, ukuran, tujuan penggunaan serta jenis kayu yang akan diambil. Masyarakat yang menebang pohon harus menggantinya, setiap penebangan satu pohon harus diganti dengan menanam dua pohon yang sejenis di lokasi yang ditentukan oleh Ammatoa. Masyarakat yang sudah diberi izin menebang pohon diawasi oleh orang-orang kepercayaan Ammatoa. Tetapi ada kawasan hutan yang tidak boleh ditebang pohonnya sama sekali yaitu borong karamaya, hutan keramat.” Juru bicara Ammatoa memberi penjelasan secara rinci.

“Mengapa tidak boleh menebang pohon di borong karamaya Pak?”

“Karena kami masyarakat Kajang meyakini hutan tersebut sebagai awal datangnya leluhur kami.”

Aku memang pernah mendengar cerita bahwa kawasan borong karamaya terletak di daerah Kajang Dalam tepatnya di Desa Posik Tanah. Posik Tanah berarti Pusar Tanah(Bumi). Masyarakat Kajang percaya bahwa Desa Posik Tanah terletak pas di tengah-tengah bumi ini. Di Desa Posik Tanah itu pula konon terdapat lubang sumur yang kedalamannya tidak bisa diperkirakan bahkan meski semua kayu yang ada di Kajang disambung-sambung, tetap tidak bisa sampai ke dasar sumur. Konon lubang itu menghubungkan Kajang dengan dunia lain sehingga sangat sakral dan mistis. Lubang sumur itu memang tidak boleh didekati kecuali Ammatoa dan orang kepercayaannya. Kami merasa tidak perlu menanyakan langsung kepada Ammatoa tentang sumur itu, kami khawatir masalah itu sensitif. Lagian menurut perkiraanku pribadi, itu hanyalah mitos yang sengaja dipelihara agar masyarakat takut menebang pohon. Bahkan aku berpendapat mitos seperti itu harus dijaga untuk menjaga kelestariaan alam, termasuk mitos adanya penjaga Sungai Bejo berupa ikan besar.

Tentang sumur yang tanpa dasar itu, aku pernah mendengar cerita dari ayahku. Jadi cerita ini menurut versi ayahku saja. Konon pada zaman dahulu kala ada tujuh orang bersaudara bertempat tinggal di sekitar Posik Tanah. Mereka itu adalah petani yang sangat ulet dan rajin.

Pada suatu ketika, ketujuh bersaudara itu memagari kebun jagungnya agar tanamannya tidak terganggu oleh binatang. Tapi mereka gusar karena setiap pagi hari mereka menemukan tanaman jagungnya rusak oleh gangguan babi hutan. Tetapi mereka sangat heran karena pagar kebun mereka sangatlah kuat. Apalagi babi tidak bisa memanjat.

Salah satu dari mereka mencoba mengetahui bagaimana babi itu bisa masuk menyerbu tanaman jagungnya. Akhirnya ia mengetahui bahwa babi itu tidak berasal dari luar tapi berasal dari sebuah lubang besar yang terdapat dalam kebunnya sendiri. Lalu mereka bertujuh berencana untuk membunuh babi tersebut. Mereka meminjam sebuah tombak sakti yang terkenal berbisa. Akhirnya mereka berhasil menombak sang babi tersebut namun berakibat fatal. Tombak tersebut tinggal di dalam tubuh sang babi dan dilarikan turun ke lubang yang sangat dalam. Alangkah masygulnya mereka bertujuh karena yang punya tombak tidak mau menerima penggantian tombak miliknya kecuali tombak itu sendiri. Menurut yang empunya, tombak itu adalah tombak mana’(pusaka).

Ketujuh orang bersaudara itu berusaha keras untuk menemukan kembali tombak itu. Lalu mereka mengumpulkan rotan dari hutan yang akan dipergunakan sebagai tali tempat bergantung pada saat menuruni lubang yang sangat dalam itu. Rotan yang mereka kumpulkan sebanyak 40 pikul yang berarti dikumpulkan oleh 40 orang. Kemudian mereka membuat okong(sebuah tempat untuk meletakkan periuk, bentuknya seperti keranjang). Okong itu dipergunakan sebagai tempat berpijak kalau sedang diulur turun.

Yang pertama turun untuk mengambil tombak adalah saudara tertua. Tetapi ia menyatakan tak sanggup sampai ke bawah. Lalu berturut-turut saudara tertua kedua sampai keenam. Tapi semuanya tak mampu karena merasa takut. Lalu tibalah giliran si bungsu. Karena keenam saudaranya tak mampu mengambil tombak. Dan tentu saja bila tombak tidak ditemukan maka mereka bertujuh akan menjadi hamba sahaya dari orang yang punya tombak, maka si bungsu bersumpah tidak akan kembali bila ia tidak menemukan tombak itu. Ia tak akan rela menjadi hamba sahaya hanya gara-gara tombak.

Si bungsu diturunkan oleh keenam saudaranya. Keenamnya berharap-harap cemas. Setelah rotan sebanyak 40 pikul terulur semua maka sampailah si bungsu pada sebuah pohon beringin. Di bawah pohon beringin terdapat sebuah sumur dan sebuah istana. Si bungsu melihat seorang perempuan cantik sedang mencuci pakaian yang berlumuran darah. Maka bertanyalah si bungsu mengapa ia mencuci pakaian yang berlumuran darah.

Perempuan cantik itu menjawab bahwa pakaian yang ia cuci adalah pakaian sang raja yang juga adalah ayahnya yang terluka karena terkena duri ketika ia berkunjung ke Botting Langi(bumi). Bahkan ayahnya kini sedang sakit keras karena duri itu masih menancap di tubuhnya, tak ada yang bisa mengeluarkan duri tersebut dari tubuhnya.

Si bungsu senang mendengar kabar itu, karena ia tahu kini keberadaan tombak yang sedang dicarinya. Tombak itulah yang disebut duri oleh putri raja. Akhirnya si bungsu memperkenalkan diri sebagai seorang utusan dari Botting Langi yang ingin mengobati sang raja yang terkena duri.

Untuk mengobati sang raja, maka si bungsu meminta agar dibuatkan kelambu tujuh lapis untuk keperluan pengobatan raja. Setelah itu si bungsu meminta semua orang keluar dari kamar raja. Lalu si bungsu mencabut tombak itu secara paksa yang mengakibatkan kematian raja(babi) tersebut. Si bungsu berpesan bahwa demi kesembuhan sang raja, mereka baru diizinkan masuk kamar raja bila dirinya sudah pergi
Dan sebagai tanda mata si bungsu diberi sebuah guci. Guci itu bisa digunakan untuk menambah rezeki. Apa saja yang diminta akan terkabulkan dengan cara memukul-mukul guci sakti tersebut. Si bungsu pamit pulang setelah mendapatkan tombak dan guci tersebut. Ketika ia tiba pada sampai puncak beringin. Ia mendengar suara isak tangis dari istana, sebagian pengawal istana berusaha mencarinya. Si bungsu cepat-cepat naik ke okong dan memberi isyarat kepada saudara-saudaranya untuk ditarik naik.

Akhirnya ketujuh bersaudara itu berhasil mengembalikan tombak pada si empunya. Berita tentang guci sakti untuk penambah rezeki yang dimiliki tujuh bersaudara itu membuat para warga ingin meminjamnya. Termasuk orang yang pernah mereka pinjam tombaknya. Ketujuh bersaudara itu meminjamkan guci sakti pada pemilik tombak sakti tersebut. Karena pemilik tombak sakti itu ingin mendapatkan banyak rezeki maka ia memukul-mukul guci dengan keras hingga akhirnya guci itu pecah. Ketujuh bersaudara itu tidak mau menerima penggantian guci, mereka hanya mau menerima pengembalian yang aslinya dalam bentuk utuh.

Akhirnya orang yang mempunyai tombak sakti itu bersama keturunannya menjadi hamba sahaya dari ketujuh bersaudara karena tak mampu mengembalikan guci itu secarah utuh.

Begitulah cerita ayahku dulu.

“Lalu bagaimana kalau ada masyarakat yang melanggar peraturan disini, Pak?” Akhirnya Anton bertanya ketika melihatku terbengong mengingat-ingat cerita tentang Posik Tanah dari ayahku dulu.

“Apabila ada masyarakat yang melanggar peraturan adat maka yang bersangkutan akan dikenakan sanksi yang dikenal dengan pokko babbala. Sanksi ini berupa denda uang sebesar satu harga hewan ternak.”

“Bagaimana kalau masyarakat dari luar Kajang melanggar adat seperti menebang pohon Pak?” Aku mencoba kembali fokus pada pembicaraan.

“Hal itu belum pernah terjadi, karena selama ini pendatang dari luar Kajang bisa memahami adat dan peraturan disini.”

Kami semua anggota Kompita mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari jubir Ammatoa, sedangkan Ammatoa duduk tenang bersila, begitu khidmat.. Begitulah penjelasan yang kami dapat bahwa prinsip hidup masyarakat Kajang yang sederhana membuat pemakaian kayu efisien dan menjadikan hutan tetap lestari. Kami benar-benar salut pada Ammatoa dan masyarakat Kajang yang bersahabat dengan hutan dan pepohonan. Untuk menjaga kelestarian hutan, mereka tak perlu membuat semboyan berupa sticker yang berbunyi “Save The Jungle, Save The World” seperti yang kami sosialisasikan kepada masyarakat yang berdomisili di kawasan Hutan Lindung Balang Sinjai. Sosok Ammatoa memang benar-benar menjadi tokoh anutan. Ammatoa menjadikan hutan sebagai tempat multifungsi yang memiliki fungsi sakral sehingga terjaga kelestariannya. Ammatoa sama sekali tidak menjadikan hutan sebagai lahan komersil apalagi diperdagangkan, hal itu berkaitan erat dengan keberlangsungan anak cucu mereka kelak. Begitulah, seandainya pemerintah dan masyarakat Indonesia mau meniru masyarakat Kajang maka kelangsungan hutan kita tetap terjaga. Tak ada lagi illegal logging.

Setelah perbincangan dengan Ammatoa selesai, kami ingin melihat sendiri bagaimana kehidupan masyarakat Kajang yang begitu sederhana dan bersahaja. Kami juga mendapatkan penjelasan tambahan dari pengantar kami bahwa masyarakat Kajang sebagian besar berprofesi sebagai petani. Sedangkan perempuan Kajang berperan sebagai pengasuh anak serta membantu menopang perekonomian keluarga. Mereka menenun kain hitam di rumah untuk pakaian anggota keluarga sekaligus dijual ke Pasar untuk memenuhi kebutuhan lainnya.

Kami sempat singgah di sebuah rumah yang kebetulan masih keluarga dengan pengantar kami. Kami menyaksikan rumah masyarakat Kajang yang sangat sederhana dan unik. Rumah mereka sangat berbeda dengan rumah pada umumnya. Di rumah masyarakat Kajang kita terlebih dahulu akan mendapatkan dapur, bukan ruang tamu sebagaimana lazimnya. Setelah kami tanyakan mengapa demikian. Tuan rumah menjelaskan bahwa itu bermakna bahwa makanan apapun yang dimiliki oleh tuan rumah juga akan disajikan kepada tamunya, tidak ada yang disembunyikan. Kami sangat terharu dengan penjelasan mereka. Begitulah masyarakat Kajang, meski kelihatannya penuh mistik tetapi mereka memiliki rasa berbagi serta rasa solidaritas yang sangat tinggi. Setinggi mereka menjunjung adatnya.

Setelah mempelajari adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Kajang, khususnya bagaimana mereka melestarikan hutan, kami pulang dengan membawa banyak pengalaman. Di tengah perjalanan kami berbincang-bincang mengenai status hutan di Sinjai yang begitu mudah dibabas dan dibabat oleh oleh siapa saja.

“Sebaiknya kita membuat sticker baru yang berbunyi Belajarlah Pada Orang Kajang.” Hutbah yang pertama mengajukan usul.

“Hehehe! Hati-hati Hutbah. Bisa saja stickermu bernada mistis.” Dayat menimpali.

“Maksudmu Dayat?” Hutbah tak mengerti.

“Bukankah selama ini umumnya orang belajar kepada orang Kajang mengenai ilmu hitamnya.” Dayat bersungguh-sungguh.

Hutbah kelihatan bersungut-sungut. Kami semua tertawa melihat Dayat dan Hutbah. Waktu itu memang kami hanya mengenal Kajang dengan imej negatif sebagai pusat ilmu hitam berupa doti, sejenis ilmu pelet. Konon dengan ilmu dotinya, orang Kajang bisa membuat kepala orang menjadi lembek. Konon pula, orang lain takut berperkara dengan orang Kajang karena takut didoti atau dipelet. Tapi generasi sepertiku tidak begitu peduli dan tidak takut dengan ilmu hitam. Bukankah umur sudah ditentukan oleh Sang Maha Pencipta Kalau memang harus meninggal karena didoti maka memang itulah jalan ajal yang telah ditentukan oleh-Nya.

“Aku punya usul lain.”

Kami semua fokus ke Anton karena kami tahu Anton biasanya punya ide yang lucu dan unik. Ide gila malah.

“Apa usulmu Anton?”

Umar tak sabar lagi menunggu ide Anton. Aku sendiri sudah siap-siap ketawa karena dari mimiknya aku sudah bisa menebak bahwa usul Anton pasti lucu.

“Begini. Sebaiknya Umar sebagai ketua Kompita dipanggil saja Ammatoa.” Usul Anton ternyata cuma usil.

Riuh rendah ketawa kami berderai mendengar candaan Anton. Mobil carteran yang kami tumpangi pelan-pelan meninggalkan daerah Kajang menerobos kawasan hutan karet yang nampak menghijau. Pohon-pohon karet yang kami lewati nampak berlarian melambaikan tangan sambil tersenyum. Mungkin karena mereka tahu bahwa kami adalah anak-anak sekolah yang sangat peduli dengan kelestarian hutan.

“Aku punya usul.” Nia memecah keheningan.

Kami semua memperhatikan Nia. Nia jarang mengemukakan pendapat, tapi pendapatnya kadang cemerlang.

“Orang cantik pasti usulnya menarik.” Hutbah langsung menanggapi.

“Menurut pendapatku, sebaiknya pemerintah jangan memakai istilah Hutan Lindung tetapi diganti saja dengan istilah Hutan Adat.”

“Apa alasannya Nia?” Umar penasaran.

“Nama hutan adat lebih sakral daripada hutan lindung. Aku yakin masyarakat takut membabat hutan adat karena terkait dengan hukum adat dan mitos setempat, sedangkan hutan lindung cuma penamaan saja, bahkan terkadang tidak terlindungi.”

Kami semua terdiam mendengar pendapat Nia yang cemerlang. Kami mengangkat jempol untuknya. Sejak dulu memang aku percaya bahwa perasaan menjaga dan memelihara itu ada pada sosok perempuan, sosok Nia, sosok ibu. Ibu pertiwi.

Seperti biasanya kala itu sebelum acara yang satu berakhir, kami sudah menyusun program selanjutnya. Sebagai program selanjutnya sekaligus sebagai program terakhir dari kepengurusan di bawah kepemimpinan Umar adalah kunjungan ke hutan Sumpang Ale’. Kami sangat prihatin dengan hutan itu yang sedikit demi sedikit dibabat menjadi lahan pertanian. Kami berlima, Dayat, Anton, Hutbah, Umar, dan aku sudah duduk di kelas tiga sehingga tidak bisa lagi banyak kegiatan ekstrakurikuler apalagi kegiatan eksternal sekolah. Kami harus fokus belajar untuk menghadapi ujian akhir sekolah yang menurut informasi kepala sekolah, tahun itu standar kelulusan dinaikkan. Tapi kami tak khawatir dengan kelangsungan Kompita karena animo siswa untuk bergabung dengan Kompita sangat tinggi. Kami memang sudah mendoktrin mereka bahwa menjaga kelestarian hutan juga adalah ibadah. Meski tak bisa aktif secara langsung pada acara Kompita, kami tetap siap memberikan masukan-masukan dan kritik yang membangun.


Mobil kami sudah sampai di kampus SMU Bikeru. Kami semua bersyukur karena kami bisa kembali dengan selamat. Hari bilakkaddaro ternyata hari menyenangkan buat kami. Dan hari itu kami benar-benar bahagia membawa pesan cinta dari tanah adat Kajang. Pesan cinta kepada hutan. Cinta kepada lingkungan.


Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Kamis, 12 Mei 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 10 KONSEPTOR CINTA YANG SIAL)

10. KONSEPTOR SURAT CINTA YANG SIAL

Saat itu aku berjanji tak lagi mau membuatkan surat cinta teman-temanku. Sudah dua kali aku ketiban sial. Sebenarnya, kejadian yang memalukan ketika Nia mengembalikan surat cintaku bukan yang pertama kali menimpaku. Ketika masih sekolah di Madrasah Tsanawiyah Tanete dulu, aku pernah mendapatkan pengalaman serupa pengalamanku pada Nia. Bedanya kala itu aku tidak jatuh cinta karena memang aku jatuh cinta pertama kalinya pada Nia. Saat itu bakatku membuat kata-kata mutiara sudah mulai nampak. Karena sering membaca coretan-coretanku yang katanya indah dan menawan, seorang teman sekelasku yang bernama Bahar yang jatuh cinta pada seorang siswi bernama Tia, meminta tolong padaku untuk dikonsepkan surat cintanya, aku tak keberatan. Aku menganggapnya latihan mengarang saja. Tak kurang, tak lebih. Dari kebiasaan menuliskan surat cinta teman-temanku serta pengalaman yang pahit itulah aku benar-benar jadi pengarang.

Soal menulis surat cinta, Bahar serupa dengan Hutbah, mereka berdua tak pandai berkata-kata, tapi Bahar lebih pemberani sedikit daripada Hutbah, cuma tulisan Bahar seperti cakar ayam yang mabuk karena dicambuk, oleng kiri kanan. Surat yang kubuat bukan aku yang langsung memberikan kepada Tia, Bahar lah sendiri yang akan memberi langsung kepada Tia, perempuan yang ditaksirnya itu. Tapi rupanya Bahar sangat ceroboh. Surat cinta yang kutulis buatnya yang ditujukan kepada Tia hilang entah dimana. Saat itu aku sangat deg-degan jangan sampai surat cinta itu jatuh dan ditemukan oleh salah seorang guru di sekolah kami. Yang paling celaka adalah aku, karena tulisanku amatlah dikenali oleh banyak orang. Sejak kecil memang ayahku selalu melatihku menulis indah. Bahkan kala itu aku sangat bangga ketika ayahku mempercayakan kepadaku menulis daftar peserta ronda di kampungku. Itulah awal mula kebanggaanku sebagai penulis. Meski cuma menulis jadwal ronda, tapi jadwal itu di tempel di pos ronda. Kadangkala aku mengajak teman-temanku bermain-main di pos ronda dan menunjukkan prestasiku sebagai penulis. Waktu kecil memang yang kutahu tentang penulis adalah orang yang menulis, termasuk menulis jadwal ronda. Itu saja. Tapi kebanggaan itu telah tertanam di otak kananku menjadi bibit cita-cita yang terus bertunas, berdaun, bercabang, dan bertumbuh kokoh dalam sanubariku.

Benar saja perkiraanku. Ternyata yang menemukan surat cinta itu justeru Ibu Ruhani, guru Bahasa Indonesiaku, sekaligus guru yang benar-benar jadi orang tuaku selama sekolah di MTsN Tanete karena aku menumpang di rumahnya. Aku tak mungkin pulang pergi ke sekolah dari rumahku di Sinjai. Ibu Ruhani langsung yakin bahwa itu surat cintaku, Ibu Ruhani memberikan surat cinta itu kepada Pak Tondeng, kepala sekolah MTsN Tanete. Di MTsN Tanete kala itu ada peraturan tak tertulis yang melarang siswa berpacaran. Siswa dilarang berdua-duaan dengan lain jenis. Aku pikir kalau melarang siswa berdua-duaan lain jenis adalah hal yang bisa dicegah, tetapi melarang siswa berpacaran adalah hal yang teramat susah. Bahkan kala itu aku tahu bahwa anak perempuan kepala sekolah yang juga seorang siswi di sekolah tersebut berpacaran dengan seorang teman sekelasku. Begitulah. Siapa yang sanggup menahan seseorang untuk tidak jatuh cinta? Bukankah cinta datang dari lubuk hati yang paling dalam secara tiba-tiba dan tanpa disangka-sangka? Cinta memang misterius, bisa datang dan pergi kapan saja.

Soal larangan berdua-duaan dengan perempuan, aku pikir memang bagus, tapi semestinya larangan itu disertai dengan peraturan lain yang mendukung, misalnya siswa laki-laki dipisahkan dengan siswa perempuan.

Akhirnya aku dipanggil menghadap kepala sekolah. Aku ketakutan menghadap kepala sekolah karena kuakui memang bahwa akulah yang menulis surat cinta itu. Ketika aku menghadap, Pak Tondeng sudah menebak bahwa surat cinta yang hilang itu adalah suratku karena memang aku nampak pucat dan gemetar. Mungkin karena baru sekali itu aku dianggap melanggar.

“Apakah surat ini adalah suratmu?”

Pak Tondeng menatapku. Tak ada senyum sama sekali menghiasi wajahnya padahal ketika ia mengajar Bahasa Arab di kelas bukan main ramahya.

“Bukan Pak.” Jawabku sambil menunduk.

“Sekarang kamu sudah mempunyai dua kesalahan Beddu, melanggar peraturan sekolah dan berani berbohong sama guru.” Mata Pak Tondeng membola serupa bola api yang siap menghanguskan kulitku.

“Surat itu memang aku yang tulis Pak, tapi bukan suratku.” Aku mencoba tegar meski keteteran pertanyaan.

“Apa?”

“Surat itu milik Bahar, Pak.” Aku kian menunduk.

“Apa? Kamu benar-benar berani berbohong dan memfitnah orang lain. Nyata-nyata ini tulisanmu, namamu juga tertera di surat ini.”

Pak Tondeng menyodorkan surat itu kepadaku. Di surat itu pengirimnya memang terulis BK yang bisa jadi singkatan namaku Beddu Kamase, tapi sesungguhnya BK itu adalah Bahar Kajang karena Bahar berasal dari Kalimporo Kajang. Kepala sekolah lalu memanggil Bahar. Aku sudah mulai bernafas lega. Bahar pasti akan mengakui bahwa itu adalah suratnya. Aku berharap. Tapi aku benar-benar terkejut dengan jawaban Bahar yang kian menyudutkan aku. Bahar sungguh tega.

“Menurut pengakuan Beddu, inilah adalah suratmu.”

Tatapan Pak Tondeng membuat Bahar bergetar. Ia tergeragap menjawab.

“B…bu…bukan Pak.”

“Benar bukan milikmu?” Mata Pak Tondeng tak berkedik.

“K…ka…kalau B…ba…bapak tak percaya, i…i…ini contoh tu…tulisanku Pak.”

Bahar membuka bukunya. Aku kian ketakutan, aku ingin sekali meninju Bahar yang mirip petinju Kanada, tapi ternyata berhati culas dan curang. Tak berperasaan sama sekali.

“Bahar berbohong Pak.” Aku mencoba membela diri.

“Diam! Bukan kamu yang saya tanya.” Bentak kepala sekolah.

Aku benar-benar tak bisa berkutik, aku hanya bisa geleng-geleng kepala meratapi nasib sendiri yang sial sebagai konseptor surat cinta. Aku kian malu dan jengkel ketika Bahar meninggalkan kantor kepala sekolah dengan mimik tak bersalah. Ia menatap padaku sekilas, seperti tatapan mata kucing sepintas yang ingin mencuri daging tuannya. Dasar teman tak tau diuntung! Aku membatin jengkel.

Kepala sekolah tidak berhenti memperkarakan aku. Mungkin karena aku adalah siswa yang berprestasi yang semestinya memberikan contoh yang baik kepada siswa-siswa lainnya, maka kesalahanku harus diusut tuntas. Selanjutnya kepala sekolah memanggil Tia, siswi kelas 1A, yang orang tuanya mempunyai toko kelontong di Pasar Sentral Tanete. Kulihat Tia tak menampakkan rasa bersalah dan rasa malu sedikit pun. Aku bingung dan penasaran entah pertanyaan apa yang akan diajukan kepada Tia serta apa jawaban Tia yang sungguh percaya diri itu.

“Apakah kamu pernah menerima surat cinta dari Beddu Kamase?” Kepala sekolah menatap Tia.

“Pernah Pak.” Tia menjawab polos.

“Berapa kali?”

“Berkali-kali Pak.”

“Tapi bukan suratku Pak, tapi surat…” Aku masih berusaha membela diri dengan geragapan.

“Sekali lagi kalau kau tak mau mengaku dan memfitnah orang lain, maka hukumanmu semakin bertambah.” Hardik Pak Tondeng.

Aku diam saja. Tapi diam-diam aku heran bercampur rasa geer. Ternyata selama itu surat yang kubuat untuk Bahar yang ditujukan kepada Tia salah alamat. Artinya Tia selama itu mengira bahwa surat cinta dari Bahar adalah suratku, padahal sesungguhnya adalah surat Bahar sendiri, cuma namanya saja yang ambigu. BK bisa berarti Beddu Kamase atau Bahar Kajang. Berarti Tia mau menerima surat itu karena mengira aku. Dan mungkin saja akan menolak kalau ia tahu bahwa surat itu sesungguhnya mewakili perasaan Bahar. Dan aku teramat ingin menjelaskan hal itu kepada kepala sekolah tapi aku takut beliau kian menganggapku mengada-ada. Aku diam saja. Menunggu hukuman apa saja yang akan diberikan.

Pertanyaan kepala sekolah kian menjadi-jadi. Jawaban Tia pun kian berani.

“Tapi kamu mencintai Beddu kan?” Usut Pak Tondeng.

“Karena Beddu yang mulai mencintaiku Pak.” Jawaban Tia sangat polos. Mungkin anak ini banyak ‘aktif’ di Pasar dan banyak ketemu orang sehingga tidak demam panggung seperti diriku. Ataukah perasaannya masih seperti perasaan anak-anak kecil korban film-film picisan.

“Tia, apakah kamu bersedia kalau saya nikahkan kamu dengan Beddu?” Pak Tondeng bercanda atau sungguh-sungguh, aku tak tahu. Tapi ia geleng-geleng kepala atas jawaban Tia.

“Terserah Beddu Pak.” Tia menjawab lugu dan tersenyum malu-malu.

Aku tersentak dengan jawaban Tia. Anak itu mungkin tidak tahu apa itu menikah atau urat malunya putus. Kulihat Pak Tondeng terbatuk-batuk tak bisa menahan ketawanya. Aku kian menunduk malu. Ragu kalau Tia masih anak kecil. Bisanya anak sekecil itu berkata begitu. Aku kian menggerutu.

“Bagaimana dengan kamu Beddu? Apakah kamu juga siap menikah dengan Tia?” Pak Tondeng masih tertawa.

Pertanyaan Pak Tondeng kian membuatku malu. Jangankan menikah, berpacaran saja aku takut dan malu karena memang belum ada getar-getar cinta dalam hatiku buat perempuan. Pak Tondeng mengulangi pertanyaannya. Aku diam saja. Seperti terdakwa yang pasrah menerima vonis apa saja dari hakim. Lamat-lamat kudengar ada suara langkah orang masuk ke ruangan kepala sekolah. Ketawanya berderai. Aku langsung mengenalnya Ternyata Ibu Ruhani, aku tak berani menatapnya. Aku benar-benar malu. Apalagi kalau pulang ke rumah nantinya dan Ibu Ruhani akan bercerita kepada teman-temanku. Entah dimana mukaku kala itu harus kutaruh.

Sepulang dari sekolah, aku tak semangat sampai ke rumah. Ketika sampai di rumah, aku benar-benar ditertawai oleh semua penghuni rumah. Mau tak mau aku harus belajar menerima keadaan dipermalukan. Tapi karena jiwaku memang masih sekolah lanjutan pertama sehingga belum sanggup menerima kenyataan seburuk itu. Aku hanya menangis sebagai ungkapan kekalahan perasaan menerima kenyataan yang pahit yang menggigit.
“Kalau kamu menangis berarti kamu kalah dari perempuan, Tia tidak menangis, dan katanya siap menikah dengan kamu.” Ibu Ruhani masih tertawa-tawa. Ia benar-benar mengerjaiku.

Melihat aku terus menangis, Ibu Ruhani membujukku dan menasehatiku.

“Nak! Kamu jangan memecah perhatianmu pada perempuan dulu. Kamu harus fokus pada pelajaranmu. Orang tuamu menitipkan kamu kepada Ibu untuk diarahkan belajar dengan baik. Ibu khawatir prestasimu akan menurun karena yang kau ingat bukan pelajaranmu lagi tapi memikirkan perempuan.”

Aku mencium tangan Ibu Ruhani. Ia benar-benar pengganti ibuku yang jauh. Ibu Ruhani serupa dengan ibuku bila menasehatiku. Lembut menyentuh hati. Makanya anak akan berbakti. Berkat nasehat Ibu Ruhani, aku menerima pengalaman dituduh jatuh cinta. Awalnya aku ingin jelaskan kepada Ibu Ruhani fakta sesunggguhnya yang terjadi bahwa yang punya surat cinta adalah Bahar, tapi aku pikir aku tak punya alasan yang kuat karena nyata-nyata Bahar mengatakan bahwa surat cinta itu adalah suratku. Kalau aku menolak mati-matian dan tak mau mengakui, nanti Ibu Ruhani dan Pak Tondeng mencapku sebagai siswa yang cengeng dan tak bertanggung jawab. Mereka juga akan mencapku sebagai pengecut. Aku terima saja tuduhan Bahar yang keji itu. Yang penting di mata Ibu Ruhani dan Pak Tondeng aku bukan pengecut, Baharlah sesungguhnya yang pengecut dan pengkhianat, mudah-mudahan tidak dilaknat. Aku membuka buku pelajaranku dengan tersenyum. Ada perasaan bangga menyeruak dalam kalbuku. Ternyata selama itu aku lebih cakep daripada Bahar. Survey dari Tia yang membuktikan. Tia bahkan dengan lugunya mengatakan siap menikah denganku. Mungkin Tia berbakat jadi bintang sinetron.

...
Cerpenku yang berjudul “Konseptor Surat Cinta yang Sial” yang bergaya realis dan benar-benar adalah pengalaman pribadiku dimuat oleh Surat Kabar Harian(SKH) Mimbar Karya Sulsel saat itu. Semua siswa di SMU Bikeru membacanya karena perpustakaan sekolah berlangganan dengan SKH Mimbar Karya. Aku benar-benar bangga akan prestasi itu. Aku sangat berterima kasih pada Pak Tahir, kepala perpustakaan SMU Bikeru yang sangat memotivasiku untuk menulis. Pak Tahirlah yang membantuku mengirim cerpenku ke Mimbar Karya. Kebetulan Pak Tahir mempunyai teman yang berprofesi sebagai seorang wartawan di SKH Mimbar Karya.

Semua teman-teman memberiku ucapan selamat. Dengan prestasiku itu, Hutbah cepat tanggap sebagai pengelola mading di kolom surat. Ia langsung membuka ruang tanya jawab di kolom itu dan akulah nara sumber utamanya. Pertanyaan pertama yang datang dari pembaca adalah “Bagaimana caranya supaya bisa jadi penulis?” Pertanyaan itu aku jawab dengan model dialog:

Menjadi penulis itu gampang. Ambil pulpen dan kertas lalu menulislah apa saja yang Anda akan tulis. “Tapi saya bingung mau tulis apa.” Artinya anda tak punya ide untuk menulis, carilah ide terlebih dahulu. “Bagaimana caranya mencari ide?” Usahakan banyak membaca dan membaca. “Lalu?” Menulislah! “Apa yang saya tulis?” Anda tulis yang anda baca tadi! “Maksudnya?” “Anda catat atau buat ringkasan yang anda sudah baca tadi! “Cuma begitu?” Ya, begitulah calon penulis yang baik. “Kesimpulanya?” Untuk menjadi penulis, Anda harus banyak membaca, harus banyak menulis, harus banyak membaca dan menulis.

Pendapatku tersebut berdasarkan buku yang aku sudah baca dan memang aku praktekkan. Cara membaca dan cara belajarku memang unik, terkadang orang tuaku atau teman-temanku seperti Dayat dan Anton bertanya kenapa aku cuma menulis terus. Itulah aku. Cara belajarku adalah menulis. Makanya, setiap satu mata pelajaran biasanya aku mempunyai tiga buku catatan, buku tugas, buku catatan umum, dan buku ringkasan. Setiap kali membaca buku, aku akan menuliskan kesimpulan yang aku baca dalam buku ringkasan tersebut, ringkasan itu biasanya aku beri tanggapan lagi, tanggapan itu adalah ide pribadiku. Soal waktu belajar, aku suka belajar pada suasana tenang, makanya rata-rata aku tidur pada jam 9 malam dan bangun pada jam 2 dinihari.

Aku tak suka belajar bersama dengan Dayat dan Anton, karena kedua temanku itu berbeda gaya belajarku dengan aku. Aku suka suasana tenang, Dayat dan Anton tidak mempermasalahkan suasana. Mereka berdua bisa belajar dalam suasana ribut atau belajar sambil membunyikan musik. Dayat dan Anton bahkan cara belajarnya unik, kalau mereka membaca atau menghafal, suaranya terdengar nyaring. Awalnya aku jengkel kepada Dayat dan Anton karena aku tak bisa konsentrasi bila belajar bersama mereka. Tapi akhirnya aku bisa memahaminya, setiap kali Dayat atau Anton membaca atau menghafal, aku cukup diam saja menutup buku dan meletakkan pulpen sambil mendengar mereka.

Suatu ketika Dayat menghafal dengan suara nyaring, ia mengulang-ulangi kalimatnya berkali-kali, aku membetulkannya.

“Kau sudah hafal itu Beddu?” Dayat heran.

“Sudah hafal.” Jawabku.

“Kapan?” Dayat heran, karena yang ia hafal adalah bahan pelajaran yang belum dibahas di kelas.

“Baru saja, ketika kau baca.”

Ternyata dengan memahami orang lain kita akan mendapatkan banyak manfaat dan pelajaran pula.

Soal cara belajar, aku pernah membaca artikel yang mengatakan bahwa mantan presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln mempunyai keunikan dalam belajar, dan cara belajar Dayat dan Anton seperti Abraham Lincoln. Kalau Abraham Lincoln membaca surat kabar atau apa saja, suaranya terdengar nyaring, bahkan bisa membangunkan orang yang tidur. Ketika temannya bertanya tentang kebiasaannya, Lincoln menjawab, “Jika saya membaca dengan bersuara maka pikiran yang sampai kepada saya ada dua. Bukan hanya melihat apa yang saya baca, tetapi juga dapat mendengar. Dengan demikian saya dapat memahami isinya lebih mendalam.”


Begitulah. Dari cara belajar kami, sudah menunjukkan ciri-ciri mau jadi apa kami kelak. Meski kami bercita-cita jadi PNS, tapi kami punya spesifikasi yang berbeda-beda. Dayat ingin jadi guru sekaligus aktif jadi dai’. Cocoknya Dayat mungkin jadi guru agama saja. Tapi Dayat ingin jadi guru matematika, makanya Dayat sering menulis namanya Dayat Al-Jabar. Dayat memang hafal mati rumus-rumus aljabar. Anton juga bercita-cita jadi guru sekaligus jadi politikus. Tapi ketika aku berkomentar bahwa guru tidak boleh berpolitik, Anton yang memang suka melucu menjawab bahwa kalau dilarang berpolitik cukuplah ia jadi ketua KORPRI saja. Terkadang berorganisasi memang tak bisa dibedakan dengan berpolitik. Umar dan Hutbah yang sejak awal tak berminat untuk kuliah akhirnya berubah pikiran. Awalnya Hutbah bercita-cita ingin melanjutkan usaha dagang orang tuanya. Umar ingin jadi pembalap atau jadi petani di Kolaka. Tapi karena bergaul bersama kami, mereka juga ingin kuliah. Aku memang biasa menyemangati mereka bahwa untuk menjadi pengusaha yang handal atau menjadi petani yang professional haruslah dibutuhkan SDM yang handal. Akhirnya Hutbah bercita-cita mengambil Jurusan Ekonomi. Umar ingin kuliah di Fakultas Pertanian. Aku sendiri sejak lama menggantung cita-cita ingin jadi guru atau dosen sekaligus jadi penulis. Bahkan aku biasa bercanda bahwa penulis itu adalah PNS. Yang aku maksudkan sesungguhnya adalah penulis bisa disingkat menjadi PNS.

Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Senin, 09 Mei 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 9 CINTA TAK PERNAH SALAH)

9. CINTA TAK PERNAH SALAH

Entah siapa dari temanku yang sengaja membesar-besarkan peristiwa di Bukit Gojeng. Tentang ketakutan Nia. Tentang aku yang mati-matian menghiburnya. Aku dan Nia dikabarkan sudah berpacaran. Awalnya aku biasa-biasa saja, tapi lama-kelamaan juga aku jengah dengan berita-berita itu. Entah, perasaan apa yang melandaku selama itu, karena sesungguhnya aku tidak siap dianggap berpacaran. Sebutan sudah punya pacar ternyata tidak begitu membanggakan bagiku. Sebutan itu terasa mengurangi kesakralan dan eksistensi diriku sebagai bintang sekolah. Aku tak mau dicap sebagai Hutbah jilid dua.

Meski perasaan cintaku pada Nia memang ada, mekar malah, dari sejak dulu. Tapi aku malu dicap berpacaran. Di mata rekan-rekan siswa apalagi di mata para guru, cap itu sangat menggangguku. Cap itu akan mengubah citraku di mata mereka, apalagi disuatu ketika bila prestasiku menurun pastilah akan dikait-kaitkan dengan kedekatanku pada Nia. Siswi-siswi yang juga selama itu mengagumiku karena prestasiku akan berbalik arah. Singkatnya, dengan berpacaran akan terjadi kontra produktif buatku yang akan menurunkan kredibilitasku sebagai bintang sekolah dan mungkin sosok idola. Setelah kupikir masak-masak, tentang siapa diriku, siapa keluargaku, ya diriku hanyalah siswa yang termiskin di sekolah yang hanya bisa dikenal gara-gara prestasi saja. Hanya prestasi semata. Tanpa prestasi aku hanyalah pelengkap penderita di sekolah itu. Jadi prestasi adalah permata buatku. Tanpa permata aku hanyalah batu hitam lebam yang mungkin terbuang dan tenggelam di Sungai Mangottong, Sungai Apareng, atau Sungai Bejo. Tak dilirik sama sekali.

Akhirnya aku menegaskan pada diri sendiri untuk tidak berpacaran dulu. Apalagi orang tuaku selalu menegaskan padaku bahwa satu-satunya harapanku untuk berubah hanyalah dengan pendidikan. Orang tuaku selalu menasehati diriku menjadi mattola palallo yang berarti aku harus punya pendidikan lebih tinggi dari kedua orang tuaku. Untuk itulah, orang tuaku bertekad untuk menyekolahkanku meski hidup mereka sangat pas-pasan. Sungguh sangat berdosa diriku kalau aku menyia-nyiakan harapan orang tuaku. Bahkan orang tuaku punya misi khusus yang harus kujalankan sebaik-baiknya. Karena aku anak sulung yang punya banyak adik yang masih kecil, maka aku yang fokus disekolahkan dulu dengan perhitungan bila aku berhasil, maka aku membantu menyekolahkan adik-adikku. Perhitunganku kala itu, ketika aku sudah sarjana, adik-adikku baru di SMA bahkan ada yang masih di SMP.

Tapi harus kuakui rasa rinduku pada Nia kian menusuk-nusuk jiwaku sejak kejadian di Bukit Gojeng. Ketika Nia memeluk aku karena ketakutan luar biasa, aku merasakan getar-getar aneh. Mungkin itulah yang disebut dengan getar-getar cinta. Dan anehnya, kala itu aku sebenarnya ingin sekali ayam misterius itu terus berbunyi agar Nia kian erat memelukku. Tapi aku tak mau curang dan memanfaatkan keadaan. Lagian untuk apa dipeluk kalau terpaksa, lagi pula menurutku berpelukan bukan cara terbaik untuk menyatakan cinta bagi remaja. Remaja sebaiknya menjatuhkan pilihan cintanya pada buku-buku pelajaran dan prestasi saja dulu. Tapi siapa yang kuasa menolak datangnya rasa cinta yang tak diundang? Tetapi dengan menyibukkan diri dengan belajar, lambat laun rasa cinta itu akan mengalir ke ruas-ruas buku yang mengasyikkan dan menyenangkan. Aku mencoba menguatkan diri dari serbuan perasaan rindu yang menggebu-gebu dengan melahap buku-buku.

Begitulah. Aku harus berusaha mengalihkan rasa cinta itu ke hal yang positif. Aku menganggap Nia hanyalah sahabatku saja. Meski banyak teman-temanku menganggap kami berpacaran. Aku tak peduli dengan anggapan mereka. Nia kelihatannya paham dengan sikapku. Aku menganggapnya sebagai adik dan dia menganggapku sebagai kakak.

Karena kami seperti adik dan kakak yang saling membantu, suatu ketika Nia mengundang aku datang ke rumahnya. Awalnya aku menolak dengan alasan malu-malu pada kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya. Aku mau saja berkunjung ke rumahnya asalkan bersama dengan Dayat, Anton, Umar, dan Hutbah. Tapi Nia ngotot menginginkan aku datang sendiri saja dulu ke rumahnya. Ada undangan khusus dari ayahnya, begitu katanya. Sekali lagi aku tak mau mengecewakannya. Aku pun penasaran dengan undangan tersebut. Aku bahkan deg-degan bercampur pikiran yang macam-macam. Jangan-jangan aku mau dijodohkan dengan Nia? Ataukah, ataukah? Nia mau memperkenalkan aku pada orang tuanya bahwa aku adalah pacarnya? Kebetulan aku pernah nonton sinetron di teve, anak laki-laki atau anak perempuan biasanya merasa bangga kalau memperkenalkan pacarnya pada orang tuanya. Tapi bukankah itu gaya anak muda di kota metropolitan dan kami hanyalah anak desa yang juga masih belia dan berstatus siswa. Aku sendiri pastilah sangat malu bila membawa perempuan ke rumahku, terkecuali kalau aku sudah benar-benar dewasa dan siap menikah kelak. Entah, pikiranku selalu melayang-layang dan berangan-angan berjodoh dengan Nia. Pikiran dan impian memang terkadang susah dibedakan.

Akhirnya aku memberanikan diri berkunjung ke rumah Nia. Sebelum berangkat ke rumah Nia, aku berusaha mengubur dalam-dalam statistik sompa, aku tak mau kaku dan kikuk di rumah Nia. Lagian aku dengar bahwa orang yang berpendidikan tinggi seperti orang tua Nia tidak lagi bersifat protokoler terhadap adat yang terkadang hanya mencipta sekat.

Rumah Nia terletak di Bikeru Satu atau penduduk sekitar menyebutnya Bikeru Seddi, atau aku dan teman-teman biasa mempelesetkannya menjadi Beirut One. Beirut adalah ibukota Libanon di Timur Tengah. Dari model rumahnya, aku semakin tahu kalau Nia turunan bangsawan Bugis tulen. Rumahnya masih bergaya rumah Bugis tempo doloe, rumah kayu yang berbentuk saoraja dengan deretan tiang-tiang lima petak kebelakang, juga mempunyai timpalaja tiga tingkat yang khas. Saoraja adalah tempat tinggal Puatta dan keluarganya. Aku memberanikan diri memasuki pekarangan rumah yang bernuansa Bugis itu.

Baru juga aku mau menaiki tangga. Nia sudah menyambutku dengan berteriak-teriak memanggil ayah dan ibunya. Aku sedikit grogi bercampur malu. Mungkin beginilah rasanya bila kelak bersilaturahmi dengan calon mertua.

“Silakan naik Nak!” Koor orang tua Nia ramah.

“Iye Puang.” Aku naik ke rumah Nia masih diselimuti rasa malu. Tapi aku mencoba tampil serileks mungkin, biar aku tidak ketahuan rasa malunya. Bagaimana tidak, yang menyambutku kedua orang tua Nia dan seorang perempuan yang cantiknya seperti pinang dibelah dua dengan Nia. Tapi dia nampak lebih dewasa dari Nia. Nia sendiri setelah tadi menyambutku dengan berteriak-teriak memanggil kedua orang tuanya, saat itu ia menghilang. Berarti kedatanganku betul-betul dipersiapkan dan direncanakan olehnya. Aku yakin Nia sibuk di dapur mempersiapkan penganan buat aku sebagai tamunya.

Aku membungkuk menjabat tangan kedua orang tua Nia. Lalu aku duduk di kursi kayu yang antik. Belum juga aku sempat berucap sepatah kata, Nia sudah muncul dengan nampan berisi teh hangat dan pisang goreng.

“Rajinnya Nia!” terdengar suara dari dalam menggoda.

Aku yakin suara itu berasal dari perempuan yang secantik Nia tadi. Nia kelihatan agak grogi digoda sedemikian rupa, tapi ia meletakkan nampan di depanku dengan senyum malu-malu. Kedua orang tuanya hanya senyum-senyum menyaksikan tingkah putrinya.

“Jangan malu-malu Nak Beddu! Biasalah, kakaknya Nia memang sering usil menggoda adiknya.” Ibu Nia mencoba mencairkan suasana.

Aku terperanjat dalam hati. Berarti Nia sudah bicara banyak tentang aku ke orang tuanya. Karena mereka sudah tahu namaku, padahal sewaktu berjabat tangan aku lupa menyebut nama karena deg-degan dan salah tingkah.

“Masa cowok cakep begitu kamu panggil kumbang jelek, Nia.” Suara perempuan yang menggoda itu terdengar lagi.

“Kak Mila!” Nia protes keras.

Perempuan yang ada di dalam itu tertawa lepas saja tanpa tahu bagaimana wajahku yang merona seperti pisang goring. Kulitku yang memang gelap kini seperti pisang goreng yang hangus. Kala itu terasa jantungku mau copot saja.

“Ya Allah! Ternyata kisah tragediku sudah diketahui semua oleh keluarga Nia. Alamat apa ini?” Aku membatin. Tapi aku tetap mencoba tersenyum.

“Dinikmati hidangan apa adanya Nak!” Ayah Nia mencoba melepaskan aku dari balutan rasa malu yang melilit-lilit kulitku.

Sejenak kemudian perempuan yang menggoda Nia yang memang sebelumnya juga menyambutku tapi belum sempat jabat tangan keluar dari kamar dengan tersenyum-senyum sambil mengulurkan tangannya kepadaku.

“Maafin ya Dik Beddu. Aku Mila, kakaknya Nia yang kuliah di Makassar.”
Aku menyambutnya dengan hangat, tapi kami hanya saling mendekapkan tangan di dada. Kakak Nia benar-benar cantik dengan jilbab warna hijau muda.

Akhirnya suasana menjadi cair.

Kakak Nia yang bernama lengkap Andi Mila Marlina kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Nia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Selain Mila, Nia masih mempunyai tiga kakak laki-laki. Ketiga kakaknya yang laki-laki sudah sarjana dan sudah bekerja. Seorang kakaknya jadi dosen di Universitas Haluleo Kendari, seorang jadi pengacara terkenal di Jakarta, seorang lagi sebagai wiraswastawan di Makassar. Ayah Nia adalah pensiunan pejabat di Dinas Kehutanan. Setelah pensiun, ayah Nia memilih pulang ke kampung halaman di Bikeru. Katanya tanah Bikeru tak bisa tergantikan oleh tanah manapun. Tapi orang tua Nia masih punya rumah di Makassar yang ditempati oleh Mila pada saat itu. Kakaknya yang berwiraswasta itu sudah punya rumah sendiri dan sudah menikah.

Mengetahui siapa sebenarnya Nia, tiba-tiba ada rasa rendah diri menggelayut di benakku. Ya, ternyata aku dan Nia terlalu banyak perbedaan. Antara bumi dan langit malah. Keluarga Nia sudah menapaki langit-langit kesuksesan, sedangkan keluargaku melata di bumi mengaiz rezeki dengan bajak dan cangkul. Ibuku bahkan jadi pedagang musiman dengan modal dengkul, keliling kampung mencari barang dagangan. Meski begitu, satu modal yang diwariskan kepadaku oleh ibuku, modal semangat. Semangat pantang menyerah. Tidak pernah lelah. Berkeringat dan berdarah-darah.

Untungnya, pada saat itu rasa rendah diriku mulai kusingkirkan pelan-pelan dengan keramahan orang tua dan kakak Nia. Aku memang banyak mendengar cerita bahwa orang yang benar-benar turunan bangsawan sangat baik tutur katanya serta sangat menghormati orang lain, bahkan tidak merasa dirinya puang. Biasanya yang agak sombong gaya bicaranya adalah orang yang merasa turunan bangsawan, atau sepupu kesekian kalinya bangsawan. Aku sebenarnya sudah ditatar baik-baik oleh kedua orang tuaku mengenal adab dan tatakrama. Siapapun yang aku ajak bicara yang penting lebih tua dariku maka aku harus memanggilnya puang, sebagai bentuk penghormatan. Tapi ungkapan puang itu cuma lazim di kalangan Bugis Sinjai dan Bulukumba. Pernah aku bercakap-cakap dengan seseorang dari daerah lain, kala itu ia protes karena aku menyapanya dengan kata puang padahal ia tak bergelar andi. Aku lalu jelaskan bahwa di Sinjai dan Bulukumba ungkapan puang maknanya meluas sebagai makna penghormatan. Bukan sekedar gelaran.

“Nia itu anak bungsu, Nak Beddu, makanya ia banyak tingkah supaya diperhatikan dan ...”

“Akh! Ayah!” Nia cepat-cepat mencegat kalimat ayahnya. Aku jadi penasaran dengan kalimat ayah Nia.

Pantas saja ia dikerjai oleh kakaknya, ternyata ia anak bungsu. Aku membatin. Biasanya memang anak bungsu itu sangat manja dan selalu mau disayang. Aku mulai menerka-nerka. Nia diledek oleh kakaknya sebagai ungkapan kedekatan antara adik kakak. Dan pastilah Nia sudah menceritakan semua pengalamannya pada kakak-kakaknya dan orang tuanya. Satu lagi sifat anak bungsu, ia biasanya sangat terbuka kepada kakak-kakanya termasuk hal-hal yang privacy seperti masalah cinta. Tapi saat itu aku tak perlu malu lagi. Bukankah Mila mencanda adiknya sedemikian rupa supaya aku mendengarnya, dan candaan itu sebagai ungkapan penerimaan atas kedatanganku.

“Begitulah Nak, Nia itu terkadang bertindak tanpa pikir-pikir dulu, biasalah anak bungsu, jadi maafkan atas kesalahannya.”

Ayah Nia memohon maaf atas sikap anaknya dulu menghinaku dengan menyebut aku sebagai kumbang jelek. Nia memang sudah menjelaskan semua pengalamannya tentang sikap kasarnya kepadaku dulu, dan siapa aku sebenarnya. Kata ayahnya Nia selalu dihantui rasa bersalah karena menghinaku. Ataukah rasa bersalah itu ada karena ada rasa yang lain yang menuntut, rasa cinta misalnya. Entah. Tapi kala itu aku terus mengingat-ingat pepatah Inggeris “When you forgive, you love.” Aku mencoba berbaik sangka saja. Lebih asyik. Berburuk sangka hanya menyiksa diri sendiri.

“Iya, maafkan adikmu Nak.” Ibu Nia tak kalah bijaksananya.

Aku merasa benar-benar terterima di rumah itu. Di tempat yang damai itu. Hm! Di rumah calon mertua itu. Kala itu rasa berbangka sangkaku menjelma geer.

“Insyaallah Puang, sejak dulu aku sudah memaafkan Nia. Lagian memang Nia tak pernah salah, aku yang salah...”

“Bukan kakak yang salah tapi aku…”

Nia berurai airmata menyesali sikapnya yang pernah menghinaku. Aku benar-benar terenyuh. Betapa baik dan terhormat keluarga itu. Kulihat Nia masih menunduk. Aku ingin sekali mengusap airmatanya dan membisikkan seuntai kalimat “Cinta tak pernah salah sayang.” Disamping Nia, Mila hanya tersenyum-senyum. Ia tak lagi menggoda adiknya. Padahal jujur kuakui godaan-godaannya adalah kalimat penyerta dan penjelas yang amat kurindukan kala itu. Bahkan Mila bergegas meninggalkan ruang tamu dengan kalimat penguat yang luar biasa bagiku.

“Jangan sakiti adikmu Beddu ya!”

“Iye Kak Mila, aku janji. ”Jawabku berjanji.

Perbincangan dengan ayah Nia benar-benar menyenangkan. Dan hari itu aku banyak tahu tentang pemikiran-pemikiran ayah Nia. Salah satu pemikirannya yang membuatku berbunga-bunga adalah tentang jodoh anak perempunnya.

“Iyalah Nak, saya juga mendengar cerita tentang kisah cinta La Bandu dan Besse. Tapi itu cerita dulu, saya yakin tak ada lagi sekarang ayah seperti ayahnya Besse. Saya pribadi tetap menghargai adat, tapi buat saya semua manusia sama dihadapan Tuhan, yang membedakan hanyalah kadar keimanan seseorang hamba. Dan ingat, semua kita adalah ata(hamba) di hadapan Allah.”

Begitulah komentar ayah Nia ketika aku sedikit menyinggung cerita-cerita jodoh yang tercegat oleh adat, bahkan aku sempat menyinggung tentang statistik sompa. Gaya khas ayah Nia yang sangat kebapakan serupa ayahku yang membuatku semangat bercerita apa saja. Ayah Nia menjawab semua pertanyaanku dengan sikap antusias dan senyum mengembang. Mungkin karena aku masih anak SMU dan belum matang dalam berdikusi sehingga aku cuma bertanya melulu. Ayah Nia dengan senang hati menjelaskan semuanya padaku. Biasanya memang pensiunan pejabat enak diajak bicara bertolak belakang dengan masa sebelum pensiun. Tapi aku yakin ayah Nia termasuk pengeculian.

Tiga jam berada di rumah Nia tak terasa bagiku. Untung saja hari itu adalah hari Minggu dan kebetulan tidak ada acara Kompita. Tiga jam terasa cuma tiga menit saja saking aku menikmati suasana di rumah Nia. Ayah Nia sangat memujiku karena aku siswa yang berprestasi dan kreatif, aku juga sosok pemberani dan tidak percaya pada hal-hal yang berbau takhyul. Nia yang menceritakan semua tentangku pada ayahnya. Tentu saja hari itu adalah hari terindah buatku karena aku merasa ayah Nia menerimaku berada disamping Nia. Begitulah yang aku tangkap dari pembicaraan. Dan satu lagi yang membuatku kian yakin dengan kegeeranku itu, orang tua Nia memintaku mengajari Nia berbahasa Inggris, karena saat itu di Bikeru belum ada tempat kursus. Istilahnya Nia mau privat Bahasa Inggris tapi gurunya adalah aku. Awalnya ayah Nia akan mencarikan guru Bahasa Inggris tapi Nia mengusulkan aku saja yang jadi gurunya, apalagi kekurangan Nia hanyalah speaking saja.

Aku pulang dari rumah Nia membawa bertangkai-tangkai bunga. Bunga-bunga cinta yang kian mekar di lubuk hatiku. Nia dan aku memang tak berpacaran, tapi orang tua Nia dan kakaknya memintaku untuk menjaga dan tidak menyakiti Nia. Intinya aku harus menyayangi Nia. Hubunganku dengan Nia seperti adik kakak yang mungkin lebih indah dari istilah apapun termasuk pacaran. Dan sejak aku di rumah Nia, aku sudah berjanji dan bertekad untuk menjaga dan menyayangi Nia, dan sangat berharap Nia adalah jodohku. Semoga. Karena manusia hanyalah berencana Tuhanlah yang menentukan. Tuhan mempertemukan, Tuhan pulalah yang memisahkan. Pertemuan dan perpisahan memang adalah takdir. Takdir Tuhan yang tak bisa diganggu gugat.

“Kursus privat atau kursus khusus.” Hutbah tak percaya kalau aku ke rumah Nia untuk mengajarinya Bahasa Inggris.

“Kursus khusus Bahasa Inggris, Hutbah.” Jawabku sekenanya.

“Maksudnya?”

“Maksud kamu kursus khusus itu apa?”

“Kursus cinta.”

Kami tertawa mendengar jawaban Hutbah. Umar geleng-geleng kepala. Hutbah memang kalau bicara topiknya selalu cinta dan cinta. Dayat hanya mesem-mesem. Anton cuma mendehem. Anton dan Dayat memang tak banyak bertanya bila menyangkut privacy orang. Umar tipe pendengar setia. Hutbah selalu mau tahu urusan orang. Hebatnya Hutbah, ia tipe easy going dan nothing to loose, ia tak pernah menganggap sesuatu itu adalah masalah, terkadang menyenangkan, terkadang pula menyebalkan, tapi ia selalu dirindukan.

“Begini Beddu, aku punya usul. Bagaimana kalau kita-kita ini diikutsertakan dalam kursus bersama Nia.” Ternyata keusilan Hutbah saat itu karena cemburu tidak diikutsertakan kursus.

“Sebaiknya jangan diganggu Nia.” Dayat memberi masukan ke Hutbah ketika ia melihatku terdiam dengan ide Hutbah.

“Tapi idenya Hutbah menarik ya.” Nampaknya Umar sudah ada motivasi juga belajar Bahasa Inggris. Anton hanya manggut-manggut memegang janggutnya yang mulai tumbuh. Entah dimana anak yang satu itu membeli obat penumbuh rambut.

Setelah menimang-nimang dan menimbang, aku tak bimbang lagi. Aku pikir idenya Hutbah sangat menariik. Alasannya karena aku ingin teman-teman setiaku bisa juga berbahasa Inggris, Dayat dan Anton sebenarnya Bahasa Inggerisnya bagus cuma mereka masih kaku untuk speaking. Mereka juga pasti butuh practice seperti Nia. Hutbah dan Umar semuanya lemah, aku dengar di kelas kalau kami berbahasa Inggris, apalagi kalau aku berdialog dengan Pak Darman, guru Bahasa Inggris kami, keduanya terkadang nyeletuk okey, yeah, yes, no, no money, no problem, no more, nombok dong. Tapi setidaknya Hutbah dan Umar sudah mau belajar Bahasa Inggris. Alasan lain, aku kasihan melihat ayah Nia yang selalu mengantar jemputku. Lagian Hutbah punya mobil yang bisa ditumpangi bareng ke rumah Nia. Sejak naik kelas tiga, memang aku tinggal di kompleks SMU Bikeru bersama dengan wali kelasku sekaligus guru geografiku yang masih bujangan bernama Pak Sunardi. Pak Sunardi yang berasal dari Mare, kabupaten Bone adalah guru yang sangat baik dan perhatian. Ia memanggilku tinggal di rumahnya supaya aku lebih konsentrasi belajar menghadapi EBTANAS(sekarang UAN). Selama itu memang aku pulang pergi dari rumahku di Mannanti ke sekolah yang berjarak puluhan kilometer. Kendaraan umum yang jarang membuatku tiba di rumah kadang jam 4 atau jam 5 sore. Jadilah aku siswa yang paling cepat pergi ke sekolah dan paling lambat tiba di rumah, karena mobil yang ke Bikeru berangkat pagi-pagi sekali.

Alasan lainnya yang membuatku menerima usul Hutbah karena aku malu digosipkan terus menerus berpacaran dengan Nia. Dan alasan yang paling membuatku memutuskan mengikutsertakan teman-temanku adalah aku mulai takut berdua-duaan terus dengan Nia. Orang tua Nia memang membiarkanku berdua dengan Nia karena memang sedang belajar. Tapi otak kecilku menangkap ada sesuatu
Dibaliknya. Ini mungkin pengaruh dari banyaknya aku membaca buku-buku cerita detektif dan cerita petualangan. Yang aku tangkap adalah keluarga Nia sedang menguji apakah aku tipe anak yang bisa dipercaya dan bertanggung jawab. Meski aku berusaha bersikap sebaik mungkin tapi aku sadar aku manusia biasa yang terkadang lupa diri bila diberi kepercayaan dan tanggung jawab. Harus kuakui bahwa akhir-akhir ini rasa cintaku pada Nia terus mekar di jiwaku, meski rasa cinta itu terus kuarahkan menjadi perasaan sayang yang lebih bersifat mengayomi, melindungi, menolong, dan selalu ingin dekat secara perasaan. Tapi rasa cinta itu terus muncul menyembul-nyembul di dasar hatiku. Tidak seperti rasa sayang, rasa cinta lebih bersifat memiliki, dan selalu ingin dekat secara fisik. Aku pikir sekarang masih tahap menyayangi Nia, belum saatnya mencintainya. Ya, sebenarnya aku malu terus-terusan berduaan dengannya karena pesan Kiyai Haji Ahmad Marsuki Hasan terus terngiang-ngiang di telingaku, “Berduaan dengan perempuan bukan muhrim pastilah ditemani oleh setan. Setan itu adalah provokator kejahatan.”

Ketika kuutarakan kepada orang tua Nia tentang rencanaku mengikutsertakan teman-temanku dengan menguraikan semua alasanku tadi, ayah dan ibu Nia berpandangan heran bercampur gembira.

“Ternyata kamu Nak berpikiran sangat dewasa.”

Ayah Nia tak bisa menahan kekagumannya padaku. Ibu Nia bahkan tak bisa berkata apa-apa, ia hanya bangkit dari tempat duduknya dan mengecup keningku. Sikap ibu Nia serupa sikap ibuku bila terharu. Begitulah sosok ibu yang selalu mengungkapkan rasa sayangnya dengan penuh kasih. Kulihat Nia sesekali muncul dibalik tirai. Sepulang dari rumah Nia, aku terus memuji ide Hutbah. Ide Hutbah benar-benar penuh berkah.

Teman-temanku sangat gembira terkhusus Hutbah dan Umar ketika kuberitahu bahwa Nia setuju kalau kami belajar bersama. Tapi aku mengajukan berbagai persyaratan, diantaranya tidak boleh di antar jemput oleh ayah Nia dan harus memakai mobilnya Hutbah. Harus memahami UUT alias undang-undang bertamu.

“Apa itu isi UUT?” Hutbah penasaran.

“Tidak boleh banyak bercanda dan tertawa ria di rumah orang, bersikap sopan pada tuan rumah.” Anton memberi penjelasan.

“Juga tak boleh balala(makan dengan rakus).” Dayat setengah bercanda.

Kami semuanya tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Dayat. Tapi akhirnya semua teman-temanku berjanji untuk mematuhi persyaratan yang kuajukan.

Belajar bersama Bahasa Inggris di rumah Nia sangatlah menyenangkan, kami sama-sama belajar. Meski aku yang didaulat sebagai trainer, aku juga banyak mendapatkan pelajaran, termasuk belajar memimpin dan mengarahkan jalannya diskusi. Topik kami memang lebih fokus speaking, aku menamai program belajar kami “SPEAKING FOCUS”. Awalnya Hutbah dan Umar kelihatan susah mengikuti irama kami tapi karena mereka berani bicara cas-cis-cus apa adanya. Awalnya Umar dan Hutbah hanya bisa bilang Oh no, Yes yeah, Little-little I can, tapi lama kelamaan mereka sudah bisa bicara meski sedikit demi sedikit. Begitulah pesan Pak Darman, guru Bahasa Inggris kami, bahwa belajar Bahasa Inggris kuncinya adalah si pebelajar harus berani bicara dan jangan takut salah. Katanya kalau si pebelajar takut salah maka selamanya mereka akan salah terus. Pak Darman benar, karena bahasa memang hanyalah kebiasaan saja. Atau setiap bercakap Pak Darman selalu mengulangi kalimat andalannya, “Language is a habit.”


Kesuksesan program Speaking Focus kami di rumah Nia bukan gara-gara aku semata. Tapi Mila, kakaknya Nia memberi kami tips-tips berdiskusi, beliau juga yang menyiapkan kami topik-topik diskusi. Topik diskusi kami adalah berdebat, contohnya “Which one do you like? Living in the city or living in the village”(Yang mana yang Anda suka? Tinggal di kota atau di desa?). Karena kami berjumlah enam orang maka aku membagi dua kelompok, setiap kali pertemuan aku merolling anggota kelompok.
Diskusi kami benar-benar hidup. Setelah berjalan dua bulan, Hutbah dan Umar benar-benar bisa bercakap dalam Bahasa Inggris. Yang membuat kami senang karena sejak keduanya bisa berbahasa Inggris, Hutbah dan Umar sangat bangga berbahasa Inggris. Kapan saja, di mana saja, keduanya tak segan-segan berbahasa Inggris seolah mereka ingin berpromosi bahwa mereka sudah jago berbahasa Inggris. Apalagi kalau mereka berada di sekolah, utamanya kalau di dekat siswi yang cantik. Meski terkesan hanya cari-cari perhatian tapi semua guru salut dengan Hutbah dan Umar yang banyak berubah sejak bergabung dengan kelompok ‘BAD’. Bad dalam Bahasa Inggris berarti ‘jelek/susah’, tapi yang kami maksudkan kelompok BAD adalah Beddu, Anton, dan Dayat. Penamaan itu dicetuskan oleh Anton, katanya sebagai motivasi untuk berubah dari yang jelek ke arah yang baik. Aku setuju saja kalau memang tujuannya baik. Kami selalu percaya bahwa niat baik adalah ibadah.

Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)