Sabtu, 02 November 2013

Teropong Karaeng Pattingalloang, "Matturatema ri Bulang dan Quo Vadis Mahasiswa Makassar."


Teropong Karaeng Pattingalloang, “Matturatema ri Bulang dan Quo Vadis Mahasiswa Makassar”

Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-15, I Mannuntungi Daeng Mattola atau lebih dikenal dengan Sultan Malikussaid. Saat itu, pelabuhan Makassar merupakan salah satu kota termasyhur di dunia. Di depan istana Somba Opu, ibukota kerajaan Gowa yang berada di pesisir sungai Jeneberang, juga tak kalah ramainya. Dermaga internasional Makassar banyak disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia, seperti Spanyol, Portugis, Inggris, atau Belanda. Tak ketinggalan kapal-kapal dagang dari negara-negara Arab, Afrika, atau juga Asia khususnya kapal-kapal dagang dari negeri Tiongkok dan Campa.

Orang yang paling berjasa dalam menggapai kejayaan kerajaan Gowa, selain raja Gowa sendiri, adalah seorang Mangkubumi kerajaan Gowa bernama Karaeng Pattingalloang alias I Mangadacinna Daeng Sitaba. Ia menjabat sebagai mangkubumi (perdana menteri, juru bicara, sekaligus panglima perang). Ia pun menjabat mangkubumi sejak era pemerintahan Sultan Alauddin, Sultan Malikussaid, dan Sultan Hasanuddin.

Karaeng Pattingalloang adalah seorang intelektual sejati. Ia menguasai beberapa bahasa asing, seperti bahasa Inggeris, Latin, Spanyol, Portugis, Belanda, Perancis, Cina, dan tentu saja bahasa Arab. Dengan penguasaan beberapa bahasa itulah, Karaeng Pattingalloang begitu gampang bekerjasama dan berdiplomasi dengan dunia internasional.

Karaeng Pattingalloang juga adalah seseorang yang sangat haus dengan ilmu pengetahuan. Menurut catatan pastor Alexander de Rhodes yang sering berkunjung ke ruang kerjanya, ruang kerja Karaeng Pattingalloang lebih menyerupai sebuah perpustakaan daripada sebuah ruang kerja seorang perdana menteri, apalagi seorang panglima perang. “Masakan seorang panglima perang tidak mempunyai alat perang atau minimal replika alat perang dalam ruang kerjanya,” begitulah batin de Rhodes.

Buku-buku dari beragam bahasa terpampang di ruang perpustakaan (ruang kerja) Karaeng Pattingalloang. Dari buku-buku Al-Ghazali yang berbahasa Arab hingga buku-buku Louis de Granada yang berbahasa Spanyol. Dari buku-buku agama, sastra dan filsafat hingga buku-buku sains. 

Bahkan Karaeng Pattingalloang sangat tergila-gila dengan ilmu sains khususnya matematika dan fisika. Demi menunjang minatnya yang kuat terhadap ilmu sains, ia pun memesan langsung atlas bumi dan teropong bintang dari negeri Belanda. Saat itu, kedua barang tersebut sangat langka dan mahal, bahkan tergolong barang rahasia negara. Andaikan bukan karena Karaeng Pattingalloang, maka tidak mungkin kedua barang langka tersebut dikirim ke Somba Opu. Saingan Belanda kala itu.

Saban malam, bila berada di benteng Somba Opu, Karaeng Pattingalloang pun selalu menggunakan teropong. Ia membayangkan suatu saat ada ilmuwan Tana Mangkasara yang bisa mencapai bulan. Mungkin saja, sambil meneropong bulan dan bintang-bintang, Karaeng Pattingalloang memekik, “Matturatema ri bulang.” (Saya sudah sampai di bulan)
Siang yang sangat terik. Macet di jalan Sultan Alauddin sungguh mencekik. Mahasiswa yang berkampus di jalan poros Gowa-Makassar menutup jalan dengan kasar. Saya, yang kebetulan melewati jalan itu selepas memberikan materi penulisan di kampus Universitas (sultan) Hasanuddin, terperangkap dalam kemacetan panjang. Saya memekik kepanasan, roda dua yang saya kendarai tak ber-AC. Saya yang memang kurang sehat kala itu tak bisa bertahan, saya hampir pingsan. Saya pun menepikan kendaraan dan mampir di sebuah masjid. 

Saya tertidur sejenak di dalam masjid. Dalam tidur saya bermimpi melihat Karaeng Pattingalloang sedang asyik membaca buku di perpustakaan pribadinya, sesekali ia memperhatikan atlas bumi yang berada di depannya. Keningnya mengerut, mungkin ia berpikir mengapa yang tercatat dalam sejarah penemu Amerika adalah Christopher Columbus, mengapa bukan orang-orang Celebes. Bukankah perahu-perahu Pinisi dari Celebes sudah bisa mencapai Madagaskar atau Venecia, bahkan terdampar di Pulau Acapulco jauh sebelum Columbus juga terdampar di pantai itu lalu mengklaim diri sebagai penemu?

Karaeng Pattingalloang berdiri sejenak. Ia memandangi buku-buku di perpustakaannya.. Sambil tersenyum, Karaeng Pattingalloang berharap dalam hati, “Kelak anak-cucuku harus banyak membaca dan meneliti, tana Mangkasara harus menjadi lokomotif ilmu pengetahuan.”

Terlihat Karaeng Pattingalloang memasang telinganya. Ia menuju jendela perpustakaannya. Lalu ia mengambil teropongnya. Nampak nyata tana Mangkasara di pelupuk matanya. Buku-buku di perpustakaan kampus tetap baru tapi berdebu karena jarang tersentuh. “Dimana mahasiswa?” Batinnya sambil mengarahkan dan menge-zoom teropongnya ke arah jalan Sultan Alauddin. Mahasiswa membakar dan berteriak-teriak histeris sambil menutup jalan. Karaeng Pattingalloang pun memekik, “Quo Vadis mahasiswa Makassar?” 

sumber: www.darsastra.blogspot.com

Sang Pembohong yang Jujur


Sang Pembohong yang Jujur

Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

Seorang pakar kebohongan (bukan pakar pembohong) berkebangsaan Amerika Serikat bernama Duke Christoffersen pernah melakukan penelitian apakah orang-orang Amerika berlaku jujur atau berperilaku bohong. Pertanyaan Christoffersen hanya satu, “Apakah Anda tidak pernah berbohong?” Hasilnya, hanya 5 persen saja orang Amerika yang diwawancari oleh Christoffersen mengaku tidak pernah berbohong. Berarti 95 persen orang Amerika adalah pembohong. 

Christoffersen membuat simpulan, 95 persen orang Amerika adalah orang-orang jujur, selebihnya 5 persen adalah pembohong besar. Ketika Christoffersen digugat oleh 5 persen responden yang mengaku tidak pernah berbohong tetapi dikatakan sebagai pembohong besar, maka Christoffersen pun memberi alasan yang sangat mengejutkan, “Jika Anda mengaku tidak pernah berbohong, maka Anda telah melakukan kebohongan terbesar dalam hidup Anda.”

Begitulah, Christoffersen dalam bukunya The Shameless Liar’s Guide mengurai sekilas sejarah Amerika yang penuh dengan kebohongan. Tentu saja sejarawan Amerika bersikap jujur dalam menjelaskan kebohongan-kebohongan tersebut. Salah satunya yang terjadi pada tahun 1999, ketika Presiden Amerika Serikat kala itu Bill Clinton beberapa kali muncul di teve membuat pernyataan, “Saya tidak mempunyai hubungan seksual dengan wanita lain, kecuali dengan isteri saya sendiri (Hillary Rodam Clinton).” Tetapi akhirnya laku Clinton ketahuan juga, ia pun mengakui perbuatannya lalu menuliskannya dalam sebuah buku. 

Otobiografi perselingkuhan Clinton dengan mantan sekretaris pribadinya bernama Monica Lewinsky pun menjadi buku best-seller. Salah satu alasan buku tersebut diburu oleh publik Amerika, karena Clinton jujur menceritakan kisah perselingkuhannya. Clinton pun mengakui pendapat Friedrich Nietzsche, “Mulut boleh bohong, tetapi meskipun demikian wajah kita menyiratkan kebenaran.”
...
Alasan utama manusia berbohong adalah untuk bertahan, mempertahankan harga diri. Dan yang paling mahal tentunya adalah mempertahankan ‘harga’ jabatan. Bukankah sering seseorang menjual harga dirinya untuk membeli ‘harga’ jabatan? Dan ketika kebohongan seseorang terbongkar maka jabatan pun akan hangus terbakar.

Kebohongan memang adalah senjata untuk bertahan. Tetapi orang tidak sadar bahwa setiap kali senjata kebohongan ditembakkan maka senjata tersebut akan mengalami kemiringan beberapa derajat. Karena ketika senjata kebohongan ditembakkan maka saat itu juga peluru-peluru kebenaran akan bergetar dalam sanubari sang pembohong. Ketika kemiringan senjata kebohongan sudah mencapai angka 90 derajat, maka bila seseorang tidak berhati-hati atau bertobat, dan terus menembakkan senjata kebohongan, maka peluru-peluru kebenaran akan semakin bergetar menuju angka 180 derajat. Saat itu juga senjata kebohongan akan menembak diri sendiri.

Berbeda dengan kebohongan, sesungguhnya kejujuran juga adalah alat untuk bertahan. Tetapi kejujuran bukanlah sebuah senjata, ia adalah sebuah tameng. Semakin tameng kejujuran terus terpasang maka tameng itu semakin menebal. Ketika tameng pertahanan diri semakin menebal maka hati pun akan menjadi tenteram. Harga diri, apalagi ‘harga jabatan’ pun akan bertahan.

Maka sebelum senjata kebohongan mencapai kemiringan maksimal 180 derajat dan menembaki dirinya sendiri, maka Clinton pun berusaha bertahan. Ia membuang senjata kebohongan dan mencoba memasang tameng kejujuran. Ia pun selamat. Bahkan isterinya Hillary, yang awalnya sangat sakit hati atas ulah sang suami, akhirnya bisa memaafkan suaminya yang dengan gentlemen memasang tameng kejujuran.

Bagaimana dengan Muhammad Nazaruddin? Apakah aktor fenomenal dalam sandiwara korupsi di Indonesia itu aman dari senjata kebohongan seperti halnya Clinton? 

Meski tema dan tingkat kedalaman kebohongan berbeda, tetapi rupanya Nazaruddin juga paham bahwa alat untuk bertahan bukan hanya dengan senjata kebohongan, tetapi ada yang lebih terhormat, tameng kejujuran. Maka, di saat-saat senjata kebohongan sudah hampir mencapai kemiringan 180 derajat, Nazaruddin pun cepat memasang tameng kejujuran. Ia membongkar dengan jujur segala senjata-senjata kebohongan yang ia telah tembakkan secara berjamaah bersama rekan-rekannya (berubah menjadi musuh-musuhnya).

Selamatkah Nazaruddin? Sang Alim dari kepercayaan dan agama apa pun akan sepakat dengan sebuah pernyataan, “Manusia akan selamat dengan memasang tameng kejujuran.” 

Saya kira Nazaruddin juga percaya dengan kalimat tersebut, sangat percaya malah. Hanya saja, tameng kejujuran yang dipasang oleh Nazaruddin adalah tameng yang terlalu tipis untuk menahan beribu-ribu senjata kebohongan yang terlanjur membidik dirinya sendiri. Bukan hanya itu, senjata kebohongan Nazaruddin juga siap menembak teman-teman aktornya dalam sandiwara korupsi di Indonesia.

sumber: www.darsastra.blogspot.com

Tomanurung dan Jejak Pilkada yang Murung


Tomanurung dan Jejak Pilkada yang Murung

Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

Bermula dari cerita I La Galigo, sebuah napak tilas manusia pertama di kerajaan bumi, bahwa manusia pertama yang menghuni bumi adalah Batara Guru. Ia adalah tomanurung (orang yang turun) dari langit. Sang tomanurung (Batara Guru) berjodoh dengan We Nyiliq Timoq, perempuan totompoq (orang yang muncul) dari dunia bawah (Peretiwi). Duet tomanurung dan totompoq yang maddara takkuq (berdarah putih, bangsawan) kemudian beranak-pinak membentuk kerajaan di jazirah Sulawesi. 

Selanjutnya, akibat pengaruh epik I La Galigo, yang dulunya sangat disakralkan dan dianggap sebagai sebuah kitab suci, maka sejarah dan asal-usul kerajaan di jazirah Sulawesi ikut terselubung oleh mitos tomanurung. Semua raja pertama konon adalah tomanurung, manusia suci atau manusia sakti dari langit. Tentu saja ini hanyalah sebuah mitos, tetapi sejak dahulu hingga sekarang orang tetap percaya kepada mitos atau hal-hal gaib lainnya. 

Sebenarnya, pengakuan sebagai manusia tomanurung sengaja di-lontara-kan oleh pihak istana kerajaan, lalu dituturkan secara lisan agar masyarakat semakin tunduk dan patuh kepada sang raja yang notabene adalah tomanurung atau turunan tomanurung. Itulah sebabnya, lontara I La Galigo hanya dimiliki keluarga kerajaan yang dianggap sebagai kitab yang sangat sakral, dan tidak bisa dipindahtangankan kepada pihak yang bukan turunan tomanurung. Makanya, ketika B.F Matthes ingin memiliki lontara I La Galigo, ia terpaksa meminta Colliq Pujie Arung Pancana Toa menyalin lontara tersebut untuknya.

Dalam sejarah kerajaan di jazirah Sulawesi, konsep tomanurung tetap terjaga. Bila suatu kerajaan mengalahkan kerajaan lain, maka sang pemenang tidak akan mengganggu sistem kepemimpinan tomanurung pada kerajaan yang kalah. Ketika Gowa takluk, Arung Palakka tidak serta merta punya hak berkuasa di Gowa. Sebab Gowa hanya boleh dipimpin oleh turunan tomanurung di Gowa. Hanya saja Arung Palakka yang bercita-cita ingin menyatukan kerajaan di Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) punya taktik jitu, ia menikahkan La Patau (putra mahkota kerajaan Bone) dengan putri Raja Gowa Karaeng Sanrabone alias I Mappadulung Daeng Mattimung Sultan Abdul Jalil.

Yang sangat menarik, dengan konsep tomanurung, tidak ada huru-hara dalam pergantian kekuasan pada kerajaan-kerajaan terdahulu di Sulawesi Selatan. Tidak ada peristiwa ala Ken Arok yang membunuh Tunggul Ametung lalu memperisteri Ken Dedes dan berkuasa, selanjutnya adalah perebutan kekuasan dan pertumpahan darah.
Di era demokrasi sekarang ini, konsep tomanurung sebenarnya tidaklah hilang (atau jangan dihilangkan). Ia hanya berubah wajah menjadi pemilu/pilkada. Pemimpin yang terpilih lewat pilkada sebagai wajah lain konsep tomanurung, semestinya disambut dengan suka cita sebagai orang ‘manurung’ (turun) untuk membangun daerahnya menjadi lebih baik. Pihak yang kalah harus menyadari bahwa mereka bukanlah tomanurung yang dinginkan oleh rakyat.

Di sisi lain, mereka yang terpilih, harus juga sadar bahwa mereka adalah tomanurung, orang yang turun membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Dan yang terpenting, mereka yang terpilih harus benar-benar berperilaku sebagai tomanurung, manusia suci yang turun dari langit suci demokrasi, manusia yang yang bertanggung jawab, jujur, dan amanah. Sebab jika tidak, sang tomanurung akan mendapat kutukan. 

Pada akhir cerita I La Galigo, Sang Patotoe menutup pintu langit sebagai sebuah hukuman kepada tomanurung yang semena-mena memerintah di kerajaan bumi. Sejarah juga mencatat, meski seorang pemimpin (raja) sudah terpilih, tetapi jika ia menyalahi sumpah dan janji maka ia pun akan dicap sebagai sang peresola (sang perusak) yang harus disingkirkan. Itulah yang menimpa Raja Gowa ke-13 Karaeng Tunipasulu Tepukaraeng Daeng Marabbung, ia dimakzulkan oleh Bate Salapang (Dewan Adat) Kerajaan Gowa karena dianggap semena-mena dan tidak adil.
Sejatinya, bilamana pemilu/pilkada dianggap sebagai wajah lain konsep tomanurung, yang akan melahirkan sang pemimpin yang akan turun membawa perubahan ke arah yang lebih baik, maka tidak ada lagi huru-hara yang mewarnai pesta demokrasi di negeri ini, khususnya Sulawesi Selatan sebagai Bumi Tomanurung. Sebab yang terpilih haruslah diselamati sebagai tomanurung yang turun membawa perubahan. Pun, sang tomanurung yang terpilih harus berjanji pada dirinya sendiri untuk turun gelanggang, menyingsingkan lengan baju untuk menjalankan janji-janji program kampanyenya. Sebab tomanurung dalam wajah demokrasi sekarang ini lebih bermakna sebagai seorang pelayan.

Sumber: KORAN TEMPO MAKASSAR, Kamis 26 September 2013
www.darsastra.blogspot.com

Lelaki Bugis, 'Taro Ada Taro Gau'


Lelaki Bugis, Taro Ada Taro Gau

Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

            Sekitar abad XVI, persekutuan Kerajaan Tellulimpoe (Lamatti, Bulo-Bulo, dan Tondong) melakukan perjanjian dengan Raja Gowa X Karaeng Tunipallangga  alias I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung. Ketiga kerajaan yang menjadi cikal-bakal Kabupaten Sinjai itu bersama persekutuan Pitulimpoe, diwakili oleh Arung Lamatti bernama Arung Pali’e. Perjanjian tersebut berlangsung di Aruhu di bawah pohon beringin. Perjanjian itu berisi kesepakatan antara Kerajaan Gowa dan persekutuan Kerajaan Tellulimpoe untuk saling membantu dan saling mengingatkan dalam hal kebaikan. Barang siapa yang mengingkari isi perjanjian tersebut, maka ia akan ditimpa oleh pohon beringin yang sudah ditanam bersama di Aruhu. Isi perjanjian lainnya, Gowa dan Tellulimpoe adalah bersaudara. Gowa dan Tellulimpoe harus bersatu padu, bila Gowa meninggal di pagi hari, maka Tellulimpoe menyusul di sore hari. Gowa dan Tellulimpoe akan Mate Siwalung (mati bersama).

            Belum cukup setahun peristiwa perjanjian Aruhu tersebut, datanglah utusan Raja Gowa ke Tellulimpoe. Raja Gowa Karaeng Tunipallangga meminta bantuan dari persekutuan Tellulimpoe untung menyerang Kerajaan Bone. Tentu saja para arung di Tellulimpoe sangat terkejut dengan permintaan Raja Gowa, sebab bagi Tellulimpoe, menyerang Bone sama dengan menyerang dan mengkhianati saudara sendiri.

            Maka berkumpullah para arung dan bangsawan ketiga kerajaan persekutuan Tellulimpoe. Pertemuan berlangsung hening, para bangsawan hanya terdiam, umumnya mereka menyesalkan Raja Gowa yang ingin menyerang Bone, tetapi ada juga yang bisa memahami langkah Raja Gowa, sebab Bone merupakan pesaing utama Gowa, apalagi saat itu Bone sudah menjalin kerjasama erat dengan Soppeng dan Wajo atas prakarsa utama penasehat Kerajaan Bone, La Mellong Kajao Laliddong.

            Di tengah keheningan tersebut, Arung Pali’e yang menjadi wakil persekutuan Tellulimpoe ketika mengadakan perjanjian dengan Karaeng Tunipallangga, berdiri sambil memandang semua yang hadir.

            “Kita tidak mungkin ikut menyerang Bone yang merupakan saudara kita sendiri,” Arung Pali’e menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu melanjutkan kalimatnya, “tetapi kita tidak bisa juga menolak permintaan Raja Gowa karena kita sudah mengikat perjanjian dengan mereka.”

            “Lalu apa yang harus kita lakukan, Puang?” Tanya La Patolai yang kelak akan menggantikan Arung Pali’e bertahta di Lamatti.

            “Saya tidak rela pasukan Tellulimpoe ikut menyerang Bone, tetapi karena Tellulimpoe terlanjur sudah mengikat perjanjian dengan Gowa maka saya tetap akan mengutus seorang panglima Tellulimpoe untuk bergabung dengan pasukan Gowa. Karena sayalah yang bertanggung jawab langsung atas segala perjanjian dengan Gowa di Aruhu, maka saya sendirilah satu-satunya utusan Tellulimpoe. Dan, kelak bila saya gugur dalam perang, maka janganlah kalian menganggap saya gugur karena berperang melawan saudara sendiri, tetapi anggaplah saya gugur dalam menegakkan harga diri orang Tellulimpoe, harga diri kita adalah taro ada taro gau (satunya kata dengan perbuatan).

            Maka bergabunglah Arung Pali’e seorang diri dari Tellulimpoe dengan pasukan Gowa untuk menyerang Bone. Dalam peperangan antara Gowa dan Bone yang terkenal dengan nama perang Tobala tersebut, Arung Pali’e pun tewas terbunuh. Orang Tellulimpoe pun menggelari Arung Pali’e sebagai arung tolempu na magetteng (orang jujur dan teguh pendirian)
            Arung Pali’e adalah sosok lelaki Bugis yang memegang prinsip taro ada taro gau. Ia adalah sosok pemimpin yang malempu (jujur) dan magetteng (teguh pendirian). Ia adalah perwujudan nilai-nilai keteladanan orang Bugis-Makassar “Eppa’i gau’na gettennge: tesalaie janci, tessoroe ulu ada, telluka anu pua teppinra assituruseng, mabbicarai naparapi mabbinru’i tepupi napaja.” (Ada empat perbuatan nilai keteguhan: tidak mengingkari janji, tidak menghianati kesepakatan, tidak membatalkan keputusan, tidak mengubah kesepakatan). 

Adakah lelaki Bugis sekarang seperti Arung Pali’e? Lelaki Bugis yang rela menyerang saudaranya sendiri, menyerang dirinya sendiri, mengorbankan dirinya sendiri, demi menegakkan harga dirinya: taro ada taro gau.

Ah! Jangan-jangan sekarang, lelaki Bugis berubah menjadi lelaki bengis. Lelaki yang begitu gampang membuat janji lalu dengan sangat gampang pula menghianati janji dan kesepakatan, karena ia adalah lelaki pengemis, pengemis harta dan jabatan. Ataukah lelaki Bugis menjadi lelaki gamis, lelaki yang sering puasa senin-kamis, tapi korupsinya juga berjalan lancar seperti air yang tak bertapis. Maka, wahai lelaki Bugis! Jangan pernah memahat janji lalu sibuk mencari alibi untuk tidak menepati janji. Ya, termasuk janji-janji politik. Assekki Ada Jancie (Berpegang teguhlah pada janji).

Sumber: KORAN TEMPO MAKASSAR, Kamis 19 September 2013
www.darsastra,blogspot.com

Tangga La Mellong, Nasihat untuk Pemimpin Kita


Tangga La Mellong, Nasihat untuk Pemimpin Kita

Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

            Sekitar abad XVII, Raja Bone mendengar kabar tentang seorang pemuda yang berani dan cerdas. Pemuda yang bernama La Mellong tersebut berasal dari Kampung Laliddong, kampung kecil yang masih berada dalam wilayah kekuasan Kerajaan Bone.

Raja Bone pun memanggil pemuda tersebut untuk dijadikan sebagai kajao (penasehat kerajaan). Tetapi sebelumnya, sang raja ingin mengetes kecerdasan pemuda tersebut. Maka, sang raja pun memerintahkan La Mellong untuk mengumpulkan 70 orang buta dalam waktu yang singkat. Sang raja juga meminta La Mellong untuk membawa benda pusaka miliknya. Setelah berpikir sejenak, La Mellong pun mengiyakan kedua permintaan sang raja.

La Mellong segera kembali ke rumahnya di kampung Laliddong. Ia mengambil tangga rangkiang tua miliknya. Lalu ia menyeret tangga itu menuju istana kerajaan Bone. Di tengah jalan, orang-orang pun bertanya, “Apa yang engkau bawa La Mellong?”

Setiap ada orang yang bertanya, maka La Mellong pun meminta orang itu ikut bersamanya menuju istana. Setiba di depan istana, sudah ada 69 orang yang mengikuti La Mellong.

“Hei! Apa yang engkau bawa itu, La Mellong?” Tanya seorang pengawal istana ketika La Mellong menyeret tangga rangkiang tuanya melewati gerbang istana.

Pammasena Dewatae (Syukur Alhamdulillah), saya sudah menemukan 70 orang buta,” ujar La Mellong dalam hati sambil bergegas menemui sang raja.

“Tabek Puang, saya sudah membawakan 70 orang buta dan juga benda pusaka milikku,” ujar La Mellong.

“Ha? Orang buta? Tangga rangkiang? Engkau jangan main-main La Mellong!” ujar sang raja dengan suara meninggi.

“Ampun Puang!” La Mellong menyembah, “Sungguh saya tidak bermaksud bermain-main apalagi mau mengelabui Puang, tapi ketahuilah bahwa 70 orang yang datang bersamaku ini adalah orang-orang buta. Buktinya, ketika saya berjalan sambil menyeret tangga rangkiang dari kampungku menuju istana ini, mereka bertanya padaku tentang apa yang saya bawa, andaikan mereka melihat bahwa yang saya bawa adalah tangga rangkiang maka tentu mereka tidak akan bertanya. Begitulah Puang, banyak diantara kita yang matanya melihat tetapi mata hatinya tidak melihat.”

Seketika sang raja menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum, “Engkau benar La Mellong.” Lalu sang raja menatap lekat-lekat tangga rangkiang tua milik La Mellong.

“Tapi mengapa engkau membawa tangga rangkiang tuamu yang sudah mulai lapuk?”

La Mellong cepat mengangkat tangga rangkiang tua miliknya yang terbuat dari bambu, “Tabek Puang, inilah benda pusaka milikku.”

“Hah? Benda pusaka? Lalu apa keistimewaan tangga rangkiangmu itu?” Cecar raja.

“Tabek Puang, tangga ini mempunyai tiga keistimewaan. Pertama, bila saya menemukan dua orang yang berselisih maka saya akan memberikan tangga ini kepada keduanya agar mereka bisa bertemu dan saling mengenal, sebab penyebab utama dua orang bertengkar atau berselisih paham karena mereka tidak saling mengenal. Kedua, bila saya bertemu dengan orang yang lapar di tengah hutan sedangkan mereka tidak bisa memanjat pohon, maka saya cukuplah memberi tangga ini agar orang lapar itu bisa memetik sendiri buah-buahan yang ranum di pepohonan, kalau saya memberikan mereka buah maka mereka akan kelaparan lagi bila buah pemberian tersebut sudah habis. Ketiga, ketika saya berjumpa dengan seorang pejabat kerajaan, maka saya akan memberikan tangga ini, agar mereka berhati-hati naik tangga atau pun turun tangga, sebab bila seseorang terlalu serakah melompat maka bisa saja ia akan terpeleset dan terjatuh,” jelas La Mellong.

“Engkau benar-benar cerdas La Mellong, mulai sekarang engkau akan kuangkat menjadi penasehat utama kerajaan,” tegas sang raja.

La Mellong pun resmi menjadi seorang penasehat kerajaan. Ia diberi gelar Kajao Laliddong.
Makassar, kota yang acapkali dicap kasar, karena penduduknya berkelahi melulu di layar teve  -teve juga mungkin kurang ajar karena hanya mengejar pasar- padahal masih banyak sudut kota Makassar yang damai tapi tak diberitakan. Makassar butuh tangga La Mellong agar warga yang selalu bertikai tidak lagi saling melempar, tetapi saling mengunjungi dan berdamai dengan hati sabar dan jiwa yang besar.

Tak hanya sebatas kota Makassar, tetapi Indonesia saat ini sangat butuh tangga La Mellong. Para pemimpin perlu memiliki tangga La Mellong, agar mereka selalu berhati-hati dalam memanjat, baik memanjat pangkat maupun memanjat harta. Karena bisa saja kalau mereka memanjat harta dengan melompat terlalu tinggi, lalu mengambil yang bukan haknya, maka mereka akan terjatuh dalam penjara KPK. Maka, sebelum mereka terkena kutukan adagium ‘sudah terjatuh tertimpa tangga pula’ maka sebaiknya mereka meminjam tangga La Mellong.

Sumber: KORAN TEMPO MAKASSAR, Kamis 22 Agustus 2013
www.darsastra.blogspot.com

Mudik, Wong Cilik, dan Terapi Modernitas


Mudik, Wong Cilik, dan Terapi Modernitas
Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

            Setelah berhitung segala ongkos kepulangannya, pun plus-minusnya, akhirnya Sangkala memutuskan untuk mudik. Lagipula tidak ada alasan baginya untuk tidak mudik. Tidak seperti lima tahun sebelumnya, setiap lebaran tiba, Sangkala selalu terburu-buru memburu mudik. Saat itu ia masih berstatus mahasiswa. Saat itu pula ia benar-benar menikmati mudik. Mudik baginya seperti sebuah terapi untuk melupakan segala rutinitasnya di kampus. Ia bisa bercengkerama dengan teman-teman sekolahnya, pun teman masa kecilnya di kampungnya dulu. Ia bisa menikmati wajah-wajah kampung ramah dan bersahabat. Pun ia bisa menjadi sosok idola bagi para bunga-bunga desa di kampungnya. Predikat mahasiswa yang ia sandang kala itu seperti sebuah azimat yang dapat meluluhkan hati setiap bunga desa yang ayu dan kemayu. 

            Tapi kini, setiap lebaran tiba, Sangkala benar-benar berhitung masak-masak. Jarak antara Makassar dengan kampung halamannya tidaklah terlalu jauh di pelosok desa di kabupaten Sinjai. Uang transport pulang pergi cukuplah seratus lima puluh ribu rupiah saja. Tapi bukan itu yang membuat Sangkala berpikir keras. Tapi oleh-oleh buat para kerabat dekatnya, ponakan-ponakannya, bahkan para tetangganya adalah sesuatu yang ia harus persiapkan. Ia malu bila ia tiba di rumah orang tuanya di kampung, lalu banyak kerabat yang mengunjunginya tapi tidak diberikan apa-apa. Apalagi Sangkala telah dicap di kampungnya sebagai orang sukses. Padahal sesungguhnya pendapatan Sangkala hanyalah cukup untuk biaya hidup saja. Ia belum mapan, apalagi mau disebut orang kaya. Tapi Sangkala harus mudik. Lalu. Mau tak mau ia harus mengeringkan rekeningnya di bank.
            Orang-orang seperti Sangkala sangat mudah kita lihat dimana-mana. Di pelabuhan-pelabuhan, di terminal-terminal, tapi jangan lihat di bandara-bandara. Kita bisa melihat wajah para pemudik yang kuyu tetapi tetap terpancar kebahagiaan karena akan bertemu dengan para kerabat dan handai tolan, meski kebanyakan dari mereka tetap membawa sebungkus kegelisahan karena biaya mudik. Tapi hakekatnya mereka tetap bahagia.

Kata mudik tidak persis sama dengan pulang, tapi jelasnya bila kita mendengar idiom mudik maka yang terbayang dalam ingatan kita adalah pulang atau pulang kampung. Berbeda dengan kata pulang, mudik mengandung arti tersendiri. Istilah mudik baru dibicarakan pada saat-saat tertentu yang dianggap sakral seperti saat lebaran, pun natalan. 

            Dengan mudik, orang-orang yang sudah kehilangan jati dirinya dalam hiruk pikuk dan kepalsuan kota, ingin menemukan dirinya kembali dengan mengenang masa-masa lalunya di kampung halaman yang penuh dengan kenangan indah. Mereka yang di kota hanya dihitung sebagai angka-angka pecahan, pun sebagai mor kecil yang berkarat dalam mesin raksasa kota yang rakus ingin menemukan jati dirinya sebagai manusia. Mereka juga ingin melupakan wajah-wajah kota yang garang untuk menikmati keramahan wajah-wajah kampung dengan girang. Para pembantu rumah tangga ingin bebas sementara dari majikan-majikan perempuan yang galak, atau mata majikan laki-laki yang jalang. Para buruh-buruh pabrik ingin bebas dari raungan mesin-mesin yang pongah dengan menikmati desahan sungai-sungai yang renyah. Dengan mudik, mereka dapat merenungkan apa yang telah dikerjakannya dan merenungkan eksistensi dirinya sebagai manusia. Itulah makna mudik.

            “Mudik adalah salah satu terapi untuk manusia modern,” kata Jalaluddin Rakhmat. “Manusia modern melahirkan manusia robot,” kata Lewis Yablonsky. Manusia robot telah kehilangan kreativitas, mereka menjadi mesin yang terikat pada rutinitas yang monoton, mereka digerakkan secara massal oleh para pemegang kebijakan, baik penguasa maupun pengusaha yang terkadang susah dibedakan. Pagi hari bangun, mandi, sarapan lalu ke kantor untuk mengerjakan pekerjaan yang itu-itu juga. Sehingga kota-kota besar telah menjadi rumah sakit jiwa yang besar yang dihuni oleh para manusia robot sehingga penyembuhannya memerlukan suatu terapi yang memanusiakan manusia. Ya, itulah makna mudik.

            Sayang! Kebanyakan yang berburu dan terburu-buru untuk mudik hanyalah orang-orang kecil saja. Alangkah indahnya bila mudik sebagai terapi manusia modern dilakukan pula oleh para penguasa pun pengusaha. Dan mudik jangan hanya pada waktu lebaran saja, sehingga mereka itu para penguasa dan pengusaha bukan lagi manusia robot yang melibas manusia dengan tangan kekuasaannya, tetapi mereka memperlakukan manusia secara manusiawi sebab dengan mudik mereka akan menemukan kemanusiaan dirinya sebagai manusia. 

sumber: KORAN TEMPO MAKASSAR, Sabtu 3 Agustus 2013
www.darsastra.blogspot.com

COLUMBUS NAIK PERAHU PINISI


Columbus Naik Perahu Pinisi
Oleh: dul abdul rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

Tidak ada pelaut Eropa yang begitu tergila-gila terhadap nusantara daripada Christopher Columbus. Terobsesi dari petualangan Marcopolo(abad XIII) dan Ibnu Battuta(abad XIV) yang sebelumnya berkelana ke Asia, Columbus pun bertekad berlayar ke Asia. Ada tiga tempat yang paling ingin dikunjungi oleh Columbus, yaitu Quinsay (sekarang Hangzhou, Cina) kota terkaya dan terbesar di dunia pada abad pertengahan. Kedua adalah India, ia sangat ingin bertemu dengan penguasa Mongul Khan Agung. Tempat ketiga adalah nusantara (saat itu Malaka dan Maluku) yang sangat terkenal dengan rempah-rempahnya.

Sejatinya, Columbus berasal dari Genoa, Italia. Tetapi demi mencapai keinginannya untuk berlayar ke Asia, ia menyeberang ke Portugis. Ia mendengar kabar bahwa Portugis sedang gencar-gencarnya melakukan eksplorasi dan mencari dunia baru untuk ditaklukkan dan diekploitasi. 

Setiba di Portugis, Columbus mengajukan proposal berlayar atas nama bangsa Portugis kepada Raja Joao II. Tetapi proposal Columbus ditolak oleh sang raja. Columbus tidak patah semangat, ia pun pergi ke Spanyol yang saat itu dipimpin oleh duet Raja Ferdinand dan Ratu Isabella yang juga punya semangat membara untuk mencari daerah-daerah taklukan untuk diekploitasi dan dijajah.

Alhasil, Columbus pun berlayar menuju Asia dengan berbendera Spanyol. Saat itu ia berlayar dengan tiga kapal induk, Santa Maria, Nina, dan Pinta. Kapal induk utama Santa Maria dipimpin oleh Columbus, Nina dipimpin oleh Amerigo Vespucci, Pinta dipimpin oleh Martin Alonso Pinzon.

Ketika pelayaran Columbus hampir tiba di sebuah wilayah yang kelak diberi nama benua Amerika, kapal Santa Maria berpisah dengan dua kapal induk lainnya. Santa Maria mengejar perahu aneh yang juga sedang berlayar mendekati benua yang belum bernama. Perahu aneh tersebut adalah perahu pinisi sepulang dari Venesia membawa rempah-rempah. Columbus pun menyerang perahu itu hingga karam, sisa-sisa perahu yang karam itu akhirnya terdampar di pantai Acapulco, Meksiko.

Sebelum karam, awak perahu pinisi melakukan perlawanan sengit. Kapal Santa Maria pun ikut karam. Untungnya Columbus berhasil diselamatkan oleh kapal Nina yang dipimpin oleh Vespucci. Kapal Nina kemudian berlabuh di sebuah benua baru yang kemudian bernama benua Amerika yang diambil dari nama depan Vespucci. Vespucci dan Columbus sempat bersitegang soal nama, karena bagaimana pun Columbus adalah panglima tertinggi. Tetapi Columbus tidak perlu begitu kecewa, karena dalam sejarah, penemu benua Amerika adalah Christopher Columbus, bukan Amerigo Vespucci.

Niat Columbus untuk berlayar ke Asia tidak pernah pupus. Tetapi hingga pelayaran keempat, armada Columbus tidak bisa mencapai Asia, bahkan kapal induk Santa Maria pun diganti dengan kapal induk yang lebih besar bernama Maria Galante. Namun Columbus punya seribu akal. Ia pun mengaku sudah sampai ke India dengan mengatakan ia sudah bertemu dengan orang-orang India. Maka Columbus pun memberi nama penduduk asli benua Amerika, orang Indian. Ia juga mengaku sudah sampai di ujung timur terjauh dunia (nusantara) dan sudah melihat perahu-perahu aneh (pinisi). Ketika ditanya apa nama perahu orang-orang timur jauh tersebut, maka Columbus pun berkata, “perahu-perahu itu sering berada di Venesia.” Ketika ada anak buahnya masih ingin bertanya, Calumbus pun berkata, “Kalian tidak usah terlalu berisik!”
Perahu aneh itupun dinamai perahu venesia yang kelak dieja: perahu pinisi.
Setahun silam, saya mengunjungi sentra pembuatan pinisi di Bulukumba. Saya bertemu dengan seorang turis asal Amerika Serikat bernama Ferdinand Columbus. Rupanya Columbus ingin memesan perahu pinisi.

            Saya pun bertanya mengapa Columbus ingin memesan perahu pinisi, bukankah banyak model kapal lain yang lebih modern yang bisa dijadikan kapal pesiar? Columbus tertawa tertahan. Saya merasakan ketawanya setengah mengejek. Dengan sangat bersahabat ia pun menjawab, “Saya ini kan keturunan Columbus. Makanya, saya ingin mewujudkan keinginan beliau yang dulu ingin sekali tiba di Indonesia. Saking inginnya tiba di Indonesia, maka ia pun mengaku sudah sampai di Indonesia dan melihat perahu pinisi.”
            “Benarkah?”
            Ferdinand Columbus kembali tersenyum. Kali itu senyumannya tulus. “Saya mencintai perahu pinisi, you jangan khawatir, meski kelak perahu itu berlayar di perairan Amerika, namanya tetap perahu pinisi, bukan perahu Columbus, dan sudah pasti seluruh dunia menganggap saya pembohong kalau saya mengaku bahwa perahu pinisi adalah hasil kreasi orang Amerika. Karena sejak dulu, perahu pinisi adalah simbol kebanggaan orang Bugis Makassar.”
Seminggu yang lalu, saya menghadiri acara bedah buku PINISI di Gedung Amanna Gappa, UNM. Saya mendengar suara-suara berisik. Katanya perahu pinisi diambang kepunahan, perahu pinisi dijadikan lambang daerah di sebuah kabupataen di Kalimantan. Ternyata perahu-perahu pinisi yang sekarang yang berlenggak-lenggok anggun di lautan milik orang-orang asing.
Saat itu saya hanya teringat dengan ucapan Christopher Columbus, “jangan terlalu berisik.” Pun, saya teringat dengan ucapan Ferdinand Columbus. Perahu Pinisi adalah simbol bahari orang Bugis-Makassar.”
Ketika meninggalkan Gedung Amanna Gappa, dan melewati Menara Pinisi milik UNM, saya pun berkata dalam hati, “Tak peduli namanya Menara Pinisi, atau Menara Phinisi, atau malah Phinisi Building. Pun siapapun yang memilikinya, UNM, UNHAS, atau malah Universitas Columbus di Amerika Serikat, tetap dunia mengakuinya bahwa pinisi adalah simbol bahari orang Bugis-Makassar.
Tapi sama sekali tidak dilarang banyak berisik. Yuk, mari berisik positif!

Sumber: Koran Tempo Makassar, Sabtu 30 Maret 2013
              www.darsastra.blogspot.com