Minggu, 30 Januari 2011

POHON-POHON RINDU (3)

1. SISWA BARU (3)

…………………………………………………………..
“Melompat lagi! Siswa baru harus semangat!” Aku menghardik.
“Jangan terlalu galak Beddu!” Hutbah berkata padaku, tapi matanya tertancap pada siswi baru itu.
“Sabar Dik ya, memang senior yang satu ini paling galak.”
Mata Hutbah berkedip-kedip menatap siswi baru itu. Ia kelihatan sok pahlawan. Dan tentu saja Hutbah lagi naksir pada siswi baru itu. Siswa baru itu pun tersenyum teramat manis pada Hutbah. Aku menggerutu membatin. Aku jengkel sama Hutbah. Tega-teganya ia berkata pada siswi baru yang sangat cantik itu bahwa aku adalah senior paling galak. Padahal sebenarnya dialah senior yang paling galak, tapi pengecualian memang bila ia menghadapi siswi baru yang cantik pasti sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Mungkin itulah salah satu ciri cowok playboy.
Yang membuat aku paling jengkel sama Hutbah karena ia menganggu waktuku untuk menaklukkan siswi baru itu. Tapi aku sadar, soal mendekati dan menggaet perempuan aku kalah kelas dibanding Hutbah. Tadi sebenarnya aku pura-pura menghardiknya agar ia memelas dan tersenyum padaku. Di saat ia tersenyum, aku berusaha mendekatinya dan pura-pura peduli padanya. Tapi apa yang aku skenariokan belum terjadi, Hutbah datang mengacak-acak bahkan mencabik-cabik perasaanku. Dan anehnya, sepertinya memang siswi baru itu lebih menghendaki kedatangan Hutbah daripada aku. Bukan hanya soal mendekati perempuan aku kalah dari Hutbah, pun soal tampan.
Dan akhirnya kegalauanku terbukti, Hutbah berbisik padaku bahwa ia sangat menaruh hati terhadap perempuan itu.
“Beddu, ada job baru lagi.” Hutbah berlagak kayak Bos. Kala itu aku diam saja. “Jangan khawatir Beddu, kali ini honornya lebih besar.” Sekali lagi Hutbah menyemangatiku seolah ia yakin aku sangat butuh dengan proyek mata keranjangnya. Kala itu memang lain dari biasanya. Aku tak begitu bersemangat. Tidak bersemangat mengurus Hutbah karena sesungguhnya aku juga punya perasaan suka pada siswa baru yang imut-imut itu. Dan catat! Aku yang lebih duluan naksir daripada Hutbah. Jadi kalau mau adil kepada sesama teman, mestinya Hutbah memberi jalan duluan padaku. Tapi memang itu urusan perasaan, dan selalu orang mendahulukan perasaannya. Perasaan memang selalu egois. Perasaan terkadang tak berperasaan.
“Beddu, bukan hanya wajahnya yang cantik, tapi juga namanya.”
Aku masih diam. Kubiarkan Hutbah berbicara sendiri. Menikmati keegoisannya sendiri. “Namanya Andi Masniar, tapi cukup dipanggil Nia saja.” Kala itu aku meratap membatin, aku benar-benar kalah langkah dari Hutbah. Aku benar-benar bodoh menghadapi perempuan. Aku cuma menang teori saja. Mengapa aku tidak berusaha mengenal namanya pertama kali dulu, lalu aku bilang ke Hutbah bahwa aku sudah lama kenal dan naksir padanya biar si lelaki Kantimarang Hutbah tidak mengganggu odo-odoku. Itulah nasib yang harus ditanggung oleh cowok yang tak punya semangat 45 mendekati cewek. Itulah diriku.

BERSAMBUNG…
POHON-POHON RINDU adalah sebuah novel bertema lingkungan, budaya, dan cinta. Penerbit Diva Press Jogjakarta, 2009.

Sabtu, 29 Januari 2011

POHON-POHON RINDU (2)

1. SISWA BARU (2)

Lain lagi dengan seorang temanku yang bernama Hutbah, mungkin temanku itu lahir pada hari Jumat ketika pak Imam lagi baca khutbah. Hutbah yang memang paling cakep diantara kami, yang selalu menggoda adik-adik kelas yang cantik punya sticker di tasnya “Love Is Blind”. Kalimat yang lumayan menggoda itu Hutbah dapat dariku. Mana Hutbah paham Bahasa Inggris kecuali Yes-No saja. Soal cinta, Hutbah memang buta, setiap kelas biasanya ada siswi yang ditaksirnya, dan hampir seratus persen perasaan cintanya terterima. Mana ada siswi yang sanggup menolak cinta Hutbah yang kala itu mirip Rano Karno. Kalau Hutbah tersenyum dan alis mata kirinya berkedip-kedip naik turun pastilah cewek yang duluan titip salam padanya. Cakep memang.
Dari Hutbah lah, isi hatiku benar-benar terekspos. Ceritanya begini, ternyata bukan hanya cintanya Hutbah yang buta, tetapi ungkapan perasaannya dalam tulisan juga buta. Bayangkan dari tujuh siswi yang dipacari Hutbah, aku semua yang konsep dan tuliskan surat cintanya, jadilah aku yang paling mengenal soal perasaan pacar Hutbah daripada Hutbah sendiri. Hutbah tinggal terima beres, tapi aku tak menyesal karena Hutbah yang memang anak pedagang coklat sukses punya banyak cara untuk membuat aku benar-benar puas sebagai sekertaris pribadi. Saban hari saban istirahat mata pelajaran, Hutbah pasti konsultasi soal cinta padaku di kantin sambil makan pisang goreng atau ubi goreng plus sarabba. Dayat, Anton, pun Umar dapat berkah dari ‘proyek’ cinta Hutbah, karena apapun makanan dan minumannya kami pasti kompak. Begitulah persahabatan yang baik.
Hutbah benar-benar puas dengan cara kerjaku, meski terkadang aku juga melebih-lebihkan. Aku terkadang menggunakan bahasa yang benar-benar hiperbolik dan bombastis yang membuat perasaan Hutbah atau perasaan pacarnya benar-benar dimabuk cinta. Ya, cinta yang mengawang-awang. Tentu saja aku yang bertindak sebagai sutradara semakin mendapat keuntungan berlipat ganda, karena mau makan apa saja bisa. Nampaknya Hutbah punya dana taktis untuk aku. Dana taktis untuk cerita cintanya yang semu.
Nampaknya Hutbah benar-benar percaya padaku. Ataukah memang visi dan misi cintanya juga buta. Terkadang ia tidak membaca surat cinta itu dari pacar-pacarnya, cukuplah aku yang bacakan saja, atau lebih tepatnya diceritakan saja karena aku biasanya membumbu-bumbui biar semakin lezat di telinga Hutbah. Aku semakin mempunyai banyak ruang untuk berimprofisasi. Pun bila aku lagi malas cukuplah aku bercerita semanis mungkin pada Hutbah. Yang membuat aku tak mengerti dengan kebutaan cinta Hutbah, karena mana mungkin Hutbah yang pacaran tetapi aku yang menyimpan semua surat cintanya. Cinta memang buta dan membutakan. Mungkin satu-satunya ‘buta’ yang tidak dibenci adalah cinta, cinta buta. Cinta yang ujung-ujungnya hanya mencipta luka dan derita.
Di mata Hutbah, aku bukan hanya sekedar sekertaris pribadi yang punya modal jadi penulis, tapi juga sebagai juru bicara yang handal. Bahkan terkadang Hutbah menganggapku juru selamat. Pernah suatu ketika seorang pacar Hutbah cemburu dan marah-marah lalu minta putus karena merasa cintanya diduakan oleh Hutbah, aku jelaskan padanya bahwa Hutbah tak menduakan cintanya, Hutbah adalah tipe cowok setia. Lalu aku bilang kalau banyak cewek yang naksir sama Hutbah itu wajar karena Hutbah memang cakep. Penjelasanku ampuh. Pacar Hutbah percaya saja. Kenyataannya aku memang tak berbohong karena memang Hutbah tak menduakan cintanya, tapi mentujuhkan malah. Pun Hutbah cowok setia. Setia pada pacar yang banyak. Hutbah memang sedang menikmati ketampanannya sebelum tua.


Bersambung…
POHON-POHON RINDU adalah sebuah novel bertema lingkungan, budaya, dan cinta. Penerbit Diva Press Jogjakarta, 2009.

POHON-POHON RINDU (1)

1. SISWA BARU (1)

Tahun ajaran baru kala itu aku sudah kelas dua. Aku aktif sebagai pengurus OSIS(Organisasi Intra Sekolah). Sudah jadi tradisi, sebagai senior dari siswa baru biasanya kami merasa lebih ‘hebat’ dari junior. Kebiasaan yang konyol sesungguhnya, namun bila perasaan hebat itu lebih bermakna positif seperti lebih pintar, lebih dewasa, lebih patuh dan taat pada peraturan, maka sesungguhnya perasaan hebat itu sangat perlu dilestarikan. Sayangnya, perasaan hebat itu umumnya lebih condong ke hal-hal yang tak begitu positif, seperti sok lebih berkuasa, atau sok lebih jago, jago merokok, jago-jagoan. Begitulah kebiasaan yang salah.
Masih dalam suasana orientasi penerimaan siswa baru di SMU Negeri Bikeru Sinjai Selatan. Semua siswa baru wajib mengikuti acara itu. Karena memang benar-benar pengenalan sekolah terhadap siswa dari jenjang SMP ke SMU, dari usia pra remaja ke usia remaja. OSIS sebagai pelaksana sebenarnya hanyalah pendamping saja karena yang membawakan materi adalah para guru, tetapi tetap ada sebagian acara yang dipandu langsung oleh pengurus-pengurus OSIS. Dan biasanya acara seperti itu dimanfaatkan oleh sebagaian pengurus OSIS yang laki-laki untuk mendekati siswi baru yang berparas cantik. Biasanya begitu.
Seperti acara pada pagi itu di salah satu ruang kelas. Semua kakak kelas laki-laki tertuju pada seorang siswi baru yang berparas ayu. Aku pun berpura-pura membentaknya. Tapi sungguh aku tak bermaksud memarahinya, aku hanya ingin mencari perhatiannya saja.
“Melompat! Jangan cengeng!” Aku menghardik sok menyelidik, tapi aku terus menatap wajahnya yang ayu.
Entah. Aneh bin ajaib. Baru kali itu aku merasakan getar-getar keanehan menatap siswi baru itu. Padahal sekian lama aku tak pernah tertarik dengan perempuan apalagi untuk berpacaran dulu. Pun berkenalan dengan perempuan rasanya aku malu kecuali dengan teman sekelas, atau biasanya perempuanlah yang pertama berkenalan denganku. Bahkan aku membuat sticker di ranselku berbunyi: NO TIME FOR LOVE.
Memang kala itu lagi ngetrend para siswa memakai ransel. Mungkin sebagai penggambaran siswa yang punya ransel, masing-masing di ransel kami tertera sticker yang unik bahkan sedikit nyeleneh sesuai dengan karakter kami. Anton yang anak Kepala Kampung yang orangnya memang agak cuek di tasnya tertulis “No Problem”. Itulah Anton, terkadang meminjam buku dan pulpen sana sini dan lupa mengembalikannya, dan ketika ditagih, ia hanya cengar-cengir mengembalikannya kalau kebetulan barangnya masih ada lalu berujar ‘No Problem’ tanpa dosa dan berlalu begitu saja. Tapi begitulah Anton kalau ia juga punya barang lalu ada orang yang mau meminjamnya, ia tak pernah mengecewakan orang tersebut, ia pun malas menagih orang yang meminjam barangnya. Kami terkadang mencap Anton sebagai Mr. Sembrono.
Lain lagi dengan Dayat yang bapaknya Imam kampong. Ia merasa aman dan bangga dengan sticker “100% Muslim”. Begitulah Dayat yang merasa alim meski ketika berada di mesjid terkadang bikin ulah. Pernah suatu ketika sholat jamaah di mesjid, Dayat memegang kaki orang yang sedang sujud yang tepat berada di shaf depannya, kebetulan yang didepannya berjiwa seperti Dayat, lalu orang itu menghentakkan kakinya ke belakang, Dayat terjungkal ke belakang dan untungnya ia di shaf paling belakang, untung pula mesjid tidak penuh jadi ia hanya menabrak shaf kosong. Meski begitu Dayat tetap orang yang paling alim diantara kami, ia hafal benar jadwal sholat, dan selalu mengingatkan kami bila waktu sholat tiba. Bacaan Qur’an-nya juga paling fasih di antara kami, bahkan ia hafal Juz Amma’. Ketika kami berkumpul saat magrib dan isya, ia yang bertugas jadi Imam, kalau waktu dhuhur dan ashar biasanya Anton dan Hutbah yang paling siap jadi Imam.
Umar lain lagi. Meski terkenal perokok berat tapi biasanya ia hanya sembunyi-sembunyi di kantin sekolah, stickernya pun berbunyi “No Smoking”. Mungkin maksud Umar, biar guru BP Pak Chaeruddin yang galak 100% tidak mencurigainya. Tentang Pak Chaeruddin yang galak 100% sebenarnya hanyalah penamaan Umar saja karena di mata kami, Pak Chaeruddin adalah guru BP yang sangat baik, ya baik pada siswa yang taat, rajin, dan disiplin. Bagi siswa yang perokok berat semacam Umar pastilah Pak Chaeruddin dianggap galak. Karena guru BP yang memang punya ilmu Psikologi mumpuni, meski sok kampanye anti rokok, Umar tetap terendus jejaknya sebagai perokok berat oleh Pak Chaeruddin.
Pernah suatu ketika Umar tertangkap basah merokok oleh Pak Chaeruddin, lalu Umar dibawa ke ruangan guru, Umar muntah-muntah karena dipaksa makan tembakau oleh Pak Chaeruddin sebagai hukuman. Tapi dasar Umar yang memang bandel yang anak pensiunan polisi, ia tak kapok-kapok juga meski telah dihukum. Bahkan ia mengganti stickernya dari “No Smoking” menjadi “Crystal Man”. Saat itu memang rokok Crystal yang lagi trend. Tapi kalau Pak Chaeruddin bertanya, Umar punya alibi, katanya “Crystal Man” itu mengacu ke motor Crystal, saat itu memang yang paling top adalah motor Crystal, tidak seperti motornya Pak Chaeruddin yang kalau dikendarai cuma klaksonnya saja yang tidak bunyi karena memang sudah rusak. Bahkan pernah suatu ketika Pak Chaeruddin naik motor lewat depan kelas kami, tiba-tiba Umar berlari mengambil karung sambil berlagak mengikuti Pak Chaeruddin, ketika kami menanyakan apa maksudnya, Umar menjawab bahwa ia akan menadah baut dan mor motor Pak Chaeruddin yang mungkin akan berjatuhan. Sayangnya waktu itu Umar kecele, karena kami tidak tertawa dengan sikapnya, padahal ia bermaksud membuat kami tertawa. Aha! Mana mungkin kami tertawa kalau itu perbuatan tak terpuji, apalagi menghina orang tua dan guru, jangankan menghina mereka, menghina sesama teman saja kami tak suka. Aku sebenarnya sangat kasihan dengan Umar, padahal ia anak pensiunan polisi, mestinya harus hormat pada orang tua dan guru. Aku yang cuma anak pensiunan hansip saja sangat hormat dan patuh pada orang tua dan guru. Karena aku yakin, kesuksesan seorang anak atau siswa juga berkat doa orang tua dan gurunya. Begitulah nasehat kedua orang tuaku saban berangkat ke sekolah. Mungkin karena orang tuaku merasa tak sanggup memberiku uang saku setiap pagi, maka nasehatlah penggantinya.


Bersambung…
POHON-POHON RINDU adalah sebuah novel bertema lingkungan, budaya, dan cinta. Penerbit Diva Press Jogjakarta, 2009.

Rabu, 19 Januari 2011

Pohon-Pohon Rindu, Antara Sastra, Kearifan Lokal, dan Lingkungan



            Menarik untuk disimak novel Pohon-Pohon Rindu (PPR) karya novelis Sulawesi Selatan dul abdul rahman. Novel ini mengetengahkan kearifan-kearifan lokal Bugis-Makassar serta pentingnya mencintai dan menjaga lingkungan.
            Dalam novelnya, dul abdul rahman mengambil setting Sulawesi Selatan, khususnya Sinjai, Bulukumba, dan Makassar. Dikisahkan dua sejoli yang mencoba merajut tali kasih yang saat itu berstatus siswa di SMA Negeri Bikeru Sinjai Selatan. Hubungan percintaan yang unik karena keduanya menyimbolkan cintanya dengan hutan dan pepohonan. Karena keduanya menyimbolkan cintanya dengan hutan dan pepohonan, maka keduanya bersama rekan-rekan lainnya membentuk kelompok pencinta alam yang disebut KOMPITA. Siswa-siswa yang tergabung dalam kelompok Kompita berkampanye setiap akhir pekan kepada masyarakat yang berdomisili di pinggir hutan agar tidak merusak hutan. Hutan yang paling dijaga adalah Hutan Lindung Balang yang tidak terurus bahkan dibabat oleh masyarakat setempat.
            Dalam PPR ini pula, dul abdul rahman mencoba mengekspos berbagai tempat bersejarah di Kabupaten Sinjai dan Bulukumba. Seperti Sungai Bejo, Batu Pakke Gojeng, Kajang, dan sebagainya. Sehingga novel ini bisa menjadi promosi budaya bagi daerah Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Sinjai, apalagi novel ini diterbitkan berskala nasional.

Pohon-Pohon Rindu dan Sulsel Go Green
            Dul abdul rahman dalam novelnya PPR menawarkan berbagai solusi untuk melestarikan alam. Bahkan tokoh utama dalam novel tersebut yang bernama Beddu Kamase, meski ia sebagai sosok yang religius tetapi ia mencoba mempertahankan mitos-mitos keangkeran hutan dan alam pada masyarakat, agar masyarakat tidak semena-mena merusak lingkungan. “Tidak ada salahnya mitos keangkeran Sungai Bejo tertanam di hati masyarakat setempat agar kawasan itu tak terjamah tangan-tangan yang tak bertanggung jawab. Soal kemusyrikan, biarlah nanti tokoh agama yang menjelaskan. Intinya kami ingin kawasan Hutan Lindung Balang dan Sungai Bejo tak banyak dikunjungi masyarakat, baik untuk menebang kayu apalagi untuk menabung kemusyrikan.” (PPR, hal 105)
            Selain itu, dul abdul rahman juga menawarkan ide bahwa nama hutan lindung sebaiknya diganti menjadi hutan adat, karena penamaan sebagai hutan adat lebih membuat masyarakat takut mengganggu hutan karena berhubungan dengan adat istiadat setempat, contohnya hutan di Tanah Kajang. “Nama hutan adat lebih sakral daripada hutan lindung. Aku yakin, masyarakat takut membabat hutan adat karena terkait dengan hukum adat setempat, sedangkan hutan lindung hanya penamaan saja, bahkan terkadang tak terlindungi.” (PPR, hal 205)
            Untuk itulah novel ini perlu dibaca, bukan hanya oleh masyarakat tapi juga pemerintah yang terkadang membuat kebijakan yang tak ramah lingkungan. Khususnya pula, pemerintah Kabupaten Sinjai harus lebih memperhatikan keselamatan lingkungan sehingga tidak terjadi lagi banjir bandang yang pernah menimpa Kabupaten Sinjai pada bulan Juni 2006 silam. “Aku akan menjaga Hutan Lindung Balang sebagai tempat peristirahatanmu yang terakhir, duhai cintaku. Jangan lagi ada penggundulan hutan disini. Jangan lagi ada penggundulan hutan disana. Jangan lagi ada banjir bandang disini. Jangan lagi ada banjir bandang disana. Jangan lagi ada air mata yang membandang karena tertimpa banjir bandang.” (PPR, hal 349)
            Tema novel yang diusung dul abdul rahman agaknya sejalan dengan kampanye Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang mengkampanyekan “Sulsel Go Green”
Pohon-Pohon Rindu dan Kearifan Lokal
            Novel PPR sangat kental dengan kearifan lokal, falsafah hidup orang Bugis turut pula dihadirkan, yakni prinsip hidup orang Bugis yaitu alempureng (kejujuran), reso (Usaha), dan siri’ (Harga diri). Pun tentang tellu cappa (tiga ujung kehormatan) lelaki Bugis yaitu menjaga ujung lidah, menjaga ujung keris, dan menjaga ujung kemaluan. Aforisme-aforisme lokal pun bertebaran dalam novel ini, salah-satunya yang tercantum pada halaman 228-229:
Iya ritu decenge kui mompo ri lempue, naiya tomalempue ripujiwi ri Allah Taala, narielori ri tolinoe, apa nakko malempu’ki, mangkau madecengngi ri padatta tau. Naiya gau’ madecengnge ripogau’, nakko tetallei decenna ri aleta, kupasi ana’ta, ri wija-wijatta talle decenna. De’ pura-pura tenna pakkecappakiwi deceng Allah Taala tau mangkau’ madecengnge, enrengnge to malempu’e, naiya gau’ bawangnge, enrengge to malempu’e. naiya gau’ bawangnge, enrengnge cekoe, narekko tetallei ja’na riidi’, kupasi ri ana’ta, ri wija-wijata talle ja’na. apa’ de pura-pura nakulle tenna cappakeng ja’ gau’ bawangnge, enrengnge cekoe.” (Adapun kebaikan itu muncul dari kejujuran. Adapun orang jujur dikasihani oleh Allah SWT serta disukai oleh sesama manusia. Sebab, jika kita jujur dan berbuat baik kepada sesama manusia, maka balasan dari perbuatan baik kita itu akan diterima oleh kita sendiri atau anak dan keturunan kita. Tidak mungkin Allah SWT tidak membalas kebaikan dan kejujuran. Begitu juga kesewenang-wenangan serta keculasan, jika dampak buruknya tidak menimpa kita, pastilah menimpa anak keturunan kita. Sebab tidak mungkin perbuatan jelek itu tidak berakhir dengan kejelekan yang diakibatkan dari kesewenang-wenangan dan keculasan kita).
            Novel PPR yang mengetengahkan kearifan lokal dan pelestarian lingkungan sungguh suatu karya yang patut diapresiasi mengingat penggalakan budaya lokal serta kampanye penghijauan.
Melestarikan alam memang tidak mudah. Butuh niat yang teguh, semangat, dan yang paling penting adalah praktik. Namun, dengan kekuatan cinta, hal tersebut tidak mustahil untuk dilakukan. Itulah pesan utama sesungguhnya yang disampaikan dalam novel PPR ini. Dipadu dengan jalinan cerita cinta yang berliku, alur yang menarik, dan konflik yang mengharu biru, maka novel ini patut diapresiasi sebagai novel cinta, novel lingkungan, dan juga novel budaya.


Judul               : Pohon-Pohon Rindu (Sebuah Novel)
Pengarang       : Dul Abdul Rahman
Penerbit           : Diva Press (Jogjakarta)
Tahun Terbit  : Juni 2009
Tebal              : 352 halaman
ISBN                : 979-963-791-0
                                               



 

Selasa, 18 Januari 2011

BULUKUMBA, INSPIRASI YANG TAK PERNAH KERING

Musim kemarau kali itu sangat panjang. Padahal bulan-bulan seperti itu biasanya hujan sudah datang. Hanyalah mendung yang sesekali datang menawarkan hujan lalu menghilang.

Matahari terus bersinar seperti mata perempuan jalang. Bumi terus meradang. Tanah mulai gersang. Pohon-pohon meranggas sambil berdiri kaku seperti setan yang dirajam. Binatang-binatang nampak resah karena kepanasan. Rumput-rumput pun mengering seolah dipanggang. Pawang hujan sudah mulai bosan. Mantra-mantranya meminta hujan tak lagi mempan.

“Ini benar-benar kutukan Raksasa Bawakaraeng dan Lompobattang.” Begitulah batin dan prasangka banyak orang. Mereka memang nampak gamang. Di kampung mereka berkali-kali terjadi keangkaramurkaan. Pun tragedi kemanusian. Jadi kemarau panjang bisa saja adalah sebuah peringatan.

Meski demikian, para petani bersahaja Desa Tibona tetap sabar memelihara binatang ternak dan kebun-kebun mereka dengan hati lapang. Meski kemarau panjang membuat tanaman-tanaman mereka mengering, tetapi mereka berusaha menyiram tanaman. Walau mereka harus mengambil air yang jauh di Sungai Lolisan bahkan Sungai Pallangisang.

Di musim kemarau, bagi para petani hanyalah Sungai Lolisan yang menjadi tumpuan dan harapan. Untungnya Sungai Lolisan tetap setia menjadikan petani-petani sebagai kawan. Airnya tidak pernah mengering walau terjadi kemarau panjang.

Warga Tibona sangat percaya bahwa selama penghuni Sungai Lolisan yang berwujud buaya masih ada maka sungai itu tidak akan pernah kering kerontang. Buaya tersebut memang bukan buaya sembarang. Tetapi buaya jelmaan orang. Olehnya itu, untuk menghargai penghuni Sungai Lolisan sekaligus menjaga agar tidak terjadi abrasi, maka petani setempat pantang menebang pepohonan yang tumbuh dipinggir Sungai Lolisan. Tapi kebiasaan itu mulai dilupakan orang. Orang-orang sudah mulai berani menebang pohon di pinggir Sungai Lolisan dengan sembarangan bahkan serampangan.

Agar tak mendapat kutukan dari Raksasa Bawakaraeng dan Raksasa Lompobattang, aku terus berkampanye bahwa warga harus menjaga pohon-pohon di sekitar Sungai Lolisan. Warga juga harus belajar menjaga pohon-pohon serupa masyarakat suku Kajang memperlakukan pepohonan di Tanah adat Kajang. Aku tiada pernah bosan memberikan peringatan walau banyak warga tak mempan diberi peringatan.

---.....

Begitulah petikan dari salah satu novelku yang mengambil setting Bulukumba. Bulukumba buatku adalah tanah inspirasi yang tidak pernah kering meski ditelan misteri waktu, mungkin serupa orang Palestina yang selalu menjadikan Tanah Yerusalem sebagai tanah inspirasi untuk menjadi syuhada. Pun, Sungai Lolisan yang berada di Desa Tibona yang memisahkan antara Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sinjai adalah sungai inspirasi bagiku.

Selalu terkenang akan masa kecilku bersama anak-anak sebaya lainnya. Selepas mengembala hewan ternak, kami bisanya beramai-ramai berenang di Sungai Lolisan. Sungai yang kala itu airnya jernih serupa bersumber dari mata air embun yang dikirim oleh Sang Patotoe dari Boting Langi.

Ada satu peristiwa yang tak akan pernah aku lupakan. Ketika kami asyik-masyuk berenang di Sungai Lolisan suatu sore. Aku yang tidak pandai berenang tiba-tiba dikabarkan tenggelam, bahkan konon menurut cerita salah seorang teman, aku ditenggelamkan oleh seekor buaya penjaga Sungai Lolisan. Kejadian itu membuat gempar seluruh penduduk Desa Tibona, cuma kakekku seorang yang tidak pernah resah.

Konon pada malam sebelum kejadian menggemparkan tersebut, kakekku bermimpi didatangi oleh adik kembarnya yang mewujud menjadi seekor buaya dan menjadi penghuni tetap Sungai Lolisan. Adik kembarnya berkata padanya, “Daeng! Aku teramatlah rindu untuk menimang cucuku, biarkanlah ia semalam bersamaku.”

Esoknya aku ditemukan terdampar di pinggir Sungai Lolisan. Konon petani yang pertama kali menemukan diriku melihat bahwa aku dijaga oleh seorang kakek yang berjenggot putih. Tetapi ketika petani dan penduduk Tibona mendekat ingin melihat keadaanku tiba-tiba kakek berjenggot putih itu menghilang. Aku pun ditemukan dalam keadaan sehat wal’afiat, sedangkan goresan kecil menghiris tubuhku tak ada, apalagi luka. Bahkan penyakit kudis yang tumbuh di kakiku kala itu menghilang, bahkan tak ada bekasnya sama sekali.

Konon menurut teropong kakekku, adik kembarnya tersebut sengaja menyembunyikan diriku untuk memberiku kekuatan fisik, ketika aku masih kecil memang sering sakit-sakitan. Selepas peristiwa itu, memang aku tidak pernah lagi sakit-sakitan hingga sekarang. Alhamdulillah!

Itulah kisah masa kecilku di Bulukumba yang selalu menjadi kenangan, bahkan masih menjadi renungan, apa iya aku memang disembunyikan oleh kakekku yang konon mewujud jadi buaya itu. Itulah sebabnya di kalangan teman-teman masa kecilku di Tibona Bulukumba dulu, aku sering dipanggil sebagai “Lelaki Buaya”. Tapi aku kira panggilan tersebut bukanlah bermakna negatif.

Aku yakin, aku termasuk lelaki Bugis Bulukumba yang sangat setia dan menghormati perempuan. Kalau lah ada yang mengalahkan kesetiaanku pada perempuan, paling-paling cuma dua sastrawan muda Bulukumba berbakat yaitu: Anis Kurniawan dan Andhika Mappasomba.

---...

Bulukumba. Memang buatku selalu meluah hibah, meluah rindu yang tiada terperikan. Bahkan ketika aku berada di Malaysia, khususnya di Kedah bagian utara, aku serasa berada di Bulukumba. Pohon-pohon karet di Kedah Darul Aman serupa pohon-pohon karet di Bulukumba. Bedanya, pohon-pohon karet di Bulukumba kadangkala kejam dan tidak bersahabat dengan para petani.

Sewaktu kejadian tragis meninggalnya dua petani di Bulukumba pada tragedi Senin Berdarah 21 Juli 2003 saya berada di Kedah Darul Aman dan menangis mendengar Bulukumba Darul “tak” aman. Mengenai gugurnya dua pahlawan petani Barra bin Badulla dan Ansu bin Musa menginspirasiku menulis novel “Pohon-Pohon Meranggas”.

Dibanding dengan beberapa kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan, termasuk Sulawesi Barat, Bulukumba termasuk daerah yang gudangnya penulis-penulis bertalenta. Bahkan seingatku fiksi pertama yang aku baca yang ditulis oleh orang Sulawesi Selatan adalah “Pulau”.

Sebuah novel bersetting Bulukumba yang ditulis oleh sastrawan asal Bulukumba, Aspar Paturusi. Sekarang ini, penulis-penulis Bulukumba aku lihat semakin menggeliat, semoga saja tidak menggeliat khianat. Tapi setidaknya dengan adanya dua orang generasi yang tumbuh bersama Daun-Daun Kelor, Anis Kurniawan, dan Andhika Mappasomba, saya yakin geliat sastra akan semakin kentara di Bulukumba. Ya, dua anak muda itu memang sangat mencintai setengah mati Bulukumba, semoga Bulukumba juga kian menyayanginya.

Aku sendiri mungkin agak membagi cinta, karena meski dilahirkan dari rahim Bunda Bulukumba, aku diasuh oleh Bunda Sinjai dari usia 9 tahun. Bahkan pernah menyusu pada Bunda Malaysia beberapa tahun lamanya. Bunda-bunda tersebut memang amat kusayang.

Ya, aku adalah lelaki Bugis yang menganut filosofi air. Teringat pappaseng kakekku. “Engkau lelaki Bugis anakku. Orang Bugis itu identik dengan air. Air itu akan membentuk seperti tempatnya. Ditaruh di baskom membentuk baskom, ditaruh di bejana bundar membentuk bujana bundar, ditaruh di kolam bentuk segiempat membentuk kolam segiempat, ditaruh di tempat yang lonjong membentuk lonjong.” Meski begitu, tanah, air, angin, jagung, padi Bulukumba membentuk embrio tubuhku. Tubuh yang kemudian mengikuti jejak kisah orang-orang bugis, Pasompe.

---...

Rinduku kepada Bulukumba memang serupa anak kecil yang begitu merindu kepada ibunya. Bulukumba memang adalah ibuku, ibu pertiwiku. Aku menyusu dan tumbuh di sebuah kampung kecil Tibona di ibu pertiwi Bulukumba itu. Tentu saja sebagai anak yang terlahir dari rahim bunda pertiwi Bulukumba punya harapan-harapan kepada ibunya yang kian hari kian cantik nan menarik. Sayang, kulihat bunda pertiwiku Bulukumba kadang memandang sebelah mata pada kami anak-anaknya yang dengan semangat berdarah-darah memilih jalan sebagai sastrawan.

Akh! Aku kira bukan salah Bunda Bulukumba mengandung kami, pun bukan maksud Bunda Bulukumba memandang sebelah mata pada kami. Hanya saja Bapak yang mengawini Bunda lewat pesta demokrasi setiap lima tahun sekali tidak peka terhadap airmata Bunda Bulukumba yang sesungguhnya iba terhadap nasib anak-anaknya seperti kami.

Bukankah kami (para penulis) adalah duta-duta Bunda Bulukumba untuk memperkenalkannya pada dunia luar? Sayang sekali mata Bapak yang jalang hanya mementingkan dirinya sendiri, mementingkan kekuasannya sendiri. Semoga saja kali di tahun 2010, Bapak yang berhasil mengawini Bunda Bulukmba pada pesta demokrasi yang berlangsung dua putaran memberi kami “pena” dan “tinta” untuk terus menulis Bunda.

Sebenarnya kami bukanlah anak-anak yang cengeng yang hanya meluah hibah untuk mendapatkan hibah! Sama sekali bukan itu. Kami hanya butuh perhatian seperti anak-anak Bunda Bulukumba yang lain. Minimal Bapak yang mengawini Bunda Bulukumba kali ini memperhatikan kami. Bukan memperhatikan nasib kami.

Kami sudah bernasib baik. Tetapi memperhatikan dan mendukung kemajuan profesi kami. Akh! Tiba-tiba aku seperti mendengar Bapak bertanya, “Bagaimanakah cara kami memperhatikanmu anakku?” Aku sudah menyusun jawaban buat Bapak. “Tolonglah Pak, temani kami berkampanye BULUKUMBA KOTA SASTRAWAN. Ingat juga Bapak! Bagikanlah buku-buku karya kami pada masyarakat Bulukumba agar mereka juga mengetahui sastrwan-sastrawan yang dilahirkan dari rahim Bunda Bulukumba.”

Kajang, Selangor Malaysia, 22 Agustus 2010

Dul Abdul Rahman. Lahir di Desa Tibona, Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba. Bekerja sebagai sastrawan, peneliti, dan dosen. Tulisan-tulisannya tersebar di media nasional dan lokal di Indonesia dan Malaysia.

Buku-buku sastranya yang sudah terbit:

1. Lebaran Kali Ini Hujan Turun (Kumpulan Cerpen, Makassar 2006);
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Jogjakarta 2009);
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Jogjakarta 2010);
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Jogjakarta 2010).
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Jogjakarta 2010)

Novelnya Pohon-Pohon Rindu sudah dijadikan rujukan penulisan skripsi oleh mahasiswa, sedangkan Daun-Daun Rindu dijadikan rujukan oleh seorang mahasiswa program doctor Universiti Malaya yang melakukan penelitian hubungan Indonesia-Malaysia (lebih spesifik hubungan Bugis-Melayu).