Sabtu, 26 Maret 2011

REFLEKSI BUDAYA NOVEL "POHON-POHON RINDU"

REFLEKSI BUDAYA NOVEL "POHON-POHON RINDU"
Oleh: Muhammad Rusmin (Dosen STMIK AKBA Makassar, Pecinta sastra sufistik)


Membaca novel Pohon-Pohon Rindu karya Dul Abdul Rahman seolah mengajak kita untuk sejenak kembali menelusuri jejak-jejak kehidupan era awal tahun 90-an. Betapa tidak, munculnya nama-nama selebritis yang populer pada masa itu yang menghiasi novel tersebut semakin menguatkan setting era awal tahun 90-an.

Ketika membaca novel tersebut, saya seperti membaca sebuah autobiografi dari sang pengarang. Saya menduga-duga (atau memang demikian kenyataannya), nama Beddu Kamase yang merupakan tokoh sentral dari cerita tersebut tidak lain adalah sang penulis novel itu sendiri. Bukankah Beddu Kamase itu merupakan arti dari Abdul Rahman dalam bahasa Bugis.

Hal ini kemudian menimbulkan sebuah tanda tanya besar pada saya. Apakah sosok Andi Masniar atau Nia dalam cerita benar-benar ada (walaupun mungkin dengan nama yang lain) dan memang pernah hadir mengisi relung-relung qalbu sang penulis? Ataukah itu semata-mata murni imajinasi dari penulis? Jika memang Nia pernah ada, sebegitu dalamkah kesan yang ditancapkan ke dalam qalbu penulis sehingga sampai saat ini sang penulis sulit menemukan sosok yang dapat menggantikan posisi Nia di dalam ruang qalbunya? Apakah hal ini yang menyebabkan penulis masih betah mempertahankan status jomblonya seperti saya?

Semua pertanyaan-pertanyaan di atas biarlah sang Penulis sendiri yang menjawabnya. Pada kesempatan ini saya hanya ingin sedikit memberikan sebuah catatan kecil terhadap kesan-kesan yang saya dapatkan setelah membaca novel tersebut.

Tentang Cinta

Cinta memang adalah sesuatu yang tidak akan pernah habis untuk dibicarakan. Mulai dari para filosof, sastrawan hingga pada level ksata tersendah cinta merupakan suatu hal sangat menarik untuk dibicarakan. Ribuan karya dan tulisan-tulisan telah dihasilkan dari tema tentang cinta. Romeo and Juliet dan Layla Majnun adalah dua karya besar tentang cinta yang tak pernah lekang oleh waktu.

Begitu juga dalam novel ini, kembali mengulas dan membahas tentang cinta. Akan tetapi, novel ini mencoba mengulas cinta dari sisi lain. Dalam novel ini, cinta diartikan sebagai keinginan untuk berkorban, melindungi serta mengayomi orang yang kita cintai. Perasaan cinta tidak harus diaktualkan dalam bentuk hubungan pacaran sebagaimana persepsi kebanyakan orang sekarang. Perasaan cinta dapat diwujudkan dalam sebuah bentuk persaudaraan yang saling mendukung dan membantu sebagaimana kisah cinta antara Beddu Kamase dan Andi Masniar dalam novel ini.

Cinta adalah keinginan untuk memberi dan tidak memiliki pamrih untuk memperoleh balasan dari yang dicintainya. Oleh karena itu keagungan cinta tidak harus ditunjukkan menyatunya dua hati dalam satu ikatan suci. Cinta tidak selamanya harus selalu bersama karena cinta tidak selamanya harus saling memiliki. Itulah makna cinta yang dapat kita petik dari kisah cinta Beddu Kamese dan Andi Masniar.

Tentang Alam.

Mencintai alam sama dengan mencintai ibu kita sendiri itulah pesan kuat yang saya dapatkan ketika membaca novel ini. Novel ini memang bukan sekedar novel percintaan. Tetapi novel ini mengajak kita untuk selalu peduli kepada alam sekitar kita.

Pesatnya laju pertumbuhan ekonomi memang memaksa terjadinya perkosaan terhadap ibu pertiwi. Hutan-hutan nan hijau dan rimbun, kini telah tergantikan dengan berdirinya hutan-hutan beton yang kokoh menjulang. Perkembangan memang tidak bisa dihindari, tetapi apakah itu lantas menjadi sebuah alasan bagi kita untuk tidak lagi memedulikan alam sekitar kita.

Membaca novel Pohon-Pohon Rindu membuat saya kembali merindukan sentuhan kesejukan udara di pagi hari. Merindukan kicauan burung-burung pagi hari yang bersenandung merdu. Merindukan suasana hamparan sawah yang menghijau. Semuanya seolah berpadu menjadi sebuah simfoni indah dalam sebuah orkestra alam semesta.

Ibu dan Pertiwi adalah dua hal yang memang harus kita sayangi karena dari keduanyalah sumber cinta dan kasih sayang yang suci.

Tentang Budaya

Salah satu hal yang paling menarik dari novel ini adalah keberanian penulis dalam mengangkat budaya dan kearifan lokal. Ini adalah novel berlatar budaya Sulawesi Selatan yang diterbitkan oleh penerbit nasional yang pertama saya baca. Sebab selama ini novel-novel budaya lokal yang saya baca hanya di terbitkan oleh penerbit lokal juga.

Dalam berbagai diskusi-diskusi kecil dengan kawan-kawan, kami mengambil kesimpulan bahwa salah satu yang dapat mengurangi ekses-ekses negatif arus globalisasi dan informasi adalah budaya dan kearifan lokal. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai cara untuk penguatan kembali nilai-nilai kearifan dan budaya lokal. Apalagi saat ini ada kecendrungan dari generasi muda untuk melupakan (kalau tidak mau dikatakan meninggalkan) budaya lokal karena tidak mau dikatakan ketinggalan zaman.

Saya kira novel Pohon Pohon Rindu ini adalah suatu cara yang dilakukan oleh penulis agar kita mau sejenak kembali menengok dan mengapresiasi budaya lokal. Hal ini saya anggap merupakan sebagai langkah awal dalam penulis untuk menguatkan kembali nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Hal ini jelas terlihat dengan munculnya berbagai falsafah hidup yang menjadi pedoman hidup orang Bugis dalam novel tersebut. Begitu juga pesan-pesan moral dalam bahasa Bugis begitu jelas tergambar dalam novel ini. Dan untuk hal ini saya menyatakan rasa salut dan bangga saya kepada penulis novel ini yaitu: Bapak Dul Abdul Rahman.

Harapan saya ke depan, nantinya pada novel kedua nanti betul-betul budaya dan kearifan lokal Sulawesi Selatan digali lebih dalam lagi. Sehingga siapapun yang membaca novel itu nantinya akan dapat lebih mengenal lagi nilai-nilai yang merupakan pedoman hidup orang Sulawsi Selatan khususnya Bugis-Makassar.

Bahkan saya sangat mengaharapkan agar nilai-nilai tersebut menyatu dalam diri tokoh Beddu Kamase sehingga orang dapat mengetahui bahwa begitulah sosok LELAKI BUGIS.

(Dimuat di Kolom Budaya Harian Fajar Minggu, 30 Agustus 2009)

Sabtu, 19 Maret 2011

EPITAF CINTA POHON-POHON RINDU
Oleh: Sultan Sulaiman*

Ada gadis berjilbab hijau muda, jari manis terkalung cincin emas, memusatkan tatap pada satu titik. Entah pada siapa dia menatap. Ada pohon, hijau tua bercampur lembayung. Ada gelap, ada kupu-kupu. Seorang lelaki berdiri tepat di depan makam. Nisan kayu mengukir satu nama “Nia”. Sebuah artikulasi dinamis, mengusung logika eksotisme. Yang melihat, mungkin akan terpukau pada sampul Pohon-Pohon Rindu. Penulisnya, Bang Dul Abdurrahman menghadiahkannya untukku. Menuliskan sebaris kalimat. “Buku ini semoga jadi inspirasi buat Dinda.”



Hijau dan Lokalitas
Menjajaki dua puluh dua bab novel Pohon-Pohon Rindu membuat saya berdecak kagum. Keberanian penulis menggarap tema lingkungan dengan bauran lokalitas yang kental memberikan sentuhan berbeda. Ada kepekaan insting dengan melakukan rekonstruksi terhadap tema-tema mapan yang selama ini digarap banyak penulis. Paduan ini, meruntuhkan dominasi bahasa dan tema tulisan yang banyak berkiblat pada patron jawasentris atau etnis lain, bahkan mungkin merujuk barat, eropa, sampai timur tengah. Patron itu punya identitas sendiri. Tak jarang ditiru, bahkan dimanipulasi amat ekstrim oleh penulis yang memburu aktualisasi bahkan materi. Tiru-meniru sesaki dunia kepenulisan. Tak ada yang betul berani dan kreatif mengeksplorasi ide baru.
Tema hijau (lingkungan) dan lokalitas (kearifan lokal) sebenarnya sudah lama disentuh penulis masa lalu. Sebelum aktivis lingkungan meneriakkan slogan anti pembalakan, sebelum global warming menjadi isu populis, penyair telah mewanti dengan memasukkan nuansa hijau dan lokal dalam karyanya. Ini pernah saya bahas dalam satu bahasan Sastra Hijau dan Kearifan Lokal.
Kembali ke Pohon-Pohon Rindu. Bang Dul sukses melakukan eksplorasi kultur Bugis-Makassar. Mengambil latar SMA Bikeru Sinjai dengan tokoh yang kental dengan identitas lokalnya. Nama Beddu Kamase dan Andi Masniar disuguhkan sebagai tokoh utama, berimprovisasi dengan empat tokoh lain. Ada Anton, Dayat, Hutbah, dan Umar. Novel ini bercerita sahabat yang hadir dengan karakternya masing-masing. Memiliki misi kepedulian lingkungan dengan Kelompok Pecinta Alam (KOMPITA). Bang Dul tak segan menyuguhkan istilah daerah (Kearifan lokal Bugis-Makassar) dan tak canggung menyebut setting ceritanya yang tidak populis. Inilah sisi berani yang dimiliki penulis. Penulis memotret Sinjai secara utuh sampai mendeskripsikan kearifan lokal suku Kajang Bulukumba. Penulis secara langsung memperkenalkan filosofi Bugis-Makassar. Nilai-nila lokal berupa alempureng (kejujuran), amaccang (kearifan), asitinajang (kepatutan), agettengeng (keteguhan), reso (usaha) dan siri (harga diri).
Secara sadar, Bang Dul menghadirkan kearifan lokal sebagai rangkaian filosofi hidup yang harus dipegang teguh. Lokalitas dijadikan wahana dalam mengusung globalitas. Lokalitas yang superior memiliki andil dalam mengusung kearifan global. Di sini, kultur, etnisitas, suku, budaya, adat-istiadat memiliki porsi yang sama dalam bangunan globalitas yang dimaksud. Tak arif jika ada yang dipandang sebelah mata. Bahasa Bugis-Makassar bisa tonji pas didengungkan.

Melodrama! Serupa Epik Laila Majnun
“Pagi-pagi sekali, aku tiba di pusara kekasihku. Aku bersimpuh luluh di depan pusara perempuan yang amat kucinta itu. Air mataku menetes. Air mata kerinduan. Air mata perpisahan. Aku menunduk menangis sambil mengusap batu nisannya…” (Pohon-Pohon Rindu hal. 347).
Novel ini memang berangkat dari ide lingkungan dan lokalitas, tapi keduanya tak cukup legitimate menghadirkan harmoni dalam cerita. Rasanya tidak lengkap jika kisah cinta tak turut menyuguhkan sentuhannya sendiri. Entah! Kisah cinta terlalu banyak menghipnotis siapa saja, mungkin karena setiap diri memiliki pengalaman otentik, atau merasa berhak mengklaim sebagai tokoh utama yang sering diceritakan. Ini yang mengilhami Bang Dul memblow-up cinta Beddu Kamase kepada Andi Masniar. Ini menarik.
Beddu Kamase adalah penulis sendiri. Asumsi ini tidak mengada, Bang Dul mengaku jika novel ini 99% pengalaman pribadi. Saya menelusuri liku hidup yang dijalani penulis, termasuk romansa cintanya. Apakah ini sebab mengapa Bang Dul belum juga melengkapi rusuknya? Ya! Mungkin saja, cinta memang selalu punya dua sisi, ada bahagia juga lara. Terlalu pahit mengisahkan cinta yang tak bermuara pada pertemuan. Tak cukup bertemu dan mengajak tangan bertepuk, selanjutnya harus dipatenkan dalam ikrar sakral pernikahan. Ini yang dialami Beddu Kamase pada Nia. Sayang pertemuan itu berujung dramatik, terlalu sendu bagi dua hati yang terpaksa terpisah. Kisah klasik yang cantik.
Saya persembahan syair Majnun yang merengkuh mimpinya di sebuah pusara kusam bertuliskan nama “Laila”. Kisah Pohon-Pohon Rindu, akhirnya kutaksir punya kemiripan dengan Laila-Majnun.
“Sepasang kekasih terbaring dalam kesunyian. Disandingkan di dalam rahim gelap kematian. Sejati dalam cinta, setia dalam penantian. Satu hati, satu jiwa, di dalam surga keabadian.” (Puisi Majnun buat Laila).

Suguhan Sederhana dan Sebuah Pencarian
Deskripsi Pohon-Pohon Rindu terbilang sederhana. Gaya berutur yang biasa membuat novel ini renyah, walau gaya penulisannya tak terlalu popolis (dipengaruhi background Bang Dul sebagai praktisi Sastra yang sering menulis non-fiksi). Kesederhanaannya tak mengurangi bobot pesan yang ingin disampaikan. Beragam pesan bisa ditemukan, dan itu mengajak diri berkontemplasi. Novel ini masuk kategori novel putih. Suguhan teks kitab suci yang dikutip penulis mematenkan klaim tersebut.
Secara tekstual, novel ini menyingkap siapa sosok Dul Abdul Rahman. Karakter penulis bisa dilihat dari yang ditulisnya. Ada sebuah pencarian luar biasa yang dilakukan. Bisa ditakar, penulisan novel ini bukanlah laku spontanitas, tapi berangkat dari konsep dan pustaka yang memadai.

Terikat Hati pada Dia yang Mati
Akhirnya! Pohon-Pohon Rindu ingin berkisah tentang prasasi cinta. Dua anak manusia terlanjur merajut ceritanya. Cerita itu bukan hanya mengisahkan pertemuan anak manusia, tapi keikutsertaan alam dalam mencipta romantika belantara yang harus terus terjaga. Kalau akhirnya perpisahan menjadi tanda mata, tak salah menitip harapan pada pemilik-Nya.
“Allah! Engkau tahu. Hati ini telah berkumpul dalam cinta-Mu. Bertemu dalam taat-Mu. Bersatu menyeru dan berjanji setia berjuang di jalan-Mu. Kuatkan ikatannya dan abadikan cintanya. Tunjukkan jalan-Mu dan limpahkan cahaya-Mu yang tak pernah padam…” (Doa Pengikat Hati Hasan Al-Banna)
Seperti ingin Nia, seperti nurani yang menginginkan panorama terus terjaga. Membawa diri pada pemaknaan cinta holistik jauh lebih arif. Alam raya bagian dari relasi cinta yang perkasa. Malam terikat siang, gunung memadu kasih dengan tanah, langit bercermin pada laut, ada pepohonan yang menjulang, menitip pesan pada hujan, air jatuh menyiramkan kasih sayangnya. Tuhan tersenyum, menaburi keberkahan lewat sayap-sayap malaikat. Epitaf cinta terpahat pada Pohon-Pohon Rindu, biarkan cinta terus abadi.
“Jika Kakak kangen pada Nia, maka tataplah pepohonan yang rindang serta hutan yang menghijau, karena Nia akan menjelma pepohonan. Maka jagalah pepohonan itu Kak. Lalu mohonlah pada pohon-pohon rindang itu agar cinta kita juga lestari.” (Pohon-Pohon Rindu 348).

*Ketua Forum Lingkar Pena Sulawesi Selatan
sulaiman.putra@gmail.com

Sumber tulisan: HARIAN FAJAR MAKASSAR
SASTRA DAN LINGKUNGAN
Oleh: Dul Abdul Rahman
(Pengarang novel bertema lingkungan “Pohon-Pohon Rindu”)

Tak bisa dipungkiri bahwa lingkungan kita saat ini masuk dalam kategori krisis. Banyaknya bencana alam yang menimpa negeri ini karena alam dijamah dengan serakah oleh manusia yang berwajah tak ramah. Jamak manusia terlalu tamak mengeruk hasil hutan untuk kepentingan pribadi. Mereka tidak sadar bahwa ulahnya itu akan menimbulkan amarah alam di kemudian hari. Banjir bandang, erosi, longsor, adalah bahasa alam untuk menegur manusia yang kadang tak berperikemanusiaan dan berperikealaman.

Dengan amarah alam itu, maka krisis lingkungan terjadi di berbagai aspek, seperti krisis air, tanah, udara, bahkan krisis iklim. Bukan hanya itu, pun terjadi krisis lingkungan biologis dan lingkungan sosial. Krisis lingkungan biologis terjadi dengan tidak produktifnya lahan-lahan pertanian, pun punahnya flora dan fauna berupa satwa-satwa langka disekitar kita seiring dengan semakin menipisnya hutan.
Itulah akibat dari eksploitasi lingkungan yang semena-mena tanpa memikirkan efek yang akan ditimbulkannya kelak. Fenomena seperti ini seharusnya menyadarkan kita akan pentingnya menjaga dan “menghormati” lingkungan sekitar kita. Semua pihak seharusnya berperan mendorong sikap menjaga lingkungan, termasuk para sastrawan.
Untuk itu, saya mencoba mengemukakan gagasan-gagasan pelestarian lingkungan, khususnya menjaga hutan dalam novel saya Pohon-Pohon Rindu(PPR). Ada beberapa hal yang perlu dikemukakan dalam novel tersebut.

Pertama

Kampanye mencintai hutan dan lingkungan sekitar seharusnya dilakukan secara dini. Kalau di perguruan tinggi kita menjumpai organisasi pencinta alam semisal KORPALA (Korps Pencinta Alam), MAPALA (Mahasiswa Pencinta Alam), atau apapun namanya. Maka sebaiknya organisasi semacam ini harus diaktifkan pada siswa-siwa SMU. Hal ini dimaksudkan agar gerakan mencintai alam dan lingkungan mengakar di daerah-daerah dimana terletak hutan-hutan yang perlu dijaga dan dilestarikan. Dalam PPR, sekolompok siswa membentuk kelompok pencinta alam yang disebut Kompita. Program utamanya adalah menjaga hutan.

“Kami peduli Hutan Lindung Balang. Setiap hari minggu, kami menyusuri Hutan Lindung Balang. Setiap ketemu warga, kami memberikan pengarahan mengenai betapa pentingnya menjaga kelestarian hutan. Kami menjelaskan bahwa hutan sangat berperan dalam menjagaa ekosistem alam. Hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia. Hutan menjaga kestabilan udara. Di samping itu, hutan mencegah terjadinya banjir bandang. Intinya merusak hutan berarti merusak kehidupan itu sendiri.” (PPR hal 89)

Kedua

Local wisdom(kearifan lokal) harus diperhatikan. Termasuk penamaan dari hutan itu sendiri menjadi “hutan lindung”. Istilah ini sebaiknya diganti menjadi “hutan adat”. Alasannya karena nama hutan lindung tidak “angker” di mata masyarakat setempat. Bahkan hutan lindung kadang dipelesetkan menjadi hutan yang tak dilindungi. Sedangkan penamaan hutan adat membuat warga tidak berani merusak hutan karena menyangkut adat-istiadat. Bahkan bila ada orang luar ingin merusak hutan maka warga setempat menjaganya karena berhubungan dengan adat istiadatnya.

“Menurut pendapatku, sebaiknya pemerintah tidak lagi memakai istilah hutan lindung, tetapi diganti saja dengan istilah hutan adat. Nama hutan adat lebih sakral daripada hutan lindung. Aku yakin, masyarakat takut membabat hutan adat karena terkait dengan hukum adat dan mitos setempat, sedangkan hutan lindung cuma penamaan saja, bahkan kadang tidak terlindungi.” (PPR hal 205)

Ketiga

Belajar pada kearifan orang Kajang di Bulukumba dalam menjaga dan memperlakukan hutannya.
“Masyarakat boleh menebang pohon di hutan, tetapi harus ada izin dan pertimbangan dari ammatoa dulu, karena hutan dan pohon terkait pasang, pertimbangan dari ammatoa mencakup jumlah, ukuran, tujuan penggunaan, serta jenis kayu yang akan diambil. Masyarakat yang menebang pohon harus menggantinya. Setiap penebangan satu pohon harus diganti dengan menanam dua pohon yang sejenis di lokasi yang ditentukan oleh ammatoa. Masyarakat yang sudah diberi izin menebang pohon diawasi oleh orang-orang kepercayaan ammatoa, tetapi ada kawasan hutan yang tak boleh ditebang sama sekali yaitu borong karamaya.” (PPR, hal 194)

Keempat

Memaknai bahwa bumi adalah ibu yang harus dicintai.
“Ibu dan ibu pertiwi adalah dua hal yang harus disayang karena dari keduanyalah sumber cinta dan kasih sayang yang suci. Agar seorang anak tumbuh dengan sehat dan cerdas, ia harus menyusu pada ibu. Dan, bila anak itu sudah dewasa dan ingin hidup bahagia dan sejahtera, maka ia harus menyusu pada ibu pertiwi. Bila ibu dan ibu pertiwi murka, maka tidak ada lagi kehidupan. Dan, yang paling harus dicamkan oleh semuanya adalah bahwa murka ibu dan murka ibu pertiwi merupakan murka Tuhan.” (PPR hal 237)

Kelima

Mengkampanyekan bahwa bumi itu adalah perempuan yang harus dijunjung tinggi. Sehingga seorang perempuan menjaga hutan karena sama dengan menjaga eksistensi dirinya sendiri. Pun kaum adam menjaga hutan karena sama dengan menjaga isteri, ibu, atau kekasihnya sendiri.
“Perempuan lebih menjiwai perannya sebagai anggota Kompita (Kelompok Pencinta Alam) karena alam identik dengan perempuan. Umar mengatakan bahwa alam memang berjenis kelamin perempuan. Buktinya, kita hanya menyebut ibu pertiwi bukan bapak pertiwi, atau ibu kota bukan bapak kota.” (PPR hal 95-96)

Keenam

Memaknai secara filosofis bahwa hutan adalah sosok kekasih yang harus dicintai dan dijaga keberadaannya.
“Aku berjanji akan menjaga dan melestarikan kawasan Hutan Lindung Balang sebagai tempat peristirahatanmu yang terakhir duhai cintaku. Aku akan menjaga seluruh hutan di Sinjai, bahkan di seluruh Indonesia dan dunia yang akan aku kunjungi kelak. Jangan lagi ada penggundulan hutan di sini. Jangan lagi ada penggundulan hutan di sana. Jangan lagi ada banjir bandang di sini. Jangan lagi ada banjir bandang di sana. Jangan lagi ada air mata yang membandang karena tertimpa banjir bandang. Maka tersenyumlah duhai pepohonan. Tersenyumlah duhai hutan. Tersenyumlah duhai kekasihku.” (PPR hal 349)

Begitulah, semoga saja poin-poin yang penulis ungkapkan di atas bisa menjadi bahan pertimbangan bagi siapa saja. Karena peran sebagai penjaga lingkungan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama sehingga kita bisa mendapatkan lingkungan yang baik sebagaimana tertera dalam UU RI No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai berikut.

1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dan pengelolaan lingkungan hidup.

Menutup tulisan ini, sebagai “penjaga lingkungan”, mari mencamkan dialog Tuhan dengan Malaikat yang tertera dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman pada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Malaikat berkata: “Mengapa Engkau akan menjadikan khalifah di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”


Semoga saja kita bukan khalifah yang sejak awal sudah diwanti-wanti oleh malaikat untuk membuat kerusakan di bumi ini. dulabdul@gmail.com.

Sabtu, 12 Maret 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 7 SUNGAI BEJO)

7. SUNGAI BEJO

Kompita mempunyai banyak program. Selain menjaga Hutan Lindung Balang, Kompita juga mempunyai program mengunjungi tempat-tempat bersejarah atau tempat-tempat terkenal di Sinjai. Aku mengusulkan tempat pertama yang dikunjungi adalah Sungai Bejo karena sungai itu berlokasi masih di kawasan Hutan Lindung Balang. Lagi pula, Sungai Bejo dianggap keramat oleh penduduk setempat bahkan banyak penduduk dari daerah-daerah lain berkunjung ke Sungai Bejo.
Sungai Bejo amatlah kecil untuk dikatakan sebuah sungai. Bila dibandingkan dengan Sungai Apareng yang merupakan sungai terpanjang di Sinjai, ataupun sungai-sungai lainnya seperti Sungai Manggottong, Sungai Pangesoreng, atau Sungai Garaccing, maka Sungai Bejo hanyalah sepersepuluhnya saja. Penduduk sekitar hanya menyebut Sungai Bejo sebagai calo-calo. Biasanya sungai sekecil Bejo bila ingin dilewati, cukuplah dilompati saja. Tapi tidak ada yang berani melewati Sungai Bejo dengan melompat. Mereka khawatir lompatannya tidak sampai lalu terperosok masuk ke sungai yang dalam. Meski tidak luas, Sungai Bejo sangat dalam, bila ingin melewatinya kita harus hati-hati melihat batu besar sebagai pijakan.
Sewaktu masih di Madrasah Ibtidaiyah dulu, aku bersama teman-temanku, Dayat, Anton, dan lain-lainnya, minus Hutbah dan Umar, suka bermain di Sungai Bejo karena airnya yang jernih. Kita bisa melihat ikan-ikan yang berenang. Ikan yang paling banyak adalah ikan lele dan ikan mujair. Tapi tentu saja bila ingin ke Sungai Bejo kami harus main kucing-kucingan dulu dengan orang tua kami. Pun dengan penduduk yang tinggal di sekitar jalan menuju Sungai Bejo. Sungai Bejo memang tidak menusuk ke arah perkampungan, tapi ke arah Hutan Lindung Balang. Pun udiknya masih kawasan hutan. Mungkin itulah penyebab sehingga air Sungai Bejo sangatlah jernih. Sungai Bejo bermuara di Sungai Apareng, sungai yang terkenal galak bila musim penghujan tiba. Meski Sungai Bejo bermuara di sungai Apareng, tetapi buaya-buaya penghuni Sungai Apareng yang terkenal galak tidak sudi memasuki Sungai Bejo. Maka amanlah Sungai Bejo dari para buaya.
Tapi bukan itu yang membuat orang tua kami melarang kami bermain ke Sungai Bejo. Sungai Bejo dianggap keramat oleh penduduk setempat, bahkan dari daerah-daerah lain. Konon, di Sungai Bejo terdapat seekor ikan besar yang dianggap bertuah dan keramat. Ikan itu adalah ‘penunggu’ Sungai Bejo, dan seluruh ikan yang ada di sungai itu berada dalam kekuasaannya. Banyak orang yang berkunjung ke sungai itu dengan berbagai macam hajat. Konon, bila seseorang pergi ke sungai itu memberi makan ikan besar itu, maka hajatnya akan tergapai. Ada yang sengaja ke sungai itu supaya cepat kaya. Ada juga muda-mudi berkunjung agar jodohnya tak mutung. Pun ada yang berkunjung ke tempat itu berharap naik haji secepatnya, biar cepat-cepat dipanggil puang haji.
Jalan menuju Sungai Bejo hanya satu, terletak di Joalampe tempat tinggal Puang Sanro. Bila ingin ke Sungai Bejo, haruslah lewat depan rumah Puang Sanro dan harus seizin Puang Sanro. Hanya Puang Sanro yang bisa menemani para pengunjung ke Sungai Bejo untuk menemui ikan besar itu. Memang hanyalah Puang Sanro yang bisa mendatangkan ikan itu. Sepertinya Puang Sanro dan ikan besar itu sudah sepaham, sehati malah. Tentu saja orang-orang yang punya hajat yang berkehendak bertemu ikan itu harus menyiapkan beberapa menu persembahan seperti songkolo tiga warna; hitam, putih, dan merah. Ketiga jenis songkolo itu dibuatkan tempat terpisah, kemudian masing-masing dilengkapi seekor ayam yang sudah masak dan sudah dibumbui dengan bumbu khas. Hidangan ayam tersebut harus utuh satu ekor. Konon, bila tidak utuh satu ekor, ikan besar itu akan ngambek dan tidak mau memakannya. Lalu tentu saja hajat orang yang berkunjung tidak akan terkabulkan.
Awalnya, teman-temanku takut berkunjung ke Sungai Bejo khususnya kelompok perempuan, mereka takut jangan sampai penjaga Sunga Bejo marah dan akan membuat mereka kesurupan. Hutbah khawatir kalau Puang Sanro tak mengizinkan, tapi aku mengatakan tak perlu minta izin sama Puang Sanro, kita menuju Sungai Bejo bukan lewat Joalampe tapi menyusuri pinggir Hutan Lindung Balang. Misi utama berkunjung ke Sungai Bejo untuk melihat langsung keadaan Sungai Bejo apakah masih seperti yang dulu semasa kami sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Buludatu.
Dari berlima berteman akrab, Dayat, Anton, dan aku tidak percaya dengan kekeramatan Sungai Bejo, hanya Hutbah dan Umar yang nampaknya percaya. Boleh dikata memang kami bertiga sebagai konseptor utama dari pertemanan kami. Aku telah bersepakat bertiga dengan Dayat dan Anton untuk membiarkan Umar dan Hutbah percaya kekeramatan Sungai Bejo. Biar mereka sepaham dengan penduduk sekitar. Alasannya karena kami ingin masyarakat di sekitar Sungai Bejo dan Hutan Lindung Balang tetap menganggap Sungai Bejo keramat supaya mereka tidak berani menebang kayu di bantaran Sungai Bejo. Jadi aku pikir mitos keangkeran Sungai Bejo bagi penduduk setempat harus tetap terpelihara agar kawasan itu tak terjamah oleh tangan-tangan tak bertanggungjawab. Soal kemusyrikan, biarlah nanti tokoh agama yang menjelaskannya, bahwa musyrik itu bila datang meminta-minta dan menyembah-nyembah disana. Intinya, kami ingin kawasan Hutan Lindung Balang dan Sungai Bejo tak banyak dikunjungi oleh masyarakat, baik untuk menebang kayu apalagi untuk menabung kemusyrikan.
Begitulah, kami anggota Kompita mengunjungi Sungai Bejo pada sutau hari Minggu. Jalan yang kami lalui tidak seperti rencana semula, karena aku sudah negosiasi dengan Puang Sanro bahwa alasan kami ke Sungai Bejo berhubungan dengan mata pelajaran Geografi di sekolah kami. Kami ingin mengetahui struktur alam kawasan Hutan Lindung Balang dan harus lewat Sungai Bejo. Kebetulan ada ponakan Puang Sanro yang bernama Ambo Sakka yang bergabung menjadi anggota Kompita. Ambo Sakka lah yang jadi juru bicara ketika bernegosiasi dengan Puang Sanro. Jadilah kami bertiga belas menuju Sungai Bejo lewat Joalampe di depan rumah Puang Sanro. Pesan Puang Sanro kepada kami supaya tidak macam-macam, seperti tertawa keras, melempar sembarangan di Sungai Bejo supaya perjalanan kami direstui oleh penunggu Sungai Bejo. Puang Sanro tidak tahu bahwa Ambo Sakka yang alumni Madrasah Tsanawiyah juga seperti aku, tidak percaya yang namanya tempat-tempat keramat. Menurutku semua itu hanyalah mitos belaka. Tidak mungkin tempat-tempat itu murka dan memberi celaka.
Sesampai di Sungai Bejo, aku mengusulkan kepada Umar untuk membagi dua tim. Tim A dipimpin langsung oleh Umar yang rutenya menyusuri bantaran Sungai Bejo menuju Hutan Lindung Balang lewat arah timur tembus Jatie, sedangkan aku memimpin tim B menyusuri bantaran Sungai Bejo lewat arah barat. Nanti kami bertemu di arah utara yang berbatasan langsung dengan pemukiman warga, tepatnya di kampung Korong. Nia gadis pujaanku, entah mengapa, ia selalu memilih tim yang ada aku di dalamnya. Kulihat ia sesekali mencuri pandang ke arahku. Mungkin ia masih ingin minta maaf, atau ia ingin mengatakan bahwa aku lebih cakep dari pada kumbang jelek yang ia bayangkan dulu. Akh! Selalu saja aku ge-er kalau mengkhayalkan Nia
Sebenarnya aku mengusul membagi dua tim karena aku punya misi khusus. Aku ingin mengamati langsung tempat Puang Sanro dan para pengunjung yang punya hajat menemui Raja Ikan Bejo. Setelah kami berpisah dengan tim Umar, aku menjelaskan kepada anggota tim tentang misi khususku. Sudah kuduga anggota tim yang kupilih tertantang dengan segala ideku. Sengaja memang aku satu tim dengan Dayat, Anton, dan Ambo Sakka yang tidak percaya dengan tempat-tempat keramat karena kami yakin hal itu cuma mitos yang didongengkan, yang akhirnya melegenda pada masyarakat setempat. Hanya Nia yang agak ragu, meski ia alumni SMP Pesantren, rupanya sikap keperempuanannya yang menonjol sebagaimana kekhawatiran Hutbah dulu sewaktu kami menentukan layak tidaknya perempuan jadi anggota Kompita.
“Kenapa harus takut? Kan ada Beddu.” Anton menggoda Nia.
Seperti biasa wajah Nia merona merah. Aku tak menanggapi sama sekali godaan Anton. Karena dari jauh kulihat Puang Sanro bersama orang-orang yang berhajat menuju ke Sungai Bejo dengan khusyu serta penuh khidmat. Kami mengajak rekan-rekan setim diam-diam mengikutinya. Ada tempat khusus tempat Puang Sanro berkunjung yaitu di bawah pohon garoci yang besar dan lebat. Di sisi kiri sungai itu agak landai dan banyak pohon lebat lainnya selain pohon garoci. Aku mengajak teman-teman mengumpet disitu sambil mengintip ke bawah.
”Hush...! Sst...!”
Aku memberi sinyal diam ketika Nia hampir teriak karena digigit oleh semut hitam. Karena tanah yang agak landai dan Nia hampir terpeleset, aku yang kebetulan berada di bagian bawah menahan tubuhnya. Dan hatiku berdesir-desir manakala aku menahan tubuhnya dengan posisi memeluknya. Lengan Nia memeluk aku dengan kuat. Kulihat teman-teman lain menatap kami heran, seolah tidak paham apa yang terjadi.
”Mengapa kamu tidak menolong Nia.” Semprotku berbisik kepada Dayat.
”Aku kira tadi lagi action.” Dayat berbisik menahan ketawa.
”Sst! Nia hampir terpeleset ke bawah, dan kita hampir ketahuan Puang Sanro.”
Teman-temanku yang lain baru mengerti action tadi. Kulihat Nia masih bersemu merah. Mungkin masih ketakutan karena hampir jatuh atau ia merasa malu karena aku yang menolongnya dengan memeluk tubuhnya. Sekali lagi aku biasa saja, cuma ada getaran-getaran aneh yang diam-diam menyelinap dalam kalbuku. Getaran yang dulu seperti mendapatkan baterai baru. Tapi aku buru-buru menepisnya.
Kami melihat Puang Sanro bersama orang-orang yang berhajat duduk di atas batu besar. Orang-orang yang berhajat lalu membuang telur yang belum matang ataupun yang sudah matang. Lalu ketika ikan besar itu datang, mereka lalu membentangkan kain putih. Orang-orang berhajat beramai-ramai memegang kain putih yang menutupi ikan di bawahnya. Puang Sanro ikut memegang kain putih itu dengan mulut komat-kamit membaca doa atau mantra. Setelah itu, mereka meletakkan sesajian berupa songkolo dan ayam yang sudah masak dipinggir sungai di atas batu besar yang diperuntukkan untuk sang penjaga Bejo. Sebelum mereka meninggalkan tempat, mereka membuat ikatan di batang pohon garoci terlebih dahulu.
“Tenang! Sebentar lagi mereka akan meninggalkan tempat ini.” Aku berbisik kepada teman-temanku sebagai arahan.
“Mereka berhajat, kalau hajatannya terkabul maka mereka akan ke sini lagi melepas ikatan itu.” Ambo Sakka berujar ketika melihat seorang gadis berumur senja ikut mengikat di batang pohon garoci dengan seutas tali dari kain putih.
“Kalau laki-laki itu, untuk apa ia kesini?” Aku bertanya kepada Ambo Sakka, karena ia sepertinya mengenali orang-orang berhajat itu.
“Yang memakai songkok haji itu?”
“Ya.”
“Ia calon anggota legislatif. Mungkin ia berhajat kalau lolos jadi anggota dewan ia berhajat ke sini dan memotong kambing.”
“Akh ada-ada saja.” Aku membatin. Karena aku tahu orang itu adalah calon anggota legislatif dari partai yang mengklaim diri berbasis keagamaan.
Beberapa jenak kemudian para orang-orang berhajat meninggalkan tempat itu di temani Puang Sanro. Itulah saat yang paling tepat buat kami untuk menikmati ‘hidangan’ gratis itu, pikirku. Aku mengajak teman-temanku turun ke bawah untuk menghabisi makanan itu.
”Jangan Beddu, nanti kita sakit dan dikutuk penghuni Sungai Bejo.” Ambo Sakka kelihatan agak khawatir.
”Akh, hanya Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak mungkin ikan tersebut mempunyai kekuatan untuk menentukan nasib seseorang. Ingat! Manusia lebih kuat daripada ikan.”
”Tapi...”
”Tapi apa Ambo Sakka, sejak masih di Madrasah Ibtidaiyah dulu aku biasa melakukannya bersama Dayat dan Anton.” Kulihat Dayat dan Anton tersenyum-senyum mengangguk-angguk dengan gaya khasnya berdua yang lucu dan terkadang kocak.
Akhirnya kami semua menyantap makanan yang sebenarnya diperuntukkan buat Raja Ikan penunggu Sungai Bejo. Sambil menikmati hidangan lezat nan gratis, aku menjelaskan kepada teman-temanku, ”Biarkan mereka percaya bahwa Sungai Bejo memang keramat agar mereka tidak berani lagi menebang kayu di kawasan Sungai Bejo dan Hutan Lindung Balang ini.”
”Tapi mengapa kita membiarkan mereka bersikap musyrik dan menghambur-hamburkan makanan disini, lagi pula banyak dari mereka yang datang dari jauh dengan mengeluarkan uang transportasi yang banyak.” Anton menyela sambil menyikat paha ayam gratis.
”Tidak ada juga ruginya, mereka memang menghabiskan banyak biaya kesini, meski Ikan Besar itu tak punya kekuatan tetapi mereka tetap mendapatkan sesuatu.” Kali ini Dayat yang menjelaskan karena aku sibuk mengobrak-abrik dada ayam yang sangat menantang nafsu makan.
”Maksudnya?” Ambo Sakka menyela.
”Sebenarnya orang-orang berhajat itu hanya butuh sugesti, motivasi dan semangat untuk hidup, dengan berkunjung kesini mereka merasa punya pegangan dan harapan. Mungkin kurikulum pendidikan agama mereka dulu di sekolah tak mengena.”
Kami terbahak-bahak mendengar pendapat Dayat yang sudah berani memasuki wilayah kurikulum sekolah. Tentu saja lucu, karena rata-rata mereka yang percaya akan kekeramatan Sungai Bejo hanyalah orang-orang tua yang tak punya pendidikan. Walaupun banyak dari mereka sudah ke tanah suci dan bergelar Puang Haji, tapi mungkin belum mendapatkan haji mabrur, karena naik haji bagi penduduk kampung umumnya hanyalah simbol kemapanan saja. Orang kampung belum sah disebut sukses kalau belum bergelar Puang Haji. Satu lagi, siapapun dia kalau sudah bergelar Puang Haji pastilah mendapat tempat terhormat dalam acara-acara pertemuan, seperti, pesta perkawinan, pesta sunatan, acara barzanji malam jumatan, dan pertemuan-pertemuan lainnya. Gelar ’Puang Haji’ benar-benar menaikkan derajat seseorang. Sayangnya kebanyakan dari mereka derajatnya hanya naik di mata manusia. Entah dimata Tuhan.
”Untung saja tadi ada dewa penolong, Nia ya!” Ambo Sakka menyela mengalihkan topik pembicaraan dan mengungkit peristiwa yang baru terjadi kala itu. Rupanya ia menahan candaannya karena kami dalam ’persembunyian’ khusus dari Puang Sanro. Aku tidak tertarik membahasnya. Aku lalu mengajak teman-temanku segera pergi, khawatir kalau Puang Sanro datang lagi bersama orang yang berhajat lainnya. Hari minggu biasanya tamu antrian dari daerah-daerah lain. Bahkan kami sering bercanda bahwa hari minggu adalah hari kemusyrikan di Sungai Bejo.
”Sebaiknya kita bergegas ke arah utara, kasihan teman-teman menunggu disana.”
”Tapi Nia kelihatan letih.” Anton menahan kami, ia masih asyik menikmati hidangan gratis. Ia memang anti mubazzir, sayangnya hidangan tersebut bukan untuknya. Kulihat Nia agak meringis karena kakinya lecet. Aku segera membersihkan kakinya yang luka lecet, lalu aku mengolesinya dengan ludahku dengan membaca Basmalah. Nia meringis.
”Tahan, Insyaallah segera sembuh.” Bisikku pelan tapi seolah ada getaran.
Teman-temanku yang lain mendehem menggoda. Kubiarkan saja, karena memang aku tak punya hubungan apa-apa dengan Nia. Soal menyembuhkan luka dengan ludah, aku biasa melakukannya dan diajari oleh kakekku. Pernah tanganku teriris pisau dan berdarah, aku cuma mengobati dengan menjilat-jilatnya sambil membaca basmalah, dan alhamdulillah sembuh tanpa perban. Tapi tips ini cuma untuk luka ringan. Begitu pesan almarhum kakekku.
”Lihat! Mereka datang lagi.”
Baru juga kami beranjak sekitar seratusan meter, tiba-tiba Anton berteriak karena melihat rombongan Puang Sanro datang lagi.
”Ayo kita mengintip lagi, kita lihat bagaimana reaksi Puang Sanro atas habisnya hidangan tadi.” Tiba-tiba aku punya ide lagi.
”Gila kamu Beddu.” Dayat protes.
”Gila apanya Dayat.”
”Bagaimana kalau Puang Sanro melihat kita dan ia tahu bahwa kita yang menghabiskan menu persembahannya?”
”Begini saja, kalian tetap berjalan meninggalkan kawasan ini, cukup aku dan Ambo Sakka pergi mengintip, apalagi kakinya Nia juga tidak bisa berlari cepat bila ada bahaya mengancam, aku yakin bisa menyusul kalian sebentar.”
Teman-temanku tak bisa menolak ideku yang rada gila dan nekad. Aku dan Ambo Sakka segera berlari menuju tempatku mengumpet saat itu. Kami duluan tiba daripada rombongan Puang Sanro.
”Cepat sembunyi Ambo, nanti mereka melihat keberadaan kita.”
Aku mengingatkan Ambo Sakka yang masih bingung mencari tempat yang aman yang tidak ada semutnya. Rupanya semut juga mengamuk karena kami sudah mengobrak-abrik sarangnya. Kulihat Puang Sanro agak heran dan menutup mulut melihat hidangannya babak belur. Atau mungkin ia mengira penjaga Bejo rakus juga. Tapi Puang Sanro seolah tak percaya itu. Ia lalu memandang ke sekeliling Sungai Bejo jangan sampai ada penjaga Bejo tandingan. Dan cess, hatiku berdegup kencang manakala kulihat Puang Sanro menatap ke arah persembunyian kami tanpa berkedip. Kutarik cepat-cepat Ambo Sakka bergeser ke arah kiri ke tempat yang agak berlubang dan tersembunyi. Hatiku tambah ketar-ketir, kulihat Puang Sanro berbicara kepada tamu-tamunya sebentar lalu ia menuju ke arah tempat persembunyian kami dengan menyibak rerumputan dan pepohonan. Aku dan Ambo Sakka berpegangan erat dan berdiam di dalam gua persembunyian sambil berharap Puang Sanro tidak menemukan kami.
”Baca ayat kursi tiga kali” bisik Ambo Sakka.
Aku hampir saja tertawa lepas mendengar bisikan Ambo Sakka. Karena biasanya yang dibacakan ayat kursi supaya menjauh hanyalah setan dan sekutu-kutunya. Ataukah Ambo Sakka menuduh pamannya adalah setan? Aku tak heran.
Puang Sanro sudah berada di tempat persembunyian kami. Untungnya cuma kami berdua, andaikan teman-temanku ikut bersama kami termasuk Nia pastilah kami sudah tertangkap basah oleh Puang Sanro. Dari celah pepohonan aku bisa mengamati wajah Puang Sanro yang semakin heran melihat rerumputan dan pepohonan kecil luluh lantak seperti tempat bersabung ayam secara sembunyi-sembunyi. Aku lagi-lagi hampir tertawa ngakak melihat Ambo Sakka pontang-panting menghalau semut hitam yang mengerubungi kakinya, tapi bukan karena gara-gara Puang Sanro saja aku tidak tertawa tapi semut hitam juga mulai menyerang kakiku.
”Bertahan Beddu, nanti kita kelihatan sama Puang Sanro.”
Aku dan Ambo Sakka mencoba bertahan dari gigitan semut hitam yang luar biasa sakit. Beruntung, kulihat Puang Sanro meninggalkan tempat persembunyian kami dengan mengutuk, ”Penyabung ayam tengik, mana bisa judinya beruntung kalau tidak direstui oleh penjaga Bejo.” Kami tak perduli dengan omelan Puang Sanro karena kami bersiap-siap segera meninggalkan tempat itu.
Akhirnya kami menyusul teman-teman satu regu. Dayat dan Anton menjejali kami dengan berbagai pertanyaan melihat wajah kami yang agak memucat serta kaki kami yang memerah akibat gigitan serangga. Bahkan kakiku agak berdarah karena tadi kugaruk secara kasar. Setelah aku ceritakan semuanya, kami tertawa terbahak-bahak, hanya Nia yang tersenyum dikulum saja, tapi ia bergegas memeriksa kakiku dengan mimik yang sedih.
”Aku juga diperhatikan, jangan cuma Beddu seorang.” Ambo Sakka protes menggoda. Nia nampak malu-malu. Aku mencoba menerka ge-er, cinta adalah sebentuk perhatian.
Lalu. Aku meminta kepada teman-teman regu agar tidak menceritakan pengalaman kami itu kepada regu Hutbah dan Umar. Aku takut mereka akan keceplosan membocorkan ulah kami sehingga warga di sekitar Sungai Bejo dan Hutan Lindung Balang memboikot kami. Ujung-ujungnya akan mematikan kreativitas Kompita. Aksi kami memang tergolong nekad dan kurang ajar di mata warga yang percaya akan kekeramatan Sungai Bejo.
Matahari sudah condong ke arah Barat ketika kami bertemu kembali dengan rombongan Umar dan Khutbah yang menyusuri Hutan Lindung Balang dari arah timur. Hutan Lindung Balang memang tidak terlalu luas. Makanya kami para siswa harus peduli dengan hutan lindung tersebut. Kami memperkirakan kalau Hutan Lindung Balang tidak dijaga dengan baik maka tahun-tahun mendatang akan terjadi banjir bandang di Kabupaten Sinjai.
Ketika melihat Nia sedikit terpincang, Hutbah langsung berujar, ”Sepertinya ketua rombongan tidak peduli dengan anggotanya ya.” Hutbah rupanya masih suka menggoda Nia yang notabene mantan kekasihnya dalam surat karyaku. Hutbah memang begitu, bukan tipe pemalu sepertiku.
”Untung ada Kak Beddu yang mengobati kakiku yang lecet.” Nia terkesan membelaku.
”Artinya?” Hutbah terus menggoda.
”Sudahlah Hutbah, kasihan Nia.” Ujarku menghentikan godaan Hutbah yang berantai dan tak berkesudahan.
Selanjutnya, untuk menenankan hati, kami mengajak teman-teman yang belum sholat dhuhur untuk sholat dulu. Setelah itu, aku meminta Umar sebagai ketua Kompita untuk membuat program selanjutnya. Umar mengusulkan agar anggota tim Kompita harus membuat sticker di tas ransel masing-masing yang intinya peduli sama lingkungan. Berarti kami mengganti sticker di ransel kami. Hutbah mengusulkan sticker ”Jagalah Hutan Kita”. Anton menganggap jargon yang diusulkan Hutbah tidak keren, lalu ia mengusulkan jargon ”Hutanmu, Hutanku, Hutan Kita”. Dayat cekikikan mendengar ide Anton. Ketika Anton protes ke Dayat, Dayat seenaknya menjawab, ”Aku kira kau bilang Utangmu Utangku Utang Kita”. Kami tertawa lepas, dan sedikit merenggangkan urat-urat saraf kami yang kelelahan menyusuri Sungai Bejo dan Hutan Lindung Balang. Kami benar-benar bahagia punya teman duo Abu Nawas dan Lamellong.
Nia mengusulkan sticker ”Amankan Hutan, Amankan dunia”. Umar yang mengusulkan sebaiknya jargon memakai Bahasa Inggris saja supaya lebih membanggakan. Dengan jargon Bahasa Inggris berarti anggota Kompita terkesan semuanya bisa Bahasa Inggris. Akhirnya aku mengusulkan jargon dalam Bahasa Inggris, tapi aku cuma menerjemahkan jargon yang sudah disebut oleh Nia menjadi ”SAVE THE JUNGLE! SAVE THE WORLD”.
”Kerjasama yang luar biasa.” Dayat dan Anton tak kuasa menahan penyakitnya untuk ikut menggoda Nia. Nia seperti biasa, mukanya bersemu merah seperti menjiwai candaan tadi.
Kami meninggalkan kawasan Hutan Lindung Balang lewat arah timur dengan berjalan kaki menuju Dusun Jatie. Rencananya di Jatie kami naik mobil menuju Bikeru. Melihat kaki Ambo Sakka dan kakiku yang agak merah membengkak, Dayat dan Anton tak mampu menahan gelak tawanya tanpa peduli penderitaan dan degup jantung kami. Supaya teman-teman lain tidak menaruh curiga aku juga tertawa lepas sambil berujar mengerjai Ambo Sakka, ”Semut di kakimu Ambo.” Ambo Sakka terperanjat kaget mengangkat kakinya dan tanpa sengaja menginjak kaki Anton yang langsung meringis kesakitan. ”Rasakan galaknya semut!” Aku membatin sambil tertawa lepas. Teman-temanku yang lain ikut tertawa-tawa tanpa mengetahui apa kejadian sebenarnya. Tapi kami benar-benar rileks dengan keadaan itu.

Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)







Jumat, 11 Maret 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 6 KELOMPOK PECINTA ALAM

6. KELOMPOK PECINTA ALAM

Demi menghargai usul Umar, akhirnya kami berlima sepakat membentuk kelompok Pecinta Alam atau disingkat KOMPITA. Kami sepakat untuk memberi peran yang lebih besar kepada Umar. Kami sepakat untuk mengangkat Umar sebagai ketua Kompita. Hemat kami, Umar sebenarnya tidak begitu nakal dan akan berhenti merokok bila diberi pengertian, serta diberi peran yang membuatnya bangga. Kala itu memang aku melihat Umar sebenarnya tidak enjoy merokok, bahkan kadang-kadang ia batuk-batuk seperti orang tertular penyakit TBC. Umar hanya merokok agar ia disebut jago.
Dulu memang ada kebiasaan jelek di Bikeru, bahkan di kabupaten Sinjai pada umumnya. Anak-anak merasa hebat dan gaul bila merokok. Biasanya anak-anak yang merokok adalah anak-anak yang tidak punya sesuatu hal untuk dibanggakan. Anak-anak yang punya prestasi apalagi dapat ranking di sekolah pastilah mereka tidak mau dan malu merokok. Aku pikir, seandainya Pak Chaeruddin dulu memahami hal tersebut dengan baik, pastilah sejak dulu Umar berhenti merokok. Misalnya Pak Chaeruddin mengangkat Umar sebagai tukang kampanye anti rokok di sekolah pastilah Umar berhenti merokok. Bukankah dengan menjadi tim kampanye anti rokok Umar sudah mendapat peran yang penting dan bisa disebut sebuah prestasi yang tentu saja akan membuatnya bangga dan dikenal. Begitulah, di lingkungan tempat kami tinggal dulu, anak-anak yang nakal biasanya diberi peran menjadi anggota remaja mesjid sehingga kebiasaan nakal mereka yang negatif itu berangsur-angsur menjadi positif. Tentu saja anak-anak nakal harus diarahkan terlebih dahulu, jangan diberi peran begitu saja tanpa arahan, siapa tahu dengan peran itu mereka kian kebablasan. Umar sendiri telah memilih jalan yang benar, ia berteman dengan orang-orang baik dan pintar seperti Dayat, Anton, dan aku.
Ada yang lucu waktu pertama kali kami akan memilih ketua Kompita. Dayat yang memang bertampan seperti Pelawak Doyok mengusulkan persyaratan utama untuk menjadi ketua Kompita adalah orang yang beriman dan berakal sehat. Dayat sebenarnya bermaksud melucu tetapi menohok Umar, karena diantara kami berlima kelihatannya hanyalah kadar iman Umar yang agak imitasi. Kadangkala bila waktu sholat tiba, kami bergegas melaksanakan sholat kecuali Umar yang katanya suka meng-jama’ dan meng-qashar shalatnya, sedangkan berakal sehat katanya siswa yang tidak suka menyontek dan tidak mau dikerjakan PRnya, untuk golongan ini bukan hanya Umar tapi Hutbah juga termasuk. Selanjutnya Anton yang juga tanpa sengaja bertampan seperti Pelawak Kadir memberi usul yang tak kalah menohok dari ide Dayat, karena Anton punya usul bahwa yang bisa jadi ketua Kompita adalah siswa yang tidak berperilaku mengganggu lingkungan. Menurut Anton, perilaku merokok mengganggu lingkungan. Tapi alasan Anton masuk akal. Ketika Umar langsung protes, Anton menjawab bahwa pecinta alam tidak boleh merusak alam dengan asap rokok. Alasan Anton membuat kami terbahak-bahak. Hutbah malah sakit perut karena ketawanya disimpang diperut padahal sebelumnya ia juga disinggung oleh Dayat. Mungkin ia menjaga perasaan Umar yang memang nampak babak belur dihantam persyaratan jadi ketua Kompita karena dua persyaratan yang diajukan oleh Dayat dan Anton tak berpihak kepadanya. Tapi aku terus menyemangati Umar.
Laiknya pemilihan ketua organisasi kemasyarakatan atau partai politik, setelah mengalami proses panjang yang demokratis dan elastis karena kami lebih banyak bercandanya, akhirnya kami semua bahagia, karena Umar siap memegang amanah sebagai ketua Kompita dengan bersedia memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Dayat dan Anton. Artinya Umar akan berhenti merokok dan siap jadi orang alim. Soal menyontek, ia mengatakan akan berubah sedikit demi sedikit kecuali Matematika dan Bahasa Inggris yang memang kata Umar sendiri tak cocok dengan jenis otaknya. Jadi yang paling membahagiakan sebenarnya adalah kami berhasil menyadarkan lagi satu teman. Tapi aku tidak setuju kalau Umar merasa jenis otaknya tak cocok dengan Matematika dan Bahasa Inggris karena salah seorang kakaknya yang kuliah di Jurusan Matematika IKIP Ujung Pandang (sekarang Universitas Negeri Makassar) mendapat beasiswa penelitian ke Australia.
Kami benar-benar tak salah memilih karena rupanya Umar mempunyai banyak ide-ide yang cemerlang. Ia yang membuat program kegiatan Kompita, kami hanya memberi saran, tapi memang semua program yang ditawarkan Umar langsung berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Program utama adalah menjaga dan mengawasi kelestarian Hutan Lindung Balang di Jatie yang memang belakangan kurang mendapat perhatian dari pemerintah, terjadi penebangan liar dimana-mana. Kami khawatir kalau tidak ada yang peduli dengan Hutan Lindung Balang ini kelak akan terjadi banjir bandang di Kabupaten Sinjai.
Program utama yang sudah dibuat Umar adalah peduli Hutan Lindung Balang. Setiap hari minggu kami akan menyusuri kawasan Hutan Lindung Balang Setiap bertemu dengan warga kami akan memberikan pengarahan-pengarahan betapa pentingnya menjaga kelestarian hutan. Kami menjelaskan bahwa hutan sangat berperan penting menjaga keseimbangan ekosistem alam. Hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia, hutan menjaga kestabilan udara. Disamping itu hutan mencegah terjadinya banjir bandang. Intinya merusak hutan berarti merusak kehidupan diri sendiri.
Kami pun menjelaskan kepada warga istilah global warming. Warga yang tinggal di sekitar wilayah Balang atau Korong yang rata-rata tak punya pendidikan tak tahu menahu apa itu global warming atau pemanasan global. Kami memberi penjelasan bahwa pemanasan global berarti dunia makin panas akibat menipisnya kawasan hutan, dan hutan di Indonesia termasuk hutan yang terluas di dunia, jadi boleh dikatakan Indonesia adalah paru-paru dunia. Karena menipisnya hutan pula maka es di kutub utara akan mencair sehingga lama kelamaan bumi akan tenggelam, sehingga akan terjadi kiamat. Kala itu kami memberi penjelasan apa adanya tentang pemanasan global. Harapan kami sesungguhnya bukan pada pengetahuan masyarakat tentang global warming, efek rumah kaca, tetapi kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian alam dengan tidak menebang pohon di kawasan Hutan Lindung. Dan kami lihat hasilnya sangat memuaskan karena masyarakat di sekitar Hutan Lindung Balang mulai sadar akan pentingnya manfaat hutan. Hanya saja yang membuat kami susah memahami adalah terkadang ada petugas Hutan Lindung yang kadang tidak melindungi hutan itu sendiri. Aneh memang di negeri ini, terkadang peraturan dibuat hanya untuk dilanggar. Begitulah. Manusia sering serakah merusak alam, ketika terjadi bencana alam mereka menyalahkan Tuhan dan takdir, padahal merekalah yang merusak takdirnya sendiri. Begitulah sifat manusia. Selalu lempar batu sembunyi tangan. Tak bertanggung jawab.

Kami berlima benar-benar menjadi branding sekolah. Setelah mading kelas kami begitu terkenal dan paling disukai pembaca, selanjutnya kami punya terobosan baru dengan Kompita. Kami bukan hanya dikenal di sekolah, tapi juga di lingkungan masyarakat. Kami memang pelajar yang bukan hanya belajar di sekolah, juga belajar pada masyarakat dan belajar bermasyarakat. Hemat kami, dengan berbagai kesibukan yang positif menghindarkan kami dari hal-hal negatif, karena memang kami tak punya waktu untuk berpikiran negatif. Kami bukan anak-anak yang pasif.
Karena Kompita mempunyai banyak program, aku memberi masukan pada Umar bahwa sebaiknya merekrut anggota baru. Aku mengusulkan penambahan delapan anggota baru sehingga berjumlah tiga belas orang. Umar langsung mengamini usulku. Selalu memang begitu bahwa Umar tak pernah sekalipun menolak pendapatku. Hanya Hutbah yang menyelisik mengapa harus pakai angka tiga belas. “Angka tiga belas itu pamali, selalu sial,” begitu komentar Hutbah berulang-ulang, mungkin ia bermaksud menakut-nakuti Umar. Tapi sekali lagi Umar tak pernah ragu kalau aku yang bilang, kalau Dayat dan Anton tak ada masalah, karena keduanya “seperguruan” denganku, kami semua sudah tak percaya dengan hal-hal yang berbau magis dan mitos-mitosan. Tapi agar Umar dan Hutbah tak resah dengan angka tiga belas, aku jelaskan panjang lebar.
“Begini Hutbah, memang di berbagai budaya dibelahan dunia ini mempunyai mitos angka yang berbeda-beda. Di belahan dunia Barat, di Amerika Serikat misalnya, angka tiga belas dianggap sebagai angka sial, sampai-sampai banyak hotel yang berlantai dua puluhan tapi tidak punya lantai tiga belas.”
“Akh tidak masuk akal, masak tidak ada lantai tiga belas tapi ada lantai empat belas.” Hutbah nyeletuk tak sabar menunggu penjelasanku.
“Begitulah, bila hotel itu mempunyai dua puluh lantai, berarti, anda boleh menginap di lantai dua puluh satu, karena lantai yang semestinya lantai ke tiga belas, dinamai lantai empat belas, sehingga lantai paling atas atau lantai ke dua puluh pastilah menjadi lantai dua puluh satu.”
“Ooo…begitu.” Mulut Hutbah membentuk huruf O yang panjang. Itu berarti ia sudah tahu betul duduk perkaranya. Teman-temanku yang lain juga manggut-manggut, apalagi Umar yang memang tak kalah penasarannya dengan Hutbah, ia hanya keduluan dari Hutbah untuk bertanya. Supaya mereka lebih memahaminya, aku melanjutkan penjelasanku sambil berharap jangan ada lagi pertanyaan model interupsi.
“Amerika memang benar-benar menganggap angka 13 sebagai angka sial. Lihatlah di abad ke-18 ketika Amerika mengumumkan pembuatan kapal laut yang di sebut The HMS Friday mulai digunakan pada tanggal 13 Hari Jumat, tapi kapal itu beroleh naas dan hilang di lautan. Di tahun 1945 pada tanggal 13 Hari Jumat bom atom pertama kali diujicobakan. Ataukah di tahun 1992 tepat tanggal 13 Hari Jumat, gempa bumi mengguncang Turki dan menewaskan puluhan ribu orang. Tapi lucunya, Amerika Serikat awal mulanya terbagi menjadi tiga belas negara bagian.”
“Bagaimana dengan angka-angka lainnya?” Kala itu Umar yang tak sabar menunggu penjelasanku selanjutnya.
“Di Negara-negara Asia Timur atau dikenal dengan negara ras kuning seperti Jepang, Korea, dan Cina menganggap angka 4 sebagai angka sial. Sehingga banyak hotel di Negara-negara tersebut tidak mempunyai lantai 4, konon katanya angka 4 adalah angka kematian.”
“Kalau begitu angka-angka berapa saja yang mereka anggap beruntung?” Anton rupanya lebih tertarik mengetahui kabar yang baik.
“Orang Cina biasanya menganggap angka 8 sebagai angka keberuntungan. Sedangakan Negara-negara Barat lebih percaya pada angka 7 sebagai angka hoki.”
“Angka 7 sebenarnya jamak dianggap angka keberuntungan.” Kala itu Dayat yang memang saingan utamaku berdiskusi di kelas tak sabaran. Tapi sebagaimana di kelas, aku selalu sedia mendengar pendapat dari Dayat yang memang selalu akurat.
“Bagi orang Islam, angka 7 itu angka keberuntungan. Orang yang berhaji di Tanah Suci Makkah bertawaf di Ka’bah sebanyak 7 kali, langit terdiri dari 7 lapis, satu minggu terdiri dari 7 hari, Surat Al Fatihah sebagai Ummul Qur’an terdiri dari 7 ayat. Bagi orang Bugis Makassar, ada istilah situju-tuju yang berasal dari kata tujuh yang berarti berkecukupan.” Dayat memberi penjelasan.
“Angka 7 buat saya adalah angka kesadaran.” Hutbah ikut nimbrung.
“Maksudmu Hutbah?” Umar penasaran.
“Lihat di stricker ranselku sekarang tertulis ber-217-an.” Diam-diam rupanya Hutbah mengganti sticker lagi.
“Apa maksudnya Hutbah?” Umar kian penasaran.
“Ber-217-an dibaca ber-dua satu tuju-an, artinya sekarang saya bukan tipe playboy lagi, hanya aku dan dia berdua untuk satu tujuan, yaitu menikah kelak.”
Kami terbahak-bahak menutup diskusi kami. Akhirnya satu lagi teman yang sadar akan sifat buruknya. Semoga saja Hutbah benar-benar tak playboy cap kabel lagi, cintanya sambung menyambung dari kelas yang satu ke kelas yang lain.
Begitulah. Ternyata usulku bahwa sebaiknya jumlah anggota Kompita berjumlah tiga belas orang memberi banyak informasi baru buat teman-temanku. Selanjutnya yang kami bicarakan bagaimana cara perekrutan anggota baru, pun apakah perempuan bisa menjadi anggota Kompita. Hutbah yang kami cap juga sebagai playboy “cap surat” karena memang beraninya cuma di surat punya usul yang agak beda dengan cap yang disandangnya, tapi diskusi kami sebelumnya Hutbah memang mengaku sudah berpaham ber-217-an. Hutbah tidak setuju kalau perempuan masuk anggota Kompita. Katanya perempuan mempunyai fisik yang lemah padahal program Kompita berada di alam terbuka yang menantang. Sebaliknya Umar setuju kalau perempuan masuk anggota Kompita, alasan Umar agak filosofis tapi cukup logis Katanya perempuan lebih menjiwai perannya sebagai anggota Kompita karena alam semesta identik dengan perempuan. Umar mengatakan bahwa alam memang berkelamin perempuan buktinya kita hanya menyebut ibu pertiwi bukan bapak pertiwi, ataukah ibu kota bukan bapak kota. Dayat dan Anton netral, artinya perempuan boleh menjadi anggota Kompita boleh juga tidak. Sekali lagi aku yang menentukan, pendapat lagi seri dan aku sebagai suara kelima. Begitulah, angka ganjil sangat cocok untuk berdemokrasi. Meski berdemokrasi juga kita sering berjudi. Berjudi dengan pilihan masing-masing.
Karena alasan Umar yang aku anggap lebih mengena dan bijaksana, apalagi pendapat Hutbah yang relatif dan berbias gender, aku lebih setuju dengan pendapat Umar. Jangan salah! Perempuan kampung tidak manja seperti umumnya perempuan di kota. Begitu pikirku. Karena memang perempuan kampung bisa mengerjakan pekerjaan yang sebenarnya diperuntukkan untuk kaum adam, seperti memetik cengkeh yang tingginya di atas sepuluh meter, memanjat kelapa, mencangkul, berhuma, dan sebagainya. Intinya, perempuan kampung tidak cengeng dan manja. Perempuan kampung adalah perempuan pekerja dan bersahaja.
Selanjutnya Umar membuat pengumuman lewat mading kami. Kompita akan menerima anggota baru dengan bermacam-macam persyaratan. Persyaratan utamanya adalah calon anggota Kompita harus orang yang beriman, tidak boleh merokok, mencintai alam, jenis kelaminnya harus jelas, harus membuang pikiran-pikiran kotor dan selalu berpikir positif. Ketika Hutbah bertanya mengapa ada persyaratan jenis kelamin harus jelas, Umar menjelaskan bahwa tidak boleh ada waria atau calabai yang bergabung di Kompita, alasannya bila ada camping dan terpaksa menginap di alam terbuka maka calabai susah mengaturnya, apakah menginap di tenda laki-laki atau perempuan. Umar juga menambahkan bahwa calabai sering membawa sial. Pun calabai adalah orang gagal. Gagal menentukan jenis kelamin.
Pemilihan anggota Kompita sepenuhnya kami serahkan kepada Umar dan Hutbah. Biar keduanya merasa diberi tanggung jawab yang lebih. Setelah melalui proses yang ketat karena memang pendaftarnya berkisar empat puluhan, terpilihlah delapan anggota baru, empat laki-laki dan empat perempuan. Yang membuat aku sangat kaget karena Nia termasuk salah seorang yang terpilih dari empat perempuan. Ketika kutanyakan pada Umar, ia menjelaskan bahwa Nia sudah berpengalaman dan berbakat jadi pecinta alam. Masih menurut wawancara Umar, Nia yang alumni SMP Pesantren IMMIM Putri Pangkep senang berliburan ke alam terbuka bersama keluarganya. Satu lagi informasi kudapat tentang Nia, ternyata ia bukan berasal dari salah satu SMP di Kabupaten Sinjai. Berarti Hutbah dulu juga tak mengenal Nia secara mendalam. Persisnya Hutbah cuma sok tahu tentang Nia. Ketika aku konfirmasi pada Hutbah mengapa Nia diterima jadi anggota Kompita, Hutbah mencandaku, temanku yang satu itu yang memang akan masuk surga kelak karena tak pernah dendam dan benci pada orang lain menjawab seadanya, “Sepertinya Nia itu masuk jadi anggota Kompita karena ada kamu Beddu.” Aku tak perduli dengan candaan Hutbah. Karena buatku, Nia adalah sejarahku. Nia adalah perempuan pertama yang menolak cintaku karena memang ia adalah cinta pertamaku. Cinta pertama yang tragis. Penolakan pertama yang membuat hatiku teriris. Begitulah yang kutulis dalam buku harianku. Buku harian yang kelak sangat bermanfaat untuk menulis autobiografiku.
“Benar Beddu. Nia memang masuk jadi anggota Kompita karena ingin selalu dekat dengan kamu.” Hutbah terus berceloteh. Aku diam saja. Karena aku tahu temanku yang satu ini terkadang cara menggodanya keterlaluan. Tapi aku juga senang, karena sepertinya Hutbah sangat ingin melihatku berbahagia bersama Nia. Hutbah juga sepertinya mempunyai bakat jadi psikolog, karena ia tahu bahwa Nia sudah jatuh cinta padaku sejak Nia tahu bahwa aku bukanlah kumbang jelek.
“Benar Beddu, Nia itu sudah jatuh cinta padamu, dan aku yakin kau juga selalu mendambakannya.” Hutbah meyakinkan aku. Tapi aku kian cuek, karena aku juga sudah tahu bahwa Nia tertikam sendiri dengan ulahnya dulu menghinaku. “Makanya jangan main-main dengan Beddu Kamase, bintang sekolah SMU Bikeru.” Aku menghibur diri sendiri.
Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Senin, 07 Maret 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 5 SURAT CINTA TAK PERNAH SALAH)

5. SURAT CINTA TAK PERNAH SALAH

Aku sudah mengganti sticker. Arti sesungguhnya adalah aku benar-benar akan fokus pada pelajaran. Soal cinta nanti belakangan saja. Itu janjiku pada diri sendiri. Ya, soal cinta nanti belakangan saja, dan itu yang selalu aku dengung-dengungkan dan yakinkan pada diriku sendiri. Tapi mungkinkah? Aku bertanya pada diri sendiri, karena sesungguhnya menurut logikaku ketika kita berulang-ulang mengatakan akan melupakan sesuatu artinya kita belum melupakan sesuatu itu. Kita baru bisa benar-benar melupakan sesuatu itu kalau kita tidak pernah mengatakan akan melupakannya karena memang kita tak memikirkannya lagi. Ataukah memang filenya sudah hilang dari otak kita.
Aku mengakui bahwa perasaan sukaku pada Nia bukan perasaan biasa. Di hatiku seperti ada ruang yang kosong. Anehnya ruang kosong itu diam-diam dipenuhi oleh kelopak-kelopak cinta yang kian mekar. Hanya ada satu nama disitu, Nia. Sesibuk apapun aku belajar, ada saat-saat jeda untuk menghayalkan Nia sejenak. Untungnya, ingatanku kepada Nia tidak mengganggu konsentrasi belajarku, karena aku mengingat Nia serupa iklan di teve. Kalau acara sinetron terpotong sejenak oleh iklan, maka waktu belajarku terpotong sejenak oleh bayangan Nia. Kalau film dibiayai oleh iklan, aku pun serupa, belajarku disemangati oleh Nia. Aku menyiapkan diary khusus untuk segala perasaanku yang menggelora pada Nia. Di sampul luar diary itu sengaja kutulis seuntai kalimat “Kenangan bukan untuk dilupakan tapi untuk dikenang.” Kala itu aku berjanji kelak akan menuliskannya dalam bentuk autobigrafi atau pun novel. Jadi aku pikir, jatuh cinta juga tak masalah dan tidak mengganggu pelajaran, bahkan bisa menjadi penyemangat seperti yang kurasakan saat itu. Perasaan jatuh cinta memang indah. Meski kadang diselingi resah. Tapi aku harus tabah.
Begitulah hari-hari kulewati dengan perasaan cinta yang menggelora. Gelora cinta pertama yang kadangkala bila tak diungkapkan akan menjelma lara. Untungnya, aku punya tempat khusus untuk melampiaskan perasaanku yang menderu-deru yaitu buku diaryku dan mading kelasku. Kebetulan memang aku yang bertindak sebagai penanggung jawab redaksi mading, sehingga aku bebas menentukan kolom. Aku membuat kolom khusus untukku bernama “Surat”. Edisi perdana kolom itu aku beri judul “Surat Romeo kepada Juliet”. Judul itu aku ambil dari kisah cinta “Romeo dan Juliet” karya sastrawan besar William Shakespeare. Kolom surat edisi perdana berbunyi:
Juliet! Ada yang terhunjam, namun tak terucap di kala pertama aku memandangmu. Matamu mengusik resahku. Senyummu mengusik nuraniku. Terbayang sosokmu di kesepianku. Dalam angan dan impianku. Adakah engkau mengerti oh dewi impianku? Aku butuh sosokmu…

Ternyata kolom surat itu sangat disenangi oleh para pembaca. Saban hari, saban istirahat, ramai siswa berkumpul di depan mading kelasku di depan perpustakaan hanya untuk membaca kolom Surat. Diam-diam aku melihat banyak siswa yang mencatat isi kolomku itu, mungkin sebagai bahan surat cinta kepada pacarnya, bahkan suatu ketika aku memergoki Hutbah ikut merapat mencatat. Hutbah tertawa lepas saja kala itu.
“Beginilah jadinya kalau tak ada sekretaris pribadi lagi,” ujarnya santai dan bercanda padaku.
“Cobalah menulis dengan perasaanmu sendiri Hutbah, itu lebih bagus.” Jawabku sok menasehati.
“Akh! Lebih bagus yang ini.” Jawabnya terus menulis.
Aku bergegas menjauh. Aku maklum, dua minggu sebelum kubuat tulisan itu memang ada siswi pindahan dari Bulukumba, kabar ini juga dari Hutbah. Mungkin dia yang diincar oleh Hutbah. Hikmah dari kejadian tempo dulu salah satunya adalah sahabatku Hutbah mulai belajar mandiri soal cintanya. Ya, selalu ada recah hikmah di setiap masalah yang mendedah.
Begitulah, kolom Surat itu yang selalu ditunggu-tunggu oleh para pembaca. Setiap kali aku berjalan di depan kelas lain selalu ada yang menyapa “Kapan lagi muncul edisi berikutnya?” atau “Kolom suratnya itu untuk siapa ya?” Atau ada siswi yang sembunyi-sembunyi berteriak “Kolom suratnya ditujukan ke saya ya?” Saking tergilanya-gilanya siswi-siswi pada kolom surat itu, banyak surat-surat kaleng yang kudapat di ruang kelasku setiap hari. Kebetulan selalu aku yang paling duluan masuk kelas setiap hari, dan para siswi tahu itu. Surat kaleng yang tiba-tiba aku ingin menyimpannya adalah surat kaleng yang berbunyi, “Aku tahu, kakak menulis kolom itu penuh perasaan karena kolom itu benar-benar menyentuh perasaanku. Tapi kak, boleh aku bertanya, apakah kata maaf itu bagian dari cinta?” Aku tertawa menyimpan surat kaleng itu, masa surat kaleng pakai bertanya segala, dan juga masa surat kaleng aku simpan. Tapi entah, surat kaleng itu membuat perasaanku kacau dan galau kalau-kalau yang menulis surat itu adalah orang yang ada di hatiku selama ini. Akh! Aku mencoba menepis segala angan-anganku. Kuakui memang bahwa judul kolom itu hanya penamaan saja, dan isinya hanya untuk seseorang yang tak bisa kuingkari terus mendedah resahku, Nia.
Di edisi kedua aku beri judul “Surat Qais untuk Layla”. Judul itu aku ambil dari novel cinta klasik yang paling legendaris “Layla Majnun” karangan pujangga dan filsuf besar Arab, Syaikh Nizami. Tokoh utama novel tersebut adalah Qais dan Layla, saking tergila-gilanya Qais pada Layla, maka Qais sering dipanggil Sang Gila Pecinta, dalam bahasa Arab gila berarti majnun. Surat itu berbunyi:
Kala mendung bergayut pada hatiku sunyi. Luka teriris luka. Tak ada kabar. Hanya desau angin yang menorah luka dalam. Tak ada lagi air mata. Aku rebah memeluk bayangmu. Oh! Karena cintaku padamu aku rebah melagukan harapan. Penat pengembaraan tak terasa. Terpagut sunyi, rindu, dan kasihku padamu. Kutetap melangkah menelusuri hari-hari gamang. Membawa getar raga. Hingga maut menjemputku. Kini, meski merintih, aku tetap mendendangkan tembang lara merindukanmu….

Di kolom kedua itu pembacanya kian meningkat pesat. Aku sangat bangga. Di sekolah aku dikenal bukan hanya sebagai bintang sekolah tapi juga pujangga sekolah. Bahkan aku sibuk menjawab sejumlah pertanyaan, siapa itu Romeo dan Juliet, siapa pula Qais dan Laila. Sepertinya kala itu memang bacaan sastraku melompat beberapa tingkatan dari teman-temanku.
Dan surat yang paling menghebohkan adalah edisi ketiga yang berjudul “Surat Seekor Kumbang Tak Bersayap Kepada Mawar Berduri”. surat itu berbunyi:
Ingin kujemput angkasa legam dengan cahaya, dan kusematkan bintang di batangmu. Agar dirimu terkesiap. Langit sungguh cantik, namun kejora di daunmu kian lamur. Akh! Akan kutangkap kilat di angkasa. Akan kubungkam topan yang menggeram, biar dahanmu merangkul cakrawala. Biar rantingmu merengkuh jagad. Tak kubiarkan cabang-cabangmu terbakar. Tak kubiarkan akarmu terluka. Mengapa masih ragu? Akh! Aku memang hanyalah kumbang hitam tak bersayap….

Untuk edisi ketiga itu, memang aku membuatnya khusus. Aku melihat orang yang selesai membacanya geleng-geleng kepala dan berbisik satu sama lain. Yang membuatku puas karena kulihat Nia ikut membacanya. Lewat celah jendela, kulihat ada raut kesedihan di wajah Nia setelah membaca kolom itu. Bahkan perlahan-lahan kulihat ada dua tetes embun menetes dari bola matanya yang indah.
Suatu ketika, aku sedang berada di perpustakaan membaca buku seri “Merdeka Tanahku, Merdeka Negeriku”. Buku itu ada empat jilid yang berkisah tentang peran utama Soeharto pada masa-masa pasca kemerdekaan, masa 1947-1950. Aku suka membaca buku itu karena merupakan buku sejarah tetapi ditulis dengan gaya sastra, sehingga aku merasa seperti Letnan Idin, atau seperti Letnan Komaruddin(konon beliau adalah Kahar Muzakkar) karena ia anti peluru. Suatu ketika tentara Belanda menembaknya, Letnan Komaruddin hanya memperlihatkan pantatnya pada Belanda sambil mengipas-ngipas peluru, entah ilmu apa namanya yang dimiliki Letnan Komar itu. Membaca buku itu pula aku merasa sebagai Letnan Dupree, tentara Belanda yang jatuh cinta pada perempuan Indonesia. Letnan Dupree akhirnya galau karena meski ia tentara Belanda tapi ia juga berdarah Indonesia. Ibunya adalah orang Indonesia. Benar-benar galau, karena ia sangat mencintai ibunya dan sekarang jatuh cinta lagi pada perempuan Indonesia, cuma ia besar dan menjadi anggota militer di negeri Belanda. Ketika aku berhayal jadi Letnan Dupree, dan menghayalkan perempuan Indonesia yang benama Atikah itu ada didepanku, tiba-tiba seseorang duduk di depanku. Aku benar-benar kaget karena yang duduk di depanku adalah Nia. Perempuan yang memang kuhayalkan mirip dengan Atikah itu.
“Kak, maafkan Nia.” Matanya berkaca-kaca.
“Nia tak salah, suratku yang salah.”
Aku meletakkan buku Merdeka Tanahku Merdeka Negeriku. Aku menatapnya lekat-lekat. Ia menunduk. Tiba-tiba memang keberanianku muncul. Itulah aku. Biasanya kalau tampil di depan umum untuk berpidato atau diskusi awalnya aku deg-degan, tapi ketika mulai bicara semua perasaan itu hilang. Termasuk kepada perempuan, tadi aku deg-degan ketika Nia muncul, tetapi ketika aku mulai bicara, aku benar-benar jantan seperti Letnan Dupree dalam buku Merdeka Tanahku Merdeka Negeriku tersebut. Masih juga ia tertunduk, sepertinya ia berharap aku yang bertanya atau memulai pembicaraan, tapi aku sengaja mengambil waktu jeda untuk menatapnya dalam-dalam. Kalau biasanya cuma dari jauh atau lewat celah jendela, saat itu tak ada lagi sekat. Nia benar-benar perempuan tercantik yang pernah kutemui. Entah penilaian itu subyektif atau obyektif, tapi yang jelasnya perasaanku yang bicara, dan memang saat itu hanyalah wajah Nia yang terus mengaduk-aduk mimpi dan perasaanku.
“Nia!”
Aku menyapanya sekali lagi. Dan Subhanallah. Wajah Nia yang memang berkarakter sendu kian ayu. Mata kami yang berpandangan seolah reinkarnasi cikal bakal bahasa manusia, bahasa Adam dan Hawa. Kami bersitatap. Aku memang sejak dulu mengakui kecantikannya. Dan mungkin sekarang ia terkesiap bahwa aku sebenarnya lumayan cakep, apalagi kalau diajak diskusi, Nia pasti akan terperangkap pada diksi kata-kataku.
“Maukah kakak memaafkan Nia?”
Pintanya sekali lagi, sepertinya tidak ada kalimat lain dibibirnya selain minta maaf. Dari mimiknya, aku bisa merasakan bahwa mengembalikan surat cintaku dulu adalah dosa besar baginya. Ataukah seperti dalam surat kaleng itu bahwa maaf itu adalah cinta? Akh! Sepertinya penyakit geer-ku yang terlalu tinggi harus kukurangi dosisnya. Tapi aku memang pernah membaca pepatah Inggeris yang mengatakan, “When you forgive, you love, and when you love, God’s light shines on you.” (Ketika anda memaafkan, anda mencintai, ketika anda mencintai, maka cahaya Tuhan akan menyinari anda).
“Kau tak salah Nia, mungkin surat cintaku yang salah. Jadi sebaliknya kuharap Nia yang memaafkan surat cintaku.” Aku menatap menunggu jawaban dari bibirnya yang tipis tanpa lipstik.
“Tidak ada surat cinta yang salah, Kak.” Jawabnya polos.
“Ada.” Sergahku.
“Tidak ada kak.”
“Surat cinta yang dikembalikan didepan umum dengan cara dilempar.” Sergahku tanpa ampun.
“Kak Beddu!”
Bel pertanda masuk kelas berbunyi. Aku segera bergegas masuk kelas. Kulihat beribu macam maaf tertahan di bibir Nia. Maaf itu seperti meluah hibah. Aku tak perduli. Belajar adalah nomor satu bagiku, termasuk belajar memberi pelajaran pada orang yang tak pandai menjaga perasaan orang lain. Tidak apa-apa. Karena kata orang dendam juga adalah bagian dari cinta.

Kolom Surat benar-benar sudah menjadi branding dari madingku. Suatu ketika aku berdiskusi dengan Dayat dan Anton, pun nimbrung Hutbah dan Umar, untuk membuat lagi kolom yang serupa dengan kolom yang khusus aku isi. Hutbah memberi usul agar kolom itu diberi nama “Kolom Cinta”. Aku sangat setuju dengan ide Hutbah. Lalu aku meyakinkan kepada teman-teman lain bahwa Hutbah saja yang menjadi penanggung jawab kolom tersebut. Awalnya Hutbah menolak mentah-mentah karena ia mengira posisinya sama dengan aku, artinya ia yang harus mengisi kolom itu setiap kali terbit, mana ia bisa mengolah kata sepertiku. Tapi aku jelaskan kepada Hutbah bahwa ia hanya penanggung jawab saja, sedangkan yang mengisinya adalah pembaca. Biar pembaca dilibatkan agar mereka juga merasa memiliki mading itu. Akhirnya Hutbah sangat bersemangat menerima tanggung jawab itu.
“Bagaimana kalau tak ada tulisan yang masuk?” Hutbah masih was-was.
“Jangan khawatir! Kalau tak ada tulisan masuk, aku yang isi atas nama Hutbah,” Aku meyakinkan.
Hutbah sangat senang. Katanya pula, dengan posisi itu membuat dirinya banyak belajar. Aku salut sama Hutbah. Tak ada orang bodoh di dunia ini, yang ada hanyalah orang yang malas belajar.
Ternyata banyak kiriman tulisan untuk kolom ‘Kolom Cinta’. Bahkan Nia telah mengirim beberapa tulisan yang dianggap Hutbah sebagai tulisan yang sangat luar biasa. Sekedar catatan, entah kenapa belakangan Hutbah selalu menggodaku dengan bahasa yang aku rasa kurang ajar, “Beddu! Kuserahkan Nia padamu.” Dalam hati aku mengutuk, memangnya Nia itu barang, kalau pun bukan barang, memangnya Nia itu milik Hutbah lalu seenaknya saja bicara begitu. Tapi itulah Hutbah yang juga sudah ketularan endemik kelucuan Dayat dan Anton. Tapi yang aku suka dari Hutbah, ia kelihatannya rela kalau aku yang pacaran sama Nia. Hutbah memang menginginkan aku punya pacar, dan Nia memang perempuan yang pertama kali menjebol tanggul-tanggul perasaanku, lalu membandang dan menggelora seperti letusan gunung Galunggung. Untungnya, aliran perasaan yang menderas itu menjelma ke hal-hal yang positif. Menjelma jadi kolom surat yang kemudian digemari oleh anak-anak SMU yang selama itu kering akan bacaan sastra.
Setiap ingin memilih tulisan untuk kolomnya, awalnya Hutbah masih konsultasi denganku, tapi aku selalu meyakinkan dia.
“Hutbah, sebenarnya kamu punya bakat sastra kok,” Tapi ia buru-buru menjawab.
“Bakat sastra apaan Bed?” Aku terus meyakinkannya.
“Hut, sastra itu seni, seni itu perasaan, seni itu cinta, kamu kan sering jatuh cinta.” Hutbah terdiam lalu berujar.
“Oh ya begitu”.
Kelemahan dan kelebihan Hutbah adalah cepat percaya. Orang yang cepat percaya itu gampang ditipu, tapi orang yang cepat percaya gampang diajar. Tapi rupanya sejak menangani kolom surat di mading, Hutbah sudah mulai berani berdiskusi denganku apa-apa saja tentang seni. Aku juga menjawab seadanya sesuai dengan perasaanku karena aku terlanjur memberi defenisi bahwa seni itu adalah perasaan, tapi bukan perasaan serampangan, tapi perasaan yang tertata dan terstruktur dalam bentuk kata-kata jika yang kita maksudkan adalah karya tulis.
“Beddu, kamu pernah bilang bahwa jatuh cinta itu sastra.”
“Benar, karena jatuh cinta itu indah, bukankah keindahan adalah bagian dari sastra?”
“Segampang itu menghubung-hubungkan ya.” Hutbah penasaran.
“Tidak apa-apa menghubung-hubungkan Hutbah, yang penting satu sama lain saling menguntungkan.” Aku menjawab sekenanya.
“Lalu, apakah patah hati itu adalah sastra, bukankah patah bagian dari jatuh cinta.”
“Maksudnya?”
“Kalau jatu cinta tapi surat cinta dikembalikan.” Ujar Hutbah tanpa perasaan.
Aku terdiam. Hutbah mencoba menyelisik kemampuanku tentang sastra sekaligus menohok perasaanku.
“Begini Hutbah, patah hati memang adalah sastra, tapi yang paling tepatnya adalah patah hati adalah pernak-pernik sastra saja. Maksudnya adalah patah hati itu bisa memberi inspirasi untuk menulis karya sastra. Buat sastrawan, patah hati adalah ibarat danau jingga yang bisa menjadi lautan inspirasi. Berkacalah pada Kahlil Gibran yang karena patah hati yang akut, karena cintanya pada seorang perempuan yang bernama Maizadah tak kesampaian, Gibran terus bernyanyi, melolong. Dan tentu saja nyanyian dan lolongan Gibran tertata dan terstruktur menjadi karya sastra. Asal tahu saja Gibran juga memiliki bahasa jiwa yang demikian menyentuh, karena ia berproses panjang menyanyi dan melolong dalam bentuk tulisan dari kota kelahirannya Libanon hingga Eropa, begitulah Gibran berproses dari batu-batu kesedihan dan kemiskinan.”
“Jadi, mungkinkah “kolom surat” di mading kita bahasanya bagus karena juga lolongan perasaan?” Hutbah terus menyelisik perasaanku dengan tersenyum-senyum.
Aku terdiam. Aku sedikit mengutuk Hutbah, Hutbah sepertinya sebagaimana dalam pantun Melayu Kura-kura dalam perahu, pura-pura tak tahu.
“Begitulah Hutbah, kesenangan dan kesedihan adalah dua aset emosional yang sangat berharga untuk terus berkarya.” Jawabku filosofis yang aku yakin Hutbah tak bisa berkutik lagi.

Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Sabtu, 05 Maret 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 4 JUARA UMUM)

4. JUARA UMUM

Di SMA Bikeru ada satu kebiasaan yang aku anggap sangat bagus untuk memotivasi siswa untuk belajar keras dan giat. Setiap selesai semester, selalu ada acara penerimaan rapor bersama. Dalam acara itu setiap siswa yang berprestasi akan dipanggil satu persatu naik ke podium untuk menerima bingkisan. Buat siswa yang berprestasi, bingkisan itu tak begitu penting, karena isinya paling-paling hanyalah buku tulis. Tapi bukan itu yang membuat para siswa bangga. Dipanggil naik ke podium lalu disebut namanya sebagai siswa atau siswi yang berprestasi di depan para siswa lainnya satu sekolah, di depan guru-guru dan orang tua atau wali mereka pastilah suatu peristiwa yang sangat membahagiakan dan membanggakan. Siswa yang berprestasi akan dikenal oleh siswa satu sekolah. Benar-benar sangat membanggakan. Dan acara penerimaan rapor model begini sangatlah memotivasi para siswa untuk belajar keras dan giat. Manfaat lainnya, karena persaingan ranking sangat ketat, tidak ada siswa yang mau saling menyontek sesama teman kalau ujian semester, apalagi yang dianggap sebagai saingan.
Hari itu tepat hari penerimaan rapor. Semua siswa sudah berkumpul di aula. Para orang tua atau wali siswa juga berkumpul di aula dengan posisi saling berhadap-hadapan. Aula tersebut tepatnya disebut ruang kelas saja, karena ruang kelas yang dibuka sekat-sekatnya sehingga terlihat seperti aula yang memanjang. Itulah memang kelebihan ruang kelas yang terbuat dari kayu, gampang disulap jadi apa saja. Para siswa duduk di bagian selatan menghadap utara, para orang tua atau wali duduk di sebelah utara menghadap selatan, sedangkan guru-guru duduk di bagian barat menghadap ke timur, tamu-tamu penting duduk di sebelah timur menghadap ke barat. Persis di tengah-tengah ada ruang kosong yang disulap menjadi semacam podium, tempat siswa-siswa berprestasi menerima penghargaan.
Aku deg-degan duduk menghadap ke utara sambil sesekali melirik ke kanan. Disitu duduk kepala sekolah, wakil kepala sekolah serta undangan-undangan lainnya. Lalu. Kepala sekolah memberi sambutan pengantar. Intinya memotivasi agar para anak didik rajin belajar. Rajin pangkal pandai, malas pangkal bodoh. Begitulah yang selalu beliau dengungkan. Lalu tibalah giliran wakil kepala sekolah urusan kesiswaan memberikan sambutan sekaligus akan membacakan nama-nama siswa yang berprestasi. Ketika wakasek mulai membacakan nama-nama siswa yang berprestasi, siswa-siswa yang merasa saling bersaing berdebar-debar dan berharap semoga mereka masuk kategori tiga besar di kelasnya masing-masing. Yang sudah sangat yakin akan jadi ranking satu kelas berharap akan jadi juara umum atau bintang sekolah.
Mula-mula wakil kepala sekolah membacakan peringkat kelas di tingkat kelas satu, dari kelas 1.1 sampai 1.6. Pada saat pembacaan peringkat kelas 1.2, banyak siswa yang terkagum-kagum, ternyata siswi yang tercantik di sekolah itu yang bernama lengkap Andi Masniar menduduki ranking satu. Semua siswa yang ada dalam ruangan bertepuk tangan atas kepintaran dan prestasi siswi cantik tersebut, cuma aku yang menunduk malu tapi sesekali melirik juga ke arahnya. Nia naik ke podium bersama dua teman sekelasnya, ketika ia turun dari podium Nia melirik ke arahku di saat yang sama aku melirik ke arahnya, kebetulan memang aku punya kebiasaan duduk di deretan siswa paling depan. Hatiku kian kecut, bilamana kurasakan senyumnya kepadaku agak sinis. Mungkin dihatinya ia berkata, “Wahai kumbang jelek tak tahu diri! Tahu dirilah kalau naksir sama Nia, Nia itu selain cantik pintar pula, kau? Apa yang kau andalkan?” Akh! Menyesal rasanya mencoba menebak pikiran siswi yang cantik dan pintar itu dari sudut pikiranku yang galau. Dalam hal ini, entah siapa yang berburuk sangka. Tapi tiba-tiba ada juga semacam kesombongan menyelinap dihatiku, kesombongan yang membatin, “Kau masih satu semester di sekolah ini, kau belum tahu siapa aku sebenarnya, nanti kau lihat sendiri.” Aku membatin deg-degan, kalau-kalau Anton atau Dayat menyalip ranking kelasku kelak maka buyarlah semua kebanggaanku dan modalku untuk mencuri hati Nia. Kalau Umar dan Hutbah tidak masuk hitungan persaingan. Aku sebenarnya tidak bermaksud memandang remeh prestasi Umar dan Hutbah, cuma memang begitulah kenyataannya bahwa mereka berdua hanya mengekor pada kami.
Lalu tibalah saatnya dibacakan peringkat kelas di tingkat kelas dua. Setelah tiba giliran kelasku, aku kian deg-degan, keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku, kalau aku sampai disalip sama Dayat atau Anton, tak ada lagi yang bisa kubanggakan di depan Nia, aku akan semakin terpalit di matanya. Dan sebagaimana biasa, para siswa memusatkan perhatian ke arahku apakah aku masih mampu mempertahankan prestasi di tengah banyaknya cemoohan dan cobaan, utamanya cobaan cinta yang ditolak oleh Nia yang ternyata siswi cerdas. Kulihat Hutbah dan Umar tersenyum kepadaku, keduanya memang lebih mendukung keberadaanku sebagai yang terbaik daripada Dayat dan Anton. Mungkin karena aku yang paling selalu siap membantu masalah mereka daripada Dayat dan Anton. Mungkin pula, karena diantara kami berlima akulah yang dianggap paling kere. Penilaian kere itu juga subyektif karena mereka menilai aku kere karena orang tuaku yang paling miskin. Begitulah. Tapi aku juga selalu dihibur oleh orang tuaku bahwa dibanding dengan teman-teman lain, sesungguhnya akulah paling kaya karena banyak mendapat beasiswa yang notabene usahaku sendiri, sedangkan yang lain hanya diberikan semata oleh orang tuanya. Aku sangat bangga dengan orang tuaku yang meskipun miskin tapi tidak bermental ‘beggar mentality’(mental pengemis).
“Yang menempati peringkat ketiga dengan nilai rata-rata 8,80 adalah Anton.” Hadirin bertepuk tangan, kulihat Dayat mengacungkan tangan sambil berujar “Yes”. Memang Anton, Dayat, dan aku bersaing ketat dalam satu kelas. Dayat terlihat bahagia karena tinggal satu saingannya yaitu aku. Dan selama itu Dayat merasa bahwa saingan kerasnya sebenarnya bukan aku tapi Anton. Dayat mengira meski aku kelihatan banyak belajar tapi sebenarnya tak konsentrasi karena dipermalukan cintanya oleh Nia. Lalu.
“Peringkat kedua dengan nilai rata-rata 8,95 adalah…” Wakil kepala sekolah terlihat batuk-batuk. Ataukah ia sengaja membaca pengumuman mirip di teve yang mencoba mengaduk-aduk rasa penasaran penonton. Dayat dan aku menahan napas.
“Peringkat dua adalah Dayat!” Kulihat Dayat lemas, dan menjabat tanganku elegan menerima kekalahan dariku, tapi aku tak sungguh-sungguh melayaninya, bukankah peringkat satu belum diumumkan. “Jangan-jangan yang ranking satu malah Umar atau Hutbah,” aku berpikir asal-asalan di tengah menunggu pengumuman selanjutnya. Aku melihat Anton dan Dayat melirik kearahku di atas podium. Aku kian deg-degan seperti menunggu ketukan palu sidang.
“Ranking satu adalah Beddu Kamase!”
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Aku bertasbih tiga kali pertanda syukur. Airmataku bercucuran. Riuh rendah aplaus panjang ke arahku. Aku bergegas naik ke podium dengan hati bertasbih dan bertakbir. Dan tatkala di atas podium ada perasaan begitu bahagia menjalar ke sekujur tubuhku ketika aku melihat ke arah kanan belakang. Kulihat seorang siswi yang memang paling cantik terus bertepuk tangan dan tersenyum ke arahku. Aku merasakan senyum itu berbeda dengan senyumnya ke arahku ketika ia di atas podium tadi. Aku geer, tapi aku benar-benar bahagia bisa menunjukkan kepada bunga yang cantik dan cerdas itu disana bahwa aku adalah kumbang yang pintar yang dicari para bunga-bunga. Tapi kalau memang aku adalah kumbang jelek tidak apa-apa yang penting kedua sayapku kuat untuk terbang jauh menggapai langit-langit kesuksesan. Bila aku telah menggenggam langit-langit kesuksesan maka aku yakin semua bunga-bunga mengharapkan aku singgah membantu membuahi putiknya untuk menghasilkan bunga yang unggul.
Setelah pembacaan peringkat kelas di tingkat kelas tiga, tibalah saatnya penentuan siapa yang berhak jadi juara umum sekolah atau bintang sekolah. Yang akan terpilih jadi bintang sekolah adalah siswa yang paling tinggi nilai IPK(Indeks Prestasi Kumulatif/ nilai rata-rata). Makanya agar pemilihan juara umum lebih menegangkan, penyebutan ranking satu tadi tidak disebutkan nilai rata-ratanya. Selanjutnya, wakil kepala sekolah membacakan tiga nominasi, yaitu Andi Masniar, Beddu Kamase, dan Dayat. Dengan nominasi itu berarti IPK Dayat masuk tiga besar sekolah meski ia cuma ranking dua di kelasku. Sainganku hanyalah Nia, sebaliknya Nia punya dua saingan, Mungkin Nia tidak menyangka bahwa saingannya adalah siswa yang ia kembalikan surat cintanya dan ia cap sebagai kumbang jelek.
Kami bertiga berdiri bangga di atas podium menunggu pengumuman siapa yang akan jadi bintang sekolah. Aku lebih deg-degan daripada acara penentuan ranking kelas tadi. Mungkin karena yang ada disampingku sekarang adalah orang yang sesungguhnya ingin kutunjukkan padanya bahwa aku adalah kumbang yang punya kelebihan yang akan dirindukan para bunga-bunga. Kalau aku jadi bintang sekolah, berarti secara de facto Nia berada dalam bayang-bayangku, sebaliknya jika Nia yang jadi bintang sekolah berarti akulah yang berada dalam bayang-bayangnya, sesuatu yang aku sangat tidak inginkan.
“Peringkat tiga umum sekolah adalah Dayat.”
Kulihat Dayat tetap tersenyum, mungkin ia berpikir meskipun cuma peringkat tiga umum tapi ia sudah mengalahkan banyak ranking satu kelas. Nia terlihat menggenggam tangannya dan berucap “Yes” serupa gaya Dayat tadi waktu penetapan ranking satu di kelasku. Aku hanya komat-kamit mempersiapkan ucapan Allahu Akbar berpuluh-puluh kali bila terpilih jadi bintang sekolah. Semoga saja Nia akan kecewa seperti Dayat tadi.
“Yang menempati peringkat dua umum dengan nilai rata-rata 9, 15 adalah…” Sekali lagi kepala sekolah batuk-batuk. Tapi kala itu bukan sekedar pura-pura batuk seperti aktingnya sebelumnya, karena ia langsung mengambil air minum dan meneguknya tiga kali dengan muka pias. Detik-detik selanjutnya kian menegangkan. Lalu.
“Peringkat dua umum adalah Andi Masniar!”
Aku tak melihat mimik Nia, karena aku langsung sujud syukur. Aku tak perduli lantai yang berdebu, yang aku ingat hanyalah lagu Malaysia Suci Dalam Debu. Dan lagu Iklim tersebut kian merayu-rayu di telingaku ketika aku bangkit dari sujud syukur, Nia langsung menjabat tanganku dan tersenyum manis, teramat manis malah, hingga menggubah syair Iklim menjadi Cinta Dalam Debu. Jabatan tangan Nia yang lembut benar-benar membuat debu di tanganku menjelma cinta. Begitulah kalau kita terlalu geer, tapi tidak apa-apa sebagai penyemangat walau kelak mungkin akan tersengat karenanya. Aku benar-benar bahagia hari itu. Aku bisa membuktikan bahwa biar kumbang jelek tetapi pintar dan cerdas akan tetap dielu-elukan dan dibanggakan. Wakil kepala sekolah akhirnya menutup pengumuman dengan ceria, tak ada batuk-batuk lagi.
“Peringkat satu umum atau bintang sekolah dengan nilai rata-rata 9, 51 adalah Beddu Kamase. Sebagai bintang sekolah, Beddu mendapatkan beasiswa bebas pembayaran SPP sampai semester berikutnya.”
Aku menitikkan airmata karena malam sebelumnya ibuku akan menggadaikan sementara kalungnya untuk SPP-ku pada semester berikutnya karena belum saatnya panen coklat yang juga tak seberapa luas. Aplaus panjang kian memanjangkan angan-anganku. “Makanya jangan pandang enteng anak pensiunan hansip, meski tak ada tunjangan pensiun, tapi keikhlasannya mengabdi selalu mendapat berkah.” Aku membatin.

Yang paling membuatku bahagia adalah aku membaca buku tentang hakekat ketampanan buat pria dan hakekat kecantikan buat perempuan. Katanya ketampanan itu ada dua jenis yaitu ketampanan keluar dan ketampanan kedalam. Tampan keluar berarti bentuk fisik yang cantik atau tampan, sedangkan tampan kedalam adalah kebaikan hati termasuk prestasi. Tampan keluar biasanya mudah pudar, sedangkan tampan kedalam akan kekal, dan sesungguhnya hakekat ketampanan itu dari dalam. Dalam bahasa Inggris tampan disebut handsome yang makna leksikalnya adalah banyak tangan yang berarti orang tampan itu suka dan ikhlas menolong. Kalau kecantikan perempuan memang lebih dominan ke fisik menurut istilah Bahasa Inggris beautiful, tapi itu juga diralat dengan munculnya istilah inner beauty. Tapi menurut buku tersebut yang aku sudah lupa judulnya, intinya adalah pria yang tampan belum tentu baik, tapi pria yang baik akan nampak tampan. Begitupun perempuan yang cantik belum tentu baik, tapi perempuan yang baik kelihatan cantik. Ukurannya adalah tampan atau cantik bersifat lahiriah yang akan memudar seiring dengan berjalannya waktu, sedangkan tampan atau cantik dari dalam ukurannya adalah rohani yang kualitasnya bisa terus bertambah beriringan dengan waktu bila seseorang itu semakin giat memperbaiki diri dan aktualisasi diri. Intinya, lahiriah atau jasmani bermusuhan dengan waktu, sebaliknya rohaniah bisa berteman dengan waktu. Dan hakekat hidup sebenarnya adalah ruhani. Ruhani akan mempengaruhi fisik. Soal istilah mensana incorporesano yang berarti didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat, itu lebih bermakna bahwa kita harus selalu menjaga kesehatan dengan berolah raga.
Begitulah. Sejak aku membaca buku tersebut aku sangat semangat karena hakekatnya ternyata aku begitu tampan. Dan aku merasakan Nia juga berpandangan seperti itu, buktinya sejak Nia tahu bahwa aku bukan siswa pecundang, tapi bintang sekolah, Nia berubah seratus delapan puluh derajat padaku. Nia selalu berusaha tersenyum seindah mungkin bila berpapasan denganku, tapi Nia nampak kecele, karena aku juga termasuk lelaki yang kuat imannya yang tak mudah luluh oleh senyuman saja. Selain itu sakit hatiku dan rasa malu masih membekas dibenakku bila mengingat Black Accident di depan perpustakaan itu. Diteriaki kumbang jelek lalu dikembalikan surat cinta dengan dilemparkan di depan umum adalah rasa malu yang sepertinya tak bisa terhapus oleh hujan setahun, mungkin butuh dua tahun. Artinya selama aku masih di SMA rasa malu dan sakit hati itu tak bisa hilang, karena waktuku masih tersisa satu tahun setengah di SMA, maka kalau memang Nia jodohku, nanti setamat SMA baru aku bisa menerimanya. Tapi aku masih berandai-andai karena Nia juga belum tentu mau sama aku, karena soal ketampanan dan kecantikan masing-masing individu punya selera yang berbeda-beda. Begitulah ke-Maha Kuasa-an Tuhan dan keunikan perasaan.

Sejak dinobatkan jadi bintang sekolah, aku semakin rajin belajar, aku bertekad untuk terus mempertahankan gelar bintang sekolah. Pun aku akan menunjukkan pada Nia bahwa aku siswa yang benar-benar hebat. Dan satu lagi yang tak boleh terjadi, Nia merebut gelarku sebagai bintang sekolah. Nia boleh saja mengambil gelarku yang penting aku sudah tamat dari sekolah itu, begitulah pikirku. Untuk lebih menunjukkan siapa diriku sebenarnya, sekaligus sebagai ungkapan atas kekecewaanku dulu pada Nia, aku mengganti sticker di ranselku menjadi, “I’m the Champion! Study Yes, Love No”. Melihat aku mengganti sticker, Dayat yang memang orangnya lucu tapi berjiwa besar juga mengganti sticker “I’m the runner-up! 1001% Moslem.” Dayat sebenarnya tidak mengganti sticker, ia hanya menyempurnakan sticker plus mengakui kekalahannya dariku, kalau dulu tertulis 100% sekarang menjadi 1001%, mungkin Dayat menghubungkan kisah seribu satu malam. Anton lain lagi, ia yang juga suka usil dan jago cerita seperti Dayat juga ikut-ikutan mengganti stickernya dari “No Problem” menjadi “My problem is Dayat and Beddu”, alasan Anton memilih kalimat ini karena Dayat dan aku yang mengganjal niatnya jadi ranking satu.
Kalau kami bertiga ada perseteruan sticker soal prestasi, Umar dan Hutbah lain lagi. Mereka berdua meski mengganti sticker pula, tapi visinya tetap sama, mungkin mereka ikut-ikutan saja mereformasi sticker. Sticker Umar dari “Crystal Man” menjadi “Mr.Cuek”, sedangkan Hutbah dari sticker “Love is Blind” menjadi “Mr.Blind”. Menurutku, Umar dan Hutbah cukup cerdas, buktinya keduanya bisa membuat sticker dengan bahasa yang ringkas, padat, dan metaforis.
Dan sticker yang paling membuatku begitu penasaran adalah sticker mungil yang tertera di tas Nia berbunyi, “Please Forgive Me”. Entah kepada siapa kalimat itu ditujukan, kepada Hutbah atau aku, yang jelasnya ketika aku berpapasan dengan Nia, kalimat itu seolah kulihat menggantung di sudut bibirnya yang mungil. Semoga saja pertanda baik. Harapku menggigil karena masih menyimpang rasa malu luar bisa. Lelaki siapa yang tak akan menanggung malu yang menggunung dan trauma bila cintanya ditolak kasar dengan dilemparkan surat cintanya plus diteriaki kumbang jelek? Aku benar-benar telah mengalaminya. Sayap cintaku benar-benar patah serupa sayap-sayap cintanya Kahlil Gibran dalam novelnya The Broken Wings. Untungnya, kala itu sayap-sayapku sudah sembuh bahkan semakin kuat dengan penobatanku sebagai bintang sekolah. Alhamdulillah.

Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)