Rabu, 23 Februari 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 2 NAMA DALAM SEPUCUK SURAT)

2. NAMA DALAM SEPUCUK SURAT

Dari berlima berteman, Dayat, Anton, dan aku tergolong siswa paling pintar di sekolah. Sedangkan Hutbah dan Umar adalah siswa yang pas-pasan soal pelajaran. Tapi kami berlima tetaplah saling melengkapi. Umar yang bertindak sebagai pengamanan meski ia sendiri sering tak aman karena matanya selalu awas terhadap Pak Chaeruddin. Bila ada yang mau macam-macam kepada salah seorang dari kami maka Umar yang pasang kuda-kuda.
Hutbah lain lagi. Ia memegang kas keuangan dan menjadi donator utama kelompok kami. Tentu saja Hutbah dan Umar mendapat kompensasi dari kami bertiga. Hutbah dan Umar benar-benar mendapat kompensasi BBM yang memuaskan. Soal nama kompensasi BBM, itu juga istilah Hutbah dan Umar. Kata mereka berdua, BBM berarti Bahasa Inggeris, Bahasa Indonesia, dan Matematika. Dayat dan Anton bergantian mengerjakan PR matematika mereka, sedangkan PR Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, aku yang bertanggung jawab.
Sebenarnya di awal pertemanan, kami bertiga berinisiatif agar Hutbah dan Umar tidak boleh bergantung pada kami. Tapi sebagai teman, kami siap membimbing mereka belajar khususnya bidang studi yang mereka kelompokkan BBM itu. Tapi itulah Hutbah dan Umar. Hutbah hanya sibuk tebar pesona dengan proyek cintanya. Sedangkan Umar sibuk dengan Crystalnya, merokok dan balapan. Akhirnya setelah mendengar cita-cita mereka berdua, kami bertiga bersepakat bahwa kedua teman itu tidak apa-apa bila disuapi saja. Hutbah bercita-cita setelah tamat SMU, ia melanjutkan usaha dagangan orang tuanya. Cita-cita Hutbah tak menyalahi peraturan nasib karena ia memang anak tunggal dengan orang tua sebagai pedagang sukses plus punya kebun coklat yang luas pula. Kalau Umar, setamat SMU ia ingin jadi pembalap motor, tapi ia masih punya rencana lain yang aku kira lebih bersahabat dengannya. Kalau ia gagal jadi pembalap katanya ia akan hijrah ke Kolaka mengikuti jejak kakaknya yang sukses jadi petani kopi dan kakao di sana. Keduanya memang punya cita-cita yang realistis. Kami bertiga, Dayat, Anton, dan aku bercita-cita jadi pegawai negeri sipil. Kami bertiga tak punya kebun yang luas seperti Hutbah dan Umar. Bahkan ayahku sudah berancang-ancang untuk menjual tanah warisan untukku bila kuliah kelak. Kata ayahku lebih baik pendidikan saja yang diwariskan, kalau harta warisan masih bisa diperebutkan, sedangkan pendidikan menjadi hak paten bagi yang memilikinya. Luar bisa ayahku memotivasi diriku, padahal ia hanya tamatan Sekolah Dasar.
Dari berlima berteman pula, nampaknya memang yang punya kecenderungan berpacaran hanyalah Hutbah dan Umar. Bahkan Hutbah bukan lagi cenderung tapi sudah kecanduan malah. Soal pacaran, Hutbah dan Umar mempunyai cara yang sangat bertolak belakang. Hutbah ingin suasana romantis dengan curahan kata-kata indah nan menggugah, sayangnya ia tak punya kemampuan memadah dan menadah percikan kata-kata. Singkatnya ia tak punya bakat mengarang dan menyair, tapi asumsi ini juga kurang benar. Bukankah Thomas Alfa Edison pernah mengatakan “Genius is 98 percent perspiration”(Kepintaran itu 98 persen adalah keringat/usaha). Jadi andaikan Hutbah mau latihan sedikit saja menulis surat cinta pasti bisa. Tapi mungkin Hutbah berpikir masih ada aku yang bisa menuliskannya. Ataukah Hutbah sok sosialis mempekerjakan orang lain karena ia pikir punya banyak uang. Ya, terkadang memang bila orang tua kaya, anak jadi serba konsumtif dan bermalas-malasan.
Umar sebaliknya, bila ia suka pada seorang perempuan, ia akan langsung menemuinya dan mengungkapkan perasaannya. Ia tak puas lewat surat, katanya tidak jantan. Aku kagum dengan ‘kejantanan’ Umar meski perjalanan cintanya tidak semulus cintanya Hutbah yang memang memanfaatkan jasa orang lain. Tentu saja kebanyakan siswi menolak Umar yang berlagak jantan. Ketika Umar konsultasi denganku, aku menjelaskan begini, “Sebenarnya sikapmu sangat jantan Mar, tapi itu biasanya berlaku bila perempuan dewasa yang kau dekati, kalau perempuan pra remaja atau remaja apalagi perempuan desa yang kau dekati tidak boleh langsung menembak dengan peluru cinta, harus melalui banyak tahap, kokangan senjatanya pun harus lebih lembut, peluru tak boleh ngebut, nanti tak bersambut.” Aku menjelaskan sok filosofis dan promosif pada Umar dan berharap ia mau meminta bantuanku. Sekaligus proyek baru buatku. Tapi begitulah Umar yang memang merasa gentleman soal cinta. Sayangnya ia tak gentleman soal pelajaran. Tapi Umar lebih baik sedikit dari Hutbah. Hutbah sangat terlalu, soal pelajaran dan cinta sangat bergantung pada orang lain. Artinya seberapa pun suksesnya Hutbah, sukses cintanya dan pelajarannya, tapi semua itu hanyalah sukses semu. Aku merasa lebih sukses dari Hutbah, karena dengan membuatkan surat cinta Hutbah berarti aku latihan memperhalus diksi bahasaku serta mempertajam pisau kata-kataku yang mungkin nantinya sangat bermakna buatku bila benar-benar aku terjun dalam dunia kepenulisan. Harapku selalu di sela-sela degupan perasaanku setiap kali menulis surat cinta Hutbah khususnya yang ditujukan kepada Nia. Siswi baru yang cantik itu memang diam-diam terus menjajah perasaanku. Tak siang, tak malam. Selalu terbayang, walau hanya bayang-bayang.

Tiba-tiba saja aku merasa sikap Hutbah tak adil. Masak semua siswi-siswi yang cantik mau dipacarinya. Lagi pula aku semua yang mengurusi tetek bengeknya, dari surat pertama sampai surat-surat berikutnya. Entah, karena wajah Hutbah memang cakep atau kepiawaian aku membuat surat cinta sehingga semua surat-surat yang kutulis atas nama Hutbah selalu mendapat balasan yang sangat memuaskan. Tapi yang jelasnya, semua teman-temanku, Hutbah, Dayat, Anton, dan Umar menggelariku “Penulis Surat Cinta Yang Berbakat”. Wajar memang, karena sejak di Sekolah Dasar aku selalu juara satu lomba mengarang. Kalau bahasaku mendayu-dayu, itu karena aku sudah khatam novel-novel dan puisi-puisi dari Angkatan Balai Pustaka hingga Angkatan 90-an. Bahkan seluruh novel-novel Buya Hamka aku sudah hafal di luar kepala. Dari novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wick hingga “Di bawah Lindungan Ka’bah”. Ataukah novel yang ngetop lainnya seperti Siti Nurbaya, Azab Dan Sengsara, Layar Terkembang, Sengsara Membawa Nikmat, ataukah novel yang muncul belakangan seperti Bekisar Merah karya Ahmad Tohari, tak lupa pula aku melahap novel-novel yang lebih bergenre pop seperti Cintaku Di Kampus Biru atau Terminal Cinta Terakhir karya Ashady Siregar, atau novel Badai Pasti Berlalu karya Marga T. Soal puisi, aku paling suka puisi Chairil Anwar dan Amir Hamzah. Buku Chairil Anwar Deru Campur Debu atau buku Amir Hamzah Nyanyi Sunyi adalah dua kitab puisi yang aku anggap suci. Kalau biasanya orang lain paling menyukai puisinya Chairil Anwar Aku, kalau aku, puisi Chairil Anwar yang paling kusukai adalah Doa, kepada pemeluk teguh. Sedangkan puisi Amir Hamzah yang paling kusukai adalah Padamu Jua. Menurutku puisi Amir Hamzah tersebut sangat indah. Isi, kulit, dan daging puisi itu sangat bergizi. Pun pesan ketuhanan dan susunan barisnya sangat memesona.
Soal menulis surat cinta, aku punya teknik khusus menuliskannya. Surat pertama biasanya hanya berisi ingin berkenalan dulu. Lalu kalau sudah ada jawaban, melayanglah surat kedua tanya ini tanya itu dan sudah mulai ada kata-kata yang mengagumi kecantikannya. Lalu ketika ada jawaban kedua, lampu hijau atau lampu apa saja, tetap melayang surat ketiga dengan rayuan hiperbolik. Sambil menunggu jawaban surat ketiga, kirim lagi surat keempat dengan rayuan maut sampai hati si dia tersangkut. Kalau di sepakbola, serupa gaya totalfootbal ala Belanda. Dan biasanya teknik ini berhasil. Tingkat penolakannya nihil.
Meski dengan hati setengah patah, aku tetap mengerjakan proyek cinta Hutbah. Intinya, bagaimana aku bisa menundukkan Nia dengan surat-surat cinta yang mendedah perasaan. Mungkin karena memang aku juga mempunyai perasaan khusus padanya sehingga surat yang kutulis meski dengan nama Hutbah tapi benar-benar ungkapan perasaan seorang kekasih pada kekasihnya yang bertahun-tahun tidak berjumpa. Benar-benar mengharu biru, serupa surat-surat William Butler Yeats kepada Maud Gonne, ataukah Kahlil Gibran pada Maizadah. Aku memang banyak meminjam kata-kata Kahlil Gibran yang terkadang menyayat-nyayat hayat.
Soal meminjam ungkapan-ungkapan penyair dari Kahlil Gibran, William Shakespeare, Chairil Anwar, Amir Hamzah, atau Sapardi Djoko Damono, aku tak mau men-copy paste begitu saja, aku membuat ungkapan lain yang sekonteks dengan ungkapan-ungkapan penyair itu. Aku pikir, sebagai calon penulis, tidak apa-apa kita mengekor pada penulis lain dahulu, tetapi bilamana kita cuma bisanya mengekor pada orang lain maka selama itu kita hanya jadi calon penulis. Nanti kita bisa disebut sebagai penulis kalau kita merasa bahwa apa yang kita tulis benar-benar adalah warna atau style kita. Begitulah, Hutbah bergantung padaku, dan aku bergantung pada para penyair-penyair besar, bedanya aku tahap belajar sedangkan Hutbah tahap menikmati dan tak pernah belajar. Kalau begitu, Hutbah selamanya akan bergantung pada orang lain, dan aku suatu waktu tidak akan bergantung lagi pada orang lain. Dan bila aku tetap bergantung pada orang lain itu berarti belajarku tidak berhasil. Mungkin itulah hakekat belajar yang sebenarnya.
Dan. Kali itu aku belajar menerima pil pahit kenyataan. Pahit memang. Merayu perempuan yang ayu dengan perasaan yang mendayu-dayu karena memang adalah ungkapan hati yang paling dalam, lalu terkirim dengan nama lelaki lain yang tak punya perasaan. Tapi apa boleh buat, terkadang hatiku menjerit meratap dan meranap. Inilah konsekuensi dari cowok yang tak cakep dan tak punya nyali.
Alhasil. Dan memang aku sudah menduga. Nia takkan menolak cinta Hutbah. Wajah Hutbah yang cakep plus caraku menulis surat cinta yang mendayu-dayu dan menghipnotis. Tentu saja Nia larut hanyut dalam denyut cinta yang menggelora. Terpaksa perasaanku kian tersudut. Tersudut oleh cinta Si Badut Hutbah. Meski begitu, tetap ada perasaan yang indah yang kurasakan setiap kali aku menulis surat untuk Nia. Kuhayalkan bahwa Nia adalah pacarku. Aku mencoba membayangkan bahwa kata-kata yang kutulis sedang kuucapkan langsung di depan Nia sambil memandangi lentik bulu matanya yang teramat indah. Sebuah perasaan yang tragis sesungguhnya.
Meski aku tahu sangat susah untuk membohongi perasaan terus menerus tapi aku tetap mencobanya. Aku belajar menjaga amanah. Aku berpikir bila aku benar-benar mampu membuatkan surat cinta Hutbah untuk Nia tanpa sekalipun aku berkhianat berarti aku sudah lulus ujian jadi sekertaris atau bawahan yang bertanggung jawab. Artinya aku tak perlu ragu bila suatu saat memegang amanah karena aku sudah teruji soal tanggung jawab. Dan satu lagi, bila aku bisa menjaga kepercayaan Hutbah berarti di kemudian hari aku tak mungkin lagi terjangkiti endemik selingkuh yang hanya akan merusak keluargaku sendiri serta keluarga orang lain. Tapi sekali lagi ini memang soal perasaan. Kalau perasaan yang bicara hanya benteng iman lah yang bisa menetralkannya. Dan iman pun harus dibentengi dengan tidak mendekati hal-hal yang berbau negatif. Begitu yang selalu aku dengar dari bapaknya Dayat yang Imam Masjid.

Siang itu kami berkumpul di depan perpustakaan sekolah. Ramai para siswa memperhatikan mading-mading yang menempel di depan perpustakaan. Kalau biasanya mading siswa ditempel di depan kelas masing-masing, tapi aku mengusulkan kepada wali kelasku yang kemudian diteruskan kepada kepala sekolah bahwa sebaiknya mading-mading seluruh kelas disatukan tempatnya supaya kami semua bisa memperhatikan mading dari kelas-kelas lain. Aroma persaingan mading pun kian kental sehingga kami semua bersaing menjadi yang terbaik. Sebenarnya aku mengusulkan demikian karena selama ini memang mading kelasku yang paling ramai dibicarakan oleh siswa-siswi kelas lain, pun terkadang oleh guru-guru.
Sementara siswa-siswi yang lain sibuk memperbincangkan mading-mading. Kami berlima, Dayat, Anton, Hutbah, Umar, dan aku bercengkerama panjang lebar tentang topik apa saja. Biasanya saat istirahat, Dayat dan Anton yang paling banyak mengambil peran karena keduanya terkenal jago berkisah. Memang kami butuh suasana santai saat istirahat. Dayat yang memang humoris yang sangat hafal cerita-cerita Abu Nawas bercerita bergantian dengan Anton yang menguasai cerita Lamellong(Abu Nawas dari Tanah Bugis).
Menurut cerita Anton, dulu pernah ada utusan raja mencari rumah Lamellong. Raja sangat ingin bertemu dengan Lamellong yang terkenal jago bersilat lidah. Kebetulan utusan raja itu bertanya sama Lamellong sendiri, tapi Lamellong ingin mengerjai utusan raja tersebut.
“Silakan tuan-tuan mencari rumah Lamellong, yang jelasnya rumah Lamellong mempunyai tiga tangga.” Ujar Lamellong.
“Baik, kami akan mencarinya, tapi awas kau anak muda kalau kau mengerjai kami, kami akan kembali kesini untuk mematahkan lehermu.” Utusan raja mengancam.
Lamellong hanya mesem-mesem mendehem. Ia tahu bahwa biasanya memang pejabat sok menakut-nakuti. Maka berangkatlah para utusan raja tersebut menyelusuri rumah demi rumah mencari rumah yang mempunyai tiga tangga tangga. Namun meski seluruh rumah di kampung itu sudah mereka periksa satu persatu tetapi tidak ada rumah yang tiga tangganya. Umumnya rumah mempunyai dua tangga. Begitulah memang rumah panggung orang Bugis hanya mempunyai dua tangga. Tangga depan dan tangga belakang. Tangga belakang biasanya berfungsi sebagai tangga ‘darurat’. Karena orang Bugis terkenal sangat menghargai tamu, namun bila ada tamu tapi kehabisan gula atau kopi, maka tuan rumah atau anaknya menyelinap lewat pintu belakang mencari gula, tak peduli dibeli atau dipinjam. Jadi catatan khusus, bila tiba-tiba anda berkunjung ke rumah orang-orang Bugis, jangan resah kalau lama menunggu di ruang tamu, artinya tuan rumah kalang kabut menyiapkan suguhan untuk anda. Tapi ini hanya berlaku di pedalaman. Kalau di kota hati-hati, kalau tuan rumah lama tak muncul-muncul dan anda sementara di ruang tamu, hati-hatilah karena kemungkinan tuan rumah memanggil polisi karena mengira anda penipu atau perampok.
Karena tidak menemukan rumah yang tiga anak tangganya, maka pimpinan utusan raja murka. Lalu ia memerintahkan pasukannya kembali ke tempat semula mencari pemuda yang telah mengerjainya lalu memenggal kepalanya.
Akhirnya rombongan utusan raja bertemu kembali dengan Lamellong di pinggir sungai.
“Bajingan, Anda telah memperdayai kami.” Bentak seorang utusan.
“Sudahkah tuan memeriksa seluruh rumah di kampung ini?”
“Mana ada rumah di kampung ini punya tiga tangga.” Sahut yang lain.
“Ada, rumah Lamellong.”
“Bohong, jangan percaya! pancung kepalanya!” Yang lain lagi berteriak.
Lamellong terdiam. Ia membatin, susah juga berbicara pada sekelompok orang ini, semuanya berebutan menjawab. Jumlah rombongan ada tiga belas orang. Artinya ia harus menyiapkan tiga belas jawaban perdana pula. Lamellong sadar biasanya pasukan begini kalau tak mampu lagi berdebat pasti main pukul saja. Maka Lamellong tak mau berdebat dengan orang yang sesungguhnya hanyalah tukang pukul tersebut.
“Baik, kalau begitu, mari sama-sama mencari rumah Lamellong.”
Setelah tiba di rumah yang dimaksud, Lamellong berkata, “Inilah rumah Lamellong, hitunglah sendiri tangganya ada berapa, tangga depan, tangga belakang, dan satunya lagi tangga rangkiang.” Semua utusan terbelalak. Lalu.
“Kalau begitu dimana gerangan Lamellong?”
“Lamellong adalah orang yang anda anggap tadi menipu Anda.”
Semua utusan raja terbelalak persis akting Anton yang memang jago bermelodrama. Kami semua tertawa melihat kelucuan Anton bercerita. Pun siswa-siswa yang lain tertawa dengan kepiawaian Lamellong memperdaya utusan raja. Tapi siswa-siswi yang lain tidak mendengar langsung cerita itu dari Anton, karena memang apa yang Anton ceritakan sudah dimuat di mading kelas kami pada hari itu. Cuma Hutbah yang terlihat asal tertawa saja supaya tidak dicap out of the system karena memang sejak tadi perhatiannya hanya seperempat ke cerita Anton, yang lainnya tertuju pada Nia yang sejak tadi memandang ke arah kami. Aku sendiri sesekali melirik ke arah Nia, namun aku merasakan pandangan Nia seperti pandangan anah panah yang siap menghunjam ke dadaku tapi bukan panah cinta. Panah derita. Begitulah firasatku yang baru kali itu merasakan jatuh hati pada perempuan. Hati seperti tak bertuan.
Selanjutnya giliran Dayat bercerita. Tapi baru juga intermezzo, perhatian kami berbalik ke arah Nia yang memang sedang berjalan ke arah kami. Anehnya pandangan Nia ke arah kami seperti pandangan bidadari yang jengkel karena disembunyikan selendangnya oleh Jaka Tarub. Hutbah cepat menyentuh tanganku. Aku paham bahasa Hutbah. Ia mengharap kala itu aku saja yang bertindak sebagai Jaka Tarub. Aku menyambut baik sikap Hutbah karena memang aku pikir akulah yang pantas jadi Jaka Tarub. Dan aku memang sudah memulai langkah itu. Dan…
“Ambillah kembali! Aku tak sudi bungaku dihinggapi kumbang jelek.”
Nia melempar surat yang kutulis pada malam sebelumnya, tapi bukan ke arah Hutbah tapi ke arahku. Semua yang ada di depan perpustakaan kala itu mendadak menoleh ke arahku dengan pandangan bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Aku tak bisa berkata-kata apa-apa. Aku seperti mati suri kala itu. Itulah pengalaman pertamaku dipermalukan di depan umum, susah untuk digambarkan, rasa malu tingkat tinggi. Karena semua yang ada disekitarku seolah menertawaiku. Bukan hanya teman-teman atau siswa yang lain tapi juga rerumputan yang tumbuh subur di depan perpustakaan sekolah seolah ikut menertawaiku. Dan yang paling aku rasa paling sinis menertawaiku adalah gambar orang utan yang memperlihatkan gigi-giginya yang menempel di mading kelas kami. Gambar itu ditempel oleh Hutbah.
“Apa yang terjadi Beddu?” Koor Dayat dan Anton bertanya. Tadi juga mereka mendadak bengong dengan sikap Nia yang melempar surat padaku. Karena mereka tahu kalau Hutbah dan Nia selama ini akur-akur saja. Lalu kenapa pula ia melempar surat kepadaku bukan kepada Hutbah. Aku tak bisa menjawab, kerongkonganku masih tercegat oleh rasa malu. Kulihat Umar berlagak cuek saja, ia kelihatan biasa-biasa saja dengan kejadian itu. Wajar memang karena ia terbiasa ditolak oleh perempuan. Yang kelihatan agak aneh saja adalah Hutbah. Entah apa yang ada dibenak orang yang satu itu. Ataukah ia belum mampu memahami kejadian yang baru saja terjadi?
“Ada apa dengan Nia, Beddu?” Hutbah bertanya pula, berpura-pura atau memang tak tahu, aku membatin.
“Cuek saja Beddu” Umar berusaha menetralkan perasaanku.
“Tapi apa yang terjadi Beddu?” Hutbah menyelidik.
Tiba-tiba lonceng berbunyi pertanda jam istirahat selesai. Aku sedikit tertolong. Tapi hatiku tetap kosong melolong. Aku berjanji tak akan memberitahukan apa yang terjadi tadi, tapi aku yakin kejadian tadi akan diketahui oleh seluruh siswa satu sekolah esok hari. Pengalaman yang teramat tragis dan memalukan buatku.
Di ruang kelas aku tak bisa konsentrasi lagi. Untungnya pelajaran terakhir hanyalah bidang studi sejarah yang tidak begitu memerlukan penghayatan. Meski tak konsentrasi, aku tetap mengingat apa-apa yang diceritakan oleh Pak Zainuddin tentang kepahlawanan Datu Museng dan isterinya Maipa Daya Pati. Konon ketika Datu Museng terdesak dengan pasukan Belanda dan ia harus melawan sampai tetes darah penghabisan karena memang tidak ada kata mundur dan menyerah baginya Ia bermusyawarah dengan isterinya yang sangat ia sayangi Maipa Daya Pati. Maipa Daya Pati yakin bahwa tak mungkin suaminya selamat kala itu karena mereka berada dalam benteng pertahanan Belanda dan sudah terkepung oleh tentara Belanda serta orang-orang pribumi yang berkhianat, bahkan sebenarnya Gubernur Jenderal Belanda sengaja menjebak Datu Museng untuk mengambil isterinya yang sangat terkenal kecantikannya itu.
“Kakanda yang sangat kucinta dan kuhormati. Aku tak ingin menjadi tawanan dan pemuas nafsu bejat Belanda jika Kakanda terbunuh. Makanya sebelum Kakanda berperang sebaiknya bunuhlah dulu Adinda. Adinda akan bahagia kalau meninggal di tangan suami tercinta. Semoga Tuhan kelak mempertemukan kita di akhirat.”
Datu Museng melangkah memeluk dan mencium kening isterinya. Lalu secepat kilat ia menebas leher isterinya dengan keris saktinya. Lalu bagaikan singa murka, Datu Museng menyerang Belanda. Puluhan tentara Belanda meregang nyawa di ujung keris saktinya. Tapi karena pasukan Belanda terlampau banyak, akhirnya Datu Museng syahid bagi negerinya tercinta. Karena keheroikan Datu Museng dan isterinya Maipa Daya Pati, maka keduanya bisa disaksikan namanya berdampingan pada nama jalan di Kota Makassar sekarang ini. Cerita Pak Zainuddin sedikit menghiburku hingga lonceng pulang terdengar.
Esoknya tersiar kabar yang sangat menggemparkan satu sekolah dan tentu saja membuatku malu. Tersiar berita bahwa Beddu, siswa yang terkenal pintar Bahasa Inggris itu, ditolak cintanya mentah-mentah oleh Andi Masniar, siswi yang terkenal paling cantik di sekolah. Yang paling membuatku menderita batin karena kata mereka Beddu ditolak dengan dikembalikan surat cintanya, diteriaki pula kumbang jelek, aku tak bisa berkutik karena memang begitulah kejadian sesungguhnya, tak kurang dan tak lebih, jadi bukan opini tapi fakta. Soal istilah kumbang jelek, Nia menyontek dari isi surat tersebut. …Nia! Kau bagaikan bunga semerbak mewangi yang tertanam di lubuk para cowok di sekolah ini, tapi yakinlah tak kubiarkan ada kumbang hinggap menghisap madumu kecuali aku sendiri, akulah kumbang untukmu…
Jujur aku akui, memang surat itu terkirim bukan dengan nama Hutbah, tetapi dengan nama Beddu Kamase, namaku sendiri. Awalnya aku salah tulis, mungkin ketika aku menulisnya aku terlalu larut dalam perasaan yang terus mekar di hatiku, perasaan suka pada Nia sejak pandangan pertama dulu. Ketika sadar kalau salah tulis aku bersegera menghapus dan mengganti dengan nama Hutbah, tapi tiba-tiba seperti ada bisikan dari perasaanku, “Tak usah diganti dengan nama Hutbah, inilah awal untuk mengungkapkan perasaanmu kepada Nia, kau yang lebih pantas memilikinya daripada Hutbah, perasaanmu kepada Nia adalah perasaan suci dari jiwamu yang memang pantas dimiliki Nia. Perasaanmu ke Nia adalah perasaan cinta. Ya, cinta suci. Tapi ingat! Cinta itu adalah pengorbanan, dan kau harus benar-benar berkorban, korban perasaan dulu tak apa-apa.” Bisikan halus itu mengingatkan aku akan pepatah Inggris “No Gain Without Pain”. Tidak ada bahagia tanpa derita. Kala itu aku benar menderita. Derita karena rasa cinta.
Begitulah bisikan yang telah membuatku benar-benar berkorban perasaan yang luar biasa. Luar biasa malu. Dan Nia yang luar biasa tak berperasaan padaku. Sebagaimana dengan bisikan cinta, aku mencoba menghibur diri dengan kalimat menggugah “No Gain Without Pain”. Tapi tetap saja rasa malu itu mengoyak diri.

Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)


Jumat, 18 Februari 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 1 SISWI BARU)

1. SISWA BARU

Tahun ajaran baru kala itu aku sudah kelas dua. Aku aktif sebagai pengurus OSIS(Organisasi Intra Sekolah). Sudah jadi tradisi, sebagai senior dari siswa baru biasanya kami merasa lebih ‘hebat’ dari junior. Kebiasaan yang konyol sesungguhnya, namun bila perasaan hebat itu lebih bermakna positif seperti lebih pintar, lebih dewasa, lebih patuh dan taat pada peraturan, maka sesungguhnya perasaan hebat itu sangat perlu dilestarikan. Sayangnya, perasaan hebat itu umumnya lebih condong ke hal-hal yang tak begitu positif, seperti sok lebih berkuasa, atau sok lebih jago, jago merokok, jago-jagoan. Begitulah kebiasaan yang salah.
Masih dalam suasana orientasi penerimaan siswa baru di SMU Negeri Bikeru Sinjai Selatan. Semua siswa baru wajib mengikuti acara itu. Karena memang benar-benar pengenalan sekolah terhadap siswa dari jenjang SMP ke SMU, dari usia pra remaja ke usia remaja. OSIS sebagai pelaksana sebenarnya hanyalah pendamping saja karena yang membawakan materi adalah para guru, tetapi tetap ada sebagian acara yang dipandu langsung oleh pengurus-pengurus OSIS. Dan biasanya acara seperti itu dimanfaatkan oleh sebagaian pengurus OSIS yang laki-laki untuk mendekati siswi baru yang berparas cantik. Biasanya begitu.
Seperti acara pada pagi itu di salah satu ruang kelas. Semua kakak kelas laki-laki tertuju pada seorang siswi baru yang berparas ayu. Aku pun berpura-pura membentaknya. Tapi sungguh aku tak bermaksud memarahinya, aku hanya ingin mencari perhatiannya saja.
“Melompat! Jangan cengeng!” Aku menghardik sok menyelidik, tapi aku terus menatap wajahnya yang ayu.
Entah. Aneh bin ajaib. Baru kali itu aku merasakan getar-getar keanehan menatap siswi baru itu. Padahal sekian lama aku tak pernah tertarik dengan perempuan apalagi untuk berpacaran dulu. Pun berkenalan dengan perempuan rasanya aku malu kecuali dengan teman sekelas, atau biasanya perempuanlah yang pertama berkenalan denganku. Bahkan aku membuat sticker di ranselku berbunyi: NO TIME FOR LOVE.
Memang kala itu lagi ngetrend para siswa memakai ransel. Mungkin sebagai penggambaran siswa yang punya ransel, masing-masing di ransel kami tertera sticker yang unik bahkan sedikit nyeleneh sesuai dengan karakter kami. Anton yang anak Kepala Kampung yang orangnya memang agak cuek di tasnya tertulis “No Problem”. Itulah Anton, terkadang meminjam buku dan pulpen sana sini dan lupa mengembalikannya, dan ketika ditagih, ia hanya cengar-cengir mengembalikannya kalau kebetulan barangnya masih ada lalu berujar ‘No Problem’ tanpa dosa dan berlalu begitu saja. Tapi begitulah Anton kalau ia juga punya barang lalu ada orang yang mau meminjamnya, ia tak pernah mengecewakan orang tersebut, ia pun malas menagih orang yang meminjam barangnya. Kami terkadang mencap Anton sebagai Mr. Sembrono.
Lain lagi dengan Dayat yang bapaknya Imam kampong. Ia merasa aman dan bangga dengan sticker “100% Muslim”. Begitulah Dayat yang merasa alim meski ketika berada di mesjid terkadang bikin ulah. Pernah suatu ketika sholat jamaah di mesjid, Dayat memegang kaki orang yang sedang sujud yang tepat berada di shaf depannya, kebetulan yang didepannya berjiwa seperti Dayat, lalu orang itu menghentakkan kakinya ke belakang, Dayat terjungkal ke belakang dan untungnya ia di shaf paling belakang, untung pula mesjid tidak penuh jadi ia hanya menabrak shaf kosong. Meski begitu Dayat tetap orang yang paling alim diantara kami, ia hafal benar jadwal sholat, dan selalu mengingatkan kami bila waktu sholat tiba. Bacaan Qur’an-nya juga paling fasih di antara kami, bahkan ia hafal Juz Amma’. Ketika kami berkumpul saat magrib dan isya, ia yang bertugas jadi Imam, kalau waktu dhuhur dan ashar biasanya Anton dan Hutbah yang paling siap jadi Imam.
Umar lain lagi. Meski terkenal perokok berat tapi biasanya ia hanya sembunyi-sembunyi di kantin sekolah, stickernya pun berbunyi “No Smoking”. Mungkin maksud Umar, biar guru BP Pak Chaeruddin yang galak 100% tidak mencurigainya. Tentang Pak Chaeruddin yang galak 100% sebenarnya hanyalah penamaan Umar saja karena di mata kami, Pak Chaeruddin adalah guru BP yang sangat baik, ya baik pada siswa yang taat, rajin, dan disiplin. Bagi siswa yang perokok berat semacam Umar pastilah Pak Chaeruddin dianggap galak. Karena guru BP yang memang punya ilmu Psikologi mumpuni, meski sok kampanye anti rokok, Umar tetap terendus jejaknya sebagai perokok berat oleh Pak Chaeruddin.
Pernah suatu ketika Umar tertangkap basah merokok oleh Pak Chaeruddin, lalu Umar dibawa ke ruangan guru, Umar muntah-muntah karena dipaksa makan tembakau oleh Pak Chaeruddin sebagai hukuman. Tapi dasar Umar yang memang bandel yang anak pensiunan polisi, ia tak kapok-kapok juga meski telah dihukum. Bahkan ia mengganti stickernya dari “No Smoking” menjadi “Crystal Man”. Saat itu memang rokok Crystal yang lagi trend. Tapi kalau Pak Chaeruddin bertanya, Umar punya alibi, katanya “Crystal Man” itu mengacu ke motor Crystal, saat itu memang yang paling top adalah motor Crystal, tidak seperti motornya Pak Chaeruddin yang kalau dikendarai cuma klaksonnya saja yang tidak bunyi karena memang sudah rusak. Bahkan pernah suatu ketika Pak Chaeruddin naik motor lewat depan kelas kami, tiba-tiba Umar berlari mengambil karung sambil berlagak mengikuti Pak Chaeruddin, ketika kami menanyakan apa maksudnya, Umar menjawab bahwa ia akan menadah baut dan mor motor Pak Chaeruddin yang mungkin akan berjatuhan. Sayangnya waktu itu Umar kecele, karena kami tidak tertawa dengan sikapnya, padahal ia bermaksud membuat kami tertawa. Aha! Mana mungkin kami tertawa kalau itu perbuatan tak terpuji, apalagi menghina orang tua dan guru, jangankan menghina mereka, menghina sesama teman saja kami tak suka. Aku sebenarnya sangat kasihan dengan Umar, padahal ia anak pensiunan polisi, mestinya harus hormat pada orang tua dan guru. Aku yang cuma anak pensiunan hansip saja sangat hormat dan patuh pada orang tua dan guru. Karena aku yakin, kesuksesan seorang anak atau siswa juga berkat doa orang tua dan gurunya. Begitulah nasehat kedua orang tuaku saban berangkat ke sekolah. Mungkin karena orang tuaku merasa tak sanggup memberiku uang saku setiap pagi, maka nasehatlah penggantinya.
Lain lagi dengan seorang temanku yang bernama Hutbah, mungkin temanku itu lahir pada hari Jumat ketika pak Imam lagi baca khutbah. Hutbah yang memang paling cakep diantara kami, yang selalu menggoda adik-adik kelas yang cantik punya sticker di tasnya “Love Is Blind”. Kalimat yang lumayan menggoda itu Hutbah dapat dariku. Mana Hutbah paham Bahasa Inggris kecuali Yes-No saja. Soal cinta, Hutbah memang buta, setiap kelas biasanya ada siswi yang ditaksirnya, dan hampir seratus persen perasaan cintanya terterima. Mana ada siswi yang sanggup menolak cinta Hutbah yang kala itu mirip Rano Karno. Kalau Hutbah tersenyum dan alis mata kirinya berkedip-kedip naik turun pastilah cewek yang duluan titip salam padanya. Cakep memang.
Dari Hutbah lah, isi hatiku benar-benar terekspos. Ceritanya begini, ternyata bukan hanya cintanya Hutbah yang buta, tetapi ungkapan perasaannya dalam tulisan juga buta. Bayangkan dari tujuh siswi yang dipacari Hutbah, aku semua yang konsep dan tuliskan surat cintanya, jadilah aku yang paling mengenal soal perasaan pacar Hutbah daripada Hutbah sendiri. Hutbah tinggal terima beres, tapi aku tak menyesal karena Hutbah yang memang anak pedagang coklat sukses punya banyak cara untuk membuat aku benar-benar puas sebagai sekertaris pribadi. Saban hari saban istirahat mata pelajaran, Hutbah pasti konsultasi soal cinta padaku di kantin sambil makan pisang goreng atau ubi goreng plus sarabba. Dayat, Anton, pun Umar dapat berkah dari ‘proyek’ cinta Hutbah, karena apapun makanan dan minumannya kami pasti kompak. Begitulah persahabatan yang baik.
Hutbah benar-benar puas dengan cara kerjaku, meski terkadang aku juga melebih-lebihkan. Aku terkadang menggunakan bahasa yang benar-benar hiperbolik dan bombastis yang membuat perasaan Hutbah atau perasaan pacarnya benar-benar dimabuk cinta. Ya, cinta yang mengawang-awang. Tentu saja aku yang bertindak sebagai sutradara semakin mendapat keuntungan berlipat ganda, karena mau makan apa saja bisa. Nampaknya Hutbah punya dana taktis untuk aku. Dana taktis untuk cerita cintanya yang semu.
Nampaknya Hutbah benar-benar percaya padaku. Ataukah memang visi dan misi cintanya juga buta. Terkadang ia tidak membaca surat cinta itu dari pacar-pacarnya, cukuplah aku yang bacakan saja, atau lebih tepatnya diceritakan saja karena aku biasanya membumbu-bumbui biar semakin lezat di telinga Hutbah. Aku semakin mempunyai banyak ruang untuk berimprofisasi. Pun bila aku lagi malas cukuplah aku bercerita semanis mungkin pada Hutbah. Yang membuat aku tak mengerti dengan kebutaan cinta Hutbah, karena mana mungkin Hutbah yang pacaran tetapi aku yang menyimpan semua surat cintanya. Cinta memang buta dan membutakan. Mungkin satu-satunya ‘buta’ yang tidak dibenci adalah cinta, cinta buta. Cinta yang ujung-ujungnya hanya mencipta luka dan derita.
Di mata Hutbah, aku bukan hanya sekedar sekertaris pribadi yang punya modal jadi penulis, tapi juga sebagai juru bicara yang handal. Bahkan terkadang Hutbah menganggapku juru selamat. Pernah suatu ketika seorang pacar Hutbah cemburu dan marah-marah lalu minta putus karena merasa cintanya diduakan oleh Hutbah, aku jelaskan padanya bahwa Hutbah tak menduakan cintanya, Hutbah adalah tipe cowok setia. Lalu aku bilang kalau banyak cewek yang naksir sama Hutbah itu wajar karena Hutbah memang cakep. Penjelasanku ampuh. Pacar Hutbah percaya saja. Kenyataannya aku memang tak berbohong karena memang Hutbah tak menduakan cintanya, tapi mentujuhkan malah. Pun Hutbah cowok setia. Setia pada pacar yang banyak. Hutbah memang sedang menikmati ketampanannya sebelum tua.


“Melompat lagi! Siswa baru harus semangat!” Aku menghardik.
“Jangan terlalu galak Beddu!” Hutbah berkata padaku, tapi matanya tertancap pada siswi baru itu.
“Sabar Dik ya, memang senior yang satu ini paling galak.”
Mata Hutbah berkedip-kedip menatap siswi baru itu. Ia kelihatan sok pahlawan. Dan tentu saja Hutbah lagi naksir pada siswi baru itu. Siswa baru itu pun tersenyum teramat manis pada Hutbah. Aku menggerutu membatin. Aku jengkel sama Hutbah. Tega-teganya ia berkata pada siswi baru yang sangat cantik itu bahwa aku adalah senior paling galak. Padahal sebenarnya dialah senior yang paling galak, tapi pengecualian memang bila ia menghadapi siswi baru yang cantik pasti sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Mungkin itulah salah satu ciri cowok playboy.
Yang membuat aku paling jengkel sama Hutbah karena ia menganggu waktuku untuk menaklukkan siswi baru itu. Tapi aku sadar, soal mendekati dan menggaet perempuan aku kalah kelas dibanding Hutbah. Tadi sebenarnya aku pura-pura menghardiknya agar ia memelas dan tersenyum padaku. Di saat ia tersenyum, aku berusaha mendekatinya dan pura-pura peduli padanya. Tapi apa yang aku skenariokan belum terjadi, Hutbah datang mengacak-acak bahkan mencabik-cabik perasaanku. Dan anehnya, sepertinya memang siswi baru itu lebih menghendaki kedatangan Hutbah daripada aku. Bukan hanya soal mendekati perempuan aku kalah dari Hutbah, pun soal tampan.
Dan akhirnya kegalauanku terbukti, Hutbah berbisik padaku bahwa ia sangat menaruh hati terhadap perempuan itu.
“Beddu, ada job baru lagi.” Hutbah berlagak kayak Bos. Kala itu aku diam saja. “Jangan khawatir Beddu, kali ini honornya lebih besar.” Sekali lagi Hutbah menyemangatiku seolah ia yakin aku sangat butuh dengan proyek mata keranjangnya. Kala itu memang lain dari biasanya. Aku tak begitu bersemangat. Tidak bersemangat mengurus Hutbah karena sesungguhnya aku juga punya perasaan suka pada siswa baru yang imut-imut itu. Dan catat! Aku yang lebih duluan naksir daripada Hutbah. Jadi kalau mau adil kepada sesama teman, mestinya Hutbah memberi jalan duluan padaku. Tapi memang itu urusan perasaan, dan selalu orang mendahulukan perasaannya. Perasaan memang selalu egois. Perasaan terkadang tak berperasaan.
“Beddu, bukan hanya wajahnya yang cantik, tapi juga namanya.”
Aku masih diam. Kubiarkan Hutbah berbicara sendiri. Menikmati keegoisannya sendiri. “Namanya Andi Masniar, tapi cukup dipanggil Nia saja.” Kala itu aku meratap membatin, aku benar-benar kalah langkah dari Hutbah. Aku benar-benar bodoh menghadapi perempuan. Aku cuma menang teori saja. Mengapa aku tidak berusaha mengenal namanya pertama kali dulu, lalu aku bilang ke Hutbah bahwa aku sudah lama kenal dan naksir padanya biar si lelaki Kantimarang Hutbah tidak mengganggu odo-odoku. Itulah nasib yang harus ditanggung oleh cowok yang tak punya semangat 45 mendekati cewek. Itulah diriku.

Siswi baru yang cantik itu memang bernama Andi Masniar. Hutbah bercerita banyak padaku tentangnya suatu ketika. Entah dimana lelaki tak berperasaan itu mendapat informasi banyak tentang Nia. Aku merasa sangat bodoh soal menghadapi perempuan. Mengapa aku tidak mengikuti jejak Hutbah, bila ingin mendekati perempuan ia kalang kabut mencari informasi tentang perempuan itu, mencari apa hobinya, makanan dan minuman kesukaannya, siapa artis idolanya, lagu favoritnya, film kegemarannya, pokoknya hal apa saja tentang perempuan itu.
Pernah suatu ketika Hutbah membabat habis kumisnya karena ia naksir berat sama seorang perempuan yang ngefans berat sama Dede Yusuf yang kala itu main di sinetron Jendela Rumah Kita(JRK) bersama Desy Ratnasari. Bahkan sempat pula Hutbah nyaris merebonding rambutnya yang agak kribo yang mirip vokalis Godbless Ahmad Albar, gara-gara perempuan yang ditaksirnya ngefans sama Gusti Randa yang kala itu sangat ngetop dengan perannya sebagai Samsul Bahri yang dalam Sinetron Siti Nurbaya berpasangan dengan Novia Kolopaking (sebagai Siti Nurbaya) yang disiarkan oleh TVRI setiap malam minggu dan hari minggu sore. Ataukah Hutbah mati-matian menghafal lagu kelompok Iklim dari Malaysia yang berjudul Suci Dan Debu karena perempuan yang ditaksirnya pernah tinggal di Malaysia dan ngefans berat pada Iklim. Dan akhirnya sukses karena memang suara Hutbah mirip dengan suara Saleem, vokalis Iklim. Soal bergaya dan menyanyi Hutbah memang orangnya, ia pintar meniru suara dan tingkah orang. Tapi soal membuat surat cinta ia harus bertekuk lutut padaku. Hutbah rupanya memiliki kecerdasan musikal.
Ternyata Andi Masniar mengidolakan artis Mathias Muchus. Tentu saja Hutbah tak perlu rebonding, cukup Hutbah memangkas habis bulu-bulu kumisnya dan selalu berpakaian lengan panjang dan menggulungnya sampai ke siku. Jadilah ia Hutbah Muchus.
“Begitulah Beddu, kita harus mampu tampil sesuai dengan keinginan perempuan. Kita harus masuk dalam angan-angan perempuan itu. Kuncinya kita harus tampil sebagai sosok idola di mata perempuan itu.” Hutbah berhotbah padaku suatu ketika.
“Sok berteori, padahal kalimat itu dulu aku yang bilang padanya.” Aku membatin, aku tak mau bilang padanya. Soal menghargai teman memang aku lebih jago daripada Hutbah. Aku pikir Hutbah sepantasnya menghargai segala teoriku karena sebenarnya kunci kesuksesan cinta Hutbah juga terletak ditanganku yang jago membingkai dan merangkai kata-kata.
“Satu lagi Beddu. Menghadapi perempuan harus memakai gaya total football ala Belanda, pasti perempuan akan takluk.” Hutbah terbahak-bahak menohok perasaanku. Meski demikian, aku berusaha santai saja tapi aku juga membatin, “Jangan terlalu sombong dengan gaya total football, hati-hati dengan tim dinamit.” Kala itu memang baru saja berlangsung Euro 1992 yang membuat Tim Dinamit Denmark tampil sebagai juara, sedangkan tim Belanda yang gaya total footballnya sangat ampuh di tahun 1988 bersama trionya, Frank Richard, Ruud Gullit, dan Van Basten tak mampu membendung ledakan dinamit Denmark. Aku juga tak begitu kecewa dengan Hutbah karena aku pikir memang lebih banyak manfaatnya kalau masih sendiri. Aku fokus pada pelajaran saja dulu. Aku menghibur diri sendiri tapi memang juga agak was-was, karena dua saingan utamaku di kelas yang notabene teman baikku yaitu Dayat dan Anton hanya fokus belajar, keduanya belum mau pacaran dulu. Katanya berpacaran hanya membuat pikiran bercabang-cabang. Perasaan terkadang menggantung. Hati terkadang meradang, perasaan tidak tenang, seperti dikejar dan dicecar rasa cemburu yang memburu.
Tapi aku benar-benar bimbang. Mungkin memang Dayat dan Anton belum mau pacaran dulu karena memang mereka belum jatuh cinta. Tapi aku? Perasaan itu sudah datang tanpa kuundang. Lalu perasaan itu dengan semena-mena meremas-remas bilik-bilik hatiku. Ujung-ujungnya, aku semakin menjiwai surat cinta yang kutulis meski kutulis atas nama Hutbah. Akh! Awal jatuh cinta yang tak mulus.

Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Kamis, 03 Februari 2011

RESENSI

Judul : Pohon-Pohon Rindu
Penulis : Dul Abdul Rahman
Penerbit : Diva Press Jogjakarta
Terbit : Cetakan 1, Juni 2009
Tebal : 352 halaman


Pohon-Pohon Rindu, Antara Sastra dan Lingkungan

Menarik untuk disimak novel Pohon-Pohon Rindu (PPR) karya novelis Sulawesi Selatan Dul Abdul Rahman (DAR). Novel ini mengetengahkan pentingnya mencintai dan menjaga lingkungan.
Dalam novelnya, DAR mengambil setting Sulawesi Selatan, khususnya Sinjai, Bulukumba, dan Makassar. Dikisahkan dua sejoli yang mencoba merajut tali kasih yang saat itu berstatus siswa di SMA Negeri Bikeru Sinjai Selatan. Hubungan percintaan yang unik karena keduanya menyimbolkan cintanya dengan hutan dan pepohonan. Karena keduanya menyimbolkan cintanya dengan hutan dan pepohonan, maka keduanya bersama rekan-rekan lainnya membentuk kelompok pencinta alam yang disebut KOMPITA. Siswa-siswa yang tergabung dalam kelompok Kompita berkampanye setiap akhir pekan kepada masyarakat yang berdomisili di pinggir hutan agar tidak merusak hutan. Hutan yang paling dijaga adalah Hutan Lindung Balang yang tidak terurus bahkan dibabat oleh masyarakat setempat. Hutan itu terletak tak jauh dari lokasi sekolah SMA Negeri Bikeru.
Dalam PPR ini pula, DAR mencoba mengekspos berbagai tempat bersejarah di Kabupaten Sinjai dan Bulukumba. Seperti Sungai Bejo, Batu Pakke Gojeng, Kajang, dan sebagainya. Sehingga novel ini bisa menjadi promosi budaya bagi daerah Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Sinjai, apalagi novel ini diterbitkan berskala nasional.
DAR dalam novelnya PPR menawarkan berbagai solusi untuk melestarikan alam. Bahkan tokoh utama dalam novel tersebut yang bernama Beddu Kamase, meski ia sebagai sosok yang religius tetapi ia mencoba mempertahankan mitos-mitos keangkeran hutan dan alam pada masyarakat, agar masyarakat tidak semena-mena merusak lingkungan. “Tidak ada salahnya mitos keangkeran Sungai Bejo tertanam di hati masyarakat setempat agar kawasan itu tak terjamah tangan-tangan yang tak bertanggung jawab. Soal kemusyrikan, biarlah nanti tokoh agama yang menjelaskan. Intinya kami ingin kawasan Hutan Lindung Balang dan Sungai Bejo tak banyak dikunjungi masyarakat, baik untuk menebang kayu apalagi untuk menabung kemusyrikan.” (PPR, hal 105)
Selain itu, DAR juga menawarkan ide bahwa nama hutan lindung sebaiknya diganti menjadi hutan adat, karena penamaan sebagai hutan adat lebih membuat masyarakat takut mengganggu hutan karena berhubungan dengan adat istiadat setempat, contohnya hutan di Tanah Kajang. “Nama hutan adat lebih sakral daripada hutan lindung. Aku yakin, masyarakat takut membabat hutan adat karena terkait dengan hukum adat setempat, sedangkan hutan lindung hanya penamaan saja, bahkan terkadang tak terlindungi.” (PPR, hal 205)
Untuk itu novel ini perlu dibaca, bukan hanya oleh masyarakat tapi juga pemerintah yang terkadang membuat kebijakan yang tak ramah lingkungan. Khususnya pula, pemerintah Kabupaten Sinjai harus lebih memperhatikan keselamatan lingkungan sehingga tidak terjadi lagi banjir bandang yang pernah menimpa Kabupaten Sinjai pada bulan Juni 2006 silam. “Aku akan menjaga Hutan Lindung Balang sebagai tempat peristirahatanmu yang terakhir, duhai cintaku. Jangan lagi ada penggundulan hutan disini. Jangan lagi ada penggundulan hutan disana. Jangan lagi ada banjir bandang disini. Jangan lagi ada banjir bandang disana. Jangan lagi ada air mata yang membandang karena tertimpa banjir bandang.” (PPR, hal 349)
Melestarikan alam memang tidak mudah. Butuh niat yang teguh, semangat, dan yang paling penting adalah praktik. Namun, dengan kekuatan cinta, hal tersebut tidak mustahil untuk dilakukan. Itulah pesan utama sesungguhnya yang disampaikan dalam novel PPR ini. Dipadu dengan jalinan cerita cinta yang berliku, alur yang menarik, dan konflik yang mengharu biru, maka novel ini patut diapresiasi sebagai novel cinta, novel lingkungan, dan juga novel budaya. Silakan pembaca sendiri yang menilainya dengan membacanya. Selamat membaca!

(Peresensi: Sam Sangkala, Pembaca dan Penikmat Sastra)

Rabu, 02 Februari 2011

POHON-POHON RINDU (5)

2. NAMA DALAM SEPUCUK SURAT (1)

Dari berlima berteman, Dayat, Anton, dan aku tergolong siswa paling pintar di sekolah. Sedangkan Hutbah dan Umar adalah siswa yang pas-pasan soal pelajaran. Tapi kami berlima tetaplah saling melengkapi. Umar yang bertindak sebagai pengamanan meski ia sendiri sering tak aman karena matanya selalu awas terhadap Pak Chaeruddin. Bila ada yang mau macam-macam kepada salah seorang dari kami maka Umar yang pasang kuda-kuda.
Hutbah lain lagi. Ia memegang kas keuangan dan menjadi donator utama kelompok kami. Tentu saja Hutbah dan Umar mendapat kompensasi dari kami bertiga. Hutbah dan Umar benar-benar mendapat kompensasi BBM yang memuaskan. Soal nama kompensasi BBM, itu juga istilah Hutbah dan Umar. Kata mereka berdua, BBM berarti Bahasa Inggeris, Bahasa Indonesia, dan Matematika. Dayat dan Anton bergantian mengerjakan PR matematika mereka, sedangkan PR Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, aku yang bertanggung jawab.
Sebenarnya di awal pertemanan, kami bertiga berinisiatif agar Hutbah dan Umar tidak boleh bergantung pada kami. Tapi sebagai teman, kami siap membimbing mereka belajar khususnya bidang studi yang mereka kelompokkan BBM itu. Tapi itulah Hutbah dan Umar. Hutbah hanya sibuk tebar pesona dengan proyek cintanya. Sedangkan Umar sibuk dengan Crystalnya, merokok dan balapan. Akhirnya setelah mendengar cita-cita mereka berdua, kami bertiga bersepakat bahwa kedua teman itu tidak apa-apa bila disuapi saja. Hutbah bercita-cita setelah tamat SMU, ia melanjutkan usaha dagangan orang tuanya. Cita-cita Hutbah tak menyalahi peraturan nasib karena ia memang anak tunggal dengan orang tua sebagai pedagang sukses plus punya kebun coklat yang luas pula. Kalau Umar, setamat SMU ia ingin jadi pembalap motor, tapi ia masih punya rencana lain yang aku kira lebih bersahabat dengannya. Kalau ia gagal jadi pembalap katanya ia akan hijrah ke Kolaka mengikuti jejak kakaknya yang sukses jadi petani kopi dan kakao di sana. Keduanya memang punya cita-cita yang realistis. Kami bertiga, Dayat, Anton, dan aku bercita-cita jadi pegawai negeri sipil. Kami bertiga tak punya kebun yang luas seperti Hutbah dan Umar. Bahkan ayahku sudah berancang-ancang untuk menjual tanah warisan untukku bila kuliah kelak. Kata ayahku lebih baik pendidikan saja yang diwariskan, kalau harta warisan masih bisa diperebutkan, sedangkan pendidikan menjadi hak paten bagi yang memilikinya. Luar bisa ayahku memotivasi diriku, padahal ia hanya tamatan Sekolah Dasar.
Dari berlima berteman pula, nampaknya memang yang punya kecenderungan berpacaran hanyalah Hutbah dan Umar. Bahkan Hutbah bukan lagi cenderung tapi sudah kecanduan malah. Soal pacaran, Hutbah dan Umar mempunyai cara yang sangat bertolak belakang. Hutbah ingin suasana romantis dengan curahan kata-kata indah nan menggugah, sayangnya ia tak punya kemampuan memadah dan menadah percikan kata-kata. Singkatnya ia tak punya bakat mengarang dan menyair, tapi asumsi ini juga kurang benar. Bukankah Thomas Alfa Edison pernah mengatakan “Genius is 98 percent perspiration”(Kepintaran itu 98 persen adalah keringat/usaha). Jadi andaikan Hutbah mau latihan sedikit saja menulis surat cinta pasti bisa. Tapi mungkin Hutbah berpikir masih ada aku yang bisa menuliskannya. Ataukah Hutbah sok sosialis mempekerjakan orang lain karena ia pikir punya banyak uang. Ya, terkadang memang bila orang tua kaya, anak jadi serba konsumtif dan bermalas-malasan.
Umar sebaliknya, bila ia suka pada seorang perempuan, ia akan langsung menemuinya dan mengungkapkan perasaannya. Ia tak puas lewat surat, katanya tidak jantan. Aku kagum dengan ‘kejantanan’ Umar meski perjalanan cintanya tidak semulus cintanya Hutbah yang memang memanfaatkan jasa orang lain. Tentu saja kebanyakan siswi menolak Umar yang berlagak jantan. Ketika Umar konsultasi denganku, aku menjelaskan begini, “Sebenarnya sikapmu sangat jantan Mar, tapi itu biasanya berlaku bila perempuan dewasa yang kau dekati, kalau perempuan pra remaja atau remaja apalagi perempuan desa yang kau dekati tidak boleh langsung menembak dengan peluru cinta, harus melalui banyak tahap, kokangan senjatanya pun harus lebih lembut, peluru tak boleh ngebut, nanti tak bersambut.” Aku menjelaskan sok filosofis dan promosif pada Umar dan berharap ia mau meminta bantuanku. Sekaligus proyek baru buatku. Tapi begitulah Umar yang memang merasa gentleman soal cinta. Sayangnya ia tak gentleman soal pelajaran. Tapi Umar lebih baik sedikit dari Hutbah. Hutbah sangat terlalu, soal pelajaran dan cinta sangat bergantung pada orang lain. Artinya seberapa pun suksesnya Hutbah, sukses cintanya dan pelajarannya, tapi semua itu hanyalah sukses semu. Aku merasa lebih sukses dari Hutbah, karena dengan membuatkan surat cinta Hutbah berarti aku latihan memperhalus diksi bahasaku serta mempertajam pisau kata-kataku yang mungkin nantinya sangat bermakna buatku bila benar-benar aku terjun dalam dunia kepenulisan. Harapku selalu di sela-sela degupan perasaanku setiap kali menulis surat cinta Hutbah khususnya yang ditujukan kepada Nia. Siswi baru yang cantik itu memang diam-diam terus menjajah perasaanku. Tak siang, tak malam. Selalu terbayang, walau hanya bayang-bayang.
Bersambung…

POHON-POHON RINDU adalah sebuah novel bertema lingkungan, budaya, dan cinta. Penerbit Diva Press Jogjakarta, 2009.

Selasa, 01 Februari 2011

POHON-POHON RINDU (4) dul abdul rahman

1. SISWA BARU (4)

Siswi baru yang cantik itu memang bernama Andi Masniar. Hutbah bercerita banyak padaku tentangnya suatu ketika. Entah dimana lelaki tak berperasaan itu mendapat informasi banyak tentang Nia. Aku merasa sangat bodoh soal menghadapi perempuan. Mengapa aku tidak mengikuti jejak Hutbah, bila ingin mendekati perempuan ia kalang kabut mencari informasi tentang perempuan itu, mencari apa hobinya, makanan dan minuman kesukaannya, siapa artis idolanya, lagu favoritnya, film kegemarannya, pokoknya hal apa saja tentang perempuan itu.
Pernah suatu ketika Hutbah membabat habis kumisnya karena ia naksir berat sama seorang perempuan yang ngefans berat sama Dede Yusuf yang kala itu main di sinetron Jendela Rumah Kita(JRK) bersama Desy Ratnasari. Bahkan sempat pula Hutbah nyaris merebonding rambutnya yang agak kribo yang mirip vokalis Godbless Ahmad Albar, gara-gara perempuan yang ditaksirnya ngefans sama Gusti Randa yang kala itu sangat ngetop dengan perannya sebagai Samsul Bahri yang dalam Sinetron Siti Nurbaya berpasangan dengan Novia Kolopaking (sebagai Siti Nurbaya) yang disiarkan oleh TVRI setiap malam minggu dan hari minggu sore. Ataukah Hutbah mati-matian menghafal lagu kelompok Iklim dari Malaysia yang berjudul Suci Dan Debu karena perempuan yang ditaksirnya pernah tinggal di Malaysia dan ngefans berat pada Iklim. Dan akhirnya sukses karena memang suara Hutbah mirip dengan suara Saleem, vokalis Iklim. Soal bergaya dan menyanyi Hutbah memang orangnya, ia pintar meniru suara dan tingkah orang. Tapi soal membuat surat cinta ia harus bertekuk lutut padaku. Hutbah rupanya memiliki kecerdasan musikal.
Ternyata Andi Masniar mengidolakan artis Mathias Muchus. Tentu saja Hutbah tak perlu rebonding, cukup Hutbah memangkas habis bulu-bulu kumisnya dan selalu berpakaian lengan panjang dan menggulungnya sampai ke siku. Jadilah ia Hutbah Muchus.
“Begitulah Beddu, kita harus mampu tampil sesuai dengan keinginan perempuan. Kita harus masuk dalam angan-angan perempuan itu. Kuncinya kita harus tampil sebagai sosok idola di mata perempuan itu.” Hutbah berhotbah padaku suatu ketika.
“Sok berteori, padahal kalimat itu dulu aku yang bilang padanya.” Aku membatin, aku tak mau bilang padanya. Soal menghargai teman memang aku lebih jago daripada Hutbah. Aku pikir Hutbah sepantasnya menghargai segala teoriku karena sebenarnya kunci kesuksesan cinta Hutbah juga terletak ditanganku yang jago membingkai dan merangkai kata-kata.
“Satu lagi Beddu. Menghadapi perempuan harus memakai gaya total football ala Belanda, pasti perempuan akan takluk.” Hutbah terbahak-bahak menohok perasaanku. Meski demikian, aku berusaha santai saja tapi aku juga membatin, “Jangan terlalu sombong dengan gaya total football, hati-hati dengan tim dinamit.” Kala itu memang baru saja berlangsung Euro 1992 yang membuat Tim Dinamit Denmark tampil sebagai juara, sedangkan tim Belanda yang gaya total footballnya sangat ampuh di tahun 1988 bersama trionya, Frank Richard, Ruud Gullit, dan Van Basten tak mampu membendung ledakan dinamit Denmark. Aku juga tak begitu kecewa dengan Hutbah karena aku pikir memang lebih banyak manfaatnya kalau masih sendiri. Aku fokus pada pelajaran saja dulu. Aku menghibur diri sendiri tapi memang juga agak was-was, karena dua saingan utamaku di kelas yang notabene teman baikku yaitu Dayat dan Anton hanya fokus belajar, keduanya belum mau pacaran dulu. Katanya berpacaran hanya membuat pikiran bercabang-cabang. Perasaan terkadang menggantung. Hati terkadang meradang, perasaan tidak tenang, seperti dikejar dan dicecar rasa cemburu yang memburu.
Tapi aku benar-benar bimbang. Mungkin memang Dayat dan Anton belum mau pacaran dulu karena memang mereka belum jatuh cinta. Tapi aku? Perasaan itu sudah datang tanpa kuundang. Lalu perasaan itu dengan semena-mena meremas-remas bilik-bilik hatiku. Ujung-ujungnya, aku semakin menjiwai surat cinta yang kutulis meski kutulis atas nama Hutbah. Akh! Awal jatuh cinta yang tak mulus.
BERSAMBUNG…

POHON-POHON RINDU adalah sebuah novel bertema lingkungan, budaya, dan cinta. Penerbit Diva Press Jogjakarta, 2009.