Selasa, 08 Oktober 2013

REFLEKSI BUDAYA NOVEL POHON-POHON RINDU


REFLEKSI BUDAYA NOVEL "POHON-POHON RINDU"
Oleh: Muhammad Rusmin (Dosen STMIK AKBA Makassar, Pecinta sastra sufistik)

Membaca novel Pohon-Pohon Rindu karya Dul Abdul Rahman seolah mengajak kita untuk sejenak kembali menelusuri jejak-jejak kehidupan era awal tahun 90-an. Betapa tidak, munculnya nama-nama selebritis yang populer pada masa itu yang menghiasi novel tersebut semakin menguatkan setting era awal tahun 90-an.
Ketika membaca novel tersebut, saya seperti membaca sebuah autobiografi dari sang pengarang. Saya menduga-duga (atau memang demikian kenyataannya), nama Beddu Kamase yang merupakan tokoh sentral dari cerita tersebut tidak lain adalah sang penulis novel itu sendiri. Bukankah Beddu Kamase itu merupakan arti dari Abdul Rahman dalam bahasa Bugis.
Hal ini kemudian menimbulkan sebuah tanda tanya besar pada saya. Apakah sosok Andi Masniar atau Nia dalam cerita benar-benar ada (walaupun mungkin dengan nama yang lain) dan memang pernah hadir mengisi relung-relung qalbu sang penulis? Ataukah itu semata-mata murni imajinasi dari penulis? Jika memang Nia pernah ada, sebegitu dalamkah kesan yang ditancapkan ke dalam qalbu penulis sehingga sampai saat ini sang penulis sulit menemukan sosok yang dapat menggantikan posisi Nia di dalam ruang qalbunya? Apakah hal ini yang menyebabkan penulis masih betah mempertahankan status jomblonya seperti saya?
Semua pertanyaan-pertanyaan di atas biarlah sang Penulis sendiri yang menjawabnya. Pada kesempatan ini saya hanya ingin sedikit memberikan sebuah catatan kecil terhadap kesan-kesan yang saya dapatkan setelah membaca novel tersebut.

Tentang Cinta
Cinta memang adalah sesuatu yang tidak akan pernah habis untuk dibicarakan. Mulai dari para filosof, sastrawan hingga pada level ksata tersendah cinta merupakan suatu hal sangat menarik untuk dibicarakan. Ribuan karya dan tulisan-tulisan telah dihasilkan dari tema tentang cinta. Romeo and Juliet dan Layla Majnun adalah dua karya besar tentang cinta yang tak pernah lekang oleh waktu.
Begitu juga dalam novel ini, kembali mengulas dan membahas tentang cinta. Akan tetapi, novel ini mencoba mengulas cinta dari sisi lain. Dalam novel ini, cinta diartikan sebagai keinginan untuk berkorban, melindungi serta mengayomi orang yang kita cintai. Perasaan cinta tidak harus diaktualkan dalam bentuk hubungan pacaran sebagaimana persepsi kebanyakan orang sekarang. Perasaan cinta dapat diwujudkan dalam sebuah bentuk persaudaraan yang saling mendukung dan membantu sebagaimana kisah cinta antara Beddu Kamase dan Andi Masniar dalam novel ini.
Cinta adalah keinginan untuk memberi dan tidak memiliki pamrih untuk memperoleh balasan dari yang dicintainya. Oleh karena itu keagungan cinta tidak harus ditunjukkan menyatunya dua hati dalam satu ikatan suci. Cinta tidak selamanya harus selalu bersama karena cinta tidak selamanya harus saling memiliki. Itulah makna cinta yang dapat kita petik dari kisah cinta Beddu Kamese dan Andi Masniar.

Tentang Alam.
Mencintai alam sama dengan mencintai ibu kita sendiri itulah pesan kuat yang saya dapatkan ketika membaca novel ini. Novel ini memang bukan sekedar novel percintaan. Tetapi novel ini mengajak kita untuk selalu peduli kepada alam sekitar kita.
Pesatnya laju pertumbuhan ekonomi memang memaksa terjadinya perkosaan terhadap ibu pertiwi. Hutan-hutan nan hijau dan rimbun, kini telah tergantikan dengan berdirinya hutan-hutan beton yang kokoh menjulang. Perkembangan memang tidak bisa dihindari, tetapi apakah itu lantas menjadi sebuah alasan bagi kita untuk tidak lagi memedulikan alam sekitar kita.
Membaca novel Pohon-Pohon Rindu membuat saya kembali merindukan sentuhan kesejukan udara di pagi hari. Merindukan kicauan burung-burung pagi hari yang bersenandung merdu. Merindukan suasana hamparan sawah yang menghijau. Semuanya seolah berpadu menjadi sebuah simfoni indah dalam sebuah orkestra alam semesta.
Ibu dan Pertiwi adalah dua hal yang memang harus kita sayangi karena dari keduanyalah sumber cinta dan kasih sayang yang suci.

Tentang Budaya
Salah satu hal yang paling menarik dari novel ini adalah keberanian penulis dalam mengangkat budaya dan kearifan lokal. Ini adalah novel berlatar budaya Sulawesi Selatan yang diterbitkan oleh penerbit nasional yang pertama saya baca. Sebab selama ini novel-novel budaya lokal yang saya baca hanya di terbitkan oleh penerbit lokal juga.
Dalam berbagai diskusi-diskusi kecil dengan kawan-kawan, kami mengambil kesimpulan bahwa salah satu yang dapat mengurangi ekses-ekses negatif arus globalisasi dan informasi adalah budaya dan kearifan lokal. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai cara untuk penguatan kembali nilai-nilai kearifan dan budaya lokal. Apalagi saat ini ada kecendrungan dari generasi muda untuk melupakan (kalau tidak mau dikatakan meninggalkan) budaya lokal karena tidak mau dikatakan ketinggalan zaman.
Saya kira novel Pohon Pohon Rindu ini adalah suatu cara yang dilakukan oleh penulis agar kita mau sejenak kembali menengok dan mengapresiasi budaya lokal. Hal ini saya anggap merupakan sebagai langkah awal dalam penulis untuk menguatkan kembali nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Hal ini jelas terlihat dengan munculnya berbagai falsafah hidup yang menjadi pedoman hidup orang Bugis dalam novel tersebut. Begitu juga pesan-pesan moral dalam bahasa Bugis begitu jelas tergambar dalam novel ini. Dan untuk hal ini saya menyatakan rasa salut dan bangga saya kepada penulis novel ini yaitu: Bapak Dul Abdul Rahman.
Harapan saya ke depan, nantinya pada novel kedua nanti betul-betul budaya dan kearifan lokal Sulawesi Selatan digali lebih dalam lagi. Sehingga siapapun yang membaca novel itu nantinya akan dapat lebih mengenal lagi nilai-nilai yang merupakan pedoman hidup orang Sulawsi Selatan khususnya Bugis-Makassar.
Bahkan saya sangat mengaharapkan agar nilai-nilai tersebut menyatu dalam diri tokoh Beddu Kamase sehingga orang dapat mengetahui bahwa begitulah sosok LELAKI BUGIS.
(Sumber: Harian Fajar, Ahad 30 Agustus 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar