REFLEKSI
BUDAYA NOVEL "POHON-POHON RINDU"
Oleh: Muhammad Rusmin (Dosen
STMIK AKBA Makassar , Pecinta sastra sufistik)
Membaca novel
Pohon-Pohon Rindu karya Dul Abdul Rahman seolah mengajak kita untuk sejenak
kembali menelusuri jejak-jejak kehidupan era awal tahun 90-an. Betapa tidak,
munculnya nama-nama selebritis yang populer pada masa itu yang menghiasi novel
tersebut semakin menguatkan setting era awal tahun 90-an.
Ketika membaca
novel tersebut, saya seperti membaca sebuah autobiografi dari sang pengarang.
Saya menduga-duga (atau memang demikian kenyataannya), nama Beddu Kamase yang
merupakan tokoh sentral dari cerita tersebut tidak lain adalah sang penulis
novel itu sendiri. Bukankah Beddu Kamase itu merupakan arti dari Abdul Rahman
dalam bahasa Bugis.
Hal ini kemudian
menimbulkan sebuah tanda tanya besar pada saya. Apakah sosok Andi Masniar atau
Nia dalam cerita benar-benar ada (walaupun mungkin dengan nama yang lain) dan
memang pernah hadir mengisi relung-relung qalbu sang penulis? Ataukah itu
semata-mata murni imajinasi dari penulis? Jika memang Nia pernah ada, sebegitu
dalamkah kesan yang ditancapkan ke dalam qalbu penulis sehingga sampai saat ini
sang penulis sulit menemukan sosok yang dapat menggantikan posisi Nia di dalam
ruang qalbunya? Apakah hal ini yang menyebabkan penulis masih betah
mempertahankan status jomblonya seperti saya?
Semua
pertanyaan-pertanyaan di atas biarlah sang Penulis sendiri yang menjawabnya.
Pada kesempatan ini saya hanya ingin sedikit memberikan sebuah catatan kecil
terhadap kesan-kesan yang saya dapatkan setelah membaca novel tersebut.
Tentang Cinta
Tentang Cinta
Cinta memang
adalah sesuatu yang tidak akan pernah habis untuk dibicarakan. Mulai dari para
filosof, sastrawan hingga pada level ksata tersendah cinta merupakan suatu hal
sangat menarik untuk dibicarakan. Ribuan karya dan tulisan-tulisan telah
dihasilkan dari tema tentang cinta. Romeo and Juliet dan Layla Majnun adalah
dua karya besar tentang cinta yang tak pernah lekang oleh waktu.
Begitu juga dalam
novel ini, kembali mengulas dan membahas tentang cinta. Akan tetapi, novel ini
mencoba mengulas cinta dari sisi lain. Dalam novel ini, cinta diartikan sebagai
keinginan untuk berkorban, melindungi serta mengayomi orang yang kita cintai.
Perasaan cinta tidak harus diaktualkan dalam bentuk hubungan pacaran
sebagaimana persepsi kebanyakan orang sekarang. Perasaan cinta dapat diwujudkan
dalam sebuah bentuk persaudaraan yang saling mendukung dan membantu sebagaimana
kisah cinta antara Beddu Kamase dan Andi Masniar dalam novel ini.
Cinta adalah
keinginan untuk memberi dan tidak memiliki pamrih untuk memperoleh balasan dari
yang dicintainya. Oleh karena itu keagungan cinta tidak harus ditunjukkan
menyatunya dua hati dalam satu ikatan suci. Cinta tidak selamanya harus selalu
bersama karena cinta tidak selamanya harus saling memiliki. Itulah makna cinta
yang dapat kita petik dari kisah cinta Beddu Kamese dan Andi Masniar.
Tentang Alam.
Tentang Alam.
Mencintai alam
sama dengan mencintai ibu kita sendiri itulah pesan kuat yang saya dapatkan
ketika membaca novel ini. Novel ini memang bukan sekedar novel percintaan.
Tetapi novel ini mengajak kita untuk selalu peduli kepada alam sekitar kita.
Pesatnya laju
pertumbuhan ekonomi memang memaksa terjadinya perkosaan terhadap ibu pertiwi.
Hutan-hutan nan hijau dan rimbun, kini telah tergantikan dengan berdirinya
hutan-hutan beton yang kokoh menjulang. Perkembangan memang tidak bisa
dihindari, tetapi apakah itu lantas menjadi sebuah alasan bagi kita untuk tidak
lagi memedulikan alam sekitar kita.
Membaca novel
Pohon-Pohon Rindu membuat saya kembali merindukan sentuhan kesejukan udara di
pagi hari. Merindukan kicauan burung-burung pagi hari yang bersenandung merdu.
Merindukan suasana hamparan sawah yang menghijau. Semuanya seolah berpadu
menjadi sebuah simfoni indah dalam sebuah orkestra alam semesta.
Ibu dan Pertiwi
adalah dua hal yang memang harus kita sayangi karena dari keduanyalah sumber
cinta dan kasih sayang yang suci.
Tentang Budaya
Tentang Budaya
Salah satu hal
yang paling menarik dari novel ini adalah keberanian penulis dalam mengangkat
budaya dan kearifan lokal. Ini adalah novel berlatar budaya Sulawesi Selatan
yang diterbitkan oleh penerbit nasional yang pertama saya baca. Sebab selama
ini novel-novel budaya lokal yang saya baca hanya di terbitkan oleh penerbit
lokal juga.
Dalam berbagai
diskusi-diskusi kecil dengan kawan-kawan, kami mengambil kesimpulan bahwa salah
satu yang dapat mengurangi ekses-ekses negatif arus globalisasi dan informasi
adalah budaya dan kearifan lokal. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai cara
untuk penguatan kembali nilai-nilai kearifan dan budaya lokal. Apalagi saat ini
ada kecendrungan dari generasi muda untuk melupakan (kalau tidak mau dikatakan
meninggalkan) budaya lokal karena tidak mau dikatakan ketinggalan zaman.
Saya kira novel
Pohon Pohon Rindu ini adalah suatu cara yang dilakukan oleh penulis agar kita
mau sejenak kembali menengok dan mengapresiasi budaya lokal. Hal ini saya
anggap merupakan sebagai langkah awal dalam penulis untuk menguatkan kembali
nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Hal ini jelas terlihat dengan munculnya
berbagai falsafah hidup yang menjadi pedoman hidup orang Bugis dalam novel
tersebut. Begitu juga pesan-pesan moral dalam bahasa Bugis begitu jelas
tergambar dalam novel ini. Dan untuk hal ini saya menyatakan rasa salut dan
bangga saya kepada penulis novel ini yaitu: Bapak Dul Abdul Rahman.
Harapan saya ke
depan, nantinya pada novel kedua nanti betul-betul budaya dan kearifan lokal
Sulawesi Selatan digali lebih dalam lagi. Sehingga siapapun yang membaca novel
itu nantinya akan dapat lebih mengenal lagi nilai-nilai yang merupakan pedoman
hidup orang Sulawsi Selatan khususnya Bugis-Makassar.
Bahkan saya sangat
mengaharapkan agar nilai-nilai tersebut menyatu dalam diri tokoh Beddu Kamase
sehingga orang dapat mengetahui bahwa begitulah sosok LELAKI BUGIS.
(Sumber: Harian Fajar, Ahad 30 Agustus 2009)
(Sumber: Harian Fajar, Ahad 30 Agustus 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar