Selasa, 08 Oktober 2013

NILAI-NILAI KEARIFAN DALAM NOVEL LA GALIGO


Nilai-nilai Kearifan dalam novel La Galigo
Oleh: Fitriani Amir
(Pencinta Sastra,
Mahasiswa STMIK AKBA Makassar)

            Ada satu pertanyaan fundamental dalam benak saya tentang karya sastra La Galigo. Mengapa karya sastra La Galigo dianggap bermutu tinggi lalu disejajarkan dengan kisah Mahabarata dan Ramayana dari India? Setelah saya membaca novel La Galigo terbitan Diva Press Yogyakarta yang ditulis oleh sastrawan Sulawesi Selatan, Dul Abdul Rahman, saya menemukan jawabannya yaitu karena luhurnya nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra La Galigo tersebut.
            Penggalan kisah pertama yang sangat menarik untuk disimak, yaitu mengapa Sang Patotoqe(penguasa langit) memilih La Togeq Langiq diantara putra-putranya untuk menjadi penguasa di Kerajaan Bumi? Itu karena Sang Patotoqe melihat bahwa pada diri La Togeq Langiq terdapat karakter seorang pemimpin. La Togeq Langiq sangatlah tekun dalam latihan. Dia dengan sangat cepat menguasai ilmu perang dan mampu mengalahkan para panglima-panglima di langit setiap kali latihan. Dan untuk keahlian di bumi, memang semua butuh latihan dan ketekunan. Sang Patotoqe melihat bahwa hanya La Togeq Langiqlah yang mampu menghadapi kehidupan di bumi yang penuh liku-liku dan perjuangan.
            Sikap La Togeq Langiq sendiri sungguhlah menakjubkan. Ia bersedia menukar kehidupannya di langit yang penuh dengan kemewahan dengan kehidupan bumi yang sepi tanpa fasilitas. Adakah yang mampu melakukan itu? Kehidupannya di langit begitu nyaman, mempunyai ribuan dayang yang siap melayaninya sebagai putra mahkota setiap saat. Istana yang megah, makanan yang lezat, dan gadis-gadis yang cantik. Ia rela menukar semua itu dengan kehidupan di bumi yang sepi, tak ada istana melainkan ia hanya bernaung di bawah pohon. Bahkan makanan pun ia harus cari sendiri dengan bersusah payah. Semua itu ia terima dengan ketaatannya kepada ayahnya Sang Patotoqe. La Togeq Langiq siap memakmurkan bumi dengan semangat Resopa Temmangingi na malomo naletei pammase Dewata Sewae.
Ketika Batara Guru (nama La Togeq Langiq setelah menghuni bumi) akan diberikan pendamping hidup, ia mendengar cerita dari La Punna Uwae (penjaga sungai, Sang Buaya) bahwa calon isterinya yang berasal dari Kerajaan Peretiwi bukanlah putri yang cantik, calon isterinya tersebut sangatlah jelek parasnya lagi bermata juling. Namun Batara Guru tetap siap menerima dengan ikhlas siapa pun yang akan dikirimkan padanya sebagai jodohnya. Ia selalu yakin bahwa Sang Patotoqe tidak pernah salah, dan pasti akan memberikan yang terbaik untuknya. Akhirnya Batara Guru mendapat kiriman isteri dari Kerajaan Peretiwi bernama I We Nyiliq Timoq yang sangat cantik. Sikap berprasangka baik dan berpikir positif kepada Tuhan seperti itulah yang seharusnya selalu kita tanamkan dalam hati.
Nilai luhur selanjutnya yang terjadi dalam cerita La Galigo yaitu ketika terjadinya bencana di Kerajaan Tompoq Tikkaq. Penguasanya yang bernama La Urung Mpessi bersikap melampau batas. Ia mengutuk dan menghambur-hamburkan nasi ke sungai karena kecewa tamu yang diundangnya hanyalah sedikit yang datang. Local wisdom ini seharusnya dijaga secara terus menerus, karena hal ini pun diajarkan dalam agama. Manusia harus menghargai makanan dan tidak boleh mubazir. Bahkan dalam agama, orang yang makan diharuskan menghabiskan makanan dalam piring dan tidak boleh menyisakannya.
Lalu penggalan kisah yang menarik lainnya ketika dua orang putri pewaris Tompoq Tikkaq yang terbuang, yaitu We Adiluwuq dan We Datu Sengngeng. Keduanya bersabar menerima takdir yang digariskan oleh Sang Patotoqe. Keduanya bersabar melarikan diri ke hutan dengan semangat kurru sumange. Mereka bertahan dalam keprihatinan di hutan, hanya memakan dedaunan. Karena kesabaran dan keikhlasannya menerima takdir, akhirnya berbuah manis. Sang Patotoqe mempertemukan We Datu Sengngeng dengan Batara Lattuq (putra sulung Batara Guru), We Adiluwuq juga dipertemukan dengan seorang pangeran yang turun dari langit bernama I La Jiriuq. Maka yakinlah buah dari kesabaran pasti kebaikan. Sedangkan paman dan bibi mereka yang sebelumnya mengusir mereka dan juga bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, akhirnya mendapatkan balasan yang setimpal. Maka yakinlah perbuatan dosa buahnya adalah keburukan.
Penggalan kisah selanjutnya yang sangat menarik ketika Batara Guru naik ke Boting Langiq untuk memintakan keturunan bagi Batara Lattuq dan We Datu Sengngeng. Pada saat itu sedang bulan keramat yang dipercaya bukan hari baik menurunkan tunas ke bumi. Sang Patotoqe pun menasehati putranya agar menunggu berlalunya bulan keramat lalu menurunkan tunas. Ia pun memberikan penjelasan bahwa We Datu Sengngeng akan melahirkan kembar emas, dan bilamana diberikan tunas pada bulan keramat, maka kembar emasnya nanti akan saling jatuh cinta. Dan kalau sampai kembar emas itu menikah satu sama lain maka kehancuran akan menimpa bumi. Namun, karena ingin membahagiakan Batara Lattuq dan isterinya, Batara Guru tetap minta segera diturunkan tunas buat menantu dan anaknya, Sang Patotoqe pun meluluskannya. Alhasil, We Datu Sengngeng begitu menderita ketika proses bersalin tiba. Ia bahkan merasakan kesakitan selama dua bulan lamanya. Tak ada tanda-tanda kelahiran meski semua bissu (pemimpin ritual dalam kepercayaan Bugis Kuno) dan dukun melakukan ritual. Akhirnya Batara Guru pun sadar bahwa itu akibat dari ketidaksabarannya meminta keturunan. Maka ia pun mewasiatkan kepada seluruh keturunannya, “Mereka harus bersabar agar hidupnya tidak kesasar, hindarilah sikap cemburu yang mengarah kepada sikap iri hati dan dengki.”
Apa yang dikatakan oleh Sang Patotoqe benar adanya. Setelah dewasa, akhirnya Sawerigading jatuh cinta terhadap kembar emasnya yang bernama We Tenriabeng. Karena hasrat cintanya yang teramat besar kepada We Tenriabeng, Sawerigading tetap ngotot ingin menikahi kembar emasnya tersebut. Bahkan Sawerigading membunuh seorang juru bicara Ale Luwuq bernama Rajeng Makdopeq, karena juru bicara tersebut menasehatinya agar tidak menikahi saudaranya sendiri.
Lalu ketika sadar akan kesalahannya membunuh Rajeng Makdopeq, lagi pula We Tenriabeng memberikan penjelasan bahwa ia benar-benar kembar emasnya, lalu meminta saudara kembarnya tersebut berangkat ke Negeri Cina untuk menikah dengan seorang perempuan yang mirip dirinya bernama I We Cudaiq. Maka Sawerigading pun meninggalkan Ale Luwuq. Ialu Sawerigading pun bersumpah untuk tidak menginjakkan kaki di Ale Luwuq. Saat itu banyak penasehat Ale Luwuq yang meminta Sawerigading kembali ke Ale Luwuq bila sudah menyunting Putri Cina. Saat itu Sawerigading berpidato, “Puang ri Wareq dan seluruh pembesar dan penasehat Kerajaan Manurung Ale Luwuq! Memang benar kehormatan Ale Luwuq akan berkurang bilamana aku tidak ada disini, tetapi lebih berkurang lagi kehormatan dan kesakralan Ale luwuq bilamana aku mengingkari janji yang sudah kuucapkan. Ingatlah! Seorang pemimpin tidak boleh bicara dua kali.” Negeri ini sungguh membutuhkan pemimpin yang berkarakter seperti Sawerigading.
Perjalanan Sawerigading ke Negeri Cina selain sebagai bentuk penyesalan, ia pun sesungguhnya ingin melupakan patah hatinya terhadap We Tenriabeng yang akhirnya kembar emasnya tersebut dinikahi oleh penghuni langit bernama Remmang Rilangiq. Namun ditengah perjalanan menuju Negeri Cina, rombongan Sawerigading dihadang oleh beberapa musuh. Yang sangat menarik dari cara Sawerigading memimpin pasukan adalah mereka selalu menghindar tujuh kali ke kanan dan tujuh kali ke kiri bilamana dihadang oleh musuh. Inilah kalimat panglima perang Sawerigading yang juga sepupunya sendiri bernama La Pananrang, “Adikku La Massaguni, ingatlah bahwa tujuan kita berlayar ke Negeri Cina bukanlah untuk menciptakan keributan. Sebisa mungkin kita berusaha menghindarinya. Tapi kalau memang sudah menjadi takdir kita bertemu musuh, maka apa boleh buat, musuh jangan dicari, tetapi bila berjumpa, maka haram hukumnya mundur walau selangkah pun.”
Sungguh banyak nilai-nilai kearifan lokal yang berserakan dalam sastra La Galigo. Pun memuat cikal bakal munculnya budaya Bugis yang sekarang mulai terkikis. Sungguh banyak orang Bugis yang mulai melupakan budayanya sendiri. Dan mungkin saja orang Bugis itu sendiri tidak pernah tahu bahwa sastra klasik Bugis bernama La Galigo adalah karya sastra terpanjang di dunia. Dan penghargaan juga perlu ditujukan kepada sastrawan Sulawesi Selatan, Dul Abdul Rahman, yang menovelkan kitab sastra La Galigo, sehingga mudah dibaca dan dipahami.

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar