Nilai-nilai Kearifan dalam novel La Galigo
Oleh: Fitriani Amir
(Pencinta Sastra,
Mahasiswa STMIK
AKBA Makassar )
Penggalan kisah pertama yang sangat
menarik untuk disimak, yaitu mengapa Sang Patotoqe(penguasa langit) memilih La
Togeq Langiq diantara putra-putranya untuk menjadi penguasa di Kerajaan Bumi?
Itu karena Sang Patotoqe melihat bahwa pada diri La Togeq Langiq terdapat
karakter seorang pemimpin. La Togeq Langiq sangatlah tekun dalam latihan. Dia
dengan sangat cepat menguasai ilmu perang dan mampu mengalahkan para
panglima-panglima di langit setiap kali latihan. Dan untuk keahlian di
bumi, memang semua butuh latihan dan ketekunan. Sang Patotoqe melihat
bahwa hanya La Togeq Langiqlah yang mampu menghadapi kehidupan di bumi yang
penuh liku-liku dan perjuangan.
Sikap La Togeq Langiq sendiri
sungguhlah menakjubkan. Ia bersedia menukar kehidupannya di langit yang penuh
dengan kemewahan dengan kehidupan bumi yang sepi tanpa fasilitas. Adakah yang
mampu melakukan itu? Kehidupannya di langit begitu nyaman, mempunyai ribuan
dayang yang siap melayaninya sebagai putra mahkota setiap saat. Istana yang
megah, makanan yang lezat, dan gadis-gadis yang cantik. Ia rela menukar semua
itu dengan kehidupan di bumi yang sepi, tak ada istana melainkan ia hanya
bernaung di bawah pohon. Bahkan makanan pun ia harus cari sendiri dengan
bersusah payah. Semua itu ia terima dengan ketaatannya kepada ayahnya Sang
Patotoqe. La Togeq Langiq siap memakmurkan bumi dengan semangat Resopa
Temmangingi na malomo naletei pammase Dewata Sewae.
Ketika
Batara Guru (nama La Togeq Langiq setelah menghuni bumi) akan diberikan
pendamping hidup, ia mendengar cerita dari La Punna Uwae (penjaga sungai, Sang
Buaya) bahwa calon isterinya yang berasal dari Kerajaan Peretiwi bukanlah putri
yang cantik, calon isterinya tersebut sangatlah jelek parasnya lagi bermata
juling. Namun Batara Guru tetap siap menerima dengan ikhlas siapa pun yang akan
dikirimkan padanya sebagai jodohnya. Ia selalu yakin bahwa Sang Patotoqe tidak
pernah salah, dan pasti akan memberikan yang terbaik untuknya. Akhirnya Batara
Guru mendapat kiriman isteri dari Kerajaan Peretiwi bernama I We Nyiliq Timoq
yang sangat cantik. Sikap berprasangka baik dan berpikir positif kepada
Tuhan seperti itulah yang seharusnya selalu kita tanamkan dalam hati.
Nilai
luhur selanjutnya yang terjadi dalam cerita La Galigo yaitu ketika terjadinya
bencana di Kerajaan Tompoq Tikkaq. Penguasanya yang bernama La Urung Mpessi
bersikap melampau batas. Ia mengutuk dan menghambur-hamburkan nasi ke sungai
karena kecewa tamu yang diundangnya hanyalah sedikit yang datang. Local
wisdom ini seharusnya dijaga secara terus menerus, karena hal ini pun
diajarkan dalam agama. Manusia harus menghargai makanan dan tidak boleh mubazir.
Bahkan dalam agama, orang yang makan diharuskan menghabiskan makanan dalam
piring dan tidak boleh menyisakannya.
Lalu
penggalan kisah yang menarik lainnya ketika dua orang putri pewaris Tompoq
Tikkaq yang terbuang, yaitu We Adiluwuq dan We Datu Sengngeng. Keduanya
bersabar menerima takdir yang digariskan oleh Sang Patotoqe. Keduanya bersabar
melarikan diri ke hutan dengan semangat kurru sumange. Mereka bertahan
dalam keprihatinan di hutan, hanya memakan dedaunan. Karena kesabaran dan
keikhlasannya menerima takdir, akhirnya berbuah manis. Sang Patotoqe mempertemukan
We Datu Sengngeng dengan Batara Lattuq (putra sulung Batara Guru), We Adiluwuq
juga dipertemukan dengan seorang pangeran yang turun dari langit bernama I La
Jiriuq. Maka yakinlah buah dari kesabaran pasti kebaikan.
Sedangkan paman dan bibi mereka yang sebelumnya mengusir mereka dan juga
bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, akhirnya mendapatkan balasan yang
setimpal. Maka yakinlah perbuatan dosa buahnya adalah keburukan.
Penggalan
kisah selanjutnya yang sangat menarik ketika Batara Guru naik ke Boting Langiq
untuk memintakan keturunan bagi Batara Lattuq dan We Datu Sengngeng. Pada saat
itu sedang bulan keramat yang dipercaya bukan hari baik menurunkan tunas ke
bumi. Sang Patotoqe pun menasehati putranya agar menunggu berlalunya bulan
keramat lalu menurunkan tunas. Ia pun memberikan penjelasan bahwa We Datu
Sengngeng akan melahirkan kembar emas, dan bilamana diberikan tunas pada bulan
keramat, maka kembar emasnya nanti akan saling jatuh cinta. Dan kalau sampai
kembar emas itu menikah satu sama lain maka kehancuran akan menimpa bumi.
Namun, karena ingin membahagiakan Batara Lattuq dan isterinya, Batara Guru
tetap minta segera diturunkan tunas buat menantu dan anaknya, Sang Patotoqe pun
meluluskannya. Alhasil, We Datu Sengngeng begitu menderita ketika proses
bersalin tiba. Ia bahkan merasakan kesakitan selama dua bulan lamanya. Tak ada
tanda-tanda kelahiran meski semua bissu (pemimpin ritual dalam
kepercayaan Bugis Kuno) dan dukun melakukan ritual. Akhirnya Batara Guru pun
sadar bahwa itu akibat dari ketidaksabarannya meminta keturunan. Maka ia pun
mewasiatkan kepada seluruh keturunannya, “Mereka harus bersabar agar
hidupnya tidak kesasar, hindarilah sikap cemburu yang mengarah kepada sikap iri
hati dan dengki.”
Apa
yang dikatakan oleh Sang Patotoqe benar adanya. Setelah dewasa, akhirnya
Sawerigading jatuh cinta terhadap kembar emasnya yang bernama We Tenriabeng.
Karena hasrat cintanya yang teramat besar kepada We Tenriabeng, Sawerigading
tetap ngotot ingin menikahi kembar emasnya tersebut. Bahkan Sawerigading
membunuh seorang juru bicara Ale Luwuq bernama Rajeng Makdopeq, karena juru
bicara tersebut menasehatinya agar tidak menikahi saudaranya sendiri.
Lalu
ketika sadar akan kesalahannya membunuh Rajeng Makdopeq, lagi pula We
Tenriabeng memberikan penjelasan bahwa ia benar-benar kembar emasnya, lalu
meminta saudara kembarnya tersebut berangkat ke Negeri Cina untuk menikah
dengan seorang perempuan yang mirip dirinya bernama I We Cudaiq. Maka
Sawerigading pun meninggalkan Ale Luwuq. Ialu Sawerigading pun bersumpah untuk
tidak menginjakkan kaki di Ale Luwuq. Saat itu banyak penasehat Ale Luwuq yang
meminta Sawerigading kembali ke Ale Luwuq bila sudah menyunting Putri Cina.
Saat itu Sawerigading berpidato, “Puang ri Wareq dan seluruh pembesar dan
penasehat Kerajaan Manurung Ale Luwuq! Memang benar kehormatan Ale Luwuq akan
berkurang bilamana aku tidak ada disini, tetapi lebih berkurang lagi kehormatan
dan kesakralan Ale luwuq bilamana aku mengingkari janji yang sudah kuucapkan.
Ingatlah! Seorang pemimpin tidak boleh bicara dua kali.” Negeri ini
sungguh membutuhkan pemimpin yang berkarakter seperti Sawerigading.
Perjalanan
Sawerigading ke Negeri Cina selain sebagai bentuk penyesalan, ia pun
sesungguhnya ingin melupakan patah hatinya terhadap We Tenriabeng yang akhirnya
kembar emasnya tersebut dinikahi oleh penghuni langit bernama Remmang Rilangiq.
Namun ditengah perjalanan menuju Negeri Cina, rombongan Sawerigading dihadang
oleh beberapa musuh. Yang sangat menarik dari cara Sawerigading memimpin
pasukan adalah mereka selalu menghindar tujuh kali ke kanan dan tujuh kali ke
kiri bilamana dihadang oleh musuh. Inilah kalimat panglima perang Sawerigading
yang juga sepupunya sendiri bernama La Pananrang, “Adikku La Massaguni,
ingatlah bahwa tujuan kita berlayar ke Negeri Cina bukanlah untuk menciptakan
keributan. Sebisa mungkin kita berusaha menghindarinya. Tapi kalau memang sudah
menjadi takdir kita bertemu musuh, maka apa boleh buat, musuh jangan dicari,
tetapi bila berjumpa, maka haram hukumnya mundur walau selangkah pun.”
Sungguh
banyak nilai-nilai kearifan lokal yang berserakan dalam sastra La Galigo. Pun
memuat cikal bakal munculnya budaya Bugis yang sekarang mulai terkikis. Sungguh
banyak orang Bugis yang mulai melupakan budayanya sendiri. Dan mungkin saja
orang Bugis itu sendiri tidak pernah tahu bahwa sastra klasik Bugis bernama La
Galigo adalah karya sastra terpanjang di dunia. Dan penghargaan juga perlu
ditujukan kepada sastrawan Sulawesi Selatan, Dul Abdul Rahman, yang menovelkan
kitab sastra La Galigo, sehingga mudah dibaca dan dipahami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar