HAKIKAT PENCIPTAAN MANUSIA DALAM NOVEL “LA GALIGO”
Oleh: Syamsuddin
S, S.Pd
(Guru Bahasa dan
Sastra Indonesia SMP Negeri
15 Makassar )
Sudah
sejak lama saya bertanya-tanya tentang La Galigo. Yang paling membuat
saya bertanya-tanya karena konon katanya karya sastra tersebut adalah kitab
sastra terpanjang di dunia. Dan buku asli kitab sastra tersebut dalam bentuk
tulisan tangan berada di Negeri Belanda nun jauh disana.
Suatu
ketika saya mengajar bidang studi Bahasa Indonesia di kelas dengan materi
pokok: Apresiasi Sastra Indonesia .
Tiba-tiba seorang siswa bertanya pada saya tentang La Galigo. Saya tergagap,
jujur saya tidak tahu isi kitab La Galigo tersebut. Saya meminta kepada
siswa-siswi saya untuk bersabar dan memberi waktu kepada saya untuk
menjawabnya. Jeda waktu untuk menjawab tentang La Galigo, saya sedikit tegang
karena setiap kali saya masuk di kelas, siswa-siswa selalu menagih janji,
padahal saya belum mendapatkan buku tentang La Galigo.
Alhamdulillah,
akhirnya saya bisa mendapatkan sebuah novel berjudul La Galigo yang
ditulis oleh sastrawan yang berasal dari Sulawesi Selatan, Dul Abdul Rahman.
Novel tersebut diterbitkan oleh penerbit nasional, Diva Press Yogyakarta. Dan
pada akhirnya saya bisa menjelaskan kepada siswa-siswi saya tentang isi La
Galigo.
Benar
kabar yang saya dengar bahwa La Galigo adalah kitab sastra terpanjang di
dunia. Mengutip tulisan pengantar dari penulisnya bahwa memang La Galigo adalah
kitab sastra terpanjang di dunia setara dengan kitab Mahabarata dan Ramayana
dari India
sebagaimana pengakuan ilmuwan Belanda bernama R.A.Kern. Bahkan tidak
tanggung-tanggung, sejarawan dan ilmuwan Belanda lainnya bernama Sirtjof
Koolhof berpendapat bahwa La Galigo adalah karya sastra terpanjang di dunia
yang terdiri dari 300.000 baris. Epos Mahabarata jumlah barisnya hanya antara
160.000-200.000 baris saja.
Dalam
novel La Galigo diceritakan bahwa dahulu kala, Kerajaan Bumi hanyalah tanah
kosong yang benar-benar tak berpenghuni. Lalu Sang Dewata (Sang Patotoqe) yang
berada di Kerajaan Langit segera memutuskan bahwa Kerajaan Bumi tidak bisa
dibiarkan terlalu lama kosong. Manusia harus diturunkan untuk menyuburkannya
dan tentu saja menyembah-Nya.
Maka
atas hasil musyawarah seluruh Dewata penghuni Kerajaan Langit, maka Sang
Patotoqe mengirimkan putra sulungnya bernama La Togeq Langiq menjadi manusia
pertama yang menghuni bumi. Dialah kemudian menjelma menjadi Batara Guru.
Tidaklah
mudah menjadi penguasa di Kerajaan Bumi, meski sang manusia adalah titisan
Dewata tersebut bisa saja meminta bantuan Langit untuk mempermudah tugasnya.
Tapi sang Dewata mengharuskan Batara Guru untuk berusaha. Karena memang
begitulah hakekat penciptaan manusia.
“Adinda
Datu Palingeq! Tidak usahlah khawatir bila anak kita kelak menjelma manusia
lalu mengalamai cobaan di Bumi. Karena memang sudah menjadi hukum Bumi bahwa
sesungguhnya hidup adalah cobaan. Juga bukanlah manusia bila tidak tahan
menghadapi cobaan,” ujar Sang Patotoqe kepada permaisurinya. (La Galigo,
hal.15)
Etos Kerja
Local wisdom utama yang
dijumpai pada awal-awal novel La Galigo adalah kerja keras. Diceritakan bahwa
ketika pertama kali menghuni bumi, Batara Guru bersedih dan bermalas-malasan.
Bahkan ia terus menangis dan mengadu kepada ayahandanya yang berada di Kerajaan
Langit. Batara Guru terus meminta agar dikirimkan makanan dan minuman serta
pendamping karena ia kelaparan, kehausan, dan kesepian di bumi.
Tentu saja keinginan Batara Guru
tidak diamini oleh Sang Patotoqe (Dewata) di Kerajaan Langit. Karena menurut
ketentuan Dewata ketika manusia sudah menghuni Bumi maka ia tidak boleh
bergantung kepada Kerajaan Langit. Tetapi manusia harus berusaha sendiri.
Naluriah manusia dalam diri Batara
Guru akhirnya muncul, ia mencari makanan dan minuman sendiri. Karena memang
bersamaan munculnya Batara Guru di Bumi terciptalah juga hutan-hutan,
sungai-sungai, tumbuhlah segala jenis buah-buahan. Intinya Sang Patotoqe di
Kerajaan Langit sudah menyebarkan rahmatnya di muka bumi, tinggallah manusia
sendiri yang mencarinya.
Jadi hidup di Bumi manusia harus
bekerja keras. Ini pun sejalan dengan Kitab Suci Al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 11 yang artinya,
“…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri….” Poin ini pun sejalan dengan local
wisdom Bugis-Makassar yang berbunyi “Resopa temmangingi namalomo naletei
pammase dewata sewae” (Usaha yang sungguh-sungguh disertai keikhlasan yang
mendapat ridha dari Tuhan Yang Maha Esa)
“Bekerja dan Bekerja”. Mungkin
itulah maksud Sang Dewata ketika menurunkan kapak emas dari Langit ketika
Batara Guru terus bersedih karena kelaparan dan kehausan di Bumi.
Dan ketika menurunkan kapak emas
kepada Batara Guru di Bumi, seolah Sang Dewata juga ingin berkata, “Bekerjalah!
Bekerjasamalah!” Itu dibuktikan karena bersamaan diturunkannya kapak emas,
diturunkan pula seorang pembantu bernama La Oro Kellong. Selanjutnya La Oro
Kelling membantu Batara Guru membuka lahan pertanian dengan kapak emasnya.
Selanjutnya local wisdom yang
penting dari novel La Galigo gubahan Dul Abdul Rahman adalah selain bekerja
diperlukan pemahaman (ilmu pengetahuan). Dikisahkan bahwa setiap ingin bekerja,
sang pembantu dari Langit, La Oro Kelling sangat bersemangat. Ia selalu ingin tampil
mengerjakan semua pekerjaan dan meminta Batara Guru beristirahat saja. Pada
suatu hari Batara Guru dan La Oro Kelling ingin membuka lahan pertanian.
Awalnya Batara Guru yang memulai menebang pohon tetapi La Oro Kelling mengambil
alih pekerjaan itu karena ia merasa dirinyalah yang harus bekerja keras karena
ia seorang pembantu.
La
Oro Kelling pun menebang sebatang pohon. Tetapi kemudian ia mengeluh karena
sebatang pohon saja ia butuh waktu yang lama untuk menebangnya. Apalagi kalau
harus membabat hutan. Batara Guru tahu akan keresahan hati La Oro Kelling, ia
pun mengambil kapak emas lalu menebang pohon yang besar yang letaknya paling
atas. Pohon besar itu terjatuh menimpa pohon yang ada di dekatnya. Lalu pohon
lainnya menimpa pohon yang ada di dekatnya pula. Hingga kawasan yang awalnya
hutan menjelma jadi lahan pertanian hingga ke pinggir sungai.
Maka berkatalah Batara Guru kepada
La Oro Kelling: “Begitulah La Oro Kelling! Bekerja harus pakai otak. Manusia
tidak akan pernah mampu menaklukkan Bumi dengan tenaganya saja. Manusia hanya
bisa menaklukkan Bumi dengan bantuan pikirannya.” (La Galigo, hal.67)
Membaca novel La Galigo tulisan
Dul Abdul Rahman yang diadaptasi dari kitab sastra La Galigo sungguhlah sangat
menarik. Novel yang cukup tebal tersebut memberi banyak pelajaran-pelajaran
sangat berharga. Pantaslah kalau menurut penulisnya yang saya sempat bertemu
dengannya bahwa kitab sastra La Galigo sangat diminati oleh mahasiswa di
Belanda untuk melakukan kajian sastra. Dan yang paling melegakan adalah badan
PBB, UNESCO sudah menetapkan kitab La Galigo sebagai naskah warisan dunia dan
diberi anugerah Memory of the World (MOW).
Sumber: Harian Fajar, Ahad 4 Maret
2012
How to win at a casino in NJ - Dr.MCD
BalasHapusThe best way to do that is 경산 출장안마 to register 수원 출장샵 with a sweepstakes 대전광역 출장마사지 site and click the 'Join Now' button and 용인 출장마사지 follow the link to the site's registration page. 속초 출장마사지 The