Selasa, 08 Oktober 2013

MENCARI JEJAK NEGERI CINA DALAM KITAB SASTRA LA GALIGO

MENCARI JEJAK “NEGERI CINA” DALAM KITAB SASTRA LA GALIGO
Oleh: dul abdul rahman
(Sastrawan dan peneliti budaya, penulis novel “La Galigo”)

Semula saya tertarik mengadaptasi Kitab Sastra La Galigo kedalam bentuk novel yang easy reading karena dua hal. Pertama, saya “terprovokasi” oleh tulisan Nirwan Ahmad Arsuka, “Kesakralan Sureq Galigo yang membuatnya tak dapat diakses oleh sembarang orang, tampaknya memang harus disembelih dan dikorbankan. Kesakralan itu perlu dibunuh agar seperti We Oddang Nriuq yang meninggal tujuh hari setelah dilahirkan dan menjelma Sangiang Serri, dari tubuhnya tumbuh padi yang akan menghidupi manusia beribu tahun,… wujud yang paling sederhana adalah penulisan ulang dalam bentuk novel.” Kedua, saya selalu ditagih oleh kawan-kawan yang berada di Tana Jawa yang ingin mengetahui kehebatan Sawerigading. Rupanya kisah Sawerigading ketika menaklukkan Banynyaq Paguling dari Manynyapaiq (Majapahit) juga menjadi cerita yang turun-temurun di Tana Jawa. Lalu setelah novel La Galigo diterbitkan oleh Diva Press Yogyakarta, maka pertanyaan yang muncul adalah tentang setting Negeri Cina. Apakah setting tersebut mengacu ke Negeri Cina yang sesungguhnya?
Memang, setting Cina dalam La Galigo selalu menjadi perdebatan apakah benar-benar mengacu ke Negeri Cina yang sesungguhnya, atau hanya mengacu ke Cina yang ada di Bone ataupun di Wajo. Menurut Nurhayati Rahman, penyebab terjadinya kontroversi tersebut disebabkan oleh dua hal, pertama, pada umumnya orang meletakkan La Galigo sebagai karya sejarah; kedua, pendekatan tersebut tidak didahului oleh pendekatan filologi melalui kritik teks dan telaah naskah.
Begitulah, menurut Nurhayati Rahman, para peneliti La Galigo selalu menganggap bahwa teks-teks La Galigo adalah kenyataan sejarah, sehingga selalu mencoba mencocokkan setting yang tertera dalam La Galigo ke dalam dunia nyata. Menurut pengamatan penulis sendiri, pendapat para peneliti yang bervariasi tentang latar Negeri Cina menunjukkan bahwa teks-teks La Galigo adalah teks sastra yang polyinterpretable. Itulah dunia sastra yang multitafsir.

Latar Cina mengacu ke Negeri Cina
            Pendapat pertama adalah latar Negeri Cina mengacu kepada Negeri Cina yang sesungguhnya. pendapat ini berdasarkan atas perjalanan Sawerigading dari Ale Luwuq ke Negeri Cina selama berbulan-bulan. Kalau saja Negeri Cina hanya berada di Sulawesi maka tidak dibutuhkan pelayaran selama berbulan-bulan. Alasan lainnya adalah selama pelayaran ke Negeri Cina, pasukan Sawerigading dibawah komando La Pananrang dan La Massaguni melakukan pertempuran di laut selama tujuh kali sebelum sampai di Negeri Cina.
            Dan pertempuran pertama adalah pasukan Sawerigading melawan pasukan Banynyaq Paguling dari Majapahit. Pasukan Sawerigading juga melakukan pertempuran dengan pasukan La Tuppuq Gellang dari Jawa ri Aja (Jawa Barat, kemungkinan dari kerajaan Pajajaran).
            Data selanjutnya yang menunjukkan bahwa Sawerigading menuju Negeri Cina, setelah menaklukkan Banynyak Paguling dan La Tuppuq Gellang, serta La Tuppuq Soloq, La Togeq Tana, dan La Tenripulaq, pasukan Sawerigading bergegas ke utara menuju Laut Cina Selatan sehingga bertemu dengan pasukan La Tenrinyiwiq dari Malaka.

Latar Cina Mengacu ke Cina di Wajo
            Sebagian peneliti berpendapat bahwa latar Negeri Cina bukan mengacu ke Negeri Cina yang sesungguhnya, tetapi mengacu kepada Cina yang ada di Wajo. Bahkan Andi Zainal Abidin (Nurhayati Rahman, 2006: 420) yakin bahwa Negeri Cina dalam La Galigo mengacu ke Cina di Kecamatan Pammanna, Kabupaten Sengkang. Hal ini berdasarkan silsilah raja Cina yang ada di Pammanna.
            Data dalam La Galigo yang mendukung pendapat ini adalah ketika putri Sawerigading dan I We Cudaiq bernama I We Tenridio sakit keras, menurut para dukun istana dan Puang Matowa, bahwa I We Tenridio hanya bisa disembuhkan dengan peralatan bissu manurung yang ada di Ale Luwuq. Peralatan bissu tersebut milik saudara kembar Sawerigading We Tenriabeng yang sudah gaib ke Boting Langiq. Maka Sawerigading pun mengutus I La Galigo kembali berlayar ke Ale Luwuq untuk mengambil peralatan bissu tersebut. Lalu I La Galigo dengan dikawal oleh tujuh puluh pengawal khususnya berlayar menuju Ale Luwuq.
            Pelayaran I La Galigo dari Negeri Cina menuju Ale Luwuq sangat bertolak belakang dari pelayaran Sawerigading dari Ale Luwuq menuju Negeri Cina. Kalau pelayaran Sawerigading selama berbulan-bulan, maka pelayaran I La Galigo hanya dalam sehari saja. Padahal perahu yang mereka tumpangi sama yaitu Perahu Welenrengnge. I La Galigo meninggalkan Negeri Cina pagi hari dan tiba di Ale Luwuq pada malam hari. Bahkan sebenarnya I La Galigo bisa berlayar hanya setengah hari seandainya mereka tidak singgah di Siwa dan Takkebiroq. Dari dua tempat yang singgahi menunjukkan bahwa Negeri Cina tidak jauh dari Ale Luwuq.

Latar Cina di Kalimantan
            Selain dua pendapat di atas, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Negeri Cina bukan mengacu ke Negeri Cina yang sesungguhnya dan bukan pula Cina yang ada di Wajo. Pendapat ini didukung oleh Fachruddin Ambo Enre (Nurhayati Rahman, 2006: 421).
            Menurut Fachruddin, Negeri Cina dalam La Galigo mengacu ke negeri Kinabalu (Kalimantan, bagian Malaysia). Menurutnya, Kinabalu berasal dari kata Cina Baru. Karena pada umumnya orang Tionghoa susah melafalkan huruf R maka lama kelamaan Cina Baru menjadi Kina Balu. Huruf C menjadi huruf K mengikuti ejaan Melayu.
            Tidak ada data tersurat dalam La Galigo yang mendukung pendapat Fachruddin ini. Hanya saja dalam pelayaran Sawerigading menuju Negeri Cina, ketika pasukan Sawerigading berhasil mengalahankan pasukan La Tenriniwiq dari Malaka, tak lama kemudian Sawerigading tiba di Negeri Cina. Jadi kalau kita mengikuti arah pelayaran Sawerigading maka bisa saja Negeri Cina itu berada di Kalimantan atau paling jauh di Semenanjung Melayu (Malaysia Barat).

Setting Negeri Cina adalah sebuah Simbol?
            Setelah membandingkan tiga pendapat di atas yang masing-masing punya alasan, maka penulis berpendapat bahwa sesungguhnya latar Negeri Cina dalam La Galigo lebih mengacu ke sebuah simbol. Sebagai sebuah simbol (bisa dibaca: simbol Bugis) maka tentu saja Negeri Cina mengacu ke Wajo atau Bone.
            Menurut hemat penulis, bisa saja Negeri Cina hanyalah sebuah sebutan untuk menunjukkan bahwa sebuah negeri dikatakan maju. Apalagi saat itu pelayaran Negeri Cina sudah sangat pesat. Kalau pendapat penulis ini benar adanya maka akan menguatkan pendapat bahwa asal-usul manusia Bugis pertama bukan dari Luwu sebagaimana klaim banyak ahli termasuk dari Belanda yang mencoba menelusuri asal-usul manusia Bugis dari perspektif La Galigo, tetapi dari Wajo atau Bone.
            Dalam data La Galigo, Sawerigading yang berasal dari Ale Luwuq (Luwu) berlayar Ke Negeri Cina yang sering disebut Tana Ugiq. Jadi bisa saja Tana Ugiq (Wajo dan Bone) disebut negeri Cina karena sudah sangat maju menyaingi Ale Luwuq. Nah kalau belakangan muncul pendapat apakah orang Luwu adalah suku Bugis atau suku Luwu? Maka itu adalah hal yang wajar. Tetapi harus dicatat bahwa versi La Galigo mengatakan bahwa yang berkuasa di Ale Luwuq (Luwu) dan Negeri Cina (Bone, dan tana Ugiq lainnya?) adalah keturunan Sawerigading dan I We Cudaiq, perpaduan Ale Luwuq dan Negeri Cina.

Epilog
Sampai saat ini perdebatan tentang setting Negeri Cina terus berlanjut. Dan itu berarti La Galigo akan terus dibicarakan. Bahkan saat ini muncul banyak versi tentang La Galigo. Karena La Galigo adalah ‘simbol’ orang Bugis, maka di setiap daerah, baik yang berada di Indonesia ataupun luar negeri, yang mengaku keturunan orang Bugis maka biasanya cerita La Galigo akan tumbuh. Cerita La Galigo dengan tokoh utama Sawerigading bisa juga menjadi simbol keheroikan orang Bugis bukan hanya di lautan tetapi di daratan. Kurru Sumange! dulabdul@gmail.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar