MENCARI JEJAK “NEGERI CINA” DALAM KITAB SASTRA LA
GALIGO
Oleh: dul abdul rahman
(Sastrawan
dan peneliti budaya, penulis novel “La Galigo”)
Semula
saya tertarik mengadaptasi Kitab Sastra La Galigo kedalam bentuk novel yang easy
reading karena dua hal. Pertama, saya “terprovokasi” oleh tulisan Nirwan
Ahmad Arsuka, “Kesakralan Sureq Galigo yang membuatnya tak dapat diakses oleh
sembarang orang, tampaknya memang harus disembelih dan dikorbankan. Kesakralan
itu perlu dibunuh agar seperti We Oddang Nriuq yang meninggal tujuh hari
setelah dilahirkan dan menjelma Sangiang Serri, dari tubuhnya tumbuh padi yang
akan menghidupi manusia beribu tahun,… wujud yang paling sederhana adalah
penulisan ulang dalam bentuk novel.” Kedua, saya selalu ditagih oleh
kawan-kawan yang berada di Tana Jawa yang ingin mengetahui kehebatan
Sawerigading. Rupanya kisah Sawerigading ketika menaklukkan Banynyaq Paguling
dari Manynyapaiq (Majapahit) juga menjadi cerita yang turun-temurun di Tana
Jawa. Lalu setelah novel La Galigo diterbitkan oleh Diva Press Yogyakarta, maka
pertanyaan yang muncul adalah tentang setting Negeri Cina. Apakah setting
tersebut mengacu ke Negeri Cina yang sesungguhnya?
Memang,
setting Cina dalam La Galigo selalu menjadi perdebatan apakah benar-benar
mengacu ke Negeri Cina yang sesungguhnya, atau hanya mengacu ke Cina yang ada
di Bone ataupun di Wajo. Menurut Nurhayati Rahman, penyebab terjadinya kontroversi
tersebut disebabkan oleh dua hal, pertama, pada umumnya orang meletakkan La
Galigo sebagai karya sejarah; kedua, pendekatan tersebut tidak didahului oleh
pendekatan filologi melalui kritik teks dan telaah naskah.
Begitulah,
menurut Nurhayati Rahman, para peneliti La Galigo selalu menganggap bahwa
teks-teks La Galigo adalah kenyataan sejarah, sehingga selalu mencoba
mencocokkan setting yang tertera dalam La Galigo ke dalam dunia nyata. Menurut
pengamatan penulis sendiri, pendapat para peneliti yang bervariasi tentang
latar Negeri Cina menunjukkan bahwa teks-teks La Galigo adalah teks sastra yang
polyinterpretable. Itulah dunia sastra yang multitafsir.
Latar Cina mengacu ke Negeri Cina
Pendapat pertama adalah latar Negeri
Cina mengacu kepada Negeri Cina yang sesungguhnya. pendapat ini berdasarkan
atas perjalanan Sawerigading dari Ale Luwuq ke Negeri Cina selama
berbulan-bulan. Kalau saja Negeri Cina hanya berada di Sulawesi
maka tidak dibutuhkan pelayaran selama berbulan-bulan. Alasan lainnya adalah
selama pelayaran ke Negeri Cina, pasukan Sawerigading dibawah komando La
Pananrang dan La Massaguni melakukan pertempuran di laut selama tujuh kali
sebelum sampai di Negeri Cina.
Dan pertempuran pertama adalah
pasukan Sawerigading melawan pasukan Banynyaq Paguling dari Majapahit. Pasukan
Sawerigading juga melakukan pertempuran dengan pasukan La Tuppuq Gellang dari
Jawa ri Aja (Jawa Barat, kemungkinan dari kerajaan Pajajaran).
Data selanjutnya yang menunjukkan
bahwa Sawerigading menuju Negeri Cina, setelah menaklukkan Banynyak Paguling
dan La Tuppuq Gellang, serta La Tuppuq Soloq, La Togeq Tana, dan La Tenripulaq,
pasukan Sawerigading bergegas ke utara menuju Laut Cina Selatan sehingga
bertemu dengan pasukan La Tenrinyiwiq dari Malaka.
Latar Cina Mengacu ke Cina di Wajo
Sebagian peneliti berpendapat bahwa
latar Negeri Cina bukan mengacu ke Negeri Cina yang sesungguhnya, tetapi
mengacu kepada Cina yang ada di Wajo. Bahkan Andi Zainal Abidin (Nurhayati Rahman,
2006: 420) yakin bahwa Negeri Cina dalam La Galigo mengacu ke Cina di Kecamatan
Pammanna, Kabupaten Sengkang. Hal ini berdasarkan silsilah raja Cina yang ada
di Pammanna.
Data dalam La Galigo yang mendukung
pendapat ini adalah ketika putri Sawerigading dan I We Cudaiq bernama I We
Tenridio sakit keras, menurut para dukun istana dan Puang Matowa, bahwa I We
Tenridio hanya bisa disembuhkan dengan peralatan bissu manurung yang ada di Ale
Luwuq. Peralatan bissu tersebut milik saudara kembar Sawerigading We Tenriabeng
yang sudah gaib ke Boting Langiq. Maka Sawerigading pun mengutus I La Galigo
kembali berlayar ke Ale Luwuq untuk mengambil peralatan bissu tersebut. Lalu I
La Galigo dengan dikawal oleh tujuh puluh pengawal khususnya berlayar menuju
Ale Luwuq.
Pelayaran I La Galigo dari Negeri
Cina menuju Ale Luwuq sangat bertolak belakang dari pelayaran Sawerigading dari
Ale Luwuq menuju Negeri Cina. Kalau pelayaran Sawerigading selama
berbulan-bulan, maka pelayaran I La Galigo hanya dalam sehari saja. Padahal
perahu yang mereka tumpangi sama yaitu Perahu Welenrengnge. I La Galigo
meninggalkan Negeri Cina pagi hari dan tiba di Ale Luwuq pada malam hari.
Bahkan sebenarnya I La Galigo bisa berlayar hanya setengah hari seandainya
mereka tidak singgah di Siwa dan Takkebiroq. Dari dua tempat yang singgahi menunjukkan
bahwa Negeri Cina tidak jauh dari Ale Luwuq.
Latar Cina di Kalimantan
Selain dua pendapat di atas, ada
juga pendapat yang mengatakan bahwa Negeri Cina bukan mengacu ke Negeri Cina
yang sesungguhnya dan bukan pula Cina yang ada di Wajo. Pendapat ini didukung
oleh Fachruddin Ambo Enre (Nurhayati Rahman, 2006: 421).
Menurut Fachruddin, Negeri Cina
dalam La Galigo mengacu ke negeri Kinabalu (Kalimantan, bagian Malaysia ).
Menurutnya, Kinabalu berasal dari kata Cina Baru. Karena pada umumnya orang
Tionghoa susah melafalkan huruf R maka lama kelamaan Cina Baru menjadi Kina
Balu. Huruf C menjadi huruf K mengikuti ejaan Melayu.
Tidak ada data tersurat dalam La
Galigo yang mendukung pendapat Fachruddin ini. Hanya saja dalam pelayaran
Sawerigading menuju Negeri Cina, ketika pasukan Sawerigading berhasil
mengalahankan pasukan La Tenriniwiq dari Malaka, tak lama kemudian Sawerigading
tiba di Negeri Cina. Jadi kalau kita mengikuti arah pelayaran Sawerigading maka
bisa saja Negeri Cina itu berada di Kalimantan
atau paling jauh di Semenanjung Melayu (Malaysia Barat).
Setting Negeri Cina adalah sebuah
Simbol?
Setelah membandingkan tiga pendapat
di atas yang masing-masing punya alasan, maka penulis berpendapat bahwa
sesungguhnya latar Negeri Cina dalam La Galigo lebih mengacu ke sebuah simbol.
Sebagai sebuah simbol (bisa dibaca: simbol Bugis) maka tentu saja Negeri Cina
mengacu ke Wajo atau Bone.
Menurut hemat penulis, bisa saja
Negeri Cina hanyalah sebuah sebutan untuk menunjukkan bahwa sebuah negeri
dikatakan maju. Apalagi saat itu pelayaran Negeri Cina sudah sangat pesat.
Kalau pendapat penulis ini benar adanya maka akan menguatkan pendapat bahwa
asal-usul manusia Bugis pertama bukan dari Luwu sebagaimana klaim banyak ahli
termasuk dari Belanda yang mencoba menelusuri asal-usul manusia Bugis dari
perspektif La Galigo, tetapi dari Wajo atau Bone.
Dalam data La Galigo, Sawerigading
yang berasal dari Ale Luwuq (Luwu) berlayar Ke Negeri Cina yang sering disebut Tana
Ugiq. Jadi bisa saja Tana Ugiq (Wajo dan Bone) disebut negeri Cina karena sudah
sangat maju menyaingi Ale Luwuq. Nah kalau belakangan muncul pendapat apakah
orang Luwu adalah suku Bugis atau suku Luwu? Maka itu adalah hal yang wajar.
Tetapi harus dicatat bahwa versi La Galigo mengatakan bahwa yang berkuasa di
Ale Luwuq (Luwu) dan Negeri Cina (Bone, dan tana Ugiq lainnya?) adalah
keturunan Sawerigading dan I We Cudaiq, perpaduan Ale Luwuq dan Negeri Cina.
Epilog
Sampai
saat ini perdebatan tentang setting Negeri Cina terus berlanjut. Dan itu
berarti La Galigo akan terus dibicarakan. Bahkan saat ini muncul banyak versi
tentang La Galigo. Karena La Galigo adalah ‘simbol’ orang Bugis, maka di setiap
daerah, baik yang berada di Indonesia ataupun luar negeri, yang mengaku
keturunan orang Bugis maka biasanya cerita La Galigo akan tumbuh. Cerita La
Galigo dengan tokoh utama Sawerigading bisa juga menjadi simbol keheroikan
orang Bugis bukan hanya di lautan tetapi di daratan. Kurru Sumange! dulabdul@gmail.com
Sumber: www.darsastra.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar