BENARKAH LA GALIGO MERUPAKAN KARYA SASTRA TERPANJANG
DI DUNIA?
oleh: dul abdul rahman*
Ya
benar sekali! Kitab sastra La Galigo yang merupakan kitab sastra klasik Bugis
adalah kitab sastra terpanjang di dunia. Pengakuan ini bukan datang dari
orang-orang Bugis. Jangankan mengklaim sebagai sastra terpanjang di dunia,
orang Bugis sendiri awam dengan La Galigo. Yang mengklaim La Galigo sebagai
karya sastra terpanjang di dunia adalah para ilmuwan Belanda.
Seorang
ilmuwan Belanda yang bernama R.A.Kern dalam bukunya Catalogus van de
Boegineesche tot de I La Galigocyclus Behoorende Handschriften der Leidsche
Universiteitbibliotheek yang diterbitkan oleh Universiteitbibliotheek Leiden
(1939: 1) menempatkan Kitab La Galigo sebagai karya sastra terpanjang dan
terbesar di dunia setaraf dengan kitab Mahabarata dan Ramayana dari India,
serta sajak-sajak Homerus dari Yunani.
Sejalan
dengan pendapat R.A. Kern, sejarawan dan ilmuwan Belanda lainnya, Sirtjof
Koolhof, berpendapat bahwa Kitab Galigo adalah karya sastra terpanjang di dunia
yang panjangnya mencapai lebih 300.000 baris, sementara epos Mahabarata jumlah
barisnya antara 160.000 – 200.000 baris.
Pendapat R.A. Kern dan Sirtjof Koolhof
berdasarkan atas 12 jilid naskah La Galigo yang kini berada di Perpustakaan
Universitas Leiden, Belanda. Naskah tersebut ditulis oleh Colliq Pujie Arung
Pancana Toa pada abad ke-19 atas permintaan B.F Matthes (1818-1908). B.F
Matthes adalah seorang missionaris Belanda yang pernah bertugas di Sulawesi.
Sejatinya, Colliq Pujie hanyalah mengumpulkan dan menyalin kembali cerita La
Galigo yang sudah mengakar (cerita lisan) pada masyarakat yang mendiami jazirah
selatan Pulau Sulawesi –masyarakat Bugis.
Begitulah jawaban saya ketika salah
seorang peserta diskusi budaya yang berlangsung di Kota Solo di awal tahun 2011
silam, bertanya kepada saya, “Benarkah La Galigo merupakan kitab sastra
terpanjang di dunia?”
Hampir semua peserta diskusi
terperangah dengan penjelasan saya, antara percaya dan tidak. Hanyalah sebagian
kecil yang manggut-manggut tetapi tetap dengan mimik penasaran. Mereka yang
manggut-manggut mungkin sudah membaca berita atau mungkin menonton pementasan
“Teater La Galigo” yang disutradari oleh sutradara papan atas Amerika, Robert
Wilson. Atau mungkin mereka sudah membaca novel-novel saya yang diterbitkan
oleh Penerbit Diva Yogyakarta, yang juga
menjadi pendukung acara diskusi budaya tersebut. Mungkin karena saya
‘kecanduan’ cerita La Galigo sejak kecil yang diceritakan oleh ayah saya, maka
tak sah rasanya saya bercerita dan berimajinasi tanpa ‘menyentil’ La Galigo.
Maka berhamburanlah teks-teks La Galigo dalam catatan kaki novel-novel saya.
Dan terpaksalah novel-novel saya diberi catatan kaki karena pembaca di Jawa
sangat asing dengan La Galigo. Padahal sudah menjadi pameo sebagian besar
penerbit nasional di Jawa, hanyalah buku-buku yang layak baca di Pulau Jawa
yang diprioritaskan untuk diterbitkan. Mungkin saja para penerbit menganggap
pembaca di luar Pulau Jawa termasuk Makassar bukan ‘pembeli buku’ yang baik.
Saking bersemangatnya saya bicara,
khas bicara orang Bugis-Makassar, semua peserta diskusi mulai percaya dengan
penjelasan saya bahwa Kitab Sastra La Galigo adalah kitab sastra terpanjang di
dunia. Mereka tak asal percaya sama saya, karena meski beretnis Bugis dan
tinggal di Makassar, saya menghafal dan menguasai Kitab Sastra (Serat)
Centhini. Sebuah kitab sastra klasik Jawa.
Tiba-tiba salah seorang peserta
diskusi bertanya, “Lalu bagaimana caranya saya mengetahui isi cerita La
Galigo?” Saya tersentak. Saya yang semula berbicara serupa La Pananrang, juru
bicara Sawerigading. Atau serupa La Pangoriseng, juru bicara Batara Lattuq,
tiba-tiba terdiam minder seperti La Tenrijelloq karena takut menghadapi pasukan
Ale Luwuq pimpinan La Pangoriseng dan La Temmalureng.
Sebenarnya
saya bisa saja menjawab dengan sedikit judes bin ketus, “Dengan
membacanya dong!” Tapi buku La Galigo apa yang mesti mereka baca? Memang sudah
banyak buku-buku transliterasi La Galigo atas jasa-jasa para kaum intelektual
Sulsel seperti Muhammad Salim, M.Johan Nyompa, Fahruddin Ambo Enre, dan
Nurhayati Rahman –mereka patut disebut pejuang La Galigo– Tapi saya sangsi para
pembaca dari Jawa ‘kewalahan’ atau mungkin bosan membaca naskah dalam bentuk
transliterasi. Jangankan transliterasi La Galigo, transliterasi Serat Centhini
saja mereka malas membacanya. Serat Centhini pun barulah ramai dibaca setelah
digubah dalam bentuk bacaan ‘santai’ seperti novel yang diterbitkan oleh Diva
Press Yogyakarta.
Antara La Galigo dan Serat
Centhini
Mungkin
tidak banyak pembaca sastra di Indonesia yang mengetahui bahwa sekarang ini
terdapat dua kitab sastra klasik Indonesia yang menjadi perbincangan di kancah
dunia internasional. Keduanya adalah Kitab Serat Centhini, sebuah kitab
sastra klasik Jawa, dan Kitab Sastra La Galigo, sebuah kitab sastra
klasik Bugis.
Serat
Centhini mendapat banyak sebutan sebagai sastra monumental, pun sebagai sastra
kanon. Serat Centhini sudah dialihperanciskan oleh Elizabeth D. Inandiak, yang
kemudian diindonesiakan kembali dari versi Perancis. Serat Centhini mengalami
sebuah ‘perjalanan panjang’ dari Jawa-Perancis-Indonesia.
Serupa
dengan Serat Centhini, La Galigo pun mengalami ‘perjalanan panjang’. Meski
lahir di Tanah Bugis, Indonesia, namun ia ‘besar’ di negeri Belanda. Selain
salinan naskah aslinya yang terdiri atas 12 jilid yang tersimpan di
Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, Kitab La Galigo pun menjadi primadona
bagi para mahasiswa Belanda untuk melakukan riset sastra dan budaya untuk
meraih gelar magister dan doktor.
Setelah
pulang kampung ke negeri asalnya, hingar-bingar sebagai karya sastra klasik
yang ramai diperbincangkan di negeri orang, namun tidak sebingar di tanah
kelahirannya. Serat Centhini sedikit lebih baik, karena masyarakat pendukung
utamanya, masyarakat Jawa, ramai-ramai memperbincangkannya, bahkan menuliskannya.
Sedangkan
La Galigo, yang pada tahun 2011 ini mendapat penghargaan khusus karena badan
PBB UNESCO menetapkan naskah klasik La Galigo sebagai warisan dunia dan diberi
anugerah Memory of The World (MOW).
Tetapi
kelak ketika saya diundang ke Jawa untuk berbicara budaya Bugis-Makassar,
terkhusus tentang La Galigo, maka dengan tidak canggung, saya akan
berteriak seperti teriakan Batara Guru, Batara Lattuq, Sawerigading, dan I La
Galigo. “Kurru Sumange! Bacalah La Galigo, karya sastra terpanjang di dunia!”
Itu
karena Penerbit Diva Press Yogyakarta yang memopulerkan Serat Centhini lewat
novel, berusaha juga memopulerkan La Galigo. Bahkan penerbit yang berusaha
mengangkat sastra-sastra klasik tersebut menantang saya menuliskan La Galigo
dalam bentuk novel. Dan ‘Alhamdulillah ya’, tantangan itu berhasil saya
‘hadang’. Kurru Sumange! (dul abdul rahman, sastrawan dan peneliti budaya)
Sumber: Harian Fajar, 6 Nopember 2011
sebenarnya karia sastra terpanjang di dunia itu berasal dari luwu bukan suku bugis jangan samakan bugis dan luwu dari segi bahasanya saja beda ...sedangkan suku bugis sendiri itu berawal dari kerajaan luwu yaitu kerajaan tertua di sulawesi selatan...
BalasHapusbahasa bugis dengan luwu itu beda namun satu budaya .. dan budaya itu brawal dari kerajaan luwu sendiri... yang kedua saya tidak suka kalau di katakan sastra terpanjang di dunia berlabuh di makassar.. padahal suku makassar itu jga beda dengan bugis ataupun luwu... dan museum la galigo sekarang berada di bumi sawerigading yaitu palopo....
syam .... i la galigo (penulis kitab) adalah keturunan dr la satumpugi (nenek moyang org bugis) klo d daerah pattimang (pusat kerajaan luwu) mrk berbahasa bugis.. klo yg sekarang berkembang d luwu adalah komunitas rongkong yg pada masa sawerigading sudah ada dan hidup berkelompok2 tidak membentuk kerajaan..........
Hapusbetul.............. jangan berargumen kalau tidak ada bukti.
Hapusbetul.............. jangan berargumen kalau tidak ada bukti.
HapusHehehe sy hnya tertawa ketika I La Galigo dikenal bkan berasal dri Luwu, perdebatan pnjang tiada akhir trus brgulir. Dari Bugislah, dri Luwu lah, dll. Intinya Luwu itu adlh sbuah bangsa yg di dalamnya ada bnyak suku, termasuk suku bugis. Bnyak2 membaca spya kt bsa tau dan yg psti jgn memojokkan satu sma lain, kt ini bersuadara, salut buat Kakak Dul Abdul Rahman yg tlh mngabdikan dirinya menulis novel I La Galigo. Oh ya karya I La Galigo jg sdh ditulis oleh Bapak Idwar Anwar, mgkn beliau akn menulis smpai 12 jilid novel I La Galigo dan beliau adlh org Luwu. Selamat membaca.
BalasHapusMau bugis ke...luwu, mandar , toraja pokok karya sastra sulawesi, itu aja kho repot....
BalasHapusMau bugis ke...luwu, mandar , toraja pokok karya sastra sulawesi, itu aja kho repot....
BalasHapuskalau menurut saya luwu itu termasuk dalam suku bugis sama juga kalau kita katakan bugis bone, bugis sidrap, bugis wajo, dll, karena di sulawesi selatan dikenal empat suku yakni bugis, makasssar, mandar, dan toraja dan tidak pernah ada suku luwu...jadi kalaupun di daerah luwu ada bahasa berbeda dari bahasa bugis yang mirip dengan bahasa toraja dan enrekang maka itu termasuk rumpung toraja, dan bisa juga kita liat kalau diluwu memang ada juga sebagian yang berbahasa bugis walaupun dialeknya beda dengan bugis bone, wajo,soppeng atau yang lain jadi yang itu termasuk bugis luwu...
BalasHapusforexsignal30.com is the best forex signal
BalasHapusThe Best Forex Signal and Expert Advisor in 2016
BalasHapus"Revolution forex trading system, combining analysis of indicators and expert advisor. Absolutely NO THINKING is needed, just wait for a signal from the 4-hour time frame, and plug robot on short or long positions only"
forex signal
forex signals
Forex4live - Forex System 100% accurate
forex robot accurate
accurate forex robot
most accurate forex robot
foreign exchange rate
foreign exchange rates
forex strategy
forex strategy builder
forex strategy secrets