Kamis, 03 Maret 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 3 TIME FOR STUDYING)

3. TIME FOR STUDYING

Sejak kejadian surat yang salah itu, aku benar-banar malu. Malu pada teman-teman satu sekolah, terutama malu pada Hutbah dan Nia. Setiap istirahat tiba, tak ada lagi acara kantin-kantinan buatku. Sebenarnya Hutbah sudah memaafkan aku dan tetap mengajak aku makan sarabba atau pisang goreng. Nampaknya Hutbah cuek dengan peristiwa kesalahanku yang sangat fatal tersebut. Hutbah memang tak mau memutuskan hubungan denganku, karena memang kala itu Hutbah selalu tergantung padaku. Bukan hanya dalam soal cinta, pun dalam soal pelajaran utamanya Bahasa Inggris. Bahkan Anton, Dayat, dan Umar juga selalu membujukku untuk tetap bersama-sama seperti sebelum terjadi kejadian yang memalukan itu buatku. Aku tetap bergeming. Rupanya juga teman-temanku paham tentang diriku yang aslinya memang pemalu.
Awalnya aku berpikir bahwa Hutbah akan marah besar padaku karena aku merusak hubungan cintanya dengan Nia. Meski memang sejak kejadian itu Nia memutuskan hubungan dengan Hutbah, karena Nia sudah tahu bahwa ternyata puluhan surat yang merayu-rayu padanya atas nama Hutbah bukan isi hati Hutbah. Surat dengan bahasa yang mendayu-dayu sebenarnya hanyalah kepakan sayap kumbang jelek, mungkin begitulah pikir Nia. Hutbah hanya bersikap diam padaku selama tiga hari, sesudah itu ia baikan padaku dan terlihat seperti tak pernah ada masalah apa-apa. Itulah salah satu kelebihan temanku yang kaya dan tampan itu, ia tak suka mendendam. Bahkan sejak kejadian itu, ia yang selalu memintaku melupakan peristiwa yang lewat dan mengatakan bahwa persahabatan kami lebih berharga daripada peristiwa tersebut. Kelebihan Hutbah yang lain, ia sangat cuek bila disemangati untuk belajar Bahasa Inggris dan Matematika, sebaliknya bila ia yang menasehati orang lain ia nampak bijak dan sangat dewasa.
Aku pernah membaca sebuah buku yang mengatakaan bahwa bila sesorang gampang jatuh cinta, maka ia gampang pula putus cinta dan melupakan masalah cintanya. Salah satu faktanya mungkin adalah Hutbah, cinta semacam ini disebut cinta semu. Hal ini sejalan pula dengan konsep ‘easy come easy go’(mudah datang mudah pergi). Perilaku ‘easy come easy go’ bukan hanya berlaku dalam hal percintaan namun juga dalam hal keuangan. Biasanya, orang yang mendapat uang secara mudah, cenderung pula mudah membelanjakan uangnya secara royal. Sekali lagu contoh konkritnya adalah Hutbah. Sebaliknya bila sesorang tidak gampang jatuh cinta, maka ia tidak gampang pula putus cinta dan melupakan cintanya. Mungkin cintanya itu akan terbawa sampai ia mati. Salah satu contoh cinta jenis ini mungkin adalah cintaku. Mungkin itulah yang disebut cinta sejati. Yah? Sebuah analisa psikologi yang kebenarannya bisa dibuktikan dari berbagai jenis kisah manusia. Pun kisah itu sudah dinovelkan oleh para sastrawan.
Dari kisah-kisah cinta yang pernah aku baca seperti Hayati dan Zainuddin dalam novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wick, Jayaprana dan Layonsari dari Bali, Roro Mendut dan Pranacitra, atau cerita cinta dunia yang melegenda seperti Layla dan Majnun, Romeo dan Juliet, Julius Caesar dan Cleopatra, San Pek dan Eng Tay, Khusraw dan Shirin, atau Kahlil Gibran dan Maizadah. Aku bisa memahami bahwa memang cinta sejati itu ada. Dan aku selalu berkhayal cinta sejati selanjutnya yang akan dicatat sejarah adalah cinta Beddu Kamase pada Andi Masniar. Sama sekali bukan cinta semu Hutbah yang tak patah hati kehilangan Nia.
Tapi semua itu hanyalah angan-angan belaka. Boro-boro memiliki Nia sebagai cinta sejati, berteman saja denganku sepertinya ia enggan. Mungkin ia meradang dengan kumbang jelek sepertiku. Tapi sebenarnya Nia keterlaluan, ia menyebutku kumbang jelek karena ia membandingkan diriku dengan Hutbah. Pantas saja aku terlihat tidak cakep karena Hutbah memang paling cakep di sekolah kami, kaya pula. Sepertinya Hutbah terlalu cakep bila hanya sekedar bercita-cita ingin jadi pedagang coklat kelak. Soal penampilan aku sebenarnya tak begitu mengecewakan di mata perempuan, buktinya banyak siswi yang lumayan cantik yang juga diincar oleh siswa lain tapi memilih menitip salam padaku, salam hangat katanya. Meski memang mungkin kekaguman mereka padaku bukan karena wajah tapi prestasiku yang cemerlang dan gemilang, terutama kemampuanku berbahasa Inggris, serta kemampuanku mengarang. Bahkan terkadang banyak joke tentangku. Ada yang menyebut aku sebagai Si Bule, aku tertawa saja, dan terkadang aku setuju saja karena aku lahir di Bulukumba, jadi bolehlah disebut orang Bulekumba, meski sebenarnya aku orang Sinjai asli. Soal siswi-siswi yang naksir padaku, aku kagum kepada mereka, mereka jatuh cinta bukan pada fisik semata tapi pada prestasi atau karisma seseorang. Mungkin beginilah model cinta sesungguhnya. Sayangnya aku sendiri belum sedewasa mereka, aku jatuh cinta masih pada fisik. Aku akui bahwa ketertarikanku pada Nia hanya karena fisik semata karena aku belum tahu akan sifatnya yang baik atau jelek. Begitulah memang soal perasaan, sayangnya banyak lelaki yang tak berperasaan terhadap perempuan. Pun ada perempuan yang tak bijak menjaga perasaan laki-laki. Ya, soal menyakiti, perempuan dan laki-laki sama saja.

Setelah kejadian memalukan itu menimpaku, aku benar-benar jadi penghuni kelas paling setia. Aku jarang meninggalkan kelas meski waktu istirahat. Aku hanya meninggalkan kelas bila ingin ke WC atau ke kantor guru. Aku merasa malu. Aku merasa semua mata tertuju padaku. Semua wajah menertawaiku. Aku juga mulai sensitive. Setiap ada yang siswi-siswi yang bergosip aku langsung menjauh karena khawatir aku yang digosipkan. Tapi lama kelamaan aku sudah berani berjalan-jalan ke depan perpustakaan tempat mading ditempel, sekaligus tempat Nia mengoyak-ngoyak perasaanku. Tapi saat itu aku punya gaya tersendiri, kemana-mana dengan menenteng buku, awalnya cuma alibi, bila bertemu dengan siswa atau siswi yang aku rasa akan mencibirku maka aku pura-pura membaca buku. Tapi pura-pura mengerjakan sesuatu juga menyiksa, bukankah sebuah aktifitas menarik dikerjakan bila menyenangkan. Sama persis bila kita pura-pura mencintai seseorang, kita akan tersiksa dan yang pura-pura dicintai akan terdzalimi, lebih baik terus terang meski keterusterangan juga kadang menyakitkan, seperti keterusterangan Nia bahwa aku kumbang jelek dimatanya. Begitulah, seandainya buku bisa bicara maka pasti ia akan memprotes caraku membacanya. Makanya, aku mencoba belajar cara belajar membaca yang baik.
Aku pernah membaca buku tentang bagaimana cara membaca yang baik. Katanya membaca adalah aktivitas otak yang menggunakan belahan otak kanan(emosional) dan belahan otak kiri(logika). Jadi membaca bukan sekedar mengarahkan mata pada bacaan, dan mengikuti lekukan kalimat-kalimat, bila itu terjadi maka apa yang dibaca tidak tersimpan di otak. Membaca harus fokus dengan melibatkan emosional dan logika sehingga apa-apa yang dibaca tersimpan di otak lalu menjelma jadi pengetahuan buat kita. Itulah hakekat membaca yang benar, bila memang membaca diarahkan sebagai proses belajar. Karena aku pikir, terkadang kita membaca hanya sekedar hiburan semata, tidak perlu kita melibatkan aktifitas otak. Misalnya membaca komik, atau sastra popular karangan Fredy S. Meski tidak melibatkan semua aktifitas otak tapi tetap saja pembaca akan mendapatkan pengalaman atau petualangan baru. Tergantung pada pembaca.

Tiap pelajaran aku punya teknik belajar tersendiri. Tentang Bahasa Inggris, aku punya teknik dan semangat yang unik. Ceritanya begini, meski aku bukan kanak-kanak lagi, tapi pengucapan huruf R masih belum sempurna. Awalnya aku berusaha keras agar mampu mengucapkan huruf R dengan baik. Aku selalu mengulang-ulangi kalimat “Ular lari terbirit-birit di belukar dekat akar randu”. Aku juga pernah mendengar tips dari kakekku kalau ingin pengucapan huruf R menjadi bagus, kita pergi ke kolam renang atau ke sungai dan berenang. Di dalam air itulah kita mengucapkan huruf R sekeras-kerasnya. Aku mencoba mempraktekkan kedua-duanya, tapi sayangnya tak ada yang maksimal. Yang pertama aku orangnya pemalu, jadi kalau latihan mengucapkan huruf R biasanya sembunyi-sembunyi. Yang kedua, aku tak bisa berenang, jadi kalau aku ke sungai (kolam renang alami) biasanya aku cuma duduk-duduk di pinggir sungai menikmati deburan-deburan air sungai yang berirama alam. Saban kali aku mendengar irama alam yang begitu indah itu, aku selalu berkhayal menggubahnya dalam bentuk kata-kata yang memadah. Dari kebiasaan menikmati deburan air sungai itulah membuatku bisa meramu kata-kata menjadi kalimat yang indah, meski masih sebatas menulis surat cinta. Mungkin salah satu tips jadi penyair adalah banyak-banyak mengkhayal di tepi sungai, menikmati nyanyian sungai, sambil mancing juga boleh. Yang penting jangan kecebur saja.
Karena usahaku mengucapkan huruf R dengan baik tak begitu berhasil aku agak minder kalau harus berdiskusi di kelas, padahal sesungguhnya ideku sangat smart dan alur bahasaku juga sebenarnya bagus. Tapi lama kelamaan perasaan minder itu hilang karena aku beroleh pepatah yang menggugah “Nobody was perfect”(Tak seorang pun yang sempurna). Tapi aku menyesal sekaligus bahagia dengan pepatah ini. Menyesal karena terlalu cepat ‘menemukan’ peribahasa itu. Artinya usahaku belum maksimal mengucapkan huruf R lalu tiba-tiba membaca pepatah itu yang membuat aku berpikiran bahwa manusia memang tak sempurna, dan pikiran itu membuatku mengalah dari takdir. Tapi aku rasa itu bukan takdir karena masih banyak cara untuk mengubahnya. Makanya aku sangat tidak setuju kalau ada yang mengatakan “Takdirnya memang tidak bisa Bahasa Inggris”, atau “Takdirnya memang bodoh”, “Takdirnya memang miskin”. Bukankah masih ada jalan untuk mengubahnya? Jadi buatku takdir itu adalah akhir dari usaha dan tidak ada lagi jalan keluar. Kalau seseorang berusaha tetapi tetap gagal, kegagalannya bukanlah takdir, kegagalannya adalah jalan untuk meraih sukses tentu saja usaha harus maksimal dan berdoa. Tapi kalau sudah berusaha maksimal dan juga berdoa tapi juga belum berhasil? Mungkin saja dimata Tuhan usaha kita belum maksimal dan doanya belum sepenuh ikhlas. Jadi, jangan sok sudah maksimal dulu, karena Tuhan itu Maha Mengetahui, Maha Pengasih dan Penyayang. Jadi peribahasa ‘Nobody was perfect’ sebenarnya sangat tepat buat seseorang yang memang tak sanggup lagi berusaha, tapi masih mau berusaha. Tapi intinya dengan hanya berdoa saja juga adalah usaha. Usaha bagi orang yang tak sanggup lagi berusaha.
Meski di satu sisi aku menyesal terlalu cepat membaca pepatah “Nobody was perfect”, tapi disisi yang lain aku bahagia. Hidup memang terkadang kita diperhadapkan pada pilihan-pilihan. Dan aku memang memilih dan berpikir, mengapa harus malu kalau tidak sempurna mengucapkan huruf R. Akhirnya aku memilih takdir tak bisa menyebut huruf R dengan baik(pembaca boleh menyebutnya cadel), artinya aku sudah bahagia dan tidak malu karena sudah menerimanya dengan ikhlas. Karena aku sudah memilih takdir itu dengan ikhlas, maka aku harus semangat dengan takdir itu, artinya aku akan menjadikannya sebagai semangat untuk meraih kesuksesan dalam bentuk yang lain. Dibalik kelemahan ada kekuatan tersembunyi. Bukankah kekurangan kadangkala sebenarnya adalah keunikan, dan keunikan itu bisa jadi menjadi ciri khas tersendiri dan bisa jadi kelebihan kita. Jadi intinya apa pun yang ada pada diri kita sesungguhnya hanyalah skenario Tuhan yang Maha Sutradara, tinggal kita memilih peran apa saja dalam hidup ini, protogonis pun antagonis, tapi ingat ada hidup sesudah mati. Artinya mati bukanlah akhir kehidupan tapi awal kehidupan baru untuk mempertanggungjawabkan fase hidup sebelumnya.
Kegagalanku mengucapkan huruf R dengan baik itulah yang membuatku ingin jadi penulis top dan menguasai Bahasa Inggris. Meski jadi penulis sebenarnya tetap harus banyak bicara. Tapi aku pikir bila sudah menjadi penulis top, orang lain tak akan menertawaiku, karena aku sudah punya kelebihan lain yang menutup kelemahan tadi. Sedangkan berbahasa Inggris, mengucapkan huruf R tidak begitu susah. Huruf R diucapkan /a:/, bunyi R agak tersembunyi. Jadi aku berbahasa Inggris logat bulenya lebih kental dari yang lain.
Ternyata kelemahan bisa menjadi jalan menuju sukses. Sungguh benar firman Allah SWT, “Sesungguhnya Aku menciptakan makhluk dengan tidak main-main.” Artinya segala yang ada pada diri kita meskipun itu disebut ‘kekurangan’ sesungguhnya adalah kelebihan kita. Sekali lagi tergantung kepada makhluk itu sendiri untuk memaknainya. Tapi memaknai sesuatu pun kita harus hati-hati, karena Allah SWT memperingatkan manusia, “Sesungguhnya ada perkara yang manusia suka dan menganggapnya baik tapi sebenarnya tidak baik baginya, sebaliknya ada perkara yang manusia tidak suka dan menganggapnya tidak baik tapi sebenarnya baik untuknya.”
Buatku belajar berbahasa Inggris sangatlah mudah. Awalnya aku lebih banyak menghafal kosa kata. Menurutku belajar bahasa apapun, yang pertama harus dikuasai adalah kosakata. Teknik menghafal kosakata sebaiknya menghafal kosa kata yang sejenis, misalnya kelompok kata benda(Noun), kelompok kata kerja(Verb), atau kelompok kata sifat(Adjective), ataupun kelompok kata lainnya. Lalu usahakan menghafal kelompok kata yang berhubungan. Sebagai contoh, kelompok kata benda yang berhubungan dengan ruang kelas, maka pilihlah kata benda seperti book, dictionary, bag, pen, table. Lalu hafallah kelompok kata kerja yang juga saling berhubungan dan juga ada kaitannya dengan kata benda yang sudah dihafal, seperti study, write, read, put, open. Kemudian anda berusaha menghubung-hubungkan, misalnya I open dictionary; You put a book on the tabl;, I put my pen in my beg, dan lain-lain. Intinya, kosakata yang dihafal saling berkaitan sehingga gampang menghafalnya. Untuk mengetes penghafalan, maka berkunjunglah ke ruang kelas dan ujilah kemampuan anda. Ingat, bahasa hanyalah kebiasaan.
Belajar bahasa sebenarnya sangat santai dan mengasyikkan. Untuk belajar berbicara(speaking), aku punya teknik dialog soliloquy, dialognya aku buat-buat sendiri dan berbicara diri sendiri. Modelnya begini, aku memberi label tangan kananku sebagai A atau Ahmad, tangan kiriku sebagai B atau Burhan, lalu aku mempercakapkan keduanya serupa dalang dalam pewayangan, sebagai contoh;
A bertanya, “How are you?”
B menjawab, “Fine thank you, and you?”,
B menjawab dan bertanya, “So am I, by the way, where will you go?”
Begitulah seterusnya, dan seterusnya, sampai aku mahir berbahasa Inggris. Kuncinya memang adalah banyak praktek.
Kalau belajar tata bahasa, biasanya aku memulai dari yang dasar-dasar dulu. Menurutku yang paling utama dan paling mendasar yang harus dikuasai adalah penggunaan Kata Bantu(auxiliary), karena kata bantulah yang menjadi penanda utama jenis waktu(tenses). Kata Bantu juga menjadi penanda apakakah jenis kata itu kata kerja(verb), kata sifat(adjective), kata benda(noun), atau kata lainnya. Kata Bantu yang harus dikuasai dulu adalah TO BE(am, is, are/ was were), TO DO(do, does/did), MODALS(will, can, may, must/would, could, might, had to).
Khusus TO DO hanya berpasangan dengan kata kerja. Contoh kalimat: Are you busy? Do you study? Did you watch yesterday? Kalimat pertama menggunakan kata Bantu TO BE karena busy adalah kata sifat. Kalimat kedua dan ketiga menggunakan kata Bantu TO DO karena study dan watch adalah kata kerja. Kalimat kedua menggunakan Do karena bentuk present tense, kalimat ketiga menggunakan Did karena bentuk past tense. Begitulah pelajaran Bahasa yang memang harus selalu diulang-ulangi. Kuncinya adalah si pelajar tak boleh bosan.
Guru Bahasa Inggris yang paling aku senangi kala itu adalah Pak Darman. Beliau mengajar siswa-siswanya dengan sangat santai tapi sesungguhnya beliau sangat berwibawa. Terkesan santai sebenarnya karena beliau tak pernah berhenti tersenyum. Makanya buatku kunci utama seorang guru sukses mengajar adalah guru itu mampu tersenyum di kelas. Senyumnya pun harus ikhlas dan tertuju pada semua siswa, tak boleh membeda-bedakan. Apapun jawaban siswa, benar atau salah, Pak Darman pasti tersenyum dan mengangkat jempol “Good”, meski ujung-ujungnya beliau mengoreksinya dengan kata pendahuluan “sebaiknya”, kami benar-benar merasa terhormat dan bersemangat diajar oleh Pak Darman.
Yang paling berkesan kala itu buatku adalah ternyata Pak Darman adalah guru yang sangat berjiwa besar dan pandai bercanda. Suatu ketika Anton bertanya. Lalu Pak Darman menjawabnya. Tapi aku pikir kala itu jawaban Pak Darman kurang tepat. Lalu aku mencoba membetulkannya. Pak Darman tersenyum-senyum. Lalu bercerita. Pernah suatu ketika seorang guru dan siswanya sama-sama menjawab soal yang sama. Ternyata hasilnya, siswa itu menjawab semua pertanyaan dengan benar, sedangkan guru itu membuat satu kesalahan. Lalu Pak Darman bertanya pada kami.
“Dalam kasus tersebut siapa yang lebih pintar? Guru atau siswa?”
“Siswa Pak.” Tentu saja begitu jawaban kami.
“Alasannya?” Pak Darman seolah menantang kami.
“Karena Siswa itu bisa menjawab semua pertanyaan sedangkan guru tidak.” Tentu begitu jawaban kami.
“Tapi siapa yang membuat siswa itu pintar sehingga bisa menjawab semua soal dengan benar.” Pak Darman membuat kami tak berkutik.
Kala itu kami terpaksa memberi aplaus pada Pak Darman sebagai pertanda kekaguman kami atas kepandaian bercanda plus keterbukaan Pak Darman. Pak Darman tertawa renyah. Ia memang selalu ramah. Ia tidak pongah. Makanya disetiap penjelasannya, kami selalu menelaah. Diajar Pak Darman, kami tak pernah lelah.

Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar