Senin, 07 Maret 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 5 SURAT CINTA TAK PERNAH SALAH)

5. SURAT CINTA TAK PERNAH SALAH

Aku sudah mengganti sticker. Arti sesungguhnya adalah aku benar-benar akan fokus pada pelajaran. Soal cinta nanti belakangan saja. Itu janjiku pada diri sendiri. Ya, soal cinta nanti belakangan saja, dan itu yang selalu aku dengung-dengungkan dan yakinkan pada diriku sendiri. Tapi mungkinkah? Aku bertanya pada diri sendiri, karena sesungguhnya menurut logikaku ketika kita berulang-ulang mengatakan akan melupakan sesuatu artinya kita belum melupakan sesuatu itu. Kita baru bisa benar-benar melupakan sesuatu itu kalau kita tidak pernah mengatakan akan melupakannya karena memang kita tak memikirkannya lagi. Ataukah memang filenya sudah hilang dari otak kita.
Aku mengakui bahwa perasaan sukaku pada Nia bukan perasaan biasa. Di hatiku seperti ada ruang yang kosong. Anehnya ruang kosong itu diam-diam dipenuhi oleh kelopak-kelopak cinta yang kian mekar. Hanya ada satu nama disitu, Nia. Sesibuk apapun aku belajar, ada saat-saat jeda untuk menghayalkan Nia sejenak. Untungnya, ingatanku kepada Nia tidak mengganggu konsentrasi belajarku, karena aku mengingat Nia serupa iklan di teve. Kalau acara sinetron terpotong sejenak oleh iklan, maka waktu belajarku terpotong sejenak oleh bayangan Nia. Kalau film dibiayai oleh iklan, aku pun serupa, belajarku disemangati oleh Nia. Aku menyiapkan diary khusus untuk segala perasaanku yang menggelora pada Nia. Di sampul luar diary itu sengaja kutulis seuntai kalimat “Kenangan bukan untuk dilupakan tapi untuk dikenang.” Kala itu aku berjanji kelak akan menuliskannya dalam bentuk autobigrafi atau pun novel. Jadi aku pikir, jatuh cinta juga tak masalah dan tidak mengganggu pelajaran, bahkan bisa menjadi penyemangat seperti yang kurasakan saat itu. Perasaan jatuh cinta memang indah. Meski kadang diselingi resah. Tapi aku harus tabah.
Begitulah hari-hari kulewati dengan perasaan cinta yang menggelora. Gelora cinta pertama yang kadangkala bila tak diungkapkan akan menjelma lara. Untungnya, aku punya tempat khusus untuk melampiaskan perasaanku yang menderu-deru yaitu buku diaryku dan mading kelasku. Kebetulan memang aku yang bertindak sebagai penanggung jawab redaksi mading, sehingga aku bebas menentukan kolom. Aku membuat kolom khusus untukku bernama “Surat”. Edisi perdana kolom itu aku beri judul “Surat Romeo kepada Juliet”. Judul itu aku ambil dari kisah cinta “Romeo dan Juliet” karya sastrawan besar William Shakespeare. Kolom surat edisi perdana berbunyi:
Juliet! Ada yang terhunjam, namun tak terucap di kala pertama aku memandangmu. Matamu mengusik resahku. Senyummu mengusik nuraniku. Terbayang sosokmu di kesepianku. Dalam angan dan impianku. Adakah engkau mengerti oh dewi impianku? Aku butuh sosokmu…

Ternyata kolom surat itu sangat disenangi oleh para pembaca. Saban hari, saban istirahat, ramai siswa berkumpul di depan mading kelasku di depan perpustakaan hanya untuk membaca kolom Surat. Diam-diam aku melihat banyak siswa yang mencatat isi kolomku itu, mungkin sebagai bahan surat cinta kepada pacarnya, bahkan suatu ketika aku memergoki Hutbah ikut merapat mencatat. Hutbah tertawa lepas saja kala itu.
“Beginilah jadinya kalau tak ada sekretaris pribadi lagi,” ujarnya santai dan bercanda padaku.
“Cobalah menulis dengan perasaanmu sendiri Hutbah, itu lebih bagus.” Jawabku sok menasehati.
“Akh! Lebih bagus yang ini.” Jawabnya terus menulis.
Aku bergegas menjauh. Aku maklum, dua minggu sebelum kubuat tulisan itu memang ada siswi pindahan dari Bulukumba, kabar ini juga dari Hutbah. Mungkin dia yang diincar oleh Hutbah. Hikmah dari kejadian tempo dulu salah satunya adalah sahabatku Hutbah mulai belajar mandiri soal cintanya. Ya, selalu ada recah hikmah di setiap masalah yang mendedah.
Begitulah, kolom Surat itu yang selalu ditunggu-tunggu oleh para pembaca. Setiap kali aku berjalan di depan kelas lain selalu ada yang menyapa “Kapan lagi muncul edisi berikutnya?” atau “Kolom suratnya itu untuk siapa ya?” Atau ada siswi yang sembunyi-sembunyi berteriak “Kolom suratnya ditujukan ke saya ya?” Saking tergilanya-gilanya siswi-siswi pada kolom surat itu, banyak surat-surat kaleng yang kudapat di ruang kelasku setiap hari. Kebetulan selalu aku yang paling duluan masuk kelas setiap hari, dan para siswi tahu itu. Surat kaleng yang tiba-tiba aku ingin menyimpannya adalah surat kaleng yang berbunyi, “Aku tahu, kakak menulis kolom itu penuh perasaan karena kolom itu benar-benar menyentuh perasaanku. Tapi kak, boleh aku bertanya, apakah kata maaf itu bagian dari cinta?” Aku tertawa menyimpan surat kaleng itu, masa surat kaleng pakai bertanya segala, dan juga masa surat kaleng aku simpan. Tapi entah, surat kaleng itu membuat perasaanku kacau dan galau kalau-kalau yang menulis surat itu adalah orang yang ada di hatiku selama ini. Akh! Aku mencoba menepis segala angan-anganku. Kuakui memang bahwa judul kolom itu hanya penamaan saja, dan isinya hanya untuk seseorang yang tak bisa kuingkari terus mendedah resahku, Nia.
Di edisi kedua aku beri judul “Surat Qais untuk Layla”. Judul itu aku ambil dari novel cinta klasik yang paling legendaris “Layla Majnun” karangan pujangga dan filsuf besar Arab, Syaikh Nizami. Tokoh utama novel tersebut adalah Qais dan Layla, saking tergila-gilanya Qais pada Layla, maka Qais sering dipanggil Sang Gila Pecinta, dalam bahasa Arab gila berarti majnun. Surat itu berbunyi:
Kala mendung bergayut pada hatiku sunyi. Luka teriris luka. Tak ada kabar. Hanya desau angin yang menorah luka dalam. Tak ada lagi air mata. Aku rebah memeluk bayangmu. Oh! Karena cintaku padamu aku rebah melagukan harapan. Penat pengembaraan tak terasa. Terpagut sunyi, rindu, dan kasihku padamu. Kutetap melangkah menelusuri hari-hari gamang. Membawa getar raga. Hingga maut menjemputku. Kini, meski merintih, aku tetap mendendangkan tembang lara merindukanmu….

Di kolom kedua itu pembacanya kian meningkat pesat. Aku sangat bangga. Di sekolah aku dikenal bukan hanya sebagai bintang sekolah tapi juga pujangga sekolah. Bahkan aku sibuk menjawab sejumlah pertanyaan, siapa itu Romeo dan Juliet, siapa pula Qais dan Laila. Sepertinya kala itu memang bacaan sastraku melompat beberapa tingkatan dari teman-temanku.
Dan surat yang paling menghebohkan adalah edisi ketiga yang berjudul “Surat Seekor Kumbang Tak Bersayap Kepada Mawar Berduri”. surat itu berbunyi:
Ingin kujemput angkasa legam dengan cahaya, dan kusematkan bintang di batangmu. Agar dirimu terkesiap. Langit sungguh cantik, namun kejora di daunmu kian lamur. Akh! Akan kutangkap kilat di angkasa. Akan kubungkam topan yang menggeram, biar dahanmu merangkul cakrawala. Biar rantingmu merengkuh jagad. Tak kubiarkan cabang-cabangmu terbakar. Tak kubiarkan akarmu terluka. Mengapa masih ragu? Akh! Aku memang hanyalah kumbang hitam tak bersayap….

Untuk edisi ketiga itu, memang aku membuatnya khusus. Aku melihat orang yang selesai membacanya geleng-geleng kepala dan berbisik satu sama lain. Yang membuatku puas karena kulihat Nia ikut membacanya. Lewat celah jendela, kulihat ada raut kesedihan di wajah Nia setelah membaca kolom itu. Bahkan perlahan-lahan kulihat ada dua tetes embun menetes dari bola matanya yang indah.
Suatu ketika, aku sedang berada di perpustakaan membaca buku seri “Merdeka Tanahku, Merdeka Negeriku”. Buku itu ada empat jilid yang berkisah tentang peran utama Soeharto pada masa-masa pasca kemerdekaan, masa 1947-1950. Aku suka membaca buku itu karena merupakan buku sejarah tetapi ditulis dengan gaya sastra, sehingga aku merasa seperti Letnan Idin, atau seperti Letnan Komaruddin(konon beliau adalah Kahar Muzakkar) karena ia anti peluru. Suatu ketika tentara Belanda menembaknya, Letnan Komaruddin hanya memperlihatkan pantatnya pada Belanda sambil mengipas-ngipas peluru, entah ilmu apa namanya yang dimiliki Letnan Komar itu. Membaca buku itu pula aku merasa sebagai Letnan Dupree, tentara Belanda yang jatuh cinta pada perempuan Indonesia. Letnan Dupree akhirnya galau karena meski ia tentara Belanda tapi ia juga berdarah Indonesia. Ibunya adalah orang Indonesia. Benar-benar galau, karena ia sangat mencintai ibunya dan sekarang jatuh cinta lagi pada perempuan Indonesia, cuma ia besar dan menjadi anggota militer di negeri Belanda. Ketika aku berhayal jadi Letnan Dupree, dan menghayalkan perempuan Indonesia yang benama Atikah itu ada didepanku, tiba-tiba seseorang duduk di depanku. Aku benar-benar kaget karena yang duduk di depanku adalah Nia. Perempuan yang memang kuhayalkan mirip dengan Atikah itu.
“Kak, maafkan Nia.” Matanya berkaca-kaca.
“Nia tak salah, suratku yang salah.”
Aku meletakkan buku Merdeka Tanahku Merdeka Negeriku. Aku menatapnya lekat-lekat. Ia menunduk. Tiba-tiba memang keberanianku muncul. Itulah aku. Biasanya kalau tampil di depan umum untuk berpidato atau diskusi awalnya aku deg-degan, tapi ketika mulai bicara semua perasaan itu hilang. Termasuk kepada perempuan, tadi aku deg-degan ketika Nia muncul, tetapi ketika aku mulai bicara, aku benar-benar jantan seperti Letnan Dupree dalam buku Merdeka Tanahku Merdeka Negeriku tersebut. Masih juga ia tertunduk, sepertinya ia berharap aku yang bertanya atau memulai pembicaraan, tapi aku sengaja mengambil waktu jeda untuk menatapnya dalam-dalam. Kalau biasanya cuma dari jauh atau lewat celah jendela, saat itu tak ada lagi sekat. Nia benar-benar perempuan tercantik yang pernah kutemui. Entah penilaian itu subyektif atau obyektif, tapi yang jelasnya perasaanku yang bicara, dan memang saat itu hanyalah wajah Nia yang terus mengaduk-aduk mimpi dan perasaanku.
“Nia!”
Aku menyapanya sekali lagi. Dan Subhanallah. Wajah Nia yang memang berkarakter sendu kian ayu. Mata kami yang berpandangan seolah reinkarnasi cikal bakal bahasa manusia, bahasa Adam dan Hawa. Kami bersitatap. Aku memang sejak dulu mengakui kecantikannya. Dan mungkin sekarang ia terkesiap bahwa aku sebenarnya lumayan cakep, apalagi kalau diajak diskusi, Nia pasti akan terperangkap pada diksi kata-kataku.
“Maukah kakak memaafkan Nia?”
Pintanya sekali lagi, sepertinya tidak ada kalimat lain dibibirnya selain minta maaf. Dari mimiknya, aku bisa merasakan bahwa mengembalikan surat cintaku dulu adalah dosa besar baginya. Ataukah seperti dalam surat kaleng itu bahwa maaf itu adalah cinta? Akh! Sepertinya penyakit geer-ku yang terlalu tinggi harus kukurangi dosisnya. Tapi aku memang pernah membaca pepatah Inggeris yang mengatakan, “When you forgive, you love, and when you love, God’s light shines on you.” (Ketika anda memaafkan, anda mencintai, ketika anda mencintai, maka cahaya Tuhan akan menyinari anda).
“Kau tak salah Nia, mungkin surat cintaku yang salah. Jadi sebaliknya kuharap Nia yang memaafkan surat cintaku.” Aku menatap menunggu jawaban dari bibirnya yang tipis tanpa lipstik.
“Tidak ada surat cinta yang salah, Kak.” Jawabnya polos.
“Ada.” Sergahku.
“Tidak ada kak.”
“Surat cinta yang dikembalikan didepan umum dengan cara dilempar.” Sergahku tanpa ampun.
“Kak Beddu!”
Bel pertanda masuk kelas berbunyi. Aku segera bergegas masuk kelas. Kulihat beribu macam maaf tertahan di bibir Nia. Maaf itu seperti meluah hibah. Aku tak perduli. Belajar adalah nomor satu bagiku, termasuk belajar memberi pelajaran pada orang yang tak pandai menjaga perasaan orang lain. Tidak apa-apa. Karena kata orang dendam juga adalah bagian dari cinta.

Kolom Surat benar-benar sudah menjadi branding dari madingku. Suatu ketika aku berdiskusi dengan Dayat dan Anton, pun nimbrung Hutbah dan Umar, untuk membuat lagi kolom yang serupa dengan kolom yang khusus aku isi. Hutbah memberi usul agar kolom itu diberi nama “Kolom Cinta”. Aku sangat setuju dengan ide Hutbah. Lalu aku meyakinkan kepada teman-teman lain bahwa Hutbah saja yang menjadi penanggung jawab kolom tersebut. Awalnya Hutbah menolak mentah-mentah karena ia mengira posisinya sama dengan aku, artinya ia yang harus mengisi kolom itu setiap kali terbit, mana ia bisa mengolah kata sepertiku. Tapi aku jelaskan kepada Hutbah bahwa ia hanya penanggung jawab saja, sedangkan yang mengisinya adalah pembaca. Biar pembaca dilibatkan agar mereka juga merasa memiliki mading itu. Akhirnya Hutbah sangat bersemangat menerima tanggung jawab itu.
“Bagaimana kalau tak ada tulisan yang masuk?” Hutbah masih was-was.
“Jangan khawatir! Kalau tak ada tulisan masuk, aku yang isi atas nama Hutbah,” Aku meyakinkan.
Hutbah sangat senang. Katanya pula, dengan posisi itu membuat dirinya banyak belajar. Aku salut sama Hutbah. Tak ada orang bodoh di dunia ini, yang ada hanyalah orang yang malas belajar.
Ternyata banyak kiriman tulisan untuk kolom ‘Kolom Cinta’. Bahkan Nia telah mengirim beberapa tulisan yang dianggap Hutbah sebagai tulisan yang sangat luar biasa. Sekedar catatan, entah kenapa belakangan Hutbah selalu menggodaku dengan bahasa yang aku rasa kurang ajar, “Beddu! Kuserahkan Nia padamu.” Dalam hati aku mengutuk, memangnya Nia itu barang, kalau pun bukan barang, memangnya Nia itu milik Hutbah lalu seenaknya saja bicara begitu. Tapi itulah Hutbah yang juga sudah ketularan endemik kelucuan Dayat dan Anton. Tapi yang aku suka dari Hutbah, ia kelihatannya rela kalau aku yang pacaran sama Nia. Hutbah memang menginginkan aku punya pacar, dan Nia memang perempuan yang pertama kali menjebol tanggul-tanggul perasaanku, lalu membandang dan menggelora seperti letusan gunung Galunggung. Untungnya, aliran perasaan yang menderas itu menjelma ke hal-hal yang positif. Menjelma jadi kolom surat yang kemudian digemari oleh anak-anak SMU yang selama itu kering akan bacaan sastra.
Setiap ingin memilih tulisan untuk kolomnya, awalnya Hutbah masih konsultasi denganku, tapi aku selalu meyakinkan dia.
“Hutbah, sebenarnya kamu punya bakat sastra kok,” Tapi ia buru-buru menjawab.
“Bakat sastra apaan Bed?” Aku terus meyakinkannya.
“Hut, sastra itu seni, seni itu perasaan, seni itu cinta, kamu kan sering jatuh cinta.” Hutbah terdiam lalu berujar.
“Oh ya begitu”.
Kelemahan dan kelebihan Hutbah adalah cepat percaya. Orang yang cepat percaya itu gampang ditipu, tapi orang yang cepat percaya gampang diajar. Tapi rupanya sejak menangani kolom surat di mading, Hutbah sudah mulai berani berdiskusi denganku apa-apa saja tentang seni. Aku juga menjawab seadanya sesuai dengan perasaanku karena aku terlanjur memberi defenisi bahwa seni itu adalah perasaan, tapi bukan perasaan serampangan, tapi perasaan yang tertata dan terstruktur dalam bentuk kata-kata jika yang kita maksudkan adalah karya tulis.
“Beddu, kamu pernah bilang bahwa jatuh cinta itu sastra.”
“Benar, karena jatuh cinta itu indah, bukankah keindahan adalah bagian dari sastra?”
“Segampang itu menghubung-hubungkan ya.” Hutbah penasaran.
“Tidak apa-apa menghubung-hubungkan Hutbah, yang penting satu sama lain saling menguntungkan.” Aku menjawab sekenanya.
“Lalu, apakah patah hati itu adalah sastra, bukankah patah bagian dari jatuh cinta.”
“Maksudnya?”
“Kalau jatu cinta tapi surat cinta dikembalikan.” Ujar Hutbah tanpa perasaan.
Aku terdiam. Hutbah mencoba menyelisik kemampuanku tentang sastra sekaligus menohok perasaanku.
“Begini Hutbah, patah hati memang adalah sastra, tapi yang paling tepatnya adalah patah hati adalah pernak-pernik sastra saja. Maksudnya adalah patah hati itu bisa memberi inspirasi untuk menulis karya sastra. Buat sastrawan, patah hati adalah ibarat danau jingga yang bisa menjadi lautan inspirasi. Berkacalah pada Kahlil Gibran yang karena patah hati yang akut, karena cintanya pada seorang perempuan yang bernama Maizadah tak kesampaian, Gibran terus bernyanyi, melolong. Dan tentu saja nyanyian dan lolongan Gibran tertata dan terstruktur menjadi karya sastra. Asal tahu saja Gibran juga memiliki bahasa jiwa yang demikian menyentuh, karena ia berproses panjang menyanyi dan melolong dalam bentuk tulisan dari kota kelahirannya Libanon hingga Eropa, begitulah Gibran berproses dari batu-batu kesedihan dan kemiskinan.”
“Jadi, mungkinkah “kolom surat” di mading kita bahasanya bagus karena juga lolongan perasaan?” Hutbah terus menyelisik perasaanku dengan tersenyum-senyum.
Aku terdiam. Aku sedikit mengutuk Hutbah, Hutbah sepertinya sebagaimana dalam pantun Melayu Kura-kura dalam perahu, pura-pura tak tahu.
“Begitulah Hutbah, kesenangan dan kesedihan adalah dua aset emosional yang sangat berharga untuk terus berkarya.” Jawabku filosofis yang aku yakin Hutbah tak bisa berkutik lagi.

Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar