Sabtu, 12 Maret 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 7 SUNGAI BEJO)

7. SUNGAI BEJO

Kompita mempunyai banyak program. Selain menjaga Hutan Lindung Balang, Kompita juga mempunyai program mengunjungi tempat-tempat bersejarah atau tempat-tempat terkenal di Sinjai. Aku mengusulkan tempat pertama yang dikunjungi adalah Sungai Bejo karena sungai itu berlokasi masih di kawasan Hutan Lindung Balang. Lagi pula, Sungai Bejo dianggap keramat oleh penduduk setempat bahkan banyak penduduk dari daerah-daerah lain berkunjung ke Sungai Bejo.
Sungai Bejo amatlah kecil untuk dikatakan sebuah sungai. Bila dibandingkan dengan Sungai Apareng yang merupakan sungai terpanjang di Sinjai, ataupun sungai-sungai lainnya seperti Sungai Manggottong, Sungai Pangesoreng, atau Sungai Garaccing, maka Sungai Bejo hanyalah sepersepuluhnya saja. Penduduk sekitar hanya menyebut Sungai Bejo sebagai calo-calo. Biasanya sungai sekecil Bejo bila ingin dilewati, cukuplah dilompati saja. Tapi tidak ada yang berani melewati Sungai Bejo dengan melompat. Mereka khawatir lompatannya tidak sampai lalu terperosok masuk ke sungai yang dalam. Meski tidak luas, Sungai Bejo sangat dalam, bila ingin melewatinya kita harus hati-hati melihat batu besar sebagai pijakan.
Sewaktu masih di Madrasah Ibtidaiyah dulu, aku bersama teman-temanku, Dayat, Anton, dan lain-lainnya, minus Hutbah dan Umar, suka bermain di Sungai Bejo karena airnya yang jernih. Kita bisa melihat ikan-ikan yang berenang. Ikan yang paling banyak adalah ikan lele dan ikan mujair. Tapi tentu saja bila ingin ke Sungai Bejo kami harus main kucing-kucingan dulu dengan orang tua kami. Pun dengan penduduk yang tinggal di sekitar jalan menuju Sungai Bejo. Sungai Bejo memang tidak menusuk ke arah perkampungan, tapi ke arah Hutan Lindung Balang. Pun udiknya masih kawasan hutan. Mungkin itulah penyebab sehingga air Sungai Bejo sangatlah jernih. Sungai Bejo bermuara di Sungai Apareng, sungai yang terkenal galak bila musim penghujan tiba. Meski Sungai Bejo bermuara di sungai Apareng, tetapi buaya-buaya penghuni Sungai Apareng yang terkenal galak tidak sudi memasuki Sungai Bejo. Maka amanlah Sungai Bejo dari para buaya.
Tapi bukan itu yang membuat orang tua kami melarang kami bermain ke Sungai Bejo. Sungai Bejo dianggap keramat oleh penduduk setempat, bahkan dari daerah-daerah lain. Konon, di Sungai Bejo terdapat seekor ikan besar yang dianggap bertuah dan keramat. Ikan itu adalah ‘penunggu’ Sungai Bejo, dan seluruh ikan yang ada di sungai itu berada dalam kekuasaannya. Banyak orang yang berkunjung ke sungai itu dengan berbagai macam hajat. Konon, bila seseorang pergi ke sungai itu memberi makan ikan besar itu, maka hajatnya akan tergapai. Ada yang sengaja ke sungai itu supaya cepat kaya. Ada juga muda-mudi berkunjung agar jodohnya tak mutung. Pun ada yang berkunjung ke tempat itu berharap naik haji secepatnya, biar cepat-cepat dipanggil puang haji.
Jalan menuju Sungai Bejo hanya satu, terletak di Joalampe tempat tinggal Puang Sanro. Bila ingin ke Sungai Bejo, haruslah lewat depan rumah Puang Sanro dan harus seizin Puang Sanro. Hanya Puang Sanro yang bisa menemani para pengunjung ke Sungai Bejo untuk menemui ikan besar itu. Memang hanyalah Puang Sanro yang bisa mendatangkan ikan itu. Sepertinya Puang Sanro dan ikan besar itu sudah sepaham, sehati malah. Tentu saja orang-orang yang punya hajat yang berkehendak bertemu ikan itu harus menyiapkan beberapa menu persembahan seperti songkolo tiga warna; hitam, putih, dan merah. Ketiga jenis songkolo itu dibuatkan tempat terpisah, kemudian masing-masing dilengkapi seekor ayam yang sudah masak dan sudah dibumbui dengan bumbu khas. Hidangan ayam tersebut harus utuh satu ekor. Konon, bila tidak utuh satu ekor, ikan besar itu akan ngambek dan tidak mau memakannya. Lalu tentu saja hajat orang yang berkunjung tidak akan terkabulkan.
Awalnya, teman-temanku takut berkunjung ke Sungai Bejo khususnya kelompok perempuan, mereka takut jangan sampai penjaga Sunga Bejo marah dan akan membuat mereka kesurupan. Hutbah khawatir kalau Puang Sanro tak mengizinkan, tapi aku mengatakan tak perlu minta izin sama Puang Sanro, kita menuju Sungai Bejo bukan lewat Joalampe tapi menyusuri pinggir Hutan Lindung Balang. Misi utama berkunjung ke Sungai Bejo untuk melihat langsung keadaan Sungai Bejo apakah masih seperti yang dulu semasa kami sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Buludatu.
Dari berlima berteman akrab, Dayat, Anton, dan aku tidak percaya dengan kekeramatan Sungai Bejo, hanya Hutbah dan Umar yang nampaknya percaya. Boleh dikata memang kami bertiga sebagai konseptor utama dari pertemanan kami. Aku telah bersepakat bertiga dengan Dayat dan Anton untuk membiarkan Umar dan Hutbah percaya kekeramatan Sungai Bejo. Biar mereka sepaham dengan penduduk sekitar. Alasannya karena kami ingin masyarakat di sekitar Sungai Bejo dan Hutan Lindung Balang tetap menganggap Sungai Bejo keramat supaya mereka tidak berani menebang kayu di bantaran Sungai Bejo. Jadi aku pikir mitos keangkeran Sungai Bejo bagi penduduk setempat harus tetap terpelihara agar kawasan itu tak terjamah oleh tangan-tangan tak bertanggungjawab. Soal kemusyrikan, biarlah nanti tokoh agama yang menjelaskannya, bahwa musyrik itu bila datang meminta-minta dan menyembah-nyembah disana. Intinya, kami ingin kawasan Hutan Lindung Balang dan Sungai Bejo tak banyak dikunjungi oleh masyarakat, baik untuk menebang kayu apalagi untuk menabung kemusyrikan.
Begitulah, kami anggota Kompita mengunjungi Sungai Bejo pada sutau hari Minggu. Jalan yang kami lalui tidak seperti rencana semula, karena aku sudah negosiasi dengan Puang Sanro bahwa alasan kami ke Sungai Bejo berhubungan dengan mata pelajaran Geografi di sekolah kami. Kami ingin mengetahui struktur alam kawasan Hutan Lindung Balang dan harus lewat Sungai Bejo. Kebetulan ada ponakan Puang Sanro yang bernama Ambo Sakka yang bergabung menjadi anggota Kompita. Ambo Sakka lah yang jadi juru bicara ketika bernegosiasi dengan Puang Sanro. Jadilah kami bertiga belas menuju Sungai Bejo lewat Joalampe di depan rumah Puang Sanro. Pesan Puang Sanro kepada kami supaya tidak macam-macam, seperti tertawa keras, melempar sembarangan di Sungai Bejo supaya perjalanan kami direstui oleh penunggu Sungai Bejo. Puang Sanro tidak tahu bahwa Ambo Sakka yang alumni Madrasah Tsanawiyah juga seperti aku, tidak percaya yang namanya tempat-tempat keramat. Menurutku semua itu hanyalah mitos belaka. Tidak mungkin tempat-tempat itu murka dan memberi celaka.
Sesampai di Sungai Bejo, aku mengusulkan kepada Umar untuk membagi dua tim. Tim A dipimpin langsung oleh Umar yang rutenya menyusuri bantaran Sungai Bejo menuju Hutan Lindung Balang lewat arah timur tembus Jatie, sedangkan aku memimpin tim B menyusuri bantaran Sungai Bejo lewat arah barat. Nanti kami bertemu di arah utara yang berbatasan langsung dengan pemukiman warga, tepatnya di kampung Korong. Nia gadis pujaanku, entah mengapa, ia selalu memilih tim yang ada aku di dalamnya. Kulihat ia sesekali mencuri pandang ke arahku. Mungkin ia masih ingin minta maaf, atau ia ingin mengatakan bahwa aku lebih cakep dari pada kumbang jelek yang ia bayangkan dulu. Akh! Selalu saja aku ge-er kalau mengkhayalkan Nia
Sebenarnya aku mengusul membagi dua tim karena aku punya misi khusus. Aku ingin mengamati langsung tempat Puang Sanro dan para pengunjung yang punya hajat menemui Raja Ikan Bejo. Setelah kami berpisah dengan tim Umar, aku menjelaskan kepada anggota tim tentang misi khususku. Sudah kuduga anggota tim yang kupilih tertantang dengan segala ideku. Sengaja memang aku satu tim dengan Dayat, Anton, dan Ambo Sakka yang tidak percaya dengan tempat-tempat keramat karena kami yakin hal itu cuma mitos yang didongengkan, yang akhirnya melegenda pada masyarakat setempat. Hanya Nia yang agak ragu, meski ia alumni SMP Pesantren, rupanya sikap keperempuanannya yang menonjol sebagaimana kekhawatiran Hutbah dulu sewaktu kami menentukan layak tidaknya perempuan jadi anggota Kompita.
“Kenapa harus takut? Kan ada Beddu.” Anton menggoda Nia.
Seperti biasa wajah Nia merona merah. Aku tak menanggapi sama sekali godaan Anton. Karena dari jauh kulihat Puang Sanro bersama orang-orang yang berhajat menuju ke Sungai Bejo dengan khusyu serta penuh khidmat. Kami mengajak rekan-rekan setim diam-diam mengikutinya. Ada tempat khusus tempat Puang Sanro berkunjung yaitu di bawah pohon garoci yang besar dan lebat. Di sisi kiri sungai itu agak landai dan banyak pohon lebat lainnya selain pohon garoci. Aku mengajak teman-teman mengumpet disitu sambil mengintip ke bawah.
”Hush...! Sst...!”
Aku memberi sinyal diam ketika Nia hampir teriak karena digigit oleh semut hitam. Karena tanah yang agak landai dan Nia hampir terpeleset, aku yang kebetulan berada di bagian bawah menahan tubuhnya. Dan hatiku berdesir-desir manakala aku menahan tubuhnya dengan posisi memeluknya. Lengan Nia memeluk aku dengan kuat. Kulihat teman-teman lain menatap kami heran, seolah tidak paham apa yang terjadi.
”Mengapa kamu tidak menolong Nia.” Semprotku berbisik kepada Dayat.
”Aku kira tadi lagi action.” Dayat berbisik menahan ketawa.
”Sst! Nia hampir terpeleset ke bawah, dan kita hampir ketahuan Puang Sanro.”
Teman-temanku yang lain baru mengerti action tadi. Kulihat Nia masih bersemu merah. Mungkin masih ketakutan karena hampir jatuh atau ia merasa malu karena aku yang menolongnya dengan memeluk tubuhnya. Sekali lagi aku biasa saja, cuma ada getaran-getaran aneh yang diam-diam menyelinap dalam kalbuku. Getaran yang dulu seperti mendapatkan baterai baru. Tapi aku buru-buru menepisnya.
Kami melihat Puang Sanro bersama orang-orang yang berhajat duduk di atas batu besar. Orang-orang yang berhajat lalu membuang telur yang belum matang ataupun yang sudah matang. Lalu ketika ikan besar itu datang, mereka lalu membentangkan kain putih. Orang-orang berhajat beramai-ramai memegang kain putih yang menutupi ikan di bawahnya. Puang Sanro ikut memegang kain putih itu dengan mulut komat-kamit membaca doa atau mantra. Setelah itu, mereka meletakkan sesajian berupa songkolo dan ayam yang sudah masak dipinggir sungai di atas batu besar yang diperuntukkan untuk sang penjaga Bejo. Sebelum mereka meninggalkan tempat, mereka membuat ikatan di batang pohon garoci terlebih dahulu.
“Tenang! Sebentar lagi mereka akan meninggalkan tempat ini.” Aku berbisik kepada teman-temanku sebagai arahan.
“Mereka berhajat, kalau hajatannya terkabul maka mereka akan ke sini lagi melepas ikatan itu.” Ambo Sakka berujar ketika melihat seorang gadis berumur senja ikut mengikat di batang pohon garoci dengan seutas tali dari kain putih.
“Kalau laki-laki itu, untuk apa ia kesini?” Aku bertanya kepada Ambo Sakka, karena ia sepertinya mengenali orang-orang berhajat itu.
“Yang memakai songkok haji itu?”
“Ya.”
“Ia calon anggota legislatif. Mungkin ia berhajat kalau lolos jadi anggota dewan ia berhajat ke sini dan memotong kambing.”
“Akh ada-ada saja.” Aku membatin. Karena aku tahu orang itu adalah calon anggota legislatif dari partai yang mengklaim diri berbasis keagamaan.
Beberapa jenak kemudian para orang-orang berhajat meninggalkan tempat itu di temani Puang Sanro. Itulah saat yang paling tepat buat kami untuk menikmati ‘hidangan’ gratis itu, pikirku. Aku mengajak teman-temanku turun ke bawah untuk menghabisi makanan itu.
”Jangan Beddu, nanti kita sakit dan dikutuk penghuni Sungai Bejo.” Ambo Sakka kelihatan agak khawatir.
”Akh, hanya Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak mungkin ikan tersebut mempunyai kekuatan untuk menentukan nasib seseorang. Ingat! Manusia lebih kuat daripada ikan.”
”Tapi...”
”Tapi apa Ambo Sakka, sejak masih di Madrasah Ibtidaiyah dulu aku biasa melakukannya bersama Dayat dan Anton.” Kulihat Dayat dan Anton tersenyum-senyum mengangguk-angguk dengan gaya khasnya berdua yang lucu dan terkadang kocak.
Akhirnya kami semua menyantap makanan yang sebenarnya diperuntukkan buat Raja Ikan penunggu Sungai Bejo. Sambil menikmati hidangan lezat nan gratis, aku menjelaskan kepada teman-temanku, ”Biarkan mereka percaya bahwa Sungai Bejo memang keramat agar mereka tidak berani lagi menebang kayu di kawasan Sungai Bejo dan Hutan Lindung Balang ini.”
”Tapi mengapa kita membiarkan mereka bersikap musyrik dan menghambur-hamburkan makanan disini, lagi pula banyak dari mereka yang datang dari jauh dengan mengeluarkan uang transportasi yang banyak.” Anton menyela sambil menyikat paha ayam gratis.
”Tidak ada juga ruginya, mereka memang menghabiskan banyak biaya kesini, meski Ikan Besar itu tak punya kekuatan tetapi mereka tetap mendapatkan sesuatu.” Kali ini Dayat yang menjelaskan karena aku sibuk mengobrak-abrik dada ayam yang sangat menantang nafsu makan.
”Maksudnya?” Ambo Sakka menyela.
”Sebenarnya orang-orang berhajat itu hanya butuh sugesti, motivasi dan semangat untuk hidup, dengan berkunjung kesini mereka merasa punya pegangan dan harapan. Mungkin kurikulum pendidikan agama mereka dulu di sekolah tak mengena.”
Kami terbahak-bahak mendengar pendapat Dayat yang sudah berani memasuki wilayah kurikulum sekolah. Tentu saja lucu, karena rata-rata mereka yang percaya akan kekeramatan Sungai Bejo hanyalah orang-orang tua yang tak punya pendidikan. Walaupun banyak dari mereka sudah ke tanah suci dan bergelar Puang Haji, tapi mungkin belum mendapatkan haji mabrur, karena naik haji bagi penduduk kampung umumnya hanyalah simbol kemapanan saja. Orang kampung belum sah disebut sukses kalau belum bergelar Puang Haji. Satu lagi, siapapun dia kalau sudah bergelar Puang Haji pastilah mendapat tempat terhormat dalam acara-acara pertemuan, seperti, pesta perkawinan, pesta sunatan, acara barzanji malam jumatan, dan pertemuan-pertemuan lainnya. Gelar ’Puang Haji’ benar-benar menaikkan derajat seseorang. Sayangnya kebanyakan dari mereka derajatnya hanya naik di mata manusia. Entah dimata Tuhan.
”Untung saja tadi ada dewa penolong, Nia ya!” Ambo Sakka menyela mengalihkan topik pembicaraan dan mengungkit peristiwa yang baru terjadi kala itu. Rupanya ia menahan candaannya karena kami dalam ’persembunyian’ khusus dari Puang Sanro. Aku tidak tertarik membahasnya. Aku lalu mengajak teman-temanku segera pergi, khawatir kalau Puang Sanro datang lagi bersama orang yang berhajat lainnya. Hari minggu biasanya tamu antrian dari daerah-daerah lain. Bahkan kami sering bercanda bahwa hari minggu adalah hari kemusyrikan di Sungai Bejo.
”Sebaiknya kita bergegas ke arah utara, kasihan teman-teman menunggu disana.”
”Tapi Nia kelihatan letih.” Anton menahan kami, ia masih asyik menikmati hidangan gratis. Ia memang anti mubazzir, sayangnya hidangan tersebut bukan untuknya. Kulihat Nia agak meringis karena kakinya lecet. Aku segera membersihkan kakinya yang luka lecet, lalu aku mengolesinya dengan ludahku dengan membaca Basmalah. Nia meringis.
”Tahan, Insyaallah segera sembuh.” Bisikku pelan tapi seolah ada getaran.
Teman-temanku yang lain mendehem menggoda. Kubiarkan saja, karena memang aku tak punya hubungan apa-apa dengan Nia. Soal menyembuhkan luka dengan ludah, aku biasa melakukannya dan diajari oleh kakekku. Pernah tanganku teriris pisau dan berdarah, aku cuma mengobati dengan menjilat-jilatnya sambil membaca basmalah, dan alhamdulillah sembuh tanpa perban. Tapi tips ini cuma untuk luka ringan. Begitu pesan almarhum kakekku.
”Lihat! Mereka datang lagi.”
Baru juga kami beranjak sekitar seratusan meter, tiba-tiba Anton berteriak karena melihat rombongan Puang Sanro datang lagi.
”Ayo kita mengintip lagi, kita lihat bagaimana reaksi Puang Sanro atas habisnya hidangan tadi.” Tiba-tiba aku punya ide lagi.
”Gila kamu Beddu.” Dayat protes.
”Gila apanya Dayat.”
”Bagaimana kalau Puang Sanro melihat kita dan ia tahu bahwa kita yang menghabiskan menu persembahannya?”
”Begini saja, kalian tetap berjalan meninggalkan kawasan ini, cukup aku dan Ambo Sakka pergi mengintip, apalagi kakinya Nia juga tidak bisa berlari cepat bila ada bahaya mengancam, aku yakin bisa menyusul kalian sebentar.”
Teman-temanku tak bisa menolak ideku yang rada gila dan nekad. Aku dan Ambo Sakka segera berlari menuju tempatku mengumpet saat itu. Kami duluan tiba daripada rombongan Puang Sanro.
”Cepat sembunyi Ambo, nanti mereka melihat keberadaan kita.”
Aku mengingatkan Ambo Sakka yang masih bingung mencari tempat yang aman yang tidak ada semutnya. Rupanya semut juga mengamuk karena kami sudah mengobrak-abrik sarangnya. Kulihat Puang Sanro agak heran dan menutup mulut melihat hidangannya babak belur. Atau mungkin ia mengira penjaga Bejo rakus juga. Tapi Puang Sanro seolah tak percaya itu. Ia lalu memandang ke sekeliling Sungai Bejo jangan sampai ada penjaga Bejo tandingan. Dan cess, hatiku berdegup kencang manakala kulihat Puang Sanro menatap ke arah persembunyian kami tanpa berkedip. Kutarik cepat-cepat Ambo Sakka bergeser ke arah kiri ke tempat yang agak berlubang dan tersembunyi. Hatiku tambah ketar-ketir, kulihat Puang Sanro berbicara kepada tamu-tamunya sebentar lalu ia menuju ke arah tempat persembunyian kami dengan menyibak rerumputan dan pepohonan. Aku dan Ambo Sakka berpegangan erat dan berdiam di dalam gua persembunyian sambil berharap Puang Sanro tidak menemukan kami.
”Baca ayat kursi tiga kali” bisik Ambo Sakka.
Aku hampir saja tertawa lepas mendengar bisikan Ambo Sakka. Karena biasanya yang dibacakan ayat kursi supaya menjauh hanyalah setan dan sekutu-kutunya. Ataukah Ambo Sakka menuduh pamannya adalah setan? Aku tak heran.
Puang Sanro sudah berada di tempat persembunyian kami. Untungnya cuma kami berdua, andaikan teman-temanku ikut bersama kami termasuk Nia pastilah kami sudah tertangkap basah oleh Puang Sanro. Dari celah pepohonan aku bisa mengamati wajah Puang Sanro yang semakin heran melihat rerumputan dan pepohonan kecil luluh lantak seperti tempat bersabung ayam secara sembunyi-sembunyi. Aku lagi-lagi hampir tertawa ngakak melihat Ambo Sakka pontang-panting menghalau semut hitam yang mengerubungi kakinya, tapi bukan karena gara-gara Puang Sanro saja aku tidak tertawa tapi semut hitam juga mulai menyerang kakiku.
”Bertahan Beddu, nanti kita kelihatan sama Puang Sanro.”
Aku dan Ambo Sakka mencoba bertahan dari gigitan semut hitam yang luar biasa sakit. Beruntung, kulihat Puang Sanro meninggalkan tempat persembunyian kami dengan mengutuk, ”Penyabung ayam tengik, mana bisa judinya beruntung kalau tidak direstui oleh penjaga Bejo.” Kami tak perduli dengan omelan Puang Sanro karena kami bersiap-siap segera meninggalkan tempat itu.
Akhirnya kami menyusul teman-teman satu regu. Dayat dan Anton menjejali kami dengan berbagai pertanyaan melihat wajah kami yang agak memucat serta kaki kami yang memerah akibat gigitan serangga. Bahkan kakiku agak berdarah karena tadi kugaruk secara kasar. Setelah aku ceritakan semuanya, kami tertawa terbahak-bahak, hanya Nia yang tersenyum dikulum saja, tapi ia bergegas memeriksa kakiku dengan mimik yang sedih.
”Aku juga diperhatikan, jangan cuma Beddu seorang.” Ambo Sakka protes menggoda. Nia nampak malu-malu. Aku mencoba menerka ge-er, cinta adalah sebentuk perhatian.
Lalu. Aku meminta kepada teman-teman regu agar tidak menceritakan pengalaman kami itu kepada regu Hutbah dan Umar. Aku takut mereka akan keceplosan membocorkan ulah kami sehingga warga di sekitar Sungai Bejo dan Hutan Lindung Balang memboikot kami. Ujung-ujungnya akan mematikan kreativitas Kompita. Aksi kami memang tergolong nekad dan kurang ajar di mata warga yang percaya akan kekeramatan Sungai Bejo.
Matahari sudah condong ke arah Barat ketika kami bertemu kembali dengan rombongan Umar dan Khutbah yang menyusuri Hutan Lindung Balang dari arah timur. Hutan Lindung Balang memang tidak terlalu luas. Makanya kami para siswa harus peduli dengan hutan lindung tersebut. Kami memperkirakan kalau Hutan Lindung Balang tidak dijaga dengan baik maka tahun-tahun mendatang akan terjadi banjir bandang di Kabupaten Sinjai.
Ketika melihat Nia sedikit terpincang, Hutbah langsung berujar, ”Sepertinya ketua rombongan tidak peduli dengan anggotanya ya.” Hutbah rupanya masih suka menggoda Nia yang notabene mantan kekasihnya dalam surat karyaku. Hutbah memang begitu, bukan tipe pemalu sepertiku.
”Untung ada Kak Beddu yang mengobati kakiku yang lecet.” Nia terkesan membelaku.
”Artinya?” Hutbah terus menggoda.
”Sudahlah Hutbah, kasihan Nia.” Ujarku menghentikan godaan Hutbah yang berantai dan tak berkesudahan.
Selanjutnya, untuk menenankan hati, kami mengajak teman-teman yang belum sholat dhuhur untuk sholat dulu. Setelah itu, aku meminta Umar sebagai ketua Kompita untuk membuat program selanjutnya. Umar mengusulkan agar anggota tim Kompita harus membuat sticker di tas ransel masing-masing yang intinya peduli sama lingkungan. Berarti kami mengganti sticker di ransel kami. Hutbah mengusulkan sticker ”Jagalah Hutan Kita”. Anton menganggap jargon yang diusulkan Hutbah tidak keren, lalu ia mengusulkan jargon ”Hutanmu, Hutanku, Hutan Kita”. Dayat cekikikan mendengar ide Anton. Ketika Anton protes ke Dayat, Dayat seenaknya menjawab, ”Aku kira kau bilang Utangmu Utangku Utang Kita”. Kami tertawa lepas, dan sedikit merenggangkan urat-urat saraf kami yang kelelahan menyusuri Sungai Bejo dan Hutan Lindung Balang. Kami benar-benar bahagia punya teman duo Abu Nawas dan Lamellong.
Nia mengusulkan sticker ”Amankan Hutan, Amankan dunia”. Umar yang mengusulkan sebaiknya jargon memakai Bahasa Inggris saja supaya lebih membanggakan. Dengan jargon Bahasa Inggris berarti anggota Kompita terkesan semuanya bisa Bahasa Inggris. Akhirnya aku mengusulkan jargon dalam Bahasa Inggris, tapi aku cuma menerjemahkan jargon yang sudah disebut oleh Nia menjadi ”SAVE THE JUNGLE! SAVE THE WORLD”.
”Kerjasama yang luar biasa.” Dayat dan Anton tak kuasa menahan penyakitnya untuk ikut menggoda Nia. Nia seperti biasa, mukanya bersemu merah seperti menjiwai candaan tadi.
Kami meninggalkan kawasan Hutan Lindung Balang lewat arah timur dengan berjalan kaki menuju Dusun Jatie. Rencananya di Jatie kami naik mobil menuju Bikeru. Melihat kaki Ambo Sakka dan kakiku yang agak merah membengkak, Dayat dan Anton tak mampu menahan gelak tawanya tanpa peduli penderitaan dan degup jantung kami. Supaya teman-teman lain tidak menaruh curiga aku juga tertawa lepas sambil berujar mengerjai Ambo Sakka, ”Semut di kakimu Ambo.” Ambo Sakka terperanjat kaget mengangkat kakinya dan tanpa sengaja menginjak kaki Anton yang langsung meringis kesakitan. ”Rasakan galaknya semut!” Aku membatin sambil tertawa lepas. Teman-temanku yang lain ikut tertawa-tawa tanpa mengetahui apa kejadian sebenarnya. Tapi kami benar-benar rileks dengan keadaan itu.

Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)







1 komentar: