Sabtu, 19 Maret 2011

EPITAF CINTA POHON-POHON RINDU
Oleh: Sultan Sulaiman*

Ada gadis berjilbab hijau muda, jari manis terkalung cincin emas, memusatkan tatap pada satu titik. Entah pada siapa dia menatap. Ada pohon, hijau tua bercampur lembayung. Ada gelap, ada kupu-kupu. Seorang lelaki berdiri tepat di depan makam. Nisan kayu mengukir satu nama “Nia”. Sebuah artikulasi dinamis, mengusung logika eksotisme. Yang melihat, mungkin akan terpukau pada sampul Pohon-Pohon Rindu. Penulisnya, Bang Dul Abdurrahman menghadiahkannya untukku. Menuliskan sebaris kalimat. “Buku ini semoga jadi inspirasi buat Dinda.”



Hijau dan Lokalitas
Menjajaki dua puluh dua bab novel Pohon-Pohon Rindu membuat saya berdecak kagum. Keberanian penulis menggarap tema lingkungan dengan bauran lokalitas yang kental memberikan sentuhan berbeda. Ada kepekaan insting dengan melakukan rekonstruksi terhadap tema-tema mapan yang selama ini digarap banyak penulis. Paduan ini, meruntuhkan dominasi bahasa dan tema tulisan yang banyak berkiblat pada patron jawasentris atau etnis lain, bahkan mungkin merujuk barat, eropa, sampai timur tengah. Patron itu punya identitas sendiri. Tak jarang ditiru, bahkan dimanipulasi amat ekstrim oleh penulis yang memburu aktualisasi bahkan materi. Tiru-meniru sesaki dunia kepenulisan. Tak ada yang betul berani dan kreatif mengeksplorasi ide baru.
Tema hijau (lingkungan) dan lokalitas (kearifan lokal) sebenarnya sudah lama disentuh penulis masa lalu. Sebelum aktivis lingkungan meneriakkan slogan anti pembalakan, sebelum global warming menjadi isu populis, penyair telah mewanti dengan memasukkan nuansa hijau dan lokal dalam karyanya. Ini pernah saya bahas dalam satu bahasan Sastra Hijau dan Kearifan Lokal.
Kembali ke Pohon-Pohon Rindu. Bang Dul sukses melakukan eksplorasi kultur Bugis-Makassar. Mengambil latar SMA Bikeru Sinjai dengan tokoh yang kental dengan identitas lokalnya. Nama Beddu Kamase dan Andi Masniar disuguhkan sebagai tokoh utama, berimprovisasi dengan empat tokoh lain. Ada Anton, Dayat, Hutbah, dan Umar. Novel ini bercerita sahabat yang hadir dengan karakternya masing-masing. Memiliki misi kepedulian lingkungan dengan Kelompok Pecinta Alam (KOMPITA). Bang Dul tak segan menyuguhkan istilah daerah (Kearifan lokal Bugis-Makassar) dan tak canggung menyebut setting ceritanya yang tidak populis. Inilah sisi berani yang dimiliki penulis. Penulis memotret Sinjai secara utuh sampai mendeskripsikan kearifan lokal suku Kajang Bulukumba. Penulis secara langsung memperkenalkan filosofi Bugis-Makassar. Nilai-nila lokal berupa alempureng (kejujuran), amaccang (kearifan), asitinajang (kepatutan), agettengeng (keteguhan), reso (usaha) dan siri (harga diri).
Secara sadar, Bang Dul menghadirkan kearifan lokal sebagai rangkaian filosofi hidup yang harus dipegang teguh. Lokalitas dijadikan wahana dalam mengusung globalitas. Lokalitas yang superior memiliki andil dalam mengusung kearifan global. Di sini, kultur, etnisitas, suku, budaya, adat-istiadat memiliki porsi yang sama dalam bangunan globalitas yang dimaksud. Tak arif jika ada yang dipandang sebelah mata. Bahasa Bugis-Makassar bisa tonji pas didengungkan.

Melodrama! Serupa Epik Laila Majnun
“Pagi-pagi sekali, aku tiba di pusara kekasihku. Aku bersimpuh luluh di depan pusara perempuan yang amat kucinta itu. Air mataku menetes. Air mata kerinduan. Air mata perpisahan. Aku menunduk menangis sambil mengusap batu nisannya…” (Pohon-Pohon Rindu hal. 347).
Novel ini memang berangkat dari ide lingkungan dan lokalitas, tapi keduanya tak cukup legitimate menghadirkan harmoni dalam cerita. Rasanya tidak lengkap jika kisah cinta tak turut menyuguhkan sentuhannya sendiri. Entah! Kisah cinta terlalu banyak menghipnotis siapa saja, mungkin karena setiap diri memiliki pengalaman otentik, atau merasa berhak mengklaim sebagai tokoh utama yang sering diceritakan. Ini yang mengilhami Bang Dul memblow-up cinta Beddu Kamase kepada Andi Masniar. Ini menarik.
Beddu Kamase adalah penulis sendiri. Asumsi ini tidak mengada, Bang Dul mengaku jika novel ini 99% pengalaman pribadi. Saya menelusuri liku hidup yang dijalani penulis, termasuk romansa cintanya. Apakah ini sebab mengapa Bang Dul belum juga melengkapi rusuknya? Ya! Mungkin saja, cinta memang selalu punya dua sisi, ada bahagia juga lara. Terlalu pahit mengisahkan cinta yang tak bermuara pada pertemuan. Tak cukup bertemu dan mengajak tangan bertepuk, selanjutnya harus dipatenkan dalam ikrar sakral pernikahan. Ini yang dialami Beddu Kamase pada Nia. Sayang pertemuan itu berujung dramatik, terlalu sendu bagi dua hati yang terpaksa terpisah. Kisah klasik yang cantik.
Saya persembahan syair Majnun yang merengkuh mimpinya di sebuah pusara kusam bertuliskan nama “Laila”. Kisah Pohon-Pohon Rindu, akhirnya kutaksir punya kemiripan dengan Laila-Majnun.
“Sepasang kekasih terbaring dalam kesunyian. Disandingkan di dalam rahim gelap kematian. Sejati dalam cinta, setia dalam penantian. Satu hati, satu jiwa, di dalam surga keabadian.” (Puisi Majnun buat Laila).

Suguhan Sederhana dan Sebuah Pencarian
Deskripsi Pohon-Pohon Rindu terbilang sederhana. Gaya berutur yang biasa membuat novel ini renyah, walau gaya penulisannya tak terlalu popolis (dipengaruhi background Bang Dul sebagai praktisi Sastra yang sering menulis non-fiksi). Kesederhanaannya tak mengurangi bobot pesan yang ingin disampaikan. Beragam pesan bisa ditemukan, dan itu mengajak diri berkontemplasi. Novel ini masuk kategori novel putih. Suguhan teks kitab suci yang dikutip penulis mematenkan klaim tersebut.
Secara tekstual, novel ini menyingkap siapa sosok Dul Abdul Rahman. Karakter penulis bisa dilihat dari yang ditulisnya. Ada sebuah pencarian luar biasa yang dilakukan. Bisa ditakar, penulisan novel ini bukanlah laku spontanitas, tapi berangkat dari konsep dan pustaka yang memadai.

Terikat Hati pada Dia yang Mati
Akhirnya! Pohon-Pohon Rindu ingin berkisah tentang prasasi cinta. Dua anak manusia terlanjur merajut ceritanya. Cerita itu bukan hanya mengisahkan pertemuan anak manusia, tapi keikutsertaan alam dalam mencipta romantika belantara yang harus terus terjaga. Kalau akhirnya perpisahan menjadi tanda mata, tak salah menitip harapan pada pemilik-Nya.
“Allah! Engkau tahu. Hati ini telah berkumpul dalam cinta-Mu. Bertemu dalam taat-Mu. Bersatu menyeru dan berjanji setia berjuang di jalan-Mu. Kuatkan ikatannya dan abadikan cintanya. Tunjukkan jalan-Mu dan limpahkan cahaya-Mu yang tak pernah padam…” (Doa Pengikat Hati Hasan Al-Banna)
Seperti ingin Nia, seperti nurani yang menginginkan panorama terus terjaga. Membawa diri pada pemaknaan cinta holistik jauh lebih arif. Alam raya bagian dari relasi cinta yang perkasa. Malam terikat siang, gunung memadu kasih dengan tanah, langit bercermin pada laut, ada pepohonan yang menjulang, menitip pesan pada hujan, air jatuh menyiramkan kasih sayangnya. Tuhan tersenyum, menaburi keberkahan lewat sayap-sayap malaikat. Epitaf cinta terpahat pada Pohon-Pohon Rindu, biarkan cinta terus abadi.
“Jika Kakak kangen pada Nia, maka tataplah pepohonan yang rindang serta hutan yang menghijau, karena Nia akan menjelma pepohonan. Maka jagalah pepohonan itu Kak. Lalu mohonlah pada pohon-pohon rindang itu agar cinta kita juga lestari.” (Pohon-Pohon Rindu 348).

*Ketua Forum Lingkar Pena Sulawesi Selatan
sulaiman.putra@gmail.com

Sumber tulisan: HARIAN FAJAR MAKASSAR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar