4. JUARA UMUM
Di SMA Bikeru ada satu kebiasaan yang aku anggap sangat bagus untuk memotivasi siswa untuk belajar keras dan giat. Setiap selesai semester, selalu ada acara penerimaan rapor bersama. Dalam acara itu setiap siswa yang berprestasi akan dipanggil satu persatu naik ke podium untuk menerima bingkisan. Buat siswa yang berprestasi, bingkisan itu tak begitu penting, karena isinya paling-paling hanyalah buku tulis. Tapi bukan itu yang membuat para siswa bangga. Dipanggil naik ke podium lalu disebut namanya sebagai siswa atau siswi yang berprestasi di depan para siswa lainnya satu sekolah, di depan guru-guru dan orang tua atau wali mereka pastilah suatu peristiwa yang sangat membahagiakan dan membanggakan. Siswa yang berprestasi akan dikenal oleh siswa satu sekolah. Benar-benar sangat membanggakan. Dan acara penerimaan rapor model begini sangatlah memotivasi para siswa untuk belajar keras dan giat. Manfaat lainnya, karena persaingan ranking sangat ketat, tidak ada siswa yang mau saling menyontek sesama teman kalau ujian semester, apalagi yang dianggap sebagai saingan.
Hari itu tepat hari penerimaan rapor. Semua siswa sudah berkumpul di aula. Para orang tua atau wali siswa juga berkumpul di aula dengan posisi saling berhadap-hadapan. Aula tersebut tepatnya disebut ruang kelas saja, karena ruang kelas yang dibuka sekat-sekatnya sehingga terlihat seperti aula yang memanjang. Itulah memang kelebihan ruang kelas yang terbuat dari kayu, gampang disulap jadi apa saja. Para siswa duduk di bagian selatan menghadap utara, para orang tua atau wali duduk di sebelah utara menghadap selatan, sedangkan guru-guru duduk di bagian barat menghadap ke timur, tamu-tamu penting duduk di sebelah timur menghadap ke barat. Persis di tengah-tengah ada ruang kosong yang disulap menjadi semacam podium, tempat siswa-siswa berprestasi menerima penghargaan.
Aku deg-degan duduk menghadap ke utara sambil sesekali melirik ke kanan. Disitu duduk kepala sekolah, wakil kepala sekolah serta undangan-undangan lainnya. Lalu. Kepala sekolah memberi sambutan pengantar. Intinya memotivasi agar para anak didik rajin belajar. Rajin pangkal pandai, malas pangkal bodoh. Begitulah yang selalu beliau dengungkan. Lalu tibalah giliran wakil kepala sekolah urusan kesiswaan memberikan sambutan sekaligus akan membacakan nama-nama siswa yang berprestasi. Ketika wakasek mulai membacakan nama-nama siswa yang berprestasi, siswa-siswa yang merasa saling bersaing berdebar-debar dan berharap semoga mereka masuk kategori tiga besar di kelasnya masing-masing. Yang sudah sangat yakin akan jadi ranking satu kelas berharap akan jadi juara umum atau bintang sekolah.
Mula-mula wakil kepala sekolah membacakan peringkat kelas di tingkat kelas satu, dari kelas 1.1 sampai 1.6. Pada saat pembacaan peringkat kelas 1.2, banyak siswa yang terkagum-kagum, ternyata siswi yang tercantik di sekolah itu yang bernama lengkap Andi Masniar menduduki ranking satu. Semua siswa yang ada dalam ruangan bertepuk tangan atas kepintaran dan prestasi siswi cantik tersebut, cuma aku yang menunduk malu tapi sesekali melirik juga ke arahnya. Nia naik ke podium bersama dua teman sekelasnya, ketika ia turun dari podium Nia melirik ke arahku di saat yang sama aku melirik ke arahnya, kebetulan memang aku punya kebiasaan duduk di deretan siswa paling depan. Hatiku kian kecut, bilamana kurasakan senyumnya kepadaku agak sinis. Mungkin dihatinya ia berkata, “Wahai kumbang jelek tak tahu diri! Tahu dirilah kalau naksir sama Nia, Nia itu selain cantik pintar pula, kau? Apa yang kau andalkan?” Akh! Menyesal rasanya mencoba menebak pikiran siswi yang cantik dan pintar itu dari sudut pikiranku yang galau. Dalam hal ini, entah siapa yang berburuk sangka. Tapi tiba-tiba ada juga semacam kesombongan menyelinap dihatiku, kesombongan yang membatin, “Kau masih satu semester di sekolah ini, kau belum tahu siapa aku sebenarnya, nanti kau lihat sendiri.” Aku membatin deg-degan, kalau-kalau Anton atau Dayat menyalip ranking kelasku kelak maka buyarlah semua kebanggaanku dan modalku untuk mencuri hati Nia. Kalau Umar dan Hutbah tidak masuk hitungan persaingan. Aku sebenarnya tidak bermaksud memandang remeh prestasi Umar dan Hutbah, cuma memang begitulah kenyataannya bahwa mereka berdua hanya mengekor pada kami.
Lalu tibalah saatnya dibacakan peringkat kelas di tingkat kelas dua. Setelah tiba giliran kelasku, aku kian deg-degan, keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku, kalau aku sampai disalip sama Dayat atau Anton, tak ada lagi yang bisa kubanggakan di depan Nia, aku akan semakin terpalit di matanya. Dan sebagaimana biasa, para siswa memusatkan perhatian ke arahku apakah aku masih mampu mempertahankan prestasi di tengah banyaknya cemoohan dan cobaan, utamanya cobaan cinta yang ditolak oleh Nia yang ternyata siswi cerdas. Kulihat Hutbah dan Umar tersenyum kepadaku, keduanya memang lebih mendukung keberadaanku sebagai yang terbaik daripada Dayat dan Anton. Mungkin karena aku yang paling selalu siap membantu masalah mereka daripada Dayat dan Anton. Mungkin pula, karena diantara kami berlima akulah yang dianggap paling kere. Penilaian kere itu juga subyektif karena mereka menilai aku kere karena orang tuaku yang paling miskin. Begitulah. Tapi aku juga selalu dihibur oleh orang tuaku bahwa dibanding dengan teman-teman lain, sesungguhnya akulah paling kaya karena banyak mendapat beasiswa yang notabene usahaku sendiri, sedangkan yang lain hanya diberikan semata oleh orang tuanya. Aku sangat bangga dengan orang tuaku yang meskipun miskin tapi tidak bermental ‘beggar mentality’(mental pengemis).
“Yang menempati peringkat ketiga dengan nilai rata-rata 8,80 adalah Anton.” Hadirin bertepuk tangan, kulihat Dayat mengacungkan tangan sambil berujar “Yes”. Memang Anton, Dayat, dan aku bersaing ketat dalam satu kelas. Dayat terlihat bahagia karena tinggal satu saingannya yaitu aku. Dan selama itu Dayat merasa bahwa saingan kerasnya sebenarnya bukan aku tapi Anton. Dayat mengira meski aku kelihatan banyak belajar tapi sebenarnya tak konsentrasi karena dipermalukan cintanya oleh Nia. Lalu.
“Peringkat kedua dengan nilai rata-rata 8,95 adalah…” Wakil kepala sekolah terlihat batuk-batuk. Ataukah ia sengaja membaca pengumuman mirip di teve yang mencoba mengaduk-aduk rasa penasaran penonton. Dayat dan aku menahan napas.
“Peringkat dua adalah Dayat!” Kulihat Dayat lemas, dan menjabat tanganku elegan menerima kekalahan dariku, tapi aku tak sungguh-sungguh melayaninya, bukankah peringkat satu belum diumumkan. “Jangan-jangan yang ranking satu malah Umar atau Hutbah,” aku berpikir asal-asalan di tengah menunggu pengumuman selanjutnya. Aku melihat Anton dan Dayat melirik kearahku di atas podium. Aku kian deg-degan seperti menunggu ketukan palu sidang.
“Ranking satu adalah Beddu Kamase!”
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Aku bertasbih tiga kali pertanda syukur. Airmataku bercucuran. Riuh rendah aplaus panjang ke arahku. Aku bergegas naik ke podium dengan hati bertasbih dan bertakbir. Dan tatkala di atas podium ada perasaan begitu bahagia menjalar ke sekujur tubuhku ketika aku melihat ke arah kanan belakang. Kulihat seorang siswi yang memang paling cantik terus bertepuk tangan dan tersenyum ke arahku. Aku merasakan senyum itu berbeda dengan senyumnya ke arahku ketika ia di atas podium tadi. Aku geer, tapi aku benar-benar bahagia bisa menunjukkan kepada bunga yang cantik dan cerdas itu disana bahwa aku adalah kumbang yang pintar yang dicari para bunga-bunga. Tapi kalau memang aku adalah kumbang jelek tidak apa-apa yang penting kedua sayapku kuat untuk terbang jauh menggapai langit-langit kesuksesan. Bila aku telah menggenggam langit-langit kesuksesan maka aku yakin semua bunga-bunga mengharapkan aku singgah membantu membuahi putiknya untuk menghasilkan bunga yang unggul.
Setelah pembacaan peringkat kelas di tingkat kelas tiga, tibalah saatnya penentuan siapa yang berhak jadi juara umum sekolah atau bintang sekolah. Yang akan terpilih jadi bintang sekolah adalah siswa yang paling tinggi nilai IPK(Indeks Prestasi Kumulatif/ nilai rata-rata). Makanya agar pemilihan juara umum lebih menegangkan, penyebutan ranking satu tadi tidak disebutkan nilai rata-ratanya. Selanjutnya, wakil kepala sekolah membacakan tiga nominasi, yaitu Andi Masniar, Beddu Kamase, dan Dayat. Dengan nominasi itu berarti IPK Dayat masuk tiga besar sekolah meski ia cuma ranking dua di kelasku. Sainganku hanyalah Nia, sebaliknya Nia punya dua saingan, Mungkin Nia tidak menyangka bahwa saingannya adalah siswa yang ia kembalikan surat cintanya dan ia cap sebagai kumbang jelek.
Kami bertiga berdiri bangga di atas podium menunggu pengumuman siapa yang akan jadi bintang sekolah. Aku lebih deg-degan daripada acara penentuan ranking kelas tadi. Mungkin karena yang ada disampingku sekarang adalah orang yang sesungguhnya ingin kutunjukkan padanya bahwa aku adalah kumbang yang punya kelebihan yang akan dirindukan para bunga-bunga. Kalau aku jadi bintang sekolah, berarti secara de facto Nia berada dalam bayang-bayangku, sebaliknya jika Nia yang jadi bintang sekolah berarti akulah yang berada dalam bayang-bayangnya, sesuatu yang aku sangat tidak inginkan.
“Peringkat tiga umum sekolah adalah Dayat.”
Kulihat Dayat tetap tersenyum, mungkin ia berpikir meskipun cuma peringkat tiga umum tapi ia sudah mengalahkan banyak ranking satu kelas. Nia terlihat menggenggam tangannya dan berucap “Yes” serupa gaya Dayat tadi waktu penetapan ranking satu di kelasku. Aku hanya komat-kamit mempersiapkan ucapan Allahu Akbar berpuluh-puluh kali bila terpilih jadi bintang sekolah. Semoga saja Nia akan kecewa seperti Dayat tadi.
“Yang menempati peringkat dua umum dengan nilai rata-rata 9, 15 adalah…” Sekali lagi kepala sekolah batuk-batuk. Tapi kala itu bukan sekedar pura-pura batuk seperti aktingnya sebelumnya, karena ia langsung mengambil air minum dan meneguknya tiga kali dengan muka pias. Detik-detik selanjutnya kian menegangkan. Lalu.
“Peringkat dua umum adalah Andi Masniar!”
Aku tak melihat mimik Nia, karena aku langsung sujud syukur. Aku tak perduli lantai yang berdebu, yang aku ingat hanyalah lagu Malaysia Suci Dalam Debu. Dan lagu Iklim tersebut kian merayu-rayu di telingaku ketika aku bangkit dari sujud syukur, Nia langsung menjabat tanganku dan tersenyum manis, teramat manis malah, hingga menggubah syair Iklim menjadi Cinta Dalam Debu. Jabatan tangan Nia yang lembut benar-benar membuat debu di tanganku menjelma cinta. Begitulah kalau kita terlalu geer, tapi tidak apa-apa sebagai penyemangat walau kelak mungkin akan tersengat karenanya. Aku benar-benar bahagia hari itu. Aku bisa membuktikan bahwa biar kumbang jelek tetapi pintar dan cerdas akan tetap dielu-elukan dan dibanggakan. Wakil kepala sekolah akhirnya menutup pengumuman dengan ceria, tak ada batuk-batuk lagi.
“Peringkat satu umum atau bintang sekolah dengan nilai rata-rata 9, 51 adalah Beddu Kamase. Sebagai bintang sekolah, Beddu mendapatkan beasiswa bebas pembayaran SPP sampai semester berikutnya.”
Aku menitikkan airmata karena malam sebelumnya ibuku akan menggadaikan sementara kalungnya untuk SPP-ku pada semester berikutnya karena belum saatnya panen coklat yang juga tak seberapa luas. Aplaus panjang kian memanjangkan angan-anganku. “Makanya jangan pandang enteng anak pensiunan hansip, meski tak ada tunjangan pensiun, tapi keikhlasannya mengabdi selalu mendapat berkah.” Aku membatin.
…
Yang paling membuatku bahagia adalah aku membaca buku tentang hakekat ketampanan buat pria dan hakekat kecantikan buat perempuan. Katanya ketampanan itu ada dua jenis yaitu ketampanan keluar dan ketampanan kedalam. Tampan keluar berarti bentuk fisik yang cantik atau tampan, sedangkan tampan kedalam adalah kebaikan hati termasuk prestasi. Tampan keluar biasanya mudah pudar, sedangkan tampan kedalam akan kekal, dan sesungguhnya hakekat ketampanan itu dari dalam. Dalam bahasa Inggris tampan disebut handsome yang makna leksikalnya adalah banyak tangan yang berarti orang tampan itu suka dan ikhlas menolong. Kalau kecantikan perempuan memang lebih dominan ke fisik menurut istilah Bahasa Inggris beautiful, tapi itu juga diralat dengan munculnya istilah inner beauty. Tapi menurut buku tersebut yang aku sudah lupa judulnya, intinya adalah pria yang tampan belum tentu baik, tapi pria yang baik akan nampak tampan. Begitupun perempuan yang cantik belum tentu baik, tapi perempuan yang baik kelihatan cantik. Ukurannya adalah tampan atau cantik bersifat lahiriah yang akan memudar seiring dengan berjalannya waktu, sedangkan tampan atau cantik dari dalam ukurannya adalah rohani yang kualitasnya bisa terus bertambah beriringan dengan waktu bila seseorang itu semakin giat memperbaiki diri dan aktualisasi diri. Intinya, lahiriah atau jasmani bermusuhan dengan waktu, sebaliknya rohaniah bisa berteman dengan waktu. Dan hakekat hidup sebenarnya adalah ruhani. Ruhani akan mempengaruhi fisik. Soal istilah mensana incorporesano yang berarti didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat, itu lebih bermakna bahwa kita harus selalu menjaga kesehatan dengan berolah raga.
Begitulah. Sejak aku membaca buku tersebut aku sangat semangat karena hakekatnya ternyata aku begitu tampan. Dan aku merasakan Nia juga berpandangan seperti itu, buktinya sejak Nia tahu bahwa aku bukan siswa pecundang, tapi bintang sekolah, Nia berubah seratus delapan puluh derajat padaku. Nia selalu berusaha tersenyum seindah mungkin bila berpapasan denganku, tapi Nia nampak kecele, karena aku juga termasuk lelaki yang kuat imannya yang tak mudah luluh oleh senyuman saja. Selain itu sakit hatiku dan rasa malu masih membekas dibenakku bila mengingat Black Accident di depan perpustakaan itu. Diteriaki kumbang jelek lalu dikembalikan surat cinta dengan dilemparkan di depan umum adalah rasa malu yang sepertinya tak bisa terhapus oleh hujan setahun, mungkin butuh dua tahun. Artinya selama aku masih di SMA rasa malu dan sakit hati itu tak bisa hilang, karena waktuku masih tersisa satu tahun setengah di SMA, maka kalau memang Nia jodohku, nanti setamat SMA baru aku bisa menerimanya. Tapi aku masih berandai-andai karena Nia juga belum tentu mau sama aku, karena soal ketampanan dan kecantikan masing-masing individu punya selera yang berbeda-beda. Begitulah ke-Maha Kuasa-an Tuhan dan keunikan perasaan.
…
Sejak dinobatkan jadi bintang sekolah, aku semakin rajin belajar, aku bertekad untuk terus mempertahankan gelar bintang sekolah. Pun aku akan menunjukkan pada Nia bahwa aku siswa yang benar-benar hebat. Dan satu lagi yang tak boleh terjadi, Nia merebut gelarku sebagai bintang sekolah. Nia boleh saja mengambil gelarku yang penting aku sudah tamat dari sekolah itu, begitulah pikirku. Untuk lebih menunjukkan siapa diriku sebenarnya, sekaligus sebagai ungkapan atas kekecewaanku dulu pada Nia, aku mengganti sticker di ranselku menjadi, “I’m the Champion! Study Yes, Love No”. Melihat aku mengganti sticker, Dayat yang memang orangnya lucu tapi berjiwa besar juga mengganti sticker “I’m the runner-up! 1001% Moslem.” Dayat sebenarnya tidak mengganti sticker, ia hanya menyempurnakan sticker plus mengakui kekalahannya dariku, kalau dulu tertulis 100% sekarang menjadi 1001%, mungkin Dayat menghubungkan kisah seribu satu malam. Anton lain lagi, ia yang juga suka usil dan jago cerita seperti Dayat juga ikut-ikutan mengganti stickernya dari “No Problem” menjadi “My problem is Dayat and Beddu”, alasan Anton memilih kalimat ini karena Dayat dan aku yang mengganjal niatnya jadi ranking satu.
Kalau kami bertiga ada perseteruan sticker soal prestasi, Umar dan Hutbah lain lagi. Mereka berdua meski mengganti sticker pula, tapi visinya tetap sama, mungkin mereka ikut-ikutan saja mereformasi sticker. Sticker Umar dari “Crystal Man” menjadi “Mr.Cuek”, sedangkan Hutbah dari sticker “Love is Blind” menjadi “Mr.Blind”. Menurutku, Umar dan Hutbah cukup cerdas, buktinya keduanya bisa membuat sticker dengan bahasa yang ringkas, padat, dan metaforis.
Dan sticker yang paling membuatku begitu penasaran adalah sticker mungil yang tertera di tas Nia berbunyi, “Please Forgive Me”. Entah kepada siapa kalimat itu ditujukan, kepada Hutbah atau aku, yang jelasnya ketika aku berpapasan dengan Nia, kalimat itu seolah kulihat menggantung di sudut bibirnya yang mungil. Semoga saja pertanda baik. Harapku menggigil karena masih menyimpang rasa malu luar bisa. Lelaki siapa yang tak akan menanggung malu yang menggunung dan trauma bila cintanya ditolak kasar dengan dilemparkan surat cintanya plus diteriaki kumbang jelek? Aku benar-benar telah mengalaminya. Sayap cintaku benar-benar patah serupa sayap-sayap cintanya Kahlil Gibran dalam novelnya The Broken Wings. Untungnya, kala itu sayap-sayapku sudah sembuh bahkan semakin kuat dengan penobatanku sebagai bintang sekolah. Alhamdulillah.
Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar