Rabu, 23 Februari 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 2 NAMA DALAM SEPUCUK SURAT)

2. NAMA DALAM SEPUCUK SURAT

Dari berlima berteman, Dayat, Anton, dan aku tergolong siswa paling pintar di sekolah. Sedangkan Hutbah dan Umar adalah siswa yang pas-pasan soal pelajaran. Tapi kami berlima tetaplah saling melengkapi. Umar yang bertindak sebagai pengamanan meski ia sendiri sering tak aman karena matanya selalu awas terhadap Pak Chaeruddin. Bila ada yang mau macam-macam kepada salah seorang dari kami maka Umar yang pasang kuda-kuda.
Hutbah lain lagi. Ia memegang kas keuangan dan menjadi donator utama kelompok kami. Tentu saja Hutbah dan Umar mendapat kompensasi dari kami bertiga. Hutbah dan Umar benar-benar mendapat kompensasi BBM yang memuaskan. Soal nama kompensasi BBM, itu juga istilah Hutbah dan Umar. Kata mereka berdua, BBM berarti Bahasa Inggeris, Bahasa Indonesia, dan Matematika. Dayat dan Anton bergantian mengerjakan PR matematika mereka, sedangkan PR Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, aku yang bertanggung jawab.
Sebenarnya di awal pertemanan, kami bertiga berinisiatif agar Hutbah dan Umar tidak boleh bergantung pada kami. Tapi sebagai teman, kami siap membimbing mereka belajar khususnya bidang studi yang mereka kelompokkan BBM itu. Tapi itulah Hutbah dan Umar. Hutbah hanya sibuk tebar pesona dengan proyek cintanya. Sedangkan Umar sibuk dengan Crystalnya, merokok dan balapan. Akhirnya setelah mendengar cita-cita mereka berdua, kami bertiga bersepakat bahwa kedua teman itu tidak apa-apa bila disuapi saja. Hutbah bercita-cita setelah tamat SMU, ia melanjutkan usaha dagangan orang tuanya. Cita-cita Hutbah tak menyalahi peraturan nasib karena ia memang anak tunggal dengan orang tua sebagai pedagang sukses plus punya kebun coklat yang luas pula. Kalau Umar, setamat SMU ia ingin jadi pembalap motor, tapi ia masih punya rencana lain yang aku kira lebih bersahabat dengannya. Kalau ia gagal jadi pembalap katanya ia akan hijrah ke Kolaka mengikuti jejak kakaknya yang sukses jadi petani kopi dan kakao di sana. Keduanya memang punya cita-cita yang realistis. Kami bertiga, Dayat, Anton, dan aku bercita-cita jadi pegawai negeri sipil. Kami bertiga tak punya kebun yang luas seperti Hutbah dan Umar. Bahkan ayahku sudah berancang-ancang untuk menjual tanah warisan untukku bila kuliah kelak. Kata ayahku lebih baik pendidikan saja yang diwariskan, kalau harta warisan masih bisa diperebutkan, sedangkan pendidikan menjadi hak paten bagi yang memilikinya. Luar bisa ayahku memotivasi diriku, padahal ia hanya tamatan Sekolah Dasar.
Dari berlima berteman pula, nampaknya memang yang punya kecenderungan berpacaran hanyalah Hutbah dan Umar. Bahkan Hutbah bukan lagi cenderung tapi sudah kecanduan malah. Soal pacaran, Hutbah dan Umar mempunyai cara yang sangat bertolak belakang. Hutbah ingin suasana romantis dengan curahan kata-kata indah nan menggugah, sayangnya ia tak punya kemampuan memadah dan menadah percikan kata-kata. Singkatnya ia tak punya bakat mengarang dan menyair, tapi asumsi ini juga kurang benar. Bukankah Thomas Alfa Edison pernah mengatakan “Genius is 98 percent perspiration”(Kepintaran itu 98 persen adalah keringat/usaha). Jadi andaikan Hutbah mau latihan sedikit saja menulis surat cinta pasti bisa. Tapi mungkin Hutbah berpikir masih ada aku yang bisa menuliskannya. Ataukah Hutbah sok sosialis mempekerjakan orang lain karena ia pikir punya banyak uang. Ya, terkadang memang bila orang tua kaya, anak jadi serba konsumtif dan bermalas-malasan.
Umar sebaliknya, bila ia suka pada seorang perempuan, ia akan langsung menemuinya dan mengungkapkan perasaannya. Ia tak puas lewat surat, katanya tidak jantan. Aku kagum dengan ‘kejantanan’ Umar meski perjalanan cintanya tidak semulus cintanya Hutbah yang memang memanfaatkan jasa orang lain. Tentu saja kebanyakan siswi menolak Umar yang berlagak jantan. Ketika Umar konsultasi denganku, aku menjelaskan begini, “Sebenarnya sikapmu sangat jantan Mar, tapi itu biasanya berlaku bila perempuan dewasa yang kau dekati, kalau perempuan pra remaja atau remaja apalagi perempuan desa yang kau dekati tidak boleh langsung menembak dengan peluru cinta, harus melalui banyak tahap, kokangan senjatanya pun harus lebih lembut, peluru tak boleh ngebut, nanti tak bersambut.” Aku menjelaskan sok filosofis dan promosif pada Umar dan berharap ia mau meminta bantuanku. Sekaligus proyek baru buatku. Tapi begitulah Umar yang memang merasa gentleman soal cinta. Sayangnya ia tak gentleman soal pelajaran. Tapi Umar lebih baik sedikit dari Hutbah. Hutbah sangat terlalu, soal pelajaran dan cinta sangat bergantung pada orang lain. Artinya seberapa pun suksesnya Hutbah, sukses cintanya dan pelajarannya, tapi semua itu hanyalah sukses semu. Aku merasa lebih sukses dari Hutbah, karena dengan membuatkan surat cinta Hutbah berarti aku latihan memperhalus diksi bahasaku serta mempertajam pisau kata-kataku yang mungkin nantinya sangat bermakna buatku bila benar-benar aku terjun dalam dunia kepenulisan. Harapku selalu di sela-sela degupan perasaanku setiap kali menulis surat cinta Hutbah khususnya yang ditujukan kepada Nia. Siswi baru yang cantik itu memang diam-diam terus menjajah perasaanku. Tak siang, tak malam. Selalu terbayang, walau hanya bayang-bayang.

Tiba-tiba saja aku merasa sikap Hutbah tak adil. Masak semua siswi-siswi yang cantik mau dipacarinya. Lagi pula aku semua yang mengurusi tetek bengeknya, dari surat pertama sampai surat-surat berikutnya. Entah, karena wajah Hutbah memang cakep atau kepiawaian aku membuat surat cinta sehingga semua surat-surat yang kutulis atas nama Hutbah selalu mendapat balasan yang sangat memuaskan. Tapi yang jelasnya, semua teman-temanku, Hutbah, Dayat, Anton, dan Umar menggelariku “Penulis Surat Cinta Yang Berbakat”. Wajar memang, karena sejak di Sekolah Dasar aku selalu juara satu lomba mengarang. Kalau bahasaku mendayu-dayu, itu karena aku sudah khatam novel-novel dan puisi-puisi dari Angkatan Balai Pustaka hingga Angkatan 90-an. Bahkan seluruh novel-novel Buya Hamka aku sudah hafal di luar kepala. Dari novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wick hingga “Di bawah Lindungan Ka’bah”. Ataukah novel yang ngetop lainnya seperti Siti Nurbaya, Azab Dan Sengsara, Layar Terkembang, Sengsara Membawa Nikmat, ataukah novel yang muncul belakangan seperti Bekisar Merah karya Ahmad Tohari, tak lupa pula aku melahap novel-novel yang lebih bergenre pop seperti Cintaku Di Kampus Biru atau Terminal Cinta Terakhir karya Ashady Siregar, atau novel Badai Pasti Berlalu karya Marga T. Soal puisi, aku paling suka puisi Chairil Anwar dan Amir Hamzah. Buku Chairil Anwar Deru Campur Debu atau buku Amir Hamzah Nyanyi Sunyi adalah dua kitab puisi yang aku anggap suci. Kalau biasanya orang lain paling menyukai puisinya Chairil Anwar Aku, kalau aku, puisi Chairil Anwar yang paling kusukai adalah Doa, kepada pemeluk teguh. Sedangkan puisi Amir Hamzah yang paling kusukai adalah Padamu Jua. Menurutku puisi Amir Hamzah tersebut sangat indah. Isi, kulit, dan daging puisi itu sangat bergizi. Pun pesan ketuhanan dan susunan barisnya sangat memesona.
Soal menulis surat cinta, aku punya teknik khusus menuliskannya. Surat pertama biasanya hanya berisi ingin berkenalan dulu. Lalu kalau sudah ada jawaban, melayanglah surat kedua tanya ini tanya itu dan sudah mulai ada kata-kata yang mengagumi kecantikannya. Lalu ketika ada jawaban kedua, lampu hijau atau lampu apa saja, tetap melayang surat ketiga dengan rayuan hiperbolik. Sambil menunggu jawaban surat ketiga, kirim lagi surat keempat dengan rayuan maut sampai hati si dia tersangkut. Kalau di sepakbola, serupa gaya totalfootbal ala Belanda. Dan biasanya teknik ini berhasil. Tingkat penolakannya nihil.
Meski dengan hati setengah patah, aku tetap mengerjakan proyek cinta Hutbah. Intinya, bagaimana aku bisa menundukkan Nia dengan surat-surat cinta yang mendedah perasaan. Mungkin karena memang aku juga mempunyai perasaan khusus padanya sehingga surat yang kutulis meski dengan nama Hutbah tapi benar-benar ungkapan perasaan seorang kekasih pada kekasihnya yang bertahun-tahun tidak berjumpa. Benar-benar mengharu biru, serupa surat-surat William Butler Yeats kepada Maud Gonne, ataukah Kahlil Gibran pada Maizadah. Aku memang banyak meminjam kata-kata Kahlil Gibran yang terkadang menyayat-nyayat hayat.
Soal meminjam ungkapan-ungkapan penyair dari Kahlil Gibran, William Shakespeare, Chairil Anwar, Amir Hamzah, atau Sapardi Djoko Damono, aku tak mau men-copy paste begitu saja, aku membuat ungkapan lain yang sekonteks dengan ungkapan-ungkapan penyair itu. Aku pikir, sebagai calon penulis, tidak apa-apa kita mengekor pada penulis lain dahulu, tetapi bilamana kita cuma bisanya mengekor pada orang lain maka selama itu kita hanya jadi calon penulis. Nanti kita bisa disebut sebagai penulis kalau kita merasa bahwa apa yang kita tulis benar-benar adalah warna atau style kita. Begitulah, Hutbah bergantung padaku, dan aku bergantung pada para penyair-penyair besar, bedanya aku tahap belajar sedangkan Hutbah tahap menikmati dan tak pernah belajar. Kalau begitu, Hutbah selamanya akan bergantung pada orang lain, dan aku suatu waktu tidak akan bergantung lagi pada orang lain. Dan bila aku tetap bergantung pada orang lain itu berarti belajarku tidak berhasil. Mungkin itulah hakekat belajar yang sebenarnya.
Dan. Kali itu aku belajar menerima pil pahit kenyataan. Pahit memang. Merayu perempuan yang ayu dengan perasaan yang mendayu-dayu karena memang adalah ungkapan hati yang paling dalam, lalu terkirim dengan nama lelaki lain yang tak punya perasaan. Tapi apa boleh buat, terkadang hatiku menjerit meratap dan meranap. Inilah konsekuensi dari cowok yang tak cakep dan tak punya nyali.
Alhasil. Dan memang aku sudah menduga. Nia takkan menolak cinta Hutbah. Wajah Hutbah yang cakep plus caraku menulis surat cinta yang mendayu-dayu dan menghipnotis. Tentu saja Nia larut hanyut dalam denyut cinta yang menggelora. Terpaksa perasaanku kian tersudut. Tersudut oleh cinta Si Badut Hutbah. Meski begitu, tetap ada perasaan yang indah yang kurasakan setiap kali aku menulis surat untuk Nia. Kuhayalkan bahwa Nia adalah pacarku. Aku mencoba membayangkan bahwa kata-kata yang kutulis sedang kuucapkan langsung di depan Nia sambil memandangi lentik bulu matanya yang teramat indah. Sebuah perasaan yang tragis sesungguhnya.
Meski aku tahu sangat susah untuk membohongi perasaan terus menerus tapi aku tetap mencobanya. Aku belajar menjaga amanah. Aku berpikir bila aku benar-benar mampu membuatkan surat cinta Hutbah untuk Nia tanpa sekalipun aku berkhianat berarti aku sudah lulus ujian jadi sekertaris atau bawahan yang bertanggung jawab. Artinya aku tak perlu ragu bila suatu saat memegang amanah karena aku sudah teruji soal tanggung jawab. Dan satu lagi, bila aku bisa menjaga kepercayaan Hutbah berarti di kemudian hari aku tak mungkin lagi terjangkiti endemik selingkuh yang hanya akan merusak keluargaku sendiri serta keluarga orang lain. Tapi sekali lagi ini memang soal perasaan. Kalau perasaan yang bicara hanya benteng iman lah yang bisa menetralkannya. Dan iman pun harus dibentengi dengan tidak mendekati hal-hal yang berbau negatif. Begitu yang selalu aku dengar dari bapaknya Dayat yang Imam Masjid.

Siang itu kami berkumpul di depan perpustakaan sekolah. Ramai para siswa memperhatikan mading-mading yang menempel di depan perpustakaan. Kalau biasanya mading siswa ditempel di depan kelas masing-masing, tapi aku mengusulkan kepada wali kelasku yang kemudian diteruskan kepada kepala sekolah bahwa sebaiknya mading-mading seluruh kelas disatukan tempatnya supaya kami semua bisa memperhatikan mading dari kelas-kelas lain. Aroma persaingan mading pun kian kental sehingga kami semua bersaing menjadi yang terbaik. Sebenarnya aku mengusulkan demikian karena selama ini memang mading kelasku yang paling ramai dibicarakan oleh siswa-siswi kelas lain, pun terkadang oleh guru-guru.
Sementara siswa-siswi yang lain sibuk memperbincangkan mading-mading. Kami berlima, Dayat, Anton, Hutbah, Umar, dan aku bercengkerama panjang lebar tentang topik apa saja. Biasanya saat istirahat, Dayat dan Anton yang paling banyak mengambil peran karena keduanya terkenal jago berkisah. Memang kami butuh suasana santai saat istirahat. Dayat yang memang humoris yang sangat hafal cerita-cerita Abu Nawas bercerita bergantian dengan Anton yang menguasai cerita Lamellong(Abu Nawas dari Tanah Bugis).
Menurut cerita Anton, dulu pernah ada utusan raja mencari rumah Lamellong. Raja sangat ingin bertemu dengan Lamellong yang terkenal jago bersilat lidah. Kebetulan utusan raja itu bertanya sama Lamellong sendiri, tapi Lamellong ingin mengerjai utusan raja tersebut.
“Silakan tuan-tuan mencari rumah Lamellong, yang jelasnya rumah Lamellong mempunyai tiga tangga.” Ujar Lamellong.
“Baik, kami akan mencarinya, tapi awas kau anak muda kalau kau mengerjai kami, kami akan kembali kesini untuk mematahkan lehermu.” Utusan raja mengancam.
Lamellong hanya mesem-mesem mendehem. Ia tahu bahwa biasanya memang pejabat sok menakut-nakuti. Maka berangkatlah para utusan raja tersebut menyelusuri rumah demi rumah mencari rumah yang mempunyai tiga tangga tangga. Namun meski seluruh rumah di kampung itu sudah mereka periksa satu persatu tetapi tidak ada rumah yang tiga tangganya. Umumnya rumah mempunyai dua tangga. Begitulah memang rumah panggung orang Bugis hanya mempunyai dua tangga. Tangga depan dan tangga belakang. Tangga belakang biasanya berfungsi sebagai tangga ‘darurat’. Karena orang Bugis terkenal sangat menghargai tamu, namun bila ada tamu tapi kehabisan gula atau kopi, maka tuan rumah atau anaknya menyelinap lewat pintu belakang mencari gula, tak peduli dibeli atau dipinjam. Jadi catatan khusus, bila tiba-tiba anda berkunjung ke rumah orang-orang Bugis, jangan resah kalau lama menunggu di ruang tamu, artinya tuan rumah kalang kabut menyiapkan suguhan untuk anda. Tapi ini hanya berlaku di pedalaman. Kalau di kota hati-hati, kalau tuan rumah lama tak muncul-muncul dan anda sementara di ruang tamu, hati-hatilah karena kemungkinan tuan rumah memanggil polisi karena mengira anda penipu atau perampok.
Karena tidak menemukan rumah yang tiga anak tangganya, maka pimpinan utusan raja murka. Lalu ia memerintahkan pasukannya kembali ke tempat semula mencari pemuda yang telah mengerjainya lalu memenggal kepalanya.
Akhirnya rombongan utusan raja bertemu kembali dengan Lamellong di pinggir sungai.
“Bajingan, Anda telah memperdayai kami.” Bentak seorang utusan.
“Sudahkah tuan memeriksa seluruh rumah di kampung ini?”
“Mana ada rumah di kampung ini punya tiga tangga.” Sahut yang lain.
“Ada, rumah Lamellong.”
“Bohong, jangan percaya! pancung kepalanya!” Yang lain lagi berteriak.
Lamellong terdiam. Ia membatin, susah juga berbicara pada sekelompok orang ini, semuanya berebutan menjawab. Jumlah rombongan ada tiga belas orang. Artinya ia harus menyiapkan tiga belas jawaban perdana pula. Lamellong sadar biasanya pasukan begini kalau tak mampu lagi berdebat pasti main pukul saja. Maka Lamellong tak mau berdebat dengan orang yang sesungguhnya hanyalah tukang pukul tersebut.
“Baik, kalau begitu, mari sama-sama mencari rumah Lamellong.”
Setelah tiba di rumah yang dimaksud, Lamellong berkata, “Inilah rumah Lamellong, hitunglah sendiri tangganya ada berapa, tangga depan, tangga belakang, dan satunya lagi tangga rangkiang.” Semua utusan terbelalak. Lalu.
“Kalau begitu dimana gerangan Lamellong?”
“Lamellong adalah orang yang anda anggap tadi menipu Anda.”
Semua utusan raja terbelalak persis akting Anton yang memang jago bermelodrama. Kami semua tertawa melihat kelucuan Anton bercerita. Pun siswa-siswa yang lain tertawa dengan kepiawaian Lamellong memperdaya utusan raja. Tapi siswa-siswi yang lain tidak mendengar langsung cerita itu dari Anton, karena memang apa yang Anton ceritakan sudah dimuat di mading kelas kami pada hari itu. Cuma Hutbah yang terlihat asal tertawa saja supaya tidak dicap out of the system karena memang sejak tadi perhatiannya hanya seperempat ke cerita Anton, yang lainnya tertuju pada Nia yang sejak tadi memandang ke arah kami. Aku sendiri sesekali melirik ke arah Nia, namun aku merasakan pandangan Nia seperti pandangan anah panah yang siap menghunjam ke dadaku tapi bukan panah cinta. Panah derita. Begitulah firasatku yang baru kali itu merasakan jatuh hati pada perempuan. Hati seperti tak bertuan.
Selanjutnya giliran Dayat bercerita. Tapi baru juga intermezzo, perhatian kami berbalik ke arah Nia yang memang sedang berjalan ke arah kami. Anehnya pandangan Nia ke arah kami seperti pandangan bidadari yang jengkel karena disembunyikan selendangnya oleh Jaka Tarub. Hutbah cepat menyentuh tanganku. Aku paham bahasa Hutbah. Ia mengharap kala itu aku saja yang bertindak sebagai Jaka Tarub. Aku menyambut baik sikap Hutbah karena memang aku pikir akulah yang pantas jadi Jaka Tarub. Dan aku memang sudah memulai langkah itu. Dan…
“Ambillah kembali! Aku tak sudi bungaku dihinggapi kumbang jelek.”
Nia melempar surat yang kutulis pada malam sebelumnya, tapi bukan ke arah Hutbah tapi ke arahku. Semua yang ada di depan perpustakaan kala itu mendadak menoleh ke arahku dengan pandangan bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Aku tak bisa berkata-kata apa-apa. Aku seperti mati suri kala itu. Itulah pengalaman pertamaku dipermalukan di depan umum, susah untuk digambarkan, rasa malu tingkat tinggi. Karena semua yang ada disekitarku seolah menertawaiku. Bukan hanya teman-teman atau siswa yang lain tapi juga rerumputan yang tumbuh subur di depan perpustakaan sekolah seolah ikut menertawaiku. Dan yang paling aku rasa paling sinis menertawaiku adalah gambar orang utan yang memperlihatkan gigi-giginya yang menempel di mading kelas kami. Gambar itu ditempel oleh Hutbah.
“Apa yang terjadi Beddu?” Koor Dayat dan Anton bertanya. Tadi juga mereka mendadak bengong dengan sikap Nia yang melempar surat padaku. Karena mereka tahu kalau Hutbah dan Nia selama ini akur-akur saja. Lalu kenapa pula ia melempar surat kepadaku bukan kepada Hutbah. Aku tak bisa menjawab, kerongkonganku masih tercegat oleh rasa malu. Kulihat Umar berlagak cuek saja, ia kelihatan biasa-biasa saja dengan kejadian itu. Wajar memang karena ia terbiasa ditolak oleh perempuan. Yang kelihatan agak aneh saja adalah Hutbah. Entah apa yang ada dibenak orang yang satu itu. Ataukah ia belum mampu memahami kejadian yang baru saja terjadi?
“Ada apa dengan Nia, Beddu?” Hutbah bertanya pula, berpura-pura atau memang tak tahu, aku membatin.
“Cuek saja Beddu” Umar berusaha menetralkan perasaanku.
“Tapi apa yang terjadi Beddu?” Hutbah menyelidik.
Tiba-tiba lonceng berbunyi pertanda jam istirahat selesai. Aku sedikit tertolong. Tapi hatiku tetap kosong melolong. Aku berjanji tak akan memberitahukan apa yang terjadi tadi, tapi aku yakin kejadian tadi akan diketahui oleh seluruh siswa satu sekolah esok hari. Pengalaman yang teramat tragis dan memalukan buatku.
Di ruang kelas aku tak bisa konsentrasi lagi. Untungnya pelajaran terakhir hanyalah bidang studi sejarah yang tidak begitu memerlukan penghayatan. Meski tak konsentrasi, aku tetap mengingat apa-apa yang diceritakan oleh Pak Zainuddin tentang kepahlawanan Datu Museng dan isterinya Maipa Daya Pati. Konon ketika Datu Museng terdesak dengan pasukan Belanda dan ia harus melawan sampai tetes darah penghabisan karena memang tidak ada kata mundur dan menyerah baginya Ia bermusyawarah dengan isterinya yang sangat ia sayangi Maipa Daya Pati. Maipa Daya Pati yakin bahwa tak mungkin suaminya selamat kala itu karena mereka berada dalam benteng pertahanan Belanda dan sudah terkepung oleh tentara Belanda serta orang-orang pribumi yang berkhianat, bahkan sebenarnya Gubernur Jenderal Belanda sengaja menjebak Datu Museng untuk mengambil isterinya yang sangat terkenal kecantikannya itu.
“Kakanda yang sangat kucinta dan kuhormati. Aku tak ingin menjadi tawanan dan pemuas nafsu bejat Belanda jika Kakanda terbunuh. Makanya sebelum Kakanda berperang sebaiknya bunuhlah dulu Adinda. Adinda akan bahagia kalau meninggal di tangan suami tercinta. Semoga Tuhan kelak mempertemukan kita di akhirat.”
Datu Museng melangkah memeluk dan mencium kening isterinya. Lalu secepat kilat ia menebas leher isterinya dengan keris saktinya. Lalu bagaikan singa murka, Datu Museng menyerang Belanda. Puluhan tentara Belanda meregang nyawa di ujung keris saktinya. Tapi karena pasukan Belanda terlampau banyak, akhirnya Datu Museng syahid bagi negerinya tercinta. Karena keheroikan Datu Museng dan isterinya Maipa Daya Pati, maka keduanya bisa disaksikan namanya berdampingan pada nama jalan di Kota Makassar sekarang ini. Cerita Pak Zainuddin sedikit menghiburku hingga lonceng pulang terdengar.
Esoknya tersiar kabar yang sangat menggemparkan satu sekolah dan tentu saja membuatku malu. Tersiar berita bahwa Beddu, siswa yang terkenal pintar Bahasa Inggris itu, ditolak cintanya mentah-mentah oleh Andi Masniar, siswi yang terkenal paling cantik di sekolah. Yang paling membuatku menderita batin karena kata mereka Beddu ditolak dengan dikembalikan surat cintanya, diteriaki pula kumbang jelek, aku tak bisa berkutik karena memang begitulah kejadian sesungguhnya, tak kurang dan tak lebih, jadi bukan opini tapi fakta. Soal istilah kumbang jelek, Nia menyontek dari isi surat tersebut. …Nia! Kau bagaikan bunga semerbak mewangi yang tertanam di lubuk para cowok di sekolah ini, tapi yakinlah tak kubiarkan ada kumbang hinggap menghisap madumu kecuali aku sendiri, akulah kumbang untukmu…
Jujur aku akui, memang surat itu terkirim bukan dengan nama Hutbah, tetapi dengan nama Beddu Kamase, namaku sendiri. Awalnya aku salah tulis, mungkin ketika aku menulisnya aku terlalu larut dalam perasaan yang terus mekar di hatiku, perasaan suka pada Nia sejak pandangan pertama dulu. Ketika sadar kalau salah tulis aku bersegera menghapus dan mengganti dengan nama Hutbah, tapi tiba-tiba seperti ada bisikan dari perasaanku, “Tak usah diganti dengan nama Hutbah, inilah awal untuk mengungkapkan perasaanmu kepada Nia, kau yang lebih pantas memilikinya daripada Hutbah, perasaanmu kepada Nia adalah perasaan suci dari jiwamu yang memang pantas dimiliki Nia. Perasaanmu ke Nia adalah perasaan cinta. Ya, cinta suci. Tapi ingat! Cinta itu adalah pengorbanan, dan kau harus benar-benar berkorban, korban perasaan dulu tak apa-apa.” Bisikan halus itu mengingatkan aku akan pepatah Inggris “No Gain Without Pain”. Tidak ada bahagia tanpa derita. Kala itu aku benar menderita. Derita karena rasa cinta.
Begitulah bisikan yang telah membuatku benar-benar berkorban perasaan yang luar biasa. Luar biasa malu. Dan Nia yang luar biasa tak berperasaan padaku. Sebagaimana dengan bisikan cinta, aku mencoba menghibur diri dengan kalimat menggugah “No Gain Without Pain”. Tapi tetap saja rasa malu itu mengoyak diri.

Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar