SASTRA DAN LINGKUNGAN
Oleh: Dul Abdul Rahman
(Pengarang novel bertema lingkungan “Pohon-Pohon Rindu”)
Tak bisa dipungkiri bahwa lingkungan kita saat ini masuk dalam kategori krisis. Banyaknya bencana alam yang menimpa negeri ini karena alam dijamah dengan serakah oleh manusia yang berwajah tak ramah. Jamak manusia terlalu tamak mengeruk hasil hutan untuk kepentingan pribadi. Mereka tidak sadar bahwa ulahnya itu akan menimbulkan amarah alam di kemudian hari. Banjir bandang, erosi, longsor, adalah bahasa alam untuk menegur manusia yang kadang tak berperikemanusiaan dan berperikealaman.
Dengan amarah alam itu, maka krisis lingkungan terjadi di berbagai aspek, seperti krisis air, tanah, udara, bahkan krisis iklim. Bukan hanya itu, pun terjadi krisis lingkungan biologis dan lingkungan sosial. Krisis lingkungan biologis terjadi dengan tidak produktifnya lahan-lahan pertanian, pun punahnya flora dan fauna berupa satwa-satwa langka disekitar kita seiring dengan semakin menipisnya hutan.
Itulah akibat dari eksploitasi lingkungan yang semena-mena tanpa memikirkan efek yang akan ditimbulkannya kelak. Fenomena seperti ini seharusnya menyadarkan kita akan pentingnya menjaga dan “menghormati” lingkungan sekitar kita. Semua pihak seharusnya berperan mendorong sikap menjaga lingkungan, termasuk para sastrawan.
Untuk itu, saya mencoba mengemukakan gagasan-gagasan pelestarian lingkungan, khususnya menjaga hutan dalam novel saya Pohon-Pohon Rindu(PPR). Ada beberapa hal yang perlu dikemukakan dalam novel tersebut.
Pertama
Kampanye mencintai hutan dan lingkungan sekitar seharusnya dilakukan secara dini. Kalau di perguruan tinggi kita menjumpai organisasi pencinta alam semisal KORPALA (Korps Pencinta Alam), MAPALA (Mahasiswa Pencinta Alam), atau apapun namanya. Maka sebaiknya organisasi semacam ini harus diaktifkan pada siswa-siwa SMU. Hal ini dimaksudkan agar gerakan mencintai alam dan lingkungan mengakar di daerah-daerah dimana terletak hutan-hutan yang perlu dijaga dan dilestarikan. Dalam PPR, sekolompok siswa membentuk kelompok pencinta alam yang disebut Kompita. Program utamanya adalah menjaga hutan.
“Kami peduli Hutan Lindung Balang. Setiap hari minggu, kami menyusuri Hutan Lindung Balang. Setiap ketemu warga, kami memberikan pengarahan mengenai betapa pentingnya menjaga kelestarian hutan. Kami menjelaskan bahwa hutan sangat berperan dalam menjagaa ekosistem alam. Hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia. Hutan menjaga kestabilan udara. Di samping itu, hutan mencegah terjadinya banjir bandang. Intinya merusak hutan berarti merusak kehidupan itu sendiri.” (PPR hal 89)
Kedua
Local wisdom(kearifan lokal) harus diperhatikan. Termasuk penamaan dari hutan itu sendiri menjadi “hutan lindung”. Istilah ini sebaiknya diganti menjadi “hutan adat”. Alasannya karena nama hutan lindung tidak “angker” di mata masyarakat setempat. Bahkan hutan lindung kadang dipelesetkan menjadi hutan yang tak dilindungi. Sedangkan penamaan hutan adat membuat warga tidak berani merusak hutan karena menyangkut adat-istiadat. Bahkan bila ada orang luar ingin merusak hutan maka warga setempat menjaganya karena berhubungan dengan adat istiadatnya.
“Menurut pendapatku, sebaiknya pemerintah tidak lagi memakai istilah hutan lindung, tetapi diganti saja dengan istilah hutan adat. Nama hutan adat lebih sakral daripada hutan lindung. Aku yakin, masyarakat takut membabat hutan adat karena terkait dengan hukum adat dan mitos setempat, sedangkan hutan lindung cuma penamaan saja, bahkan kadang tidak terlindungi.” (PPR hal 205)
Ketiga
Belajar pada kearifan orang Kajang di Bulukumba dalam menjaga dan memperlakukan hutannya.
“Masyarakat boleh menebang pohon di hutan, tetapi harus ada izin dan pertimbangan dari ammatoa dulu, karena hutan dan pohon terkait pasang, pertimbangan dari ammatoa mencakup jumlah, ukuran, tujuan penggunaan, serta jenis kayu yang akan diambil. Masyarakat yang menebang pohon harus menggantinya. Setiap penebangan satu pohon harus diganti dengan menanam dua pohon yang sejenis di lokasi yang ditentukan oleh ammatoa. Masyarakat yang sudah diberi izin menebang pohon diawasi oleh orang-orang kepercayaan ammatoa, tetapi ada kawasan hutan yang tak boleh ditebang sama sekali yaitu borong karamaya.” (PPR, hal 194)
Keempat
Memaknai bahwa bumi adalah ibu yang harus dicintai.
“Ibu dan ibu pertiwi adalah dua hal yang harus disayang karena dari keduanyalah sumber cinta dan kasih sayang yang suci. Agar seorang anak tumbuh dengan sehat dan cerdas, ia harus menyusu pada ibu. Dan, bila anak itu sudah dewasa dan ingin hidup bahagia dan sejahtera, maka ia harus menyusu pada ibu pertiwi. Bila ibu dan ibu pertiwi murka, maka tidak ada lagi kehidupan. Dan, yang paling harus dicamkan oleh semuanya adalah bahwa murka ibu dan murka ibu pertiwi merupakan murka Tuhan.” (PPR hal 237)
Kelima
Mengkampanyekan bahwa bumi itu adalah perempuan yang harus dijunjung tinggi. Sehingga seorang perempuan menjaga hutan karena sama dengan menjaga eksistensi dirinya sendiri. Pun kaum adam menjaga hutan karena sama dengan menjaga isteri, ibu, atau kekasihnya sendiri.
“Perempuan lebih menjiwai perannya sebagai anggota Kompita (Kelompok Pencinta Alam) karena alam identik dengan perempuan. Umar mengatakan bahwa alam memang berjenis kelamin perempuan. Buktinya, kita hanya menyebut ibu pertiwi bukan bapak pertiwi, atau ibu kota bukan bapak kota.” (PPR hal 95-96)
Keenam
Memaknai secara filosofis bahwa hutan adalah sosok kekasih yang harus dicintai dan dijaga keberadaannya.
“Aku berjanji akan menjaga dan melestarikan kawasan Hutan Lindung Balang sebagai tempat peristirahatanmu yang terakhir duhai cintaku. Aku akan menjaga seluruh hutan di Sinjai, bahkan di seluruh Indonesia dan dunia yang akan aku kunjungi kelak. Jangan lagi ada penggundulan hutan di sini. Jangan lagi ada penggundulan hutan di sana. Jangan lagi ada banjir bandang di sini. Jangan lagi ada banjir bandang di sana. Jangan lagi ada air mata yang membandang karena tertimpa banjir bandang. Maka tersenyumlah duhai pepohonan. Tersenyumlah duhai hutan. Tersenyumlah duhai kekasihku.” (PPR hal 349)
Begitulah, semoga saja poin-poin yang penulis ungkapkan di atas bisa menjadi bahan pertimbangan bagi siapa saja. Karena peran sebagai penjaga lingkungan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama sehingga kita bisa mendapatkan lingkungan yang baik sebagaimana tertera dalam UU RI No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai berikut.
1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dan pengelolaan lingkungan hidup.
Menutup tulisan ini, sebagai “penjaga lingkungan”, mari mencamkan dialog Tuhan dengan Malaikat yang tertera dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 30:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman pada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Malaikat berkata: “Mengapa Engkau akan menjadikan khalifah di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Semoga saja kita bukan khalifah yang sejak awal sudah diwanti-wanti oleh malaikat untuk membuat kerusakan di bumi ini. dulabdul@gmail.com.
sumber tulisan ini:
BalasHapus- www.aceh.tribunnews.com
- www.publiksastra.com
- www.darsastra.blogspot.com