Jumat, 11 Maret 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 6 KELOMPOK PECINTA ALAM

6. KELOMPOK PECINTA ALAM

Demi menghargai usul Umar, akhirnya kami berlima sepakat membentuk kelompok Pecinta Alam atau disingkat KOMPITA. Kami sepakat untuk memberi peran yang lebih besar kepada Umar. Kami sepakat untuk mengangkat Umar sebagai ketua Kompita. Hemat kami, Umar sebenarnya tidak begitu nakal dan akan berhenti merokok bila diberi pengertian, serta diberi peran yang membuatnya bangga. Kala itu memang aku melihat Umar sebenarnya tidak enjoy merokok, bahkan kadang-kadang ia batuk-batuk seperti orang tertular penyakit TBC. Umar hanya merokok agar ia disebut jago.
Dulu memang ada kebiasaan jelek di Bikeru, bahkan di kabupaten Sinjai pada umumnya. Anak-anak merasa hebat dan gaul bila merokok. Biasanya anak-anak yang merokok adalah anak-anak yang tidak punya sesuatu hal untuk dibanggakan. Anak-anak yang punya prestasi apalagi dapat ranking di sekolah pastilah mereka tidak mau dan malu merokok. Aku pikir, seandainya Pak Chaeruddin dulu memahami hal tersebut dengan baik, pastilah sejak dulu Umar berhenti merokok. Misalnya Pak Chaeruddin mengangkat Umar sebagai tukang kampanye anti rokok di sekolah pastilah Umar berhenti merokok. Bukankah dengan menjadi tim kampanye anti rokok Umar sudah mendapat peran yang penting dan bisa disebut sebuah prestasi yang tentu saja akan membuatnya bangga dan dikenal. Begitulah, di lingkungan tempat kami tinggal dulu, anak-anak yang nakal biasanya diberi peran menjadi anggota remaja mesjid sehingga kebiasaan nakal mereka yang negatif itu berangsur-angsur menjadi positif. Tentu saja anak-anak nakal harus diarahkan terlebih dahulu, jangan diberi peran begitu saja tanpa arahan, siapa tahu dengan peran itu mereka kian kebablasan. Umar sendiri telah memilih jalan yang benar, ia berteman dengan orang-orang baik dan pintar seperti Dayat, Anton, dan aku.
Ada yang lucu waktu pertama kali kami akan memilih ketua Kompita. Dayat yang memang bertampan seperti Pelawak Doyok mengusulkan persyaratan utama untuk menjadi ketua Kompita adalah orang yang beriman dan berakal sehat. Dayat sebenarnya bermaksud melucu tetapi menohok Umar, karena diantara kami berlima kelihatannya hanyalah kadar iman Umar yang agak imitasi. Kadangkala bila waktu sholat tiba, kami bergegas melaksanakan sholat kecuali Umar yang katanya suka meng-jama’ dan meng-qashar shalatnya, sedangkan berakal sehat katanya siswa yang tidak suka menyontek dan tidak mau dikerjakan PRnya, untuk golongan ini bukan hanya Umar tapi Hutbah juga termasuk. Selanjutnya Anton yang juga tanpa sengaja bertampan seperti Pelawak Kadir memberi usul yang tak kalah menohok dari ide Dayat, karena Anton punya usul bahwa yang bisa jadi ketua Kompita adalah siswa yang tidak berperilaku mengganggu lingkungan. Menurut Anton, perilaku merokok mengganggu lingkungan. Tapi alasan Anton masuk akal. Ketika Umar langsung protes, Anton menjawab bahwa pecinta alam tidak boleh merusak alam dengan asap rokok. Alasan Anton membuat kami terbahak-bahak. Hutbah malah sakit perut karena ketawanya disimpang diperut padahal sebelumnya ia juga disinggung oleh Dayat. Mungkin ia menjaga perasaan Umar yang memang nampak babak belur dihantam persyaratan jadi ketua Kompita karena dua persyaratan yang diajukan oleh Dayat dan Anton tak berpihak kepadanya. Tapi aku terus menyemangati Umar.
Laiknya pemilihan ketua organisasi kemasyarakatan atau partai politik, setelah mengalami proses panjang yang demokratis dan elastis karena kami lebih banyak bercandanya, akhirnya kami semua bahagia, karena Umar siap memegang amanah sebagai ketua Kompita dengan bersedia memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Dayat dan Anton. Artinya Umar akan berhenti merokok dan siap jadi orang alim. Soal menyontek, ia mengatakan akan berubah sedikit demi sedikit kecuali Matematika dan Bahasa Inggris yang memang kata Umar sendiri tak cocok dengan jenis otaknya. Jadi yang paling membahagiakan sebenarnya adalah kami berhasil menyadarkan lagi satu teman. Tapi aku tidak setuju kalau Umar merasa jenis otaknya tak cocok dengan Matematika dan Bahasa Inggris karena salah seorang kakaknya yang kuliah di Jurusan Matematika IKIP Ujung Pandang (sekarang Universitas Negeri Makassar) mendapat beasiswa penelitian ke Australia.
Kami benar-benar tak salah memilih karena rupanya Umar mempunyai banyak ide-ide yang cemerlang. Ia yang membuat program kegiatan Kompita, kami hanya memberi saran, tapi memang semua program yang ditawarkan Umar langsung berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Program utama adalah menjaga dan mengawasi kelestarian Hutan Lindung Balang di Jatie yang memang belakangan kurang mendapat perhatian dari pemerintah, terjadi penebangan liar dimana-mana. Kami khawatir kalau tidak ada yang peduli dengan Hutan Lindung Balang ini kelak akan terjadi banjir bandang di Kabupaten Sinjai.
Program utama yang sudah dibuat Umar adalah peduli Hutan Lindung Balang. Setiap hari minggu kami akan menyusuri kawasan Hutan Lindung Balang Setiap bertemu dengan warga kami akan memberikan pengarahan-pengarahan betapa pentingnya menjaga kelestarian hutan. Kami menjelaskan bahwa hutan sangat berperan penting menjaga keseimbangan ekosistem alam. Hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia, hutan menjaga kestabilan udara. Disamping itu hutan mencegah terjadinya banjir bandang. Intinya merusak hutan berarti merusak kehidupan diri sendiri.
Kami pun menjelaskan kepada warga istilah global warming. Warga yang tinggal di sekitar wilayah Balang atau Korong yang rata-rata tak punya pendidikan tak tahu menahu apa itu global warming atau pemanasan global. Kami memberi penjelasan bahwa pemanasan global berarti dunia makin panas akibat menipisnya kawasan hutan, dan hutan di Indonesia termasuk hutan yang terluas di dunia, jadi boleh dikatakan Indonesia adalah paru-paru dunia. Karena menipisnya hutan pula maka es di kutub utara akan mencair sehingga lama kelamaan bumi akan tenggelam, sehingga akan terjadi kiamat. Kala itu kami memberi penjelasan apa adanya tentang pemanasan global. Harapan kami sesungguhnya bukan pada pengetahuan masyarakat tentang global warming, efek rumah kaca, tetapi kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian alam dengan tidak menebang pohon di kawasan Hutan Lindung. Dan kami lihat hasilnya sangat memuaskan karena masyarakat di sekitar Hutan Lindung Balang mulai sadar akan pentingnya manfaat hutan. Hanya saja yang membuat kami susah memahami adalah terkadang ada petugas Hutan Lindung yang kadang tidak melindungi hutan itu sendiri. Aneh memang di negeri ini, terkadang peraturan dibuat hanya untuk dilanggar. Begitulah. Manusia sering serakah merusak alam, ketika terjadi bencana alam mereka menyalahkan Tuhan dan takdir, padahal merekalah yang merusak takdirnya sendiri. Begitulah sifat manusia. Selalu lempar batu sembunyi tangan. Tak bertanggung jawab.

Kami berlima benar-benar menjadi branding sekolah. Setelah mading kelas kami begitu terkenal dan paling disukai pembaca, selanjutnya kami punya terobosan baru dengan Kompita. Kami bukan hanya dikenal di sekolah, tapi juga di lingkungan masyarakat. Kami memang pelajar yang bukan hanya belajar di sekolah, juga belajar pada masyarakat dan belajar bermasyarakat. Hemat kami, dengan berbagai kesibukan yang positif menghindarkan kami dari hal-hal negatif, karena memang kami tak punya waktu untuk berpikiran negatif. Kami bukan anak-anak yang pasif.
Karena Kompita mempunyai banyak program, aku memberi masukan pada Umar bahwa sebaiknya merekrut anggota baru. Aku mengusulkan penambahan delapan anggota baru sehingga berjumlah tiga belas orang. Umar langsung mengamini usulku. Selalu memang begitu bahwa Umar tak pernah sekalipun menolak pendapatku. Hanya Hutbah yang menyelisik mengapa harus pakai angka tiga belas. “Angka tiga belas itu pamali, selalu sial,” begitu komentar Hutbah berulang-ulang, mungkin ia bermaksud menakut-nakuti Umar. Tapi sekali lagi Umar tak pernah ragu kalau aku yang bilang, kalau Dayat dan Anton tak ada masalah, karena keduanya “seperguruan” denganku, kami semua sudah tak percaya dengan hal-hal yang berbau magis dan mitos-mitosan. Tapi agar Umar dan Hutbah tak resah dengan angka tiga belas, aku jelaskan panjang lebar.
“Begini Hutbah, memang di berbagai budaya dibelahan dunia ini mempunyai mitos angka yang berbeda-beda. Di belahan dunia Barat, di Amerika Serikat misalnya, angka tiga belas dianggap sebagai angka sial, sampai-sampai banyak hotel yang berlantai dua puluhan tapi tidak punya lantai tiga belas.”
“Akh tidak masuk akal, masak tidak ada lantai tiga belas tapi ada lantai empat belas.” Hutbah nyeletuk tak sabar menunggu penjelasanku.
“Begitulah, bila hotel itu mempunyai dua puluh lantai, berarti, anda boleh menginap di lantai dua puluh satu, karena lantai yang semestinya lantai ke tiga belas, dinamai lantai empat belas, sehingga lantai paling atas atau lantai ke dua puluh pastilah menjadi lantai dua puluh satu.”
“Ooo…begitu.” Mulut Hutbah membentuk huruf O yang panjang. Itu berarti ia sudah tahu betul duduk perkaranya. Teman-temanku yang lain juga manggut-manggut, apalagi Umar yang memang tak kalah penasarannya dengan Hutbah, ia hanya keduluan dari Hutbah untuk bertanya. Supaya mereka lebih memahaminya, aku melanjutkan penjelasanku sambil berharap jangan ada lagi pertanyaan model interupsi.
“Amerika memang benar-benar menganggap angka 13 sebagai angka sial. Lihatlah di abad ke-18 ketika Amerika mengumumkan pembuatan kapal laut yang di sebut The HMS Friday mulai digunakan pada tanggal 13 Hari Jumat, tapi kapal itu beroleh naas dan hilang di lautan. Di tahun 1945 pada tanggal 13 Hari Jumat bom atom pertama kali diujicobakan. Ataukah di tahun 1992 tepat tanggal 13 Hari Jumat, gempa bumi mengguncang Turki dan menewaskan puluhan ribu orang. Tapi lucunya, Amerika Serikat awal mulanya terbagi menjadi tiga belas negara bagian.”
“Bagaimana dengan angka-angka lainnya?” Kala itu Umar yang tak sabar menunggu penjelasanku selanjutnya.
“Di Negara-negara Asia Timur atau dikenal dengan negara ras kuning seperti Jepang, Korea, dan Cina menganggap angka 4 sebagai angka sial. Sehingga banyak hotel di Negara-negara tersebut tidak mempunyai lantai 4, konon katanya angka 4 adalah angka kematian.”
“Kalau begitu angka-angka berapa saja yang mereka anggap beruntung?” Anton rupanya lebih tertarik mengetahui kabar yang baik.
“Orang Cina biasanya menganggap angka 8 sebagai angka keberuntungan. Sedangakan Negara-negara Barat lebih percaya pada angka 7 sebagai angka hoki.”
“Angka 7 sebenarnya jamak dianggap angka keberuntungan.” Kala itu Dayat yang memang saingan utamaku berdiskusi di kelas tak sabaran. Tapi sebagaimana di kelas, aku selalu sedia mendengar pendapat dari Dayat yang memang selalu akurat.
“Bagi orang Islam, angka 7 itu angka keberuntungan. Orang yang berhaji di Tanah Suci Makkah bertawaf di Ka’bah sebanyak 7 kali, langit terdiri dari 7 lapis, satu minggu terdiri dari 7 hari, Surat Al Fatihah sebagai Ummul Qur’an terdiri dari 7 ayat. Bagi orang Bugis Makassar, ada istilah situju-tuju yang berasal dari kata tujuh yang berarti berkecukupan.” Dayat memberi penjelasan.
“Angka 7 buat saya adalah angka kesadaran.” Hutbah ikut nimbrung.
“Maksudmu Hutbah?” Umar penasaran.
“Lihat di stricker ranselku sekarang tertulis ber-217-an.” Diam-diam rupanya Hutbah mengganti sticker lagi.
“Apa maksudnya Hutbah?” Umar kian penasaran.
“Ber-217-an dibaca ber-dua satu tuju-an, artinya sekarang saya bukan tipe playboy lagi, hanya aku dan dia berdua untuk satu tujuan, yaitu menikah kelak.”
Kami terbahak-bahak menutup diskusi kami. Akhirnya satu lagi teman yang sadar akan sifat buruknya. Semoga saja Hutbah benar-benar tak playboy cap kabel lagi, cintanya sambung menyambung dari kelas yang satu ke kelas yang lain.
Begitulah. Ternyata usulku bahwa sebaiknya jumlah anggota Kompita berjumlah tiga belas orang memberi banyak informasi baru buat teman-temanku. Selanjutnya yang kami bicarakan bagaimana cara perekrutan anggota baru, pun apakah perempuan bisa menjadi anggota Kompita. Hutbah yang kami cap juga sebagai playboy “cap surat” karena memang beraninya cuma di surat punya usul yang agak beda dengan cap yang disandangnya, tapi diskusi kami sebelumnya Hutbah memang mengaku sudah berpaham ber-217-an. Hutbah tidak setuju kalau perempuan masuk anggota Kompita. Katanya perempuan mempunyai fisik yang lemah padahal program Kompita berada di alam terbuka yang menantang. Sebaliknya Umar setuju kalau perempuan masuk anggota Kompita, alasan Umar agak filosofis tapi cukup logis Katanya perempuan lebih menjiwai perannya sebagai anggota Kompita karena alam semesta identik dengan perempuan. Umar mengatakan bahwa alam memang berkelamin perempuan buktinya kita hanya menyebut ibu pertiwi bukan bapak pertiwi, ataukah ibu kota bukan bapak kota. Dayat dan Anton netral, artinya perempuan boleh menjadi anggota Kompita boleh juga tidak. Sekali lagi aku yang menentukan, pendapat lagi seri dan aku sebagai suara kelima. Begitulah, angka ganjil sangat cocok untuk berdemokrasi. Meski berdemokrasi juga kita sering berjudi. Berjudi dengan pilihan masing-masing.
Karena alasan Umar yang aku anggap lebih mengena dan bijaksana, apalagi pendapat Hutbah yang relatif dan berbias gender, aku lebih setuju dengan pendapat Umar. Jangan salah! Perempuan kampung tidak manja seperti umumnya perempuan di kota. Begitu pikirku. Karena memang perempuan kampung bisa mengerjakan pekerjaan yang sebenarnya diperuntukkan untuk kaum adam, seperti memetik cengkeh yang tingginya di atas sepuluh meter, memanjat kelapa, mencangkul, berhuma, dan sebagainya. Intinya, perempuan kampung tidak cengeng dan manja. Perempuan kampung adalah perempuan pekerja dan bersahaja.
Selanjutnya Umar membuat pengumuman lewat mading kami. Kompita akan menerima anggota baru dengan bermacam-macam persyaratan. Persyaratan utamanya adalah calon anggota Kompita harus orang yang beriman, tidak boleh merokok, mencintai alam, jenis kelaminnya harus jelas, harus membuang pikiran-pikiran kotor dan selalu berpikir positif. Ketika Hutbah bertanya mengapa ada persyaratan jenis kelamin harus jelas, Umar menjelaskan bahwa tidak boleh ada waria atau calabai yang bergabung di Kompita, alasannya bila ada camping dan terpaksa menginap di alam terbuka maka calabai susah mengaturnya, apakah menginap di tenda laki-laki atau perempuan. Umar juga menambahkan bahwa calabai sering membawa sial. Pun calabai adalah orang gagal. Gagal menentukan jenis kelamin.
Pemilihan anggota Kompita sepenuhnya kami serahkan kepada Umar dan Hutbah. Biar keduanya merasa diberi tanggung jawab yang lebih. Setelah melalui proses yang ketat karena memang pendaftarnya berkisar empat puluhan, terpilihlah delapan anggota baru, empat laki-laki dan empat perempuan. Yang membuat aku sangat kaget karena Nia termasuk salah seorang yang terpilih dari empat perempuan. Ketika kutanyakan pada Umar, ia menjelaskan bahwa Nia sudah berpengalaman dan berbakat jadi pecinta alam. Masih menurut wawancara Umar, Nia yang alumni SMP Pesantren IMMIM Putri Pangkep senang berliburan ke alam terbuka bersama keluarganya. Satu lagi informasi kudapat tentang Nia, ternyata ia bukan berasal dari salah satu SMP di Kabupaten Sinjai. Berarti Hutbah dulu juga tak mengenal Nia secara mendalam. Persisnya Hutbah cuma sok tahu tentang Nia. Ketika aku konfirmasi pada Hutbah mengapa Nia diterima jadi anggota Kompita, Hutbah mencandaku, temanku yang satu itu yang memang akan masuk surga kelak karena tak pernah dendam dan benci pada orang lain menjawab seadanya, “Sepertinya Nia itu masuk jadi anggota Kompita karena ada kamu Beddu.” Aku tak perduli dengan candaan Hutbah. Karena buatku, Nia adalah sejarahku. Nia adalah perempuan pertama yang menolak cintaku karena memang ia adalah cinta pertamaku. Cinta pertama yang tragis. Penolakan pertama yang membuat hatiku teriris. Begitulah yang kutulis dalam buku harianku. Buku harian yang kelak sangat bermanfaat untuk menulis autobiografiku.
“Benar Beddu. Nia memang masuk jadi anggota Kompita karena ingin selalu dekat dengan kamu.” Hutbah terus berceloteh. Aku diam saja. Karena aku tahu temanku yang satu ini terkadang cara menggodanya keterlaluan. Tapi aku juga senang, karena sepertinya Hutbah sangat ingin melihatku berbahagia bersama Nia. Hutbah juga sepertinya mempunyai bakat jadi psikolog, karena ia tahu bahwa Nia sudah jatuh cinta padaku sejak Nia tahu bahwa aku bukanlah kumbang jelek.
“Benar Beddu, Nia itu sudah jatuh cinta padamu, dan aku yakin kau juga selalu mendambakannya.” Hutbah meyakinkan aku. Tapi aku kian cuek, karena aku juga sudah tahu bahwa Nia tertikam sendiri dengan ulahnya dulu menghinaku. “Makanya jangan main-main dengan Beddu Kamase, bintang sekolah SMU Bikeru.” Aku menghibur diri sendiri.
Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar