Teropong Karaeng Pattingalloang, “Matturatema ri
Bulang dan Quo Vadis Mahasiswa Makassar”
Oleh: Dul Abdul
Rahman
(sastrawan dan
peneliti budaya)
Kerajaan
Gowa mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-15, I
Mannuntungi Daeng Mattola atau lebih dikenal dengan Sultan Malikussaid. Saat
itu, pelabuhan Makassar merupakan salah satu kota termasyhur di dunia. Di depan
istana Somba Opu, ibukota kerajaan Gowa yang berada di pesisir sungai
Jeneberang, juga tak kalah ramainya. Dermaga internasional Makassar banyak
disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia, seperti
Spanyol, Portugis, Inggris, atau Belanda. Tak ketinggalan kapal-kapal dagang
dari negara-negara Arab, Afrika, atau juga Asia khususnya kapal-kapal dagang
dari negeri Tiongkok dan Campa.
Orang
yang paling berjasa dalam menggapai kejayaan kerajaan Gowa, selain raja Gowa
sendiri, adalah seorang Mangkubumi kerajaan Gowa bernama Karaeng Pattingalloang
alias I Mangadacinna Daeng Sitaba. Ia menjabat sebagai mangkubumi (perdana
menteri, juru bicara, sekaligus panglima perang). Ia pun menjabat mangkubumi
sejak era pemerintahan Sultan Alauddin, Sultan Malikussaid, dan Sultan
Hasanuddin.
Karaeng
Pattingalloang adalah seorang intelektual sejati. Ia menguasai beberapa bahasa
asing, seperti bahasa Inggeris, Latin, Spanyol, Portugis, Belanda, Perancis,
Cina, dan tentu saja bahasa Arab. Dengan penguasaan beberapa bahasa itulah,
Karaeng Pattingalloang begitu gampang bekerjasama dan berdiplomasi dengan dunia
internasional.
Karaeng
Pattingalloang juga adalah seseorang yang sangat haus dengan ilmu pengetahuan.
Menurut catatan pastor Alexander de Rhodes yang sering berkunjung ke ruang
kerjanya, ruang kerja Karaeng Pattingalloang lebih menyerupai sebuah
perpustakaan daripada sebuah ruang kerja seorang perdana menteri, apalagi
seorang panglima perang. “Masakan seorang panglima perang tidak mempunyai alat
perang atau minimal replika alat perang dalam ruang kerjanya,” begitulah batin
de Rhodes.
Buku-buku
dari beragam bahasa terpampang di ruang perpustakaan (ruang kerja) Karaeng
Pattingalloang. Dari buku-buku Al-Ghazali yang berbahasa Arab hingga buku-buku
Louis de Granada yang berbahasa Spanyol. Dari buku-buku agama, sastra dan
filsafat hingga buku-buku sains.
Bahkan
Karaeng Pattingalloang sangat tergila-gila dengan ilmu sains khususnya
matematika dan fisika. Demi menunjang minatnya yang kuat terhadap ilmu sains,
ia pun memesan langsung atlas bumi dan teropong bintang dari negeri Belanda.
Saat itu, kedua barang tersebut sangat langka dan mahal, bahkan tergolong
barang rahasia negara. Andaikan bukan karena Karaeng Pattingalloang, maka tidak
mungkin kedua barang langka tersebut dikirim ke Somba Opu. Saingan Belanda kala
itu.
Saban
malam, bila berada di benteng Somba Opu, Karaeng Pattingalloang pun selalu
menggunakan teropong. Ia membayangkan suatu saat ada ilmuwan Tana Mangkasara
yang bisa mencapai bulan. Mungkin saja, sambil meneropong bulan dan
bintang-bintang, Karaeng Pattingalloang memekik, “Matturatema ri bulang.” (Saya
sudah sampai di bulan)
…
Siang
yang sangat terik. Macet di jalan Sultan Alauddin sungguh mencekik. Mahasiswa
yang berkampus di jalan poros Gowa-Makassar menutup jalan dengan kasar. Saya,
yang kebetulan melewati jalan itu selepas memberikan materi penulisan di kampus
Universitas (sultan) Hasanuddin, terperangkap dalam kemacetan panjang. Saya
memekik kepanasan, roda dua yang saya kendarai tak ber-AC. Saya yang memang
kurang sehat kala itu tak bisa bertahan, saya hampir pingsan. Saya pun
menepikan kendaraan dan mampir di sebuah masjid.
Saya
tertidur sejenak di dalam masjid. Dalam tidur saya bermimpi melihat Karaeng
Pattingalloang sedang asyik membaca buku di perpustakaan pribadinya, sesekali
ia memperhatikan atlas bumi yang berada di depannya. Keningnya mengerut,
mungkin ia berpikir mengapa yang tercatat dalam sejarah penemu Amerika adalah
Christopher Columbus, mengapa bukan orang-orang Celebes. Bukankah perahu-perahu
Pinisi dari Celebes sudah bisa mencapai Madagaskar atau Venecia, bahkan
terdampar di Pulau Acapulco jauh sebelum Columbus juga terdampar di pantai itu
lalu mengklaim diri sebagai penemu?
Karaeng
Pattingalloang berdiri sejenak. Ia memandangi buku-buku di perpustakaannya.. Sambil
tersenyum, Karaeng Pattingalloang berharap dalam hati, “Kelak anak-cucuku harus
banyak membaca dan meneliti, tana Mangkasara harus menjadi lokomotif ilmu
pengetahuan.”
Terlihat
Karaeng Pattingalloang memasang telinganya. Ia menuju jendela perpustakaannya.
Lalu ia mengambil teropongnya. Nampak nyata tana Mangkasara di pelupuk matanya.
Buku-buku di perpustakaan kampus tetap baru tapi berdebu karena jarang
tersentuh. “Dimana mahasiswa?” Batinnya sambil mengarahkan dan menge-zoom
teropongnya ke arah jalan Sultan Alauddin. Mahasiswa membakar dan
berteriak-teriak histeris sambil menutup jalan. Karaeng Pattingalloang pun
memekik, “Quo Vadis mahasiswa Makassar?”
sumber: www.darsastra.blogspot.com
wouw karaeng pattingallong, kutu buku
BalasHapus