Sabtu, 02 November 2013

Sang Pembohong yang Jujur


Sang Pembohong yang Jujur

Oleh: Dul Abdul Rahman
(sastrawan dan peneliti budaya)

Seorang pakar kebohongan (bukan pakar pembohong) berkebangsaan Amerika Serikat bernama Duke Christoffersen pernah melakukan penelitian apakah orang-orang Amerika berlaku jujur atau berperilaku bohong. Pertanyaan Christoffersen hanya satu, “Apakah Anda tidak pernah berbohong?” Hasilnya, hanya 5 persen saja orang Amerika yang diwawancari oleh Christoffersen mengaku tidak pernah berbohong. Berarti 95 persen orang Amerika adalah pembohong. 

Christoffersen membuat simpulan, 95 persen orang Amerika adalah orang-orang jujur, selebihnya 5 persen adalah pembohong besar. Ketika Christoffersen digugat oleh 5 persen responden yang mengaku tidak pernah berbohong tetapi dikatakan sebagai pembohong besar, maka Christoffersen pun memberi alasan yang sangat mengejutkan, “Jika Anda mengaku tidak pernah berbohong, maka Anda telah melakukan kebohongan terbesar dalam hidup Anda.”

Begitulah, Christoffersen dalam bukunya The Shameless Liar’s Guide mengurai sekilas sejarah Amerika yang penuh dengan kebohongan. Tentu saja sejarawan Amerika bersikap jujur dalam menjelaskan kebohongan-kebohongan tersebut. Salah satunya yang terjadi pada tahun 1999, ketika Presiden Amerika Serikat kala itu Bill Clinton beberapa kali muncul di teve membuat pernyataan, “Saya tidak mempunyai hubungan seksual dengan wanita lain, kecuali dengan isteri saya sendiri (Hillary Rodam Clinton).” Tetapi akhirnya laku Clinton ketahuan juga, ia pun mengakui perbuatannya lalu menuliskannya dalam sebuah buku. 

Otobiografi perselingkuhan Clinton dengan mantan sekretaris pribadinya bernama Monica Lewinsky pun menjadi buku best-seller. Salah satu alasan buku tersebut diburu oleh publik Amerika, karena Clinton jujur menceritakan kisah perselingkuhannya. Clinton pun mengakui pendapat Friedrich Nietzsche, “Mulut boleh bohong, tetapi meskipun demikian wajah kita menyiratkan kebenaran.”
...
Alasan utama manusia berbohong adalah untuk bertahan, mempertahankan harga diri. Dan yang paling mahal tentunya adalah mempertahankan ‘harga’ jabatan. Bukankah sering seseorang menjual harga dirinya untuk membeli ‘harga’ jabatan? Dan ketika kebohongan seseorang terbongkar maka jabatan pun akan hangus terbakar.

Kebohongan memang adalah senjata untuk bertahan. Tetapi orang tidak sadar bahwa setiap kali senjata kebohongan ditembakkan maka senjata tersebut akan mengalami kemiringan beberapa derajat. Karena ketika senjata kebohongan ditembakkan maka saat itu juga peluru-peluru kebenaran akan bergetar dalam sanubari sang pembohong. Ketika kemiringan senjata kebohongan sudah mencapai angka 90 derajat, maka bila seseorang tidak berhati-hati atau bertobat, dan terus menembakkan senjata kebohongan, maka peluru-peluru kebenaran akan semakin bergetar menuju angka 180 derajat. Saat itu juga senjata kebohongan akan menembak diri sendiri.

Berbeda dengan kebohongan, sesungguhnya kejujuran juga adalah alat untuk bertahan. Tetapi kejujuran bukanlah sebuah senjata, ia adalah sebuah tameng. Semakin tameng kejujuran terus terpasang maka tameng itu semakin menebal. Ketika tameng pertahanan diri semakin menebal maka hati pun akan menjadi tenteram. Harga diri, apalagi ‘harga jabatan’ pun akan bertahan.

Maka sebelum senjata kebohongan mencapai kemiringan maksimal 180 derajat dan menembaki dirinya sendiri, maka Clinton pun berusaha bertahan. Ia membuang senjata kebohongan dan mencoba memasang tameng kejujuran. Ia pun selamat. Bahkan isterinya Hillary, yang awalnya sangat sakit hati atas ulah sang suami, akhirnya bisa memaafkan suaminya yang dengan gentlemen memasang tameng kejujuran.

Bagaimana dengan Muhammad Nazaruddin? Apakah aktor fenomenal dalam sandiwara korupsi di Indonesia itu aman dari senjata kebohongan seperti halnya Clinton? 

Meski tema dan tingkat kedalaman kebohongan berbeda, tetapi rupanya Nazaruddin juga paham bahwa alat untuk bertahan bukan hanya dengan senjata kebohongan, tetapi ada yang lebih terhormat, tameng kejujuran. Maka, di saat-saat senjata kebohongan sudah hampir mencapai kemiringan 180 derajat, Nazaruddin pun cepat memasang tameng kejujuran. Ia membongkar dengan jujur segala senjata-senjata kebohongan yang ia telah tembakkan secara berjamaah bersama rekan-rekannya (berubah menjadi musuh-musuhnya).

Selamatkah Nazaruddin? Sang Alim dari kepercayaan dan agama apa pun akan sepakat dengan sebuah pernyataan, “Manusia akan selamat dengan memasang tameng kejujuran.” 

Saya kira Nazaruddin juga percaya dengan kalimat tersebut, sangat percaya malah. Hanya saja, tameng kejujuran yang dipasang oleh Nazaruddin adalah tameng yang terlalu tipis untuk menahan beribu-ribu senjata kebohongan yang terlanjur membidik dirinya sendiri. Bukan hanya itu, senjata kebohongan Nazaruddin juga siap menembak teman-teman aktornya dalam sandiwara korupsi di Indonesia.

sumber: www.darsastra.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar