Sang Pembohong yang Jujur
Oleh: Dul Abdul
Rahman
(sastrawan dan
peneliti budaya)
Seorang
pakar kebohongan (bukan pakar pembohong) berkebangsaan Amerika Serikat bernama
Duke Christoffersen pernah melakukan penelitian apakah orang-orang Amerika
berlaku jujur atau berperilaku bohong. Pertanyaan Christoffersen hanya satu,
“Apakah Anda tidak pernah berbohong?” Hasilnya, hanya 5 persen saja orang
Amerika yang diwawancari oleh Christoffersen mengaku tidak pernah berbohong.
Berarti 95 persen orang Amerika adalah pembohong.
Christoffersen
membuat simpulan, 95 persen orang Amerika adalah orang-orang jujur, selebihnya
5 persen adalah pembohong besar. Ketika Christoffersen digugat oleh 5 persen
responden yang mengaku tidak pernah berbohong tetapi dikatakan sebagai
pembohong besar, maka Christoffersen pun memberi alasan yang sangat
mengejutkan, “Jika Anda mengaku tidak pernah berbohong, maka Anda telah
melakukan kebohongan terbesar dalam hidup Anda.”
Begitulah,
Christoffersen dalam bukunya The Shameless Liar’s Guide mengurai sekilas
sejarah Amerika yang penuh dengan kebohongan. Tentu saja sejarawan Amerika bersikap
jujur dalam menjelaskan kebohongan-kebohongan tersebut. Salah satunya yang
terjadi pada tahun 1999, ketika Presiden Amerika Serikat kala itu Bill Clinton
beberapa kali muncul di teve membuat pernyataan, “Saya tidak mempunyai hubungan
seksual dengan wanita lain, kecuali dengan isteri saya sendiri (Hillary Rodam
Clinton).” Tetapi akhirnya laku Clinton ketahuan juga, ia pun mengakui
perbuatannya lalu menuliskannya dalam sebuah buku.
Otobiografi
perselingkuhan Clinton dengan mantan sekretaris pribadinya bernama Monica
Lewinsky pun menjadi buku best-seller. Salah satu alasan buku tersebut diburu oleh
publik Amerika, karena Clinton jujur menceritakan kisah perselingkuhannya.
Clinton pun mengakui pendapat Friedrich Nietzsche, “Mulut boleh bohong, tetapi
meskipun demikian wajah kita menyiratkan kebenaran.”
...
Alasan
utama manusia berbohong adalah untuk bertahan, mempertahankan harga diri. Dan
yang paling mahal tentunya adalah mempertahankan ‘harga’ jabatan. Bukankah
sering seseorang menjual harga dirinya untuk membeli ‘harga’ jabatan? Dan
ketika kebohongan seseorang terbongkar maka jabatan pun akan hangus terbakar.
Kebohongan
memang adalah senjata untuk bertahan. Tetapi orang tidak sadar bahwa setiap
kali senjata kebohongan ditembakkan maka senjata tersebut akan mengalami kemiringan
beberapa derajat. Karena ketika senjata kebohongan ditembakkan maka saat itu
juga peluru-peluru kebenaran akan bergetar dalam sanubari sang pembohong. Ketika
kemiringan senjata kebohongan sudah mencapai angka 90 derajat, maka bila
seseorang tidak berhati-hati atau bertobat, dan terus menembakkan senjata
kebohongan, maka peluru-peluru kebenaran akan semakin bergetar menuju angka 180
derajat. Saat itu juga senjata kebohongan akan menembak diri sendiri.
Berbeda
dengan kebohongan, sesungguhnya kejujuran juga adalah alat untuk bertahan. Tetapi
kejujuran bukanlah sebuah senjata, ia adalah sebuah tameng. Semakin tameng kejujuran
terus terpasang maka tameng itu semakin menebal. Ketika tameng pertahanan diri
semakin menebal maka hati pun akan menjadi tenteram. Harga diri, apalagi ‘harga
jabatan’ pun akan bertahan.
Maka
sebelum senjata kebohongan mencapai kemiringan maksimal 180 derajat dan
menembaki dirinya sendiri, maka Clinton pun berusaha bertahan. Ia membuang
senjata kebohongan dan mencoba memasang tameng kejujuran. Ia pun selamat.
Bahkan isterinya Hillary, yang awalnya sangat sakit hati atas ulah sang suami,
akhirnya bisa memaafkan suaminya yang dengan gentlemen memasang tameng
kejujuran.
Bagaimana
dengan Muhammad Nazaruddin? Apakah aktor fenomenal dalam sandiwara korupsi di
Indonesia itu aman dari senjata kebohongan seperti halnya Clinton?
Meski
tema dan tingkat kedalaman kebohongan berbeda, tetapi rupanya Nazaruddin juga
paham bahwa alat untuk bertahan bukan hanya dengan senjata kebohongan, tetapi
ada yang lebih terhormat, tameng kejujuran. Maka, di saat-saat senjata
kebohongan sudah hampir mencapai kemiringan 180 derajat, Nazaruddin pun cepat
memasang tameng kejujuran. Ia membongkar dengan jujur segala senjata-senjata
kebohongan yang ia telah tembakkan secara berjamaah bersama rekan-rekannya
(berubah menjadi musuh-musuhnya).
Selamatkah
Nazaruddin? Sang Alim dari kepercayaan dan agama apa pun akan sepakat dengan
sebuah pernyataan, “Manusia akan selamat dengan memasang tameng kejujuran.”
Saya
kira Nazaruddin juga percaya dengan kalimat tersebut, sangat percaya malah.
Hanya saja, tameng kejujuran yang dipasang oleh Nazaruddin adalah tameng yang
terlalu tipis untuk menahan beribu-ribu senjata kebohongan yang terlanjur
membidik dirinya sendiri. Bukan hanya itu, senjata kebohongan Nazaruddin juga
siap menembak teman-teman aktornya dalam sandiwara korupsi di Indonesia.
sumber: www.darsastra.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar