Tangga La Mellong, Nasihat untuk Pemimpin Kita
Oleh: Dul Abdul
Rahman
(sastrawan dan
peneliti budaya)
Sekitar abad XVII, Raja Bone
mendengar kabar tentang seorang pemuda yang berani dan cerdas. Pemuda yang
bernama La Mellong tersebut berasal dari Kampung Laliddong, kampung kecil yang
masih berada dalam wilayah kekuasan Kerajaan Bone.
Raja
Bone pun memanggil pemuda tersebut untuk dijadikan sebagai kajao (penasehat
kerajaan). Tetapi sebelumnya, sang raja ingin mengetes kecerdasan pemuda
tersebut. Maka, sang raja pun memerintahkan La Mellong untuk mengumpulkan 70
orang buta dalam waktu yang singkat. Sang raja juga meminta La Mellong untuk
membawa benda pusaka miliknya. Setelah berpikir sejenak, La Mellong pun
mengiyakan kedua permintaan sang raja.
La
Mellong segera kembali ke rumahnya di kampung Laliddong. Ia mengambil tangga
rangkiang tua miliknya. Lalu ia menyeret tangga itu menuju istana kerajaan Bone.
Di tengah jalan, orang-orang pun bertanya, “Apa yang engkau bawa La Mellong?”
Setiap
ada orang yang bertanya, maka La Mellong pun meminta orang itu ikut bersamanya
menuju istana. Setiba di depan istana, sudah ada 69 orang yang mengikuti La Mellong.
“Hei!
Apa yang engkau bawa itu, La Mellong?” Tanya seorang pengawal istana ketika La
Mellong menyeret tangga rangkiang tuanya melewati gerbang istana.
“Pammasena
Dewatae (Syukur Alhamdulillah), saya sudah menemukan 70 orang buta,” ujar
La Mellong dalam hati sambil bergegas menemui sang raja.
“Tabek
Puang, saya sudah membawakan 70 orang buta dan juga benda pusaka milikku,” ujar
La Mellong.
“Ha?
Orang buta? Tangga rangkiang? Engkau jangan main-main La Mellong!” ujar sang
raja dengan suara meninggi.
“Ampun
Puang!” La Mellong menyembah, “Sungguh saya tidak bermaksud bermain-main
apalagi mau mengelabui Puang, tapi ketahuilah bahwa 70 orang yang datang bersamaku
ini adalah orang-orang buta. Buktinya, ketika saya berjalan sambil menyeret
tangga rangkiang dari kampungku menuju istana ini, mereka bertanya padaku
tentang apa yang saya bawa, andaikan mereka melihat bahwa yang saya bawa adalah
tangga rangkiang maka tentu mereka tidak akan bertanya. Begitulah Puang, banyak
diantara kita yang matanya melihat tetapi mata hatinya tidak melihat.”
Seketika
sang raja menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum, “Engkau benar La Mellong.”
Lalu sang raja menatap lekat-lekat tangga rangkiang tua milik La Mellong.
“Tapi
mengapa engkau membawa tangga rangkiang tuamu yang sudah mulai lapuk?”
La
Mellong cepat mengangkat tangga rangkiang tua miliknya yang terbuat dari bambu,
“Tabek Puang, inilah benda pusaka milikku.”
“Hah?
Benda pusaka? Lalu apa keistimewaan tangga rangkiangmu itu?” Cecar raja.
“Tabek
Puang, tangga ini mempunyai tiga keistimewaan. Pertama, bila saya
menemukan dua orang yang berselisih maka saya akan memberikan tangga ini kepada
keduanya agar mereka bisa bertemu dan saling mengenal, sebab penyebab utama dua
orang bertengkar atau berselisih paham karena mereka tidak saling mengenal. Kedua,
bila saya bertemu dengan orang yang lapar di tengah hutan sedangkan mereka
tidak bisa memanjat pohon, maka saya cukuplah memberi tangga ini agar orang
lapar itu bisa memetik sendiri buah-buahan yang ranum di pepohonan, kalau saya
memberikan mereka buah maka mereka akan kelaparan lagi bila buah pemberian
tersebut sudah habis. Ketiga, ketika saya berjumpa dengan seorang
pejabat kerajaan, maka saya akan memberikan tangga ini, agar mereka
berhati-hati naik tangga atau pun turun tangga, sebab bila seseorang terlalu
serakah melompat maka bisa saja ia akan terpeleset dan terjatuh,” jelas La
Mellong.
“Engkau
benar-benar cerdas La Mellong, mulai sekarang engkau akan kuangkat menjadi
penasehat utama kerajaan,” tegas sang raja.
La
Mellong pun resmi menjadi seorang penasehat kerajaan. Ia diberi gelar Kajao
Laliddong.
…
Makassar,
kota yang acapkali dicap kasar, karena penduduknya berkelahi melulu di layar
teve -teve juga mungkin kurang ajar
karena hanya mengejar pasar- padahal masih banyak sudut kota Makassar yang
damai tapi tak diberitakan. Makassar butuh tangga La Mellong agar warga yang
selalu bertikai tidak lagi saling melempar, tetapi saling mengunjungi dan
berdamai dengan hati sabar dan jiwa yang besar.
Tak
hanya sebatas kota Makassar, tetapi Indonesia saat ini sangat butuh tangga La
Mellong. Para pemimpin perlu memiliki tangga La Mellong, agar mereka selalu
berhati-hati dalam memanjat, baik memanjat pangkat maupun memanjat harta.
Karena bisa saja kalau mereka memanjat harta dengan melompat terlalu tinggi,
lalu mengambil yang bukan haknya, maka mereka akan terjatuh dalam penjara KPK. Maka,
sebelum mereka terkena kutukan adagium ‘sudah terjatuh tertimpa tangga pula’
maka sebaiknya mereka meminjam tangga La Mellong.
Sumber: KORAN TEMPO MAKASSAR, Kamis 22 Agustus 2013
www.darsastra.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar