Lelaki Bugis, Taro Ada Taro Gau
Oleh: Dul Abdul
Rahman
(sastrawan dan
peneliti budaya)
Sekitar abad XVI, persekutuan
Kerajaan Tellulimpoe (Lamatti, Bulo-Bulo, dan Tondong) melakukan perjanjian
dengan Raja Gowa X Karaeng Tunipallangga
alias I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung. Ketiga kerajaan yang
menjadi cikal-bakal Kabupaten Sinjai itu bersama persekutuan Pitulimpoe, diwakili
oleh Arung Lamatti bernama Arung Pali’e. Perjanjian tersebut berlangsung di
Aruhu di bawah pohon beringin. Perjanjian itu berisi kesepakatan antara
Kerajaan Gowa dan persekutuan Kerajaan Tellulimpoe untuk saling membantu dan
saling mengingatkan dalam hal kebaikan. Barang siapa yang mengingkari isi
perjanjian tersebut, maka ia akan ditimpa oleh pohon beringin yang sudah
ditanam bersama di Aruhu. Isi perjanjian lainnya, Gowa dan Tellulimpoe adalah
bersaudara. Gowa dan Tellulimpoe harus bersatu padu, bila Gowa meninggal di
pagi hari, maka Tellulimpoe menyusul di sore hari. Gowa dan Tellulimpoe akan Mate
Siwalung (mati bersama).
Belum cukup setahun peristiwa perjanjian
Aruhu tersebut, datanglah utusan Raja Gowa ke Tellulimpoe. Raja Gowa Karaeng
Tunipallangga meminta bantuan dari persekutuan Tellulimpoe untung menyerang
Kerajaan Bone. Tentu saja para arung di Tellulimpoe sangat terkejut dengan
permintaan Raja Gowa, sebab bagi Tellulimpoe, menyerang Bone sama dengan
menyerang dan mengkhianati saudara sendiri.
Maka berkumpullah para arung dan
bangsawan ketiga kerajaan persekutuan Tellulimpoe. Pertemuan berlangsung
hening, para bangsawan hanya terdiam, umumnya mereka menyesalkan Raja Gowa yang
ingin menyerang Bone, tetapi ada juga yang bisa memahami langkah Raja Gowa,
sebab Bone merupakan pesaing utama Gowa, apalagi saat itu Bone sudah menjalin
kerjasama erat dengan Soppeng dan Wajo atas prakarsa utama penasehat Kerajaan
Bone, La Mellong Kajao Laliddong.
Di tengah keheningan tersebut, Arung
Pali’e yang menjadi wakil persekutuan Tellulimpoe ketika mengadakan perjanjian
dengan Karaeng Tunipallangga, berdiri sambil memandang semua yang hadir.
“Kita tidak mungkin ikut menyerang
Bone yang merupakan saudara kita sendiri,” Arung Pali’e menggeleng-gelengkan
kepalanya, lalu melanjutkan kalimatnya, “tetapi kita tidak bisa juga menolak
permintaan Raja Gowa karena kita sudah mengikat perjanjian dengan mereka.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan,
Puang?” Tanya La Patolai yang kelak akan menggantikan Arung Pali’e bertahta di
Lamatti.
“Saya tidak rela pasukan Tellulimpoe
ikut menyerang Bone, tetapi karena Tellulimpoe terlanjur sudah mengikat
perjanjian dengan Gowa maka saya tetap akan mengutus seorang panglima
Tellulimpoe untuk bergabung dengan pasukan Gowa. Karena sayalah yang bertanggung
jawab langsung atas segala perjanjian dengan Gowa di Aruhu, maka saya
sendirilah satu-satunya utusan Tellulimpoe. Dan, kelak bila saya gugur dalam
perang, maka janganlah kalian menganggap saya gugur karena berperang melawan
saudara sendiri, tetapi anggaplah saya gugur dalam menegakkan harga diri orang
Tellulimpoe, harga diri kita adalah taro ada taro gau (satunya kata
dengan perbuatan).
Maka bergabunglah Arung Pali’e
seorang diri dari Tellulimpoe dengan pasukan Gowa untuk menyerang Bone. Dalam peperangan
antara Gowa dan Bone yang terkenal dengan nama perang Tobala tersebut, Arung
Pali’e pun tewas terbunuh. Orang Tellulimpoe pun menggelari Arung Pali’e
sebagai arung tolempu na magetteng (orang jujur dan teguh pendirian)
…
Arung Pali’e adalah sosok lelaki
Bugis yang memegang prinsip taro ada taro gau. Ia adalah sosok pemimpin
yang malempu (jujur) dan magetteng (teguh pendirian). Ia adalah
perwujudan nilai-nilai keteladanan orang Bugis-Makassar “Eppa’i gau’na
gettennge: tesalaie janci, tessoroe ulu ada, telluka anu pua teppinra
assituruseng, mabbicarai naparapi mabbinru’i tepupi napaja.” (Ada empat
perbuatan nilai keteguhan: tidak mengingkari janji, tidak menghianati
kesepakatan, tidak membatalkan keputusan, tidak mengubah kesepakatan).
Adakah
lelaki Bugis sekarang seperti Arung Pali’e? Lelaki Bugis yang rela menyerang
saudaranya sendiri, menyerang dirinya sendiri, mengorbankan dirinya sendiri, demi
menegakkan harga dirinya: taro ada taro gau.
Ah!
Jangan-jangan sekarang, lelaki Bugis berubah menjadi lelaki bengis. Lelaki yang
begitu gampang membuat janji lalu dengan sangat gampang pula menghianati janji
dan kesepakatan, karena ia adalah lelaki pengemis, pengemis harta dan jabatan.
Ataukah lelaki Bugis menjadi lelaki gamis, lelaki yang sering puasa senin-kamis,
tapi korupsinya juga berjalan lancar seperti air yang tak bertapis. Maka, wahai
lelaki Bugis! Jangan pernah memahat janji lalu sibuk mencari alibi untuk tidak
menepati janji. Ya, termasuk janji-janji politik. Assekki Ada Jancie
(Berpegang teguhlah pada janji).
Sumber: KORAN TEMPO MAKASSAR, Kamis 19 September 2013
www.darsastra,blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar