Tomanurung dan Jejak Pilkada yang Murung
Oleh: Dul Abdul
Rahman
(sastrawan dan
peneliti budaya)
Bermula
dari cerita I La Galigo, sebuah napak tilas manusia pertama di kerajaan bumi,
bahwa manusia pertama yang menghuni bumi adalah Batara Guru. Ia adalah tomanurung
(orang yang turun) dari langit. Sang tomanurung (Batara Guru) berjodoh
dengan We Nyiliq Timoq, perempuan totompoq (orang yang muncul) dari
dunia bawah (Peretiwi). Duet tomanurung dan totompoq yang maddara
takkuq (berdarah putih, bangsawan) kemudian beranak-pinak membentuk
kerajaan di jazirah Sulawesi.
Selanjutnya,
akibat pengaruh epik I La Galigo, yang dulunya sangat disakralkan dan dianggap
sebagai sebuah kitab suci, maka sejarah dan asal-usul kerajaan di jazirah
Sulawesi ikut terselubung oleh mitos tomanurung. Semua raja pertama
konon adalah tomanurung, manusia suci atau manusia sakti dari langit. Tentu
saja ini hanyalah sebuah mitos, tetapi sejak dahulu hingga sekarang orang tetap
percaya kepada mitos atau hal-hal gaib lainnya.
Sebenarnya,
pengakuan sebagai manusia tomanurung sengaja di-lontara-kan oleh pihak istana
kerajaan, lalu dituturkan secara lisan agar masyarakat semakin tunduk dan patuh
kepada sang raja yang notabene adalah tomanurung atau turunan tomanurung.
Itulah sebabnya, lontara I La Galigo hanya dimiliki keluarga kerajaan yang
dianggap sebagai kitab yang sangat sakral, dan tidak bisa dipindahtangankan
kepada pihak yang bukan turunan tomanurung. Makanya, ketika B.F Matthes
ingin memiliki lontara I La Galigo, ia terpaksa meminta Colliq Pujie Arung
Pancana Toa menyalin lontara tersebut untuknya.
Dalam
sejarah kerajaan di jazirah Sulawesi, konsep tomanurung tetap terjaga. Bila
suatu kerajaan mengalahkan kerajaan lain, maka sang pemenang tidak akan
mengganggu sistem kepemimpinan tomanurung pada kerajaan yang kalah.
Ketika Gowa takluk, Arung Palakka tidak serta merta punya hak berkuasa di Gowa.
Sebab Gowa hanya boleh dipimpin oleh turunan tomanurung di Gowa. Hanya
saja Arung Palakka yang bercita-cita ingin menyatukan kerajaan di Sulawesi
Selatan (termasuk Sulawesi Barat) punya taktik jitu, ia menikahkan La Patau
(putra mahkota kerajaan Bone) dengan putri Raja Gowa Karaeng Sanrabone alias I
Mappadulung Daeng Mattimung Sultan Abdul Jalil.
Yang
sangat menarik, dengan konsep tomanurung, tidak ada huru-hara dalam
pergantian kekuasan pada kerajaan-kerajaan terdahulu di Sulawesi Selatan. Tidak
ada peristiwa ala Ken Arok yang membunuh Tunggul Ametung lalu memperisteri Ken
Dedes dan berkuasa, selanjutnya adalah perebutan kekuasan dan pertumpahan
darah.
…
Di
era demokrasi sekarang ini, konsep tomanurung sebenarnya tidaklah hilang
(atau jangan dihilangkan). Ia hanya berubah wajah menjadi pemilu/pilkada.
Pemimpin yang terpilih lewat pilkada sebagai wajah lain konsep tomanurung,
semestinya disambut dengan suka cita sebagai orang ‘manurung’ (turun) untuk
membangun daerahnya menjadi lebih baik. Pihak yang kalah harus menyadari bahwa
mereka bukanlah tomanurung yang dinginkan oleh rakyat.
Di
sisi lain, mereka yang terpilih, harus juga sadar bahwa mereka adalah tomanurung,
orang yang turun membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Dan yang
terpenting, mereka yang terpilih harus benar-benar berperilaku sebagai tomanurung,
manusia suci yang turun dari langit suci demokrasi, manusia yang yang
bertanggung jawab, jujur, dan amanah. Sebab jika tidak, sang tomanurung
akan mendapat kutukan.
Pada
akhir cerita I La Galigo, Sang Patotoe menutup pintu langit sebagai sebuah
hukuman kepada tomanurung yang semena-mena memerintah di kerajaan bumi. Sejarah
juga mencatat, meski seorang pemimpin (raja) sudah terpilih, tetapi jika ia
menyalahi sumpah dan janji maka ia pun akan dicap sebagai sang peresola
(sang perusak) yang harus disingkirkan. Itulah yang menimpa Raja Gowa ke-13
Karaeng Tunipasulu Tepukaraeng Daeng Marabbung, ia dimakzulkan oleh Bate
Salapang (Dewan Adat) Kerajaan Gowa karena dianggap semena-mena dan tidak adil.
…
Sejatinya,
bilamana pemilu/pilkada dianggap sebagai wajah lain konsep tomanurung,
yang akan melahirkan sang pemimpin yang akan turun membawa perubahan ke arah
yang lebih baik, maka tidak ada lagi huru-hara yang mewarnai pesta demokrasi di
negeri ini, khususnya Sulawesi Selatan sebagai Bumi Tomanurung. Sebab yang
terpilih haruslah diselamati sebagai tomanurung yang turun membawa
perubahan. Pun, sang tomanurung yang terpilih harus berjanji pada
dirinya sendiri untuk turun gelanggang, menyingsingkan lengan baju untuk
menjalankan janji-janji program kampanyenya. Sebab tomanurung dalam wajah
demokrasi sekarang ini lebih bermakna sebagai seorang pelayan.
Sumber: KORAN TEMPO MAKASSAR, Kamis 26 September 2013
www.darsastra.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar