Mudik, Wong Cilik, dan Terapi Modernitas
Oleh: Dul Abdul
Rahman
(sastrawan dan
peneliti budaya)
Setelah berhitung segala ongkos
kepulangannya, pun plus-minusnya, akhirnya Sangkala memutuskan untuk mudik.
Lagipula tidak ada alasan baginya untuk tidak mudik. Tidak seperti lima tahun
sebelumnya, setiap lebaran tiba, Sangkala selalu terburu-buru memburu mudik.
Saat itu ia masih berstatus mahasiswa. Saat itu pula ia benar-benar menikmati
mudik. Mudik baginya seperti sebuah terapi untuk melupakan segala rutinitasnya
di kampus. Ia bisa bercengkerama dengan teman-teman sekolahnya, pun teman masa
kecilnya di kampungnya dulu. Ia bisa menikmati wajah-wajah kampung ramah dan
bersahabat. Pun ia bisa menjadi sosok idola bagi para bunga-bunga desa di
kampungnya. Predikat mahasiswa yang ia sandang kala itu seperti sebuah azimat
yang dapat meluluhkan hati setiap bunga desa yang ayu dan kemayu.
Tapi kini, setiap lebaran tiba,
Sangkala benar-benar berhitung masak-masak. Jarak antara Makassar dengan
kampung halamannya tidaklah terlalu jauh di pelosok desa di kabupaten Sinjai.
Uang transport pulang pergi cukuplah seratus lima puluh ribu rupiah saja. Tapi
bukan itu yang membuat Sangkala berpikir keras. Tapi oleh-oleh buat para
kerabat dekatnya, ponakan-ponakannya, bahkan para tetangganya adalah sesuatu
yang ia harus persiapkan. Ia malu bila ia tiba di rumah orang tuanya di kampung,
lalu banyak kerabat yang mengunjunginya tapi tidak diberikan apa-apa. Apalagi
Sangkala telah dicap di kampungnya sebagai orang sukses. Padahal sesungguhnya
pendapatan Sangkala hanyalah cukup untuk biaya hidup saja. Ia belum mapan,
apalagi mau disebut orang kaya. Tapi Sangkala harus mudik. Lalu. Mau tak mau ia
harus mengeringkan rekeningnya di bank.
…
Orang-orang seperti Sangkala sangat
mudah kita lihat dimana-mana. Di pelabuhan-pelabuhan, di terminal-terminal,
tapi jangan lihat di bandara-bandara. Kita bisa melihat wajah para pemudik yang
kuyu tetapi tetap terpancar kebahagiaan karena akan bertemu dengan para kerabat
dan handai tolan, meski kebanyakan dari mereka tetap membawa sebungkus
kegelisahan karena biaya mudik. Tapi hakekatnya mereka tetap bahagia.
Kata
mudik tidak persis sama dengan pulang, tapi jelasnya bila kita mendengar idiom
mudik maka yang terbayang dalam ingatan kita adalah pulang atau pulang kampung.
Berbeda dengan kata pulang, mudik mengandung arti tersendiri. Istilah mudik
baru dibicarakan pada saat-saat tertentu yang dianggap sakral seperti saat
lebaran, pun natalan.
Dengan mudik, orang-orang yang sudah
kehilangan jati dirinya dalam hiruk pikuk dan kepalsuan kota, ingin menemukan
dirinya kembali dengan mengenang masa-masa lalunya di kampung halaman yang
penuh dengan kenangan indah. Mereka yang di kota hanya dihitung sebagai angka-angka
pecahan, pun sebagai mor kecil yang berkarat dalam mesin raksasa kota yang
rakus ingin menemukan jati dirinya sebagai manusia. Mereka juga ingin melupakan
wajah-wajah kota yang garang untuk menikmati keramahan wajah-wajah kampung
dengan girang. Para pembantu rumah tangga ingin bebas sementara dari
majikan-majikan perempuan yang galak, atau mata majikan laki-laki yang jalang.
Para buruh-buruh pabrik ingin bebas dari raungan mesin-mesin yang pongah dengan
menikmati desahan sungai-sungai yang renyah. Dengan mudik, mereka dapat
merenungkan apa yang telah dikerjakannya dan merenungkan eksistensi dirinya
sebagai manusia. Itulah makna mudik.
“Mudik adalah salah satu terapi
untuk manusia modern,” kata Jalaluddin Rakhmat. “Manusia modern melahirkan
manusia robot,” kata Lewis Yablonsky. Manusia robot telah kehilangan
kreativitas, mereka menjadi mesin yang terikat pada rutinitas yang monoton,
mereka digerakkan secara massal oleh para pemegang kebijakan, baik penguasa
maupun pengusaha yang terkadang susah dibedakan. Pagi hari bangun, mandi,
sarapan lalu ke kantor untuk mengerjakan pekerjaan yang itu-itu juga. Sehingga
kota-kota besar telah menjadi rumah sakit jiwa yang besar yang dihuni oleh para
manusia robot sehingga penyembuhannya memerlukan suatu terapi yang memanusiakan
manusia. Ya, itulah makna mudik.
Sayang! Kebanyakan yang berburu dan
terburu-buru untuk mudik hanyalah orang-orang kecil saja. Alangkah indahnya
bila mudik sebagai terapi manusia modern dilakukan pula oleh para penguasa pun
pengusaha. Dan mudik jangan hanya pada waktu lebaran saja, sehingga mereka itu
para penguasa dan pengusaha bukan lagi manusia robot yang melibas manusia
dengan tangan kekuasaannya, tetapi mereka memperlakukan manusia secara
manusiawi sebab dengan mudik mereka akan menemukan kemanusiaan dirinya sebagai
manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar