Jumat, 18 Februari 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 1 SISWI BARU)

1. SISWA BARU

Tahun ajaran baru kala itu aku sudah kelas dua. Aku aktif sebagai pengurus OSIS(Organisasi Intra Sekolah). Sudah jadi tradisi, sebagai senior dari siswa baru biasanya kami merasa lebih ‘hebat’ dari junior. Kebiasaan yang konyol sesungguhnya, namun bila perasaan hebat itu lebih bermakna positif seperti lebih pintar, lebih dewasa, lebih patuh dan taat pada peraturan, maka sesungguhnya perasaan hebat itu sangat perlu dilestarikan. Sayangnya, perasaan hebat itu umumnya lebih condong ke hal-hal yang tak begitu positif, seperti sok lebih berkuasa, atau sok lebih jago, jago merokok, jago-jagoan. Begitulah kebiasaan yang salah.
Masih dalam suasana orientasi penerimaan siswa baru di SMU Negeri Bikeru Sinjai Selatan. Semua siswa baru wajib mengikuti acara itu. Karena memang benar-benar pengenalan sekolah terhadap siswa dari jenjang SMP ke SMU, dari usia pra remaja ke usia remaja. OSIS sebagai pelaksana sebenarnya hanyalah pendamping saja karena yang membawakan materi adalah para guru, tetapi tetap ada sebagian acara yang dipandu langsung oleh pengurus-pengurus OSIS. Dan biasanya acara seperti itu dimanfaatkan oleh sebagaian pengurus OSIS yang laki-laki untuk mendekati siswi baru yang berparas cantik. Biasanya begitu.
Seperti acara pada pagi itu di salah satu ruang kelas. Semua kakak kelas laki-laki tertuju pada seorang siswi baru yang berparas ayu. Aku pun berpura-pura membentaknya. Tapi sungguh aku tak bermaksud memarahinya, aku hanya ingin mencari perhatiannya saja.
“Melompat! Jangan cengeng!” Aku menghardik sok menyelidik, tapi aku terus menatap wajahnya yang ayu.
Entah. Aneh bin ajaib. Baru kali itu aku merasakan getar-getar keanehan menatap siswi baru itu. Padahal sekian lama aku tak pernah tertarik dengan perempuan apalagi untuk berpacaran dulu. Pun berkenalan dengan perempuan rasanya aku malu kecuali dengan teman sekelas, atau biasanya perempuanlah yang pertama berkenalan denganku. Bahkan aku membuat sticker di ranselku berbunyi: NO TIME FOR LOVE.
Memang kala itu lagi ngetrend para siswa memakai ransel. Mungkin sebagai penggambaran siswa yang punya ransel, masing-masing di ransel kami tertera sticker yang unik bahkan sedikit nyeleneh sesuai dengan karakter kami. Anton yang anak Kepala Kampung yang orangnya memang agak cuek di tasnya tertulis “No Problem”. Itulah Anton, terkadang meminjam buku dan pulpen sana sini dan lupa mengembalikannya, dan ketika ditagih, ia hanya cengar-cengir mengembalikannya kalau kebetulan barangnya masih ada lalu berujar ‘No Problem’ tanpa dosa dan berlalu begitu saja. Tapi begitulah Anton kalau ia juga punya barang lalu ada orang yang mau meminjamnya, ia tak pernah mengecewakan orang tersebut, ia pun malas menagih orang yang meminjam barangnya. Kami terkadang mencap Anton sebagai Mr. Sembrono.
Lain lagi dengan Dayat yang bapaknya Imam kampong. Ia merasa aman dan bangga dengan sticker “100% Muslim”. Begitulah Dayat yang merasa alim meski ketika berada di mesjid terkadang bikin ulah. Pernah suatu ketika sholat jamaah di mesjid, Dayat memegang kaki orang yang sedang sujud yang tepat berada di shaf depannya, kebetulan yang didepannya berjiwa seperti Dayat, lalu orang itu menghentakkan kakinya ke belakang, Dayat terjungkal ke belakang dan untungnya ia di shaf paling belakang, untung pula mesjid tidak penuh jadi ia hanya menabrak shaf kosong. Meski begitu Dayat tetap orang yang paling alim diantara kami, ia hafal benar jadwal sholat, dan selalu mengingatkan kami bila waktu sholat tiba. Bacaan Qur’an-nya juga paling fasih di antara kami, bahkan ia hafal Juz Amma’. Ketika kami berkumpul saat magrib dan isya, ia yang bertugas jadi Imam, kalau waktu dhuhur dan ashar biasanya Anton dan Hutbah yang paling siap jadi Imam.
Umar lain lagi. Meski terkenal perokok berat tapi biasanya ia hanya sembunyi-sembunyi di kantin sekolah, stickernya pun berbunyi “No Smoking”. Mungkin maksud Umar, biar guru BP Pak Chaeruddin yang galak 100% tidak mencurigainya. Tentang Pak Chaeruddin yang galak 100% sebenarnya hanyalah penamaan Umar saja karena di mata kami, Pak Chaeruddin adalah guru BP yang sangat baik, ya baik pada siswa yang taat, rajin, dan disiplin. Bagi siswa yang perokok berat semacam Umar pastilah Pak Chaeruddin dianggap galak. Karena guru BP yang memang punya ilmu Psikologi mumpuni, meski sok kampanye anti rokok, Umar tetap terendus jejaknya sebagai perokok berat oleh Pak Chaeruddin.
Pernah suatu ketika Umar tertangkap basah merokok oleh Pak Chaeruddin, lalu Umar dibawa ke ruangan guru, Umar muntah-muntah karena dipaksa makan tembakau oleh Pak Chaeruddin sebagai hukuman. Tapi dasar Umar yang memang bandel yang anak pensiunan polisi, ia tak kapok-kapok juga meski telah dihukum. Bahkan ia mengganti stickernya dari “No Smoking” menjadi “Crystal Man”. Saat itu memang rokok Crystal yang lagi trend. Tapi kalau Pak Chaeruddin bertanya, Umar punya alibi, katanya “Crystal Man” itu mengacu ke motor Crystal, saat itu memang yang paling top adalah motor Crystal, tidak seperti motornya Pak Chaeruddin yang kalau dikendarai cuma klaksonnya saja yang tidak bunyi karena memang sudah rusak. Bahkan pernah suatu ketika Pak Chaeruddin naik motor lewat depan kelas kami, tiba-tiba Umar berlari mengambil karung sambil berlagak mengikuti Pak Chaeruddin, ketika kami menanyakan apa maksudnya, Umar menjawab bahwa ia akan menadah baut dan mor motor Pak Chaeruddin yang mungkin akan berjatuhan. Sayangnya waktu itu Umar kecele, karena kami tidak tertawa dengan sikapnya, padahal ia bermaksud membuat kami tertawa. Aha! Mana mungkin kami tertawa kalau itu perbuatan tak terpuji, apalagi menghina orang tua dan guru, jangankan menghina mereka, menghina sesama teman saja kami tak suka. Aku sebenarnya sangat kasihan dengan Umar, padahal ia anak pensiunan polisi, mestinya harus hormat pada orang tua dan guru. Aku yang cuma anak pensiunan hansip saja sangat hormat dan patuh pada orang tua dan guru. Karena aku yakin, kesuksesan seorang anak atau siswa juga berkat doa orang tua dan gurunya. Begitulah nasehat kedua orang tuaku saban berangkat ke sekolah. Mungkin karena orang tuaku merasa tak sanggup memberiku uang saku setiap pagi, maka nasehatlah penggantinya.
Lain lagi dengan seorang temanku yang bernama Hutbah, mungkin temanku itu lahir pada hari Jumat ketika pak Imam lagi baca khutbah. Hutbah yang memang paling cakep diantara kami, yang selalu menggoda adik-adik kelas yang cantik punya sticker di tasnya “Love Is Blind”. Kalimat yang lumayan menggoda itu Hutbah dapat dariku. Mana Hutbah paham Bahasa Inggris kecuali Yes-No saja. Soal cinta, Hutbah memang buta, setiap kelas biasanya ada siswi yang ditaksirnya, dan hampir seratus persen perasaan cintanya terterima. Mana ada siswi yang sanggup menolak cinta Hutbah yang kala itu mirip Rano Karno. Kalau Hutbah tersenyum dan alis mata kirinya berkedip-kedip naik turun pastilah cewek yang duluan titip salam padanya. Cakep memang.
Dari Hutbah lah, isi hatiku benar-benar terekspos. Ceritanya begini, ternyata bukan hanya cintanya Hutbah yang buta, tetapi ungkapan perasaannya dalam tulisan juga buta. Bayangkan dari tujuh siswi yang dipacari Hutbah, aku semua yang konsep dan tuliskan surat cintanya, jadilah aku yang paling mengenal soal perasaan pacar Hutbah daripada Hutbah sendiri. Hutbah tinggal terima beres, tapi aku tak menyesal karena Hutbah yang memang anak pedagang coklat sukses punya banyak cara untuk membuat aku benar-benar puas sebagai sekertaris pribadi. Saban hari saban istirahat mata pelajaran, Hutbah pasti konsultasi soal cinta padaku di kantin sambil makan pisang goreng atau ubi goreng plus sarabba. Dayat, Anton, pun Umar dapat berkah dari ‘proyek’ cinta Hutbah, karena apapun makanan dan minumannya kami pasti kompak. Begitulah persahabatan yang baik.
Hutbah benar-benar puas dengan cara kerjaku, meski terkadang aku juga melebih-lebihkan. Aku terkadang menggunakan bahasa yang benar-benar hiperbolik dan bombastis yang membuat perasaan Hutbah atau perasaan pacarnya benar-benar dimabuk cinta. Ya, cinta yang mengawang-awang. Tentu saja aku yang bertindak sebagai sutradara semakin mendapat keuntungan berlipat ganda, karena mau makan apa saja bisa. Nampaknya Hutbah punya dana taktis untuk aku. Dana taktis untuk cerita cintanya yang semu.
Nampaknya Hutbah benar-benar percaya padaku. Ataukah memang visi dan misi cintanya juga buta. Terkadang ia tidak membaca surat cinta itu dari pacar-pacarnya, cukuplah aku yang bacakan saja, atau lebih tepatnya diceritakan saja karena aku biasanya membumbu-bumbui biar semakin lezat di telinga Hutbah. Aku semakin mempunyai banyak ruang untuk berimprofisasi. Pun bila aku lagi malas cukuplah aku bercerita semanis mungkin pada Hutbah. Yang membuat aku tak mengerti dengan kebutaan cinta Hutbah, karena mana mungkin Hutbah yang pacaran tetapi aku yang menyimpan semua surat cintanya. Cinta memang buta dan membutakan. Mungkin satu-satunya ‘buta’ yang tidak dibenci adalah cinta, cinta buta. Cinta yang ujung-ujungnya hanya mencipta luka dan derita.
Di mata Hutbah, aku bukan hanya sekedar sekertaris pribadi yang punya modal jadi penulis, tapi juga sebagai juru bicara yang handal. Bahkan terkadang Hutbah menganggapku juru selamat. Pernah suatu ketika seorang pacar Hutbah cemburu dan marah-marah lalu minta putus karena merasa cintanya diduakan oleh Hutbah, aku jelaskan padanya bahwa Hutbah tak menduakan cintanya, Hutbah adalah tipe cowok setia. Lalu aku bilang kalau banyak cewek yang naksir sama Hutbah itu wajar karena Hutbah memang cakep. Penjelasanku ampuh. Pacar Hutbah percaya saja. Kenyataannya aku memang tak berbohong karena memang Hutbah tak menduakan cintanya, tapi mentujuhkan malah. Pun Hutbah cowok setia. Setia pada pacar yang banyak. Hutbah memang sedang menikmati ketampanannya sebelum tua.


“Melompat lagi! Siswa baru harus semangat!” Aku menghardik.
“Jangan terlalu galak Beddu!” Hutbah berkata padaku, tapi matanya tertancap pada siswi baru itu.
“Sabar Dik ya, memang senior yang satu ini paling galak.”
Mata Hutbah berkedip-kedip menatap siswi baru itu. Ia kelihatan sok pahlawan. Dan tentu saja Hutbah lagi naksir pada siswi baru itu. Siswa baru itu pun tersenyum teramat manis pada Hutbah. Aku menggerutu membatin. Aku jengkel sama Hutbah. Tega-teganya ia berkata pada siswi baru yang sangat cantik itu bahwa aku adalah senior paling galak. Padahal sebenarnya dialah senior yang paling galak, tapi pengecualian memang bila ia menghadapi siswi baru yang cantik pasti sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Mungkin itulah salah satu ciri cowok playboy.
Yang membuat aku paling jengkel sama Hutbah karena ia menganggu waktuku untuk menaklukkan siswi baru itu. Tapi aku sadar, soal mendekati dan menggaet perempuan aku kalah kelas dibanding Hutbah. Tadi sebenarnya aku pura-pura menghardiknya agar ia memelas dan tersenyum padaku. Di saat ia tersenyum, aku berusaha mendekatinya dan pura-pura peduli padanya. Tapi apa yang aku skenariokan belum terjadi, Hutbah datang mengacak-acak bahkan mencabik-cabik perasaanku. Dan anehnya, sepertinya memang siswi baru itu lebih menghendaki kedatangan Hutbah daripada aku. Bukan hanya soal mendekati perempuan aku kalah dari Hutbah, pun soal tampan.
Dan akhirnya kegalauanku terbukti, Hutbah berbisik padaku bahwa ia sangat menaruh hati terhadap perempuan itu.
“Beddu, ada job baru lagi.” Hutbah berlagak kayak Bos. Kala itu aku diam saja. “Jangan khawatir Beddu, kali ini honornya lebih besar.” Sekali lagi Hutbah menyemangatiku seolah ia yakin aku sangat butuh dengan proyek mata keranjangnya. Kala itu memang lain dari biasanya. Aku tak begitu bersemangat. Tidak bersemangat mengurus Hutbah karena sesungguhnya aku juga punya perasaan suka pada siswa baru yang imut-imut itu. Dan catat! Aku yang lebih duluan naksir daripada Hutbah. Jadi kalau mau adil kepada sesama teman, mestinya Hutbah memberi jalan duluan padaku. Tapi memang itu urusan perasaan, dan selalu orang mendahulukan perasaannya. Perasaan memang selalu egois. Perasaan terkadang tak berperasaan.
“Beddu, bukan hanya wajahnya yang cantik, tapi juga namanya.”
Aku masih diam. Kubiarkan Hutbah berbicara sendiri. Menikmati keegoisannya sendiri. “Namanya Andi Masniar, tapi cukup dipanggil Nia saja.” Kala itu aku meratap membatin, aku benar-benar kalah langkah dari Hutbah. Aku benar-benar bodoh menghadapi perempuan. Aku cuma menang teori saja. Mengapa aku tidak berusaha mengenal namanya pertama kali dulu, lalu aku bilang ke Hutbah bahwa aku sudah lama kenal dan naksir padanya biar si lelaki Kantimarang Hutbah tidak mengganggu odo-odoku. Itulah nasib yang harus ditanggung oleh cowok yang tak punya semangat 45 mendekati cewek. Itulah diriku.

Siswi baru yang cantik itu memang bernama Andi Masniar. Hutbah bercerita banyak padaku tentangnya suatu ketika. Entah dimana lelaki tak berperasaan itu mendapat informasi banyak tentang Nia. Aku merasa sangat bodoh soal menghadapi perempuan. Mengapa aku tidak mengikuti jejak Hutbah, bila ingin mendekati perempuan ia kalang kabut mencari informasi tentang perempuan itu, mencari apa hobinya, makanan dan minuman kesukaannya, siapa artis idolanya, lagu favoritnya, film kegemarannya, pokoknya hal apa saja tentang perempuan itu.
Pernah suatu ketika Hutbah membabat habis kumisnya karena ia naksir berat sama seorang perempuan yang ngefans berat sama Dede Yusuf yang kala itu main di sinetron Jendela Rumah Kita(JRK) bersama Desy Ratnasari. Bahkan sempat pula Hutbah nyaris merebonding rambutnya yang agak kribo yang mirip vokalis Godbless Ahmad Albar, gara-gara perempuan yang ditaksirnya ngefans sama Gusti Randa yang kala itu sangat ngetop dengan perannya sebagai Samsul Bahri yang dalam Sinetron Siti Nurbaya berpasangan dengan Novia Kolopaking (sebagai Siti Nurbaya) yang disiarkan oleh TVRI setiap malam minggu dan hari minggu sore. Ataukah Hutbah mati-matian menghafal lagu kelompok Iklim dari Malaysia yang berjudul Suci Dan Debu karena perempuan yang ditaksirnya pernah tinggal di Malaysia dan ngefans berat pada Iklim. Dan akhirnya sukses karena memang suara Hutbah mirip dengan suara Saleem, vokalis Iklim. Soal bergaya dan menyanyi Hutbah memang orangnya, ia pintar meniru suara dan tingkah orang. Tapi soal membuat surat cinta ia harus bertekuk lutut padaku. Hutbah rupanya memiliki kecerdasan musikal.
Ternyata Andi Masniar mengidolakan artis Mathias Muchus. Tentu saja Hutbah tak perlu rebonding, cukup Hutbah memangkas habis bulu-bulu kumisnya dan selalu berpakaian lengan panjang dan menggulungnya sampai ke siku. Jadilah ia Hutbah Muchus.
“Begitulah Beddu, kita harus mampu tampil sesuai dengan keinginan perempuan. Kita harus masuk dalam angan-angan perempuan itu. Kuncinya kita harus tampil sebagai sosok idola di mata perempuan itu.” Hutbah berhotbah padaku suatu ketika.
“Sok berteori, padahal kalimat itu dulu aku yang bilang padanya.” Aku membatin, aku tak mau bilang padanya. Soal menghargai teman memang aku lebih jago daripada Hutbah. Aku pikir Hutbah sepantasnya menghargai segala teoriku karena sebenarnya kunci kesuksesan cinta Hutbah juga terletak ditanganku yang jago membingkai dan merangkai kata-kata.
“Satu lagi Beddu. Menghadapi perempuan harus memakai gaya total football ala Belanda, pasti perempuan akan takluk.” Hutbah terbahak-bahak menohok perasaanku. Meski demikian, aku berusaha santai saja tapi aku juga membatin, “Jangan terlalu sombong dengan gaya total football, hati-hati dengan tim dinamit.” Kala itu memang baru saja berlangsung Euro 1992 yang membuat Tim Dinamit Denmark tampil sebagai juara, sedangkan tim Belanda yang gaya total footballnya sangat ampuh di tahun 1988 bersama trionya, Frank Richard, Ruud Gullit, dan Van Basten tak mampu membendung ledakan dinamit Denmark. Aku juga tak begitu kecewa dengan Hutbah karena aku pikir memang lebih banyak manfaatnya kalau masih sendiri. Aku fokus pada pelajaran saja dulu. Aku menghibur diri sendiri tapi memang juga agak was-was, karena dua saingan utamaku di kelas yang notabene teman baikku yaitu Dayat dan Anton hanya fokus belajar, keduanya belum mau pacaran dulu. Katanya berpacaran hanya membuat pikiran bercabang-cabang. Perasaan terkadang menggantung. Hati terkadang meradang, perasaan tidak tenang, seperti dikejar dan dicecar rasa cemburu yang memburu.
Tapi aku benar-benar bimbang. Mungkin memang Dayat dan Anton belum mau pacaran dulu karena memang mereka belum jatuh cinta. Tapi aku? Perasaan itu sudah datang tanpa kuundang. Lalu perasaan itu dengan semena-mena meremas-remas bilik-bilik hatiku. Ujung-ujungnya, aku semakin menjiwai surat cinta yang kutulis meski kutulis atas nama Hutbah. Akh! Awal jatuh cinta yang tak mulus.

Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar