2. NAMA DALAM SEPUCUK SURAT (1)
Dari berlima berteman, Dayat, Anton, dan aku tergolong siswa paling pintar di sekolah. Sedangkan Hutbah dan Umar adalah siswa yang pas-pasan soal pelajaran. Tapi kami berlima tetaplah saling melengkapi. Umar yang bertindak sebagai pengamanan meski ia sendiri sering tak aman karena matanya selalu awas terhadap Pak Chaeruddin. Bila ada yang mau macam-macam kepada salah seorang dari kami maka Umar yang pasang kuda-kuda.
Hutbah lain lagi. Ia memegang kas keuangan dan menjadi donator utama kelompok kami. Tentu saja Hutbah dan Umar mendapat kompensasi dari kami bertiga. Hutbah dan Umar benar-benar mendapat kompensasi BBM yang memuaskan. Soal nama kompensasi BBM, itu juga istilah Hutbah dan Umar. Kata mereka berdua, BBM berarti Bahasa Inggeris, Bahasa Indonesia, dan Matematika. Dayat dan Anton bergantian mengerjakan PR matematika mereka, sedangkan PR Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, aku yang bertanggung jawab.
Sebenarnya di awal pertemanan, kami bertiga berinisiatif agar Hutbah dan Umar tidak boleh bergantung pada kami. Tapi sebagai teman, kami siap membimbing mereka belajar khususnya bidang studi yang mereka kelompokkan BBM itu. Tapi itulah Hutbah dan Umar. Hutbah hanya sibuk tebar pesona dengan proyek cintanya. Sedangkan Umar sibuk dengan Crystalnya, merokok dan balapan. Akhirnya setelah mendengar cita-cita mereka berdua, kami bertiga bersepakat bahwa kedua teman itu tidak apa-apa bila disuapi saja. Hutbah bercita-cita setelah tamat SMU, ia melanjutkan usaha dagangan orang tuanya. Cita-cita Hutbah tak menyalahi peraturan nasib karena ia memang anak tunggal dengan orang tua sebagai pedagang sukses plus punya kebun coklat yang luas pula. Kalau Umar, setamat SMU ia ingin jadi pembalap motor, tapi ia masih punya rencana lain yang aku kira lebih bersahabat dengannya. Kalau ia gagal jadi pembalap katanya ia akan hijrah ke Kolaka mengikuti jejak kakaknya yang sukses jadi petani kopi dan kakao di sana. Keduanya memang punya cita-cita yang realistis. Kami bertiga, Dayat, Anton, dan aku bercita-cita jadi pegawai negeri sipil. Kami bertiga tak punya kebun yang luas seperti Hutbah dan Umar. Bahkan ayahku sudah berancang-ancang untuk menjual tanah warisan untukku bila kuliah kelak. Kata ayahku lebih baik pendidikan saja yang diwariskan, kalau harta warisan masih bisa diperebutkan, sedangkan pendidikan menjadi hak paten bagi yang memilikinya. Luar bisa ayahku memotivasi diriku, padahal ia hanya tamatan Sekolah Dasar.
Dari berlima berteman pula, nampaknya memang yang punya kecenderungan berpacaran hanyalah Hutbah dan Umar. Bahkan Hutbah bukan lagi cenderung tapi sudah kecanduan malah. Soal pacaran, Hutbah dan Umar mempunyai cara yang sangat bertolak belakang. Hutbah ingin suasana romantis dengan curahan kata-kata indah nan menggugah, sayangnya ia tak punya kemampuan memadah dan menadah percikan kata-kata. Singkatnya ia tak punya bakat mengarang dan menyair, tapi asumsi ini juga kurang benar. Bukankah Thomas Alfa Edison pernah mengatakan “Genius is 98 percent perspiration”(Kepintaran itu 98 persen adalah keringat/usaha). Jadi andaikan Hutbah mau latihan sedikit saja menulis surat cinta pasti bisa. Tapi mungkin Hutbah berpikir masih ada aku yang bisa menuliskannya. Ataukah Hutbah sok sosialis mempekerjakan orang lain karena ia pikir punya banyak uang. Ya, terkadang memang bila orang tua kaya, anak jadi serba konsumtif dan bermalas-malasan.
Umar sebaliknya, bila ia suka pada seorang perempuan, ia akan langsung menemuinya dan mengungkapkan perasaannya. Ia tak puas lewat surat, katanya tidak jantan. Aku kagum dengan ‘kejantanan’ Umar meski perjalanan cintanya tidak semulus cintanya Hutbah yang memang memanfaatkan jasa orang lain. Tentu saja kebanyakan siswi menolak Umar yang berlagak jantan. Ketika Umar konsultasi denganku, aku menjelaskan begini, “Sebenarnya sikapmu sangat jantan Mar, tapi itu biasanya berlaku bila perempuan dewasa yang kau dekati, kalau perempuan pra remaja atau remaja apalagi perempuan desa yang kau dekati tidak boleh langsung menembak dengan peluru cinta, harus melalui banyak tahap, kokangan senjatanya pun harus lebih lembut, peluru tak boleh ngebut, nanti tak bersambut.” Aku menjelaskan sok filosofis dan promosif pada Umar dan berharap ia mau meminta bantuanku. Sekaligus proyek baru buatku. Tapi begitulah Umar yang memang merasa gentleman soal cinta. Sayangnya ia tak gentleman soal pelajaran. Tapi Umar lebih baik sedikit dari Hutbah. Hutbah sangat terlalu, soal pelajaran dan cinta sangat bergantung pada orang lain. Artinya seberapa pun suksesnya Hutbah, sukses cintanya dan pelajarannya, tapi semua itu hanyalah sukses semu. Aku merasa lebih sukses dari Hutbah, karena dengan membuatkan surat cinta Hutbah berarti aku latihan memperhalus diksi bahasaku serta mempertajam pisau kata-kataku yang mungkin nantinya sangat bermakna buatku bila benar-benar aku terjun dalam dunia kepenulisan. Harapku selalu di sela-sela degupan perasaanku setiap kali menulis surat cinta Hutbah khususnya yang ditujukan kepada Nia. Siswi baru yang cantik itu memang diam-diam terus menjajah perasaanku. Tak siang, tak malam. Selalu terbayang, walau hanya bayang-bayang.
Bersambung…
POHON-POHON RINDU adalah sebuah novel bertema lingkungan, budaya, dan cinta. Penerbit Diva Press Jogjakarta, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar