Kamis, 03 Februari 2011

RESENSI

Judul : Pohon-Pohon Rindu
Penulis : Dul Abdul Rahman
Penerbit : Diva Press Jogjakarta
Terbit : Cetakan 1, Juni 2009
Tebal : 352 halaman


Pohon-Pohon Rindu, Antara Sastra dan Lingkungan

Menarik untuk disimak novel Pohon-Pohon Rindu (PPR) karya novelis Sulawesi Selatan Dul Abdul Rahman (DAR). Novel ini mengetengahkan pentingnya mencintai dan menjaga lingkungan.
Dalam novelnya, DAR mengambil setting Sulawesi Selatan, khususnya Sinjai, Bulukumba, dan Makassar. Dikisahkan dua sejoli yang mencoba merajut tali kasih yang saat itu berstatus siswa di SMA Negeri Bikeru Sinjai Selatan. Hubungan percintaan yang unik karena keduanya menyimbolkan cintanya dengan hutan dan pepohonan. Karena keduanya menyimbolkan cintanya dengan hutan dan pepohonan, maka keduanya bersama rekan-rekan lainnya membentuk kelompok pencinta alam yang disebut KOMPITA. Siswa-siswa yang tergabung dalam kelompok Kompita berkampanye setiap akhir pekan kepada masyarakat yang berdomisili di pinggir hutan agar tidak merusak hutan. Hutan yang paling dijaga adalah Hutan Lindung Balang yang tidak terurus bahkan dibabat oleh masyarakat setempat. Hutan itu terletak tak jauh dari lokasi sekolah SMA Negeri Bikeru.
Dalam PPR ini pula, DAR mencoba mengekspos berbagai tempat bersejarah di Kabupaten Sinjai dan Bulukumba. Seperti Sungai Bejo, Batu Pakke Gojeng, Kajang, dan sebagainya. Sehingga novel ini bisa menjadi promosi budaya bagi daerah Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Sinjai, apalagi novel ini diterbitkan berskala nasional.
DAR dalam novelnya PPR menawarkan berbagai solusi untuk melestarikan alam. Bahkan tokoh utama dalam novel tersebut yang bernama Beddu Kamase, meski ia sebagai sosok yang religius tetapi ia mencoba mempertahankan mitos-mitos keangkeran hutan dan alam pada masyarakat, agar masyarakat tidak semena-mena merusak lingkungan. “Tidak ada salahnya mitos keangkeran Sungai Bejo tertanam di hati masyarakat setempat agar kawasan itu tak terjamah tangan-tangan yang tak bertanggung jawab. Soal kemusyrikan, biarlah nanti tokoh agama yang menjelaskan. Intinya kami ingin kawasan Hutan Lindung Balang dan Sungai Bejo tak banyak dikunjungi masyarakat, baik untuk menebang kayu apalagi untuk menabung kemusyrikan.” (PPR, hal 105)
Selain itu, DAR juga menawarkan ide bahwa nama hutan lindung sebaiknya diganti menjadi hutan adat, karena penamaan sebagai hutan adat lebih membuat masyarakat takut mengganggu hutan karena berhubungan dengan adat istiadat setempat, contohnya hutan di Tanah Kajang. “Nama hutan adat lebih sakral daripada hutan lindung. Aku yakin, masyarakat takut membabat hutan adat karena terkait dengan hukum adat setempat, sedangkan hutan lindung hanya penamaan saja, bahkan terkadang tak terlindungi.” (PPR, hal 205)
Untuk itu novel ini perlu dibaca, bukan hanya oleh masyarakat tapi juga pemerintah yang terkadang membuat kebijakan yang tak ramah lingkungan. Khususnya pula, pemerintah Kabupaten Sinjai harus lebih memperhatikan keselamatan lingkungan sehingga tidak terjadi lagi banjir bandang yang pernah menimpa Kabupaten Sinjai pada bulan Juni 2006 silam. “Aku akan menjaga Hutan Lindung Balang sebagai tempat peristirahatanmu yang terakhir, duhai cintaku. Jangan lagi ada penggundulan hutan disini. Jangan lagi ada penggundulan hutan disana. Jangan lagi ada banjir bandang disini. Jangan lagi ada banjir bandang disana. Jangan lagi ada air mata yang membandang karena tertimpa banjir bandang.” (PPR, hal 349)
Melestarikan alam memang tidak mudah. Butuh niat yang teguh, semangat, dan yang paling penting adalah praktik. Namun, dengan kekuatan cinta, hal tersebut tidak mustahil untuk dilakukan. Itulah pesan utama sesungguhnya yang disampaikan dalam novel PPR ini. Dipadu dengan jalinan cerita cinta yang berliku, alur yang menarik, dan konflik yang mengharu biru, maka novel ini patut diapresiasi sebagai novel cinta, novel lingkungan, dan juga novel budaya. Silakan pembaca sendiri yang menilainya dengan membacanya. Selamat membaca!

(Peresensi: Sam Sangkala, Pembaca dan Penikmat Sastra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar