12. ADA PARAKAN DI SUMPANG ALE’
Hutan Sumpang Ale’ terletak di daerah perbatasan Sinjai-Bulukumba. Hutan itu salah satu pemasok oksigen terbesar di wilayah Sinjai dan Bulukumba. Sayangnya, sedikit demi sedikit hutan itu menjadi lahan pertanian bagi warga. Meski tidak ada hak kepemilikan tanah, warga tetap bebas menggarapnya dengan semena-mena. Yang aneh, pemerintah tak peduli sama sekali, bahkan banyak mantan pejabat daerah yang menguasai lahan tersebut.
Saat itu aku masih di Madrasah Ibtidaiyah di Buludatu, ketika hutan Sumpang Ale’ mulai ramai-ramai dibuka untuk menjadi lahan pertanian. Hutan itu dibabat secara sembunyi-sembunyi oleh warga dengan dibekingi oleh pejabat setempat. Bahkan kala itu ayahku juga salah satu warga yang punya lahan di hutan Sumpang Ale’. Menurut pengakuan ayahku, hutan itu dibabat sembunyi-sembunyi terlebih dahulu, kalau pohon-pohonnya sudah habis terbabat dan sudah ditanami tanaman lain seperti merica, cengkeh, kopi, atau tanaman lainnya, biasanya pemerintah tak menggubrisnya lagi. Apalagi kalau yang membekingi juga adalah pejabat yang punya proyek liar.
Meski aku masih kecil kala itu, aku sudah mengenal istilah kongkalikong. Pejabat yang membekingi pembukaan hutan tersebut ternyata punya jaringan kuat serta berita akurat. Supaya pemerintah daerah Sinjai dan Bulukumba dianggap tetap memperhatikan dan menjaga hutan, maka pejabat mengirim polisi dan tentara untuk menjaga hutan tersebut. Tapi biasanya aparat keamanan hanya berpatroli dua kali seminggu. Pada saat aparat keamanan berpatroli, warga beristirahat tapi jika tidak ada patroli mereka membabat hutan lagi. Sebuah drama pembantaian hutan yang dramatis. Pohon-pohon pun menangis. Teriris.
Pemerintah sebenarnya melarang membuka hutan itu sebagai lahan pertanian, tapi larangan mereka memang tidak sungguh-sungguh. Mungkin kalau ada lagi tekanan dari pihak tertentu, maka pemerintah bertindak lagi. Pada suatu ketika pemerintah benar-benar bertindak. Pasukan tentara didatangkan untuk mengobrak-abrik seluruh lahan yang dibuka dan sudah ditanami. Semua dangau kecil yang ada dilokasi hutan Sumpang Ale’ dirubuhkan dan dibakar. Semua pembabat hutan bubar. Dangau ayahku juga ikut dibakar, kala itu kulihat ayahku tak menyesal karena memang lahan yang dibuka adalah kawasan hutan yang harus dilindungi. Ayahku memang ikut membuka lahan karena dipanggil oleh seorang pegawai kehutanan, apalagi memang ayahku hanya mempunyai sekeping kebun.
Tapi tak berapa lama kemudian warga kembali membuka lahan dan semakin berani membuat rumah permanen. Dan saat itu yang membekingi lebih kuat dari yang sebelumnya. Periode babak kedua pembabatan dan pembantaian hutan Sumpang Ale’ hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu. Kebanyakan yang membuka hutan hanyalah orang-orang kaya yang sudah punya tanah yang luas, sedangkan orang miskin seperti ayahku tidak diberi bagian. Kasihan
Akhirnya hutan Sumpang Ale’ semakin porak-poranda karena sudah di kapling oleh orang-orang kaya sekaligus orang-orang kuat. Bahkan para pejabat atau pensiunan punya lahan di hutan tersebut. Tapi yang aku dengar status tanah mereka belum bersertifikat hak milik. Aku pikir harus ada LSM yang harus membela hutan tersebut. Meski bukan LSM, Kompita akan memulainya sebagai langkah awal. Semoga ada yang mengawal perjuangan selanjutnya.
Sebelum berkunjung ke hutan Sumpang Ale’, ternyata banyak nada-nada ketakutan dari anggota Kompita. Mereka khawatir dengan berbagai cerita yang mengerikan. Konon di kampung Sumpang Ale’ terdapat banyak parakan. Kampung Sumpang Ale adalah bagian hutan yang sudah dijadikan lahan pertanian yang ditempati oleh warga. Tapi kami pentolan Kompita sekali lagi meyakinkan mereka bahwa manusialah yang paling keramat dibanding dengan makhluk atau benda-benda lain. Apalagi tujuan kami ke Hutan Sumpang Ale’ bukan untuk merusak tapi ingin melihat kerusakan hutan lalu membuat program penyelamatan hutan sesuai dengan posisi kami sebagai pelajar. Kalaupun Kompita tidak mampu mempengaruhi penduduk setempat untuk tidak merusak hutan, minimal kami sudah bertindak sebagai penganjur kebaikan.
Seorang warga yang mungkin punya lahan di Hutan Sumpang Ale’ dan mengetahui rencana kunjungan kami bercerita kepada kami sebelum kami memasuki hutan Sumpang Ale’. Meski kunjungan kami tidak begitu membahayakan karena kami hanyalah siswa tapi kami tetap akan melaporkan kejadian-kejadian yang diketemukan lewat mading kami. Mereka khawatir bisa saja lewat mading kami, pembabatan hutan itu akan terkekspos ke media.
“Kampung Sumpang Ale’ benar-benar mencekam belakangan ini, Nak. Warga kebanyakan mendekam di rumah masing-masing. Mereka takut kalau peristiwa meninggalnya warga secara aneh menimpa juga dirinya atau keluarganya. Seminggu ini dua warga meninggal dunia secara aneh. Seorang dukun beranak yang bernama Koneng meninggal tiga hari yang lalu padahal sebelumnya ia tidak sakit. Koneng pulang pada malam hari dari membantu persalinan di kampung sebelah. Setibanya di rumah, Koneng langsung demam, lalu mendadak tubuhnya lebam, tapi setelah diperiksa oleh pegawai puskesmas, katanya Koneng tidak keracunan.” Warga itu bercerita sangat khidmat. Mereka tidak tahu bahwa kami tak begitu percaya pada hal-hal yang berbau keramat.
“Apa yang menyebabkan dukun Koneng meninggal secara mengenaskan, Pak?” Umar langsung mengajukan pertanyaan pembuka.
“Koneng pasti dimakan parakan.” Warga itu nampak bergidik, tapi kami penuh selidik, tingkahnya seperti dibikin-bikin.
“Parakan?” Kulihat Dayat pura-pura bergidik, tapi ia berbisik padaku bahwa ia hanya menyelisik.
“Parakan adalah makhluk halus jelmaan manusia, pun ada dari kaum jin. Parakan bisa mewujud seperti manusia bisa juga berupa binatang. Makhluk halus dari jin lebih senang tinggal di tempat-tempat yang rimbun seperti pepohonan. Hutan adalah tempat tinggal utamanya.”
“Apakah parakan itu jahat Pak?” Hutbah bertanya asal-asalan.
“Benar sekali Nak, bahkan parakan paling tidak suka dengan pendatang.” Warga itu kian menampakkan sikap yang dibuat-buat.
“Tapi kami tidak bermaksud jahat Pak, kami hanya ingin berekreasi melihat-lihat kawasan Hutan Sumpang Ale’.” Kala itu Anton ikut bicara.
“Sebaiknya dibatalkan rencananya saja Nak, karena parakan tak pandang bulu.” Aku hampir tertawa mendengar warga itu yang seolah-olah menasehati anak-anak TK.
“Tapi kami cuma berkunjung pada siang hari Pak, bukankah tadi dukun Koneng dimakan parakan pada malam hari?” Umar ternyata sudah cukup berani.
“Parakan disini sudah merajalela Nak, kampung ini memang terkenal sebagai kampung parakan.”
Kami tak menghiraukan jawaban warga itu. Tapi kami tak mau berdebat panjang lebar dengannya. Aku pikir cerita parakan yang dihembuskan oleh salah seorang warga itu hanyalah konspirasi untuk menjegal kami mengunjungi Hutan Sumpang Ale’ yang sebagian telah porak-poranda.
“Kita tinggalkan saja jalan ini, kita cari jalur lain, tidak usah kita berdebat dengan parakan itu.” Aku memberi aba-aba kepada temanku dalam Bahasa Inggris agar warga yang bermaksud menghalangi kunjungan kami tidak paham. Hutbah dan Umar yang memang sudah bisa berbahasa Inggris menahan ketawanya karena aku menyebut warga itu sebagai parakan.
Kami meninggalkan jalur itu. Kulihat warga itu tersenyum. Senyum parakan. Kami memang terbiasa menyebut seseorang sebagai parakan sebagai ungkapan kejengkelan. Soal makhluk halus yang bernama parakan sesungguhnya kami tidak menafikan keberadaannya karena kami percaya kepada yang gaib. Dan Tuhan juga memang mencipakan makhluk gaib. Jin, setan, atau malaikat adalah makhluk gaib yang diciptakan oleh Tuhan. Kami hanya tidak takut kepada makhluk gaib tersebut karena kami merasa bahwa kami juga adalah makhluk yang diciptakan Tuhan. Bukan berarti menyombongkan diri sebagai manusia, tapi kami tak mau percaya bahwa makhluk gaib itu bisa menentukan jalan hidup kami. Hanya Tuhanlah yang menentukan jalan hidup kami.
Soal cerita parakan, aku sudah banyak mendengarnya dari beberapa warga di kampungku. Tapi aku yakin cerita itu terlalu dibuat-buat bahkan dianggap sebagai media untuk menakut-nakuti anak-anak kecil saja. Biasanya kalau orang tua melarang anaknya keluar rumah di malam hari, mereka akan berkata, “Awas! Ada batito.” Batito adalah salah satu sebutan parakan di Sinjai. Aku bahkan tidak habis pikir mengapa di negeri ini malam Jumat selalu dikait-kaitkan dengan parakan, konon malam Jumat banyak parakan. Padahal dalam agama, malam Jumat adalah malam yang baik untuk beribadah, bahkan membaca Surah Yasin pada malam Jumat lebih banyak pahalanya dibanding dengan malam-malam yang lain. Bahkan di kampungku dulu, anak-anak kecil takut pergi ke mesjid kalau malam Jumat. Aku sendiri paling suka ke mesjid kalau malam Jumat.
Aku teringat ucapan dari Kiyai Ahmad Marsuki Hasan bahwa ketakutan itu berasal dari perasaan sendiri. Pak Kiyai benar, aku pernah mencobanya, pernah suatu malam Jumat aku dan seorang temanku berjalan melewati sebuah jembatan yang katanya angker. Saat itu temanku memang sudah takut duluan, sedangkan aku sama sekali tidak takut. Ketika kami berjalan, tiba-tiba ada buah mangga jatuh karena memang ada pohon mangga disamping jembatan tersebut, temanku langsung ketakutan karena mengira yang jatuh itu adalah parakan. Padahal yang jatuh hanyalah buah mangga yang sudah masak. Supaya temanku yakin bahwa yang jatuh hanyalah buah mangga, aku memungut mangga itu dan memakannya. “Kuncinya supaya tidak takut, maka tenangkanlah perasaan dengan membaca ayat kursi.” Ucap Kiyai Ahmad Marsuki Hasan kala itu.
Konon, manusia yang menjadi parakan karena menganut ilmu sesat. Ilmu sesat itu biasanya digunakan untuk cepat kaya, atau ilmu kekebalan tubuh. Ilmu parakan bisa didapatkan secara turun temurun, pun bisa dengan berguru. Konon pula, untuk mengenali seseorang yang menjadi parakan sangatlah mudah. Biasanya parakan mempunyai mata yang memerah dan tajam. Seseorang yang menjadi parakan, bisa sekonyong-konyong tubuhnya mewujud jadi binatang, atau matanya memerah dengan pandangan yang menusuk-nusuk bila ingin mengambil mangsa. Menurut cerita tetua di kampung kami, katanya kalau parakan mau memakan orang, ia melihat orang itu serupa nangka. Di saat seseorang sakit, parakan melihatnya dan merasakannya serupa nangka yang sudah masak dan lezat.
Masih menurut cerita tetua di kampungku, konon bila seseorang jadi parakan, ia tidak sakit kalau tubuhnya yang dipukul tetapi harus bayangannya. Makanya parakan hanya mau bereaksi di tempat gelap. Atau kalau ia berada di tempat terang ia berusaha berada tepat dibawah sumber cahaya sehingga ia tak punya bayangan. Waktu yang paling disukai parakan untuk bereaksi tepat siang hari ketika matahari tepat berada di atas kepala. Tapi kita juga harus berhati-hati memukul bayangan parakan, karena ia hanya mempan dipukul satu kali, pukulan kedua dan seterusnya membuat pukulan pertama tidak mempan lagi. Entah. Sampai sekarang, cerita itu kuanggap dongeng saja. Bahkan aku biasa menakut-nakuti adikku dengan menyebut nama batito atau parakan.
…
Kami pulang dari Hutan Sumpang Ale’ membawa banyak cerita dan berita. Cerita tentang parakan menjadi bahan yang kadangkala menakutkan sekaligus menggelikan, karena kami yakin parakan hanyalah semacam istilah perlambang ketakutan saja. Dan biasanya wujud parakan diekspos oleh kaum perfilman dengan berbagai macam cara dan gaya. Wajah parakan tergantung dari imajinasi sang sutradara. Bahkan terkadang muncul di teve gambar parakan yang tidak menakutkan tapi menggelikan.
Sedangkan berita yang kami bawa adalah tentang penggundulan hutan sudah terjadi dimana-dimana. Kami memprediksi bahwa negeri ini kelak akan dilanda berbagai macam musibah bila tidak ada penanganan serius dari pemerintah.
Begitulah yang tertulis dalam kolom “Cerita” dan “Berita” di mading kami sebagai catatan perjalanan Kompita ke Hutan Sumpang Ale. Sayangnya berita itu tidak pernah dibaca oleh pejabat. Supaya berita itu memancing pembaca, Hutbah memberinya judul kecil “Berita Besar di Mading Kecil di Kolom kecil yang dibuat oleh Orang Kecil”, Hutbah rupanya sudah punya naluri jurnalistik yang tinggi.
Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar