10. KONSEPTOR SURAT CINTA YANG SIAL
Saat itu aku berjanji tak lagi mau membuatkan surat cinta teman-temanku. Sudah dua kali aku ketiban sial. Sebenarnya, kejadian yang memalukan ketika Nia mengembalikan surat cintaku bukan yang pertama kali menimpaku. Ketika masih sekolah di Madrasah Tsanawiyah Tanete dulu, aku pernah mendapatkan pengalaman serupa pengalamanku pada Nia. Bedanya kala itu aku tidak jatuh cinta karena memang aku jatuh cinta pertama kalinya pada Nia. Saat itu bakatku membuat kata-kata mutiara sudah mulai nampak. Karena sering membaca coretan-coretanku yang katanya indah dan menawan, seorang teman sekelasku yang bernama Bahar yang jatuh cinta pada seorang siswi bernama Tia, meminta tolong padaku untuk dikonsepkan surat cintanya, aku tak keberatan. Aku menganggapnya latihan mengarang saja. Tak kurang, tak lebih. Dari kebiasaan menuliskan surat cinta teman-temanku serta pengalaman yang pahit itulah aku benar-benar jadi pengarang.
Soal menulis surat cinta, Bahar serupa dengan Hutbah, mereka berdua tak pandai berkata-kata, tapi Bahar lebih pemberani sedikit daripada Hutbah, cuma tulisan Bahar seperti cakar ayam yang mabuk karena dicambuk, oleng kiri kanan. Surat yang kubuat bukan aku yang langsung memberikan kepada Tia, Bahar lah sendiri yang akan memberi langsung kepada Tia, perempuan yang ditaksirnya itu. Tapi rupanya Bahar sangat ceroboh. Surat cinta yang kutulis buatnya yang ditujukan kepada Tia hilang entah dimana. Saat itu aku sangat deg-degan jangan sampai surat cinta itu jatuh dan ditemukan oleh salah seorang guru di sekolah kami. Yang paling celaka adalah aku, karena tulisanku amatlah dikenali oleh banyak orang. Sejak kecil memang ayahku selalu melatihku menulis indah. Bahkan kala itu aku sangat bangga ketika ayahku mempercayakan kepadaku menulis daftar peserta ronda di kampungku. Itulah awal mula kebanggaanku sebagai penulis. Meski cuma menulis jadwal ronda, tapi jadwal itu di tempel di pos ronda. Kadangkala aku mengajak teman-temanku bermain-main di pos ronda dan menunjukkan prestasiku sebagai penulis. Waktu kecil memang yang kutahu tentang penulis adalah orang yang menulis, termasuk menulis jadwal ronda. Itu saja. Tapi kebanggaan itu telah tertanam di otak kananku menjadi bibit cita-cita yang terus bertunas, berdaun, bercabang, dan bertumbuh kokoh dalam sanubariku.
Benar saja perkiraanku. Ternyata yang menemukan surat cinta itu justeru Ibu Ruhani, guru Bahasa Indonesiaku, sekaligus guru yang benar-benar jadi orang tuaku selama sekolah di MTsN Tanete karena aku menumpang di rumahnya. Aku tak mungkin pulang pergi ke sekolah dari rumahku di Sinjai. Ibu Ruhani langsung yakin bahwa itu surat cintaku, Ibu Ruhani memberikan surat cinta itu kepada Pak Tondeng, kepala sekolah MTsN Tanete. Di MTsN Tanete kala itu ada peraturan tak tertulis yang melarang siswa berpacaran. Siswa dilarang berdua-duaan dengan lain jenis. Aku pikir kalau melarang siswa berdua-duaan lain jenis adalah hal yang bisa dicegah, tetapi melarang siswa berpacaran adalah hal yang teramat susah. Bahkan kala itu aku tahu bahwa anak perempuan kepala sekolah yang juga seorang siswi di sekolah tersebut berpacaran dengan seorang teman sekelasku. Begitulah. Siapa yang sanggup menahan seseorang untuk tidak jatuh cinta? Bukankah cinta datang dari lubuk hati yang paling dalam secara tiba-tiba dan tanpa disangka-sangka? Cinta memang misterius, bisa datang dan pergi kapan saja.
Soal larangan berdua-duaan dengan perempuan, aku pikir memang bagus, tapi semestinya larangan itu disertai dengan peraturan lain yang mendukung, misalnya siswa laki-laki dipisahkan dengan siswa perempuan.
Akhirnya aku dipanggil menghadap kepala sekolah. Aku ketakutan menghadap kepala sekolah karena kuakui memang bahwa akulah yang menulis surat cinta itu. Ketika aku menghadap, Pak Tondeng sudah menebak bahwa surat cinta yang hilang itu adalah suratku karena memang aku nampak pucat dan gemetar. Mungkin karena baru sekali itu aku dianggap melanggar.
“Apakah surat ini adalah suratmu?”
Pak Tondeng menatapku. Tak ada senyum sama sekali menghiasi wajahnya padahal ketika ia mengajar Bahasa Arab di kelas bukan main ramahya.
“Bukan Pak.” Jawabku sambil menunduk.
“Sekarang kamu sudah mempunyai dua kesalahan Beddu, melanggar peraturan sekolah dan berani berbohong sama guru.” Mata Pak Tondeng membola serupa bola api yang siap menghanguskan kulitku.
“Surat itu memang aku yang tulis Pak, tapi bukan suratku.” Aku mencoba tegar meski keteteran pertanyaan.
“Apa?”
“Surat itu milik Bahar, Pak.” Aku kian menunduk.
“Apa? Kamu benar-benar berani berbohong dan memfitnah orang lain. Nyata-nyata ini tulisanmu, namamu juga tertera di surat ini.”
Pak Tondeng menyodorkan surat itu kepadaku. Di surat itu pengirimnya memang terulis BK yang bisa jadi singkatan namaku Beddu Kamase, tapi sesungguhnya BK itu adalah Bahar Kajang karena Bahar berasal dari Kalimporo Kajang. Kepala sekolah lalu memanggil Bahar. Aku sudah mulai bernafas lega. Bahar pasti akan mengakui bahwa itu adalah suratnya. Aku berharap. Tapi aku benar-benar terkejut dengan jawaban Bahar yang kian menyudutkan aku. Bahar sungguh tega.
“Menurut pengakuan Beddu, inilah adalah suratmu.”
Tatapan Pak Tondeng membuat Bahar bergetar. Ia tergeragap menjawab.
“B…bu…bukan Pak.”
“Benar bukan milikmu?” Mata Pak Tondeng tak berkedik.
“K…ka…kalau B…ba…bapak tak percaya, i…i…ini contoh tu…tulisanku Pak.”
Bahar membuka bukunya. Aku kian ketakutan, aku ingin sekali meninju Bahar yang mirip petinju Kanada, tapi ternyata berhati culas dan curang. Tak berperasaan sama sekali.
“Bahar berbohong Pak.” Aku mencoba membela diri.
“Diam! Bukan kamu yang saya tanya.” Bentak kepala sekolah.
Aku benar-benar tak bisa berkutik, aku hanya bisa geleng-geleng kepala meratapi nasib sendiri yang sial sebagai konseptor surat cinta. Aku kian malu dan jengkel ketika Bahar meninggalkan kantor kepala sekolah dengan mimik tak bersalah. Ia menatap padaku sekilas, seperti tatapan mata kucing sepintas yang ingin mencuri daging tuannya. Dasar teman tak tau diuntung! Aku membatin jengkel.
Kepala sekolah tidak berhenti memperkarakan aku. Mungkin karena aku adalah siswa yang berprestasi yang semestinya memberikan contoh yang baik kepada siswa-siswa lainnya, maka kesalahanku harus diusut tuntas. Selanjutnya kepala sekolah memanggil Tia, siswi kelas 1A, yang orang tuanya mempunyai toko kelontong di Pasar Sentral Tanete. Kulihat Tia tak menampakkan rasa bersalah dan rasa malu sedikit pun. Aku bingung dan penasaran entah pertanyaan apa yang akan diajukan kepada Tia serta apa jawaban Tia yang sungguh percaya diri itu.
“Apakah kamu pernah menerima surat cinta dari Beddu Kamase?” Kepala sekolah menatap Tia.
“Pernah Pak.” Tia menjawab polos.
“Berapa kali?”
“Berkali-kali Pak.”
“Tapi bukan suratku Pak, tapi surat…” Aku masih berusaha membela diri dengan geragapan.
“Sekali lagi kalau kau tak mau mengaku dan memfitnah orang lain, maka hukumanmu semakin bertambah.” Hardik Pak Tondeng.
Aku diam saja. Tapi diam-diam aku heran bercampur rasa geer. Ternyata selama itu surat yang kubuat untuk Bahar yang ditujukan kepada Tia salah alamat. Artinya Tia selama itu mengira bahwa surat cinta dari Bahar adalah suratku, padahal sesungguhnya adalah surat Bahar sendiri, cuma namanya saja yang ambigu. BK bisa berarti Beddu Kamase atau Bahar Kajang. Berarti Tia mau menerima surat itu karena mengira aku. Dan mungkin saja akan menolak kalau ia tahu bahwa surat itu sesungguhnya mewakili perasaan Bahar. Dan aku teramat ingin menjelaskan hal itu kepada kepala sekolah tapi aku takut beliau kian menganggapku mengada-ada. Aku diam saja. Menunggu hukuman apa saja yang akan diberikan.
Pertanyaan kepala sekolah kian menjadi-jadi. Jawaban Tia pun kian berani.
“Tapi kamu mencintai Beddu kan?” Usut Pak Tondeng.
“Karena Beddu yang mulai mencintaiku Pak.” Jawaban Tia sangat polos. Mungkin anak ini banyak ‘aktif’ di Pasar dan banyak ketemu orang sehingga tidak demam panggung seperti diriku. Ataukah perasaannya masih seperti perasaan anak-anak kecil korban film-film picisan.
“Tia, apakah kamu bersedia kalau saya nikahkan kamu dengan Beddu?” Pak Tondeng bercanda atau sungguh-sungguh, aku tak tahu. Tapi ia geleng-geleng kepala atas jawaban Tia.
“Terserah Beddu Pak.” Tia menjawab lugu dan tersenyum malu-malu.
Aku tersentak dengan jawaban Tia. Anak itu mungkin tidak tahu apa itu menikah atau urat malunya putus. Kulihat Pak Tondeng terbatuk-batuk tak bisa menahan ketawanya. Aku kian menunduk malu. Ragu kalau Tia masih anak kecil. Bisanya anak sekecil itu berkata begitu. Aku kian menggerutu.
“Bagaimana dengan kamu Beddu? Apakah kamu juga siap menikah dengan Tia?” Pak Tondeng masih tertawa.
Pertanyaan Pak Tondeng kian membuatku malu. Jangankan menikah, berpacaran saja aku takut dan malu karena memang belum ada getar-getar cinta dalam hatiku buat perempuan. Pak Tondeng mengulangi pertanyaannya. Aku diam saja. Seperti terdakwa yang pasrah menerima vonis apa saja dari hakim. Lamat-lamat kudengar ada suara langkah orang masuk ke ruangan kepala sekolah. Ketawanya berderai. Aku langsung mengenalnya Ternyata Ibu Ruhani, aku tak berani menatapnya. Aku benar-benar malu. Apalagi kalau pulang ke rumah nantinya dan Ibu Ruhani akan bercerita kepada teman-temanku. Entah dimana mukaku kala itu harus kutaruh.
Sepulang dari sekolah, aku tak semangat sampai ke rumah. Ketika sampai di rumah, aku benar-benar ditertawai oleh semua penghuni rumah. Mau tak mau aku harus belajar menerima keadaan dipermalukan. Tapi karena jiwaku memang masih sekolah lanjutan pertama sehingga belum sanggup menerima kenyataan seburuk itu. Aku hanya menangis sebagai ungkapan kekalahan perasaan menerima kenyataan yang pahit yang menggigit.
“Kalau kamu menangis berarti kamu kalah dari perempuan, Tia tidak menangis, dan katanya siap menikah dengan kamu.” Ibu Ruhani masih tertawa-tawa. Ia benar-benar mengerjaiku.
Melihat aku terus menangis, Ibu Ruhani membujukku dan menasehatiku.
“Nak! Kamu jangan memecah perhatianmu pada perempuan dulu. Kamu harus fokus pada pelajaranmu. Orang tuamu menitipkan kamu kepada Ibu untuk diarahkan belajar dengan baik. Ibu khawatir prestasimu akan menurun karena yang kau ingat bukan pelajaranmu lagi tapi memikirkan perempuan.”
Aku mencium tangan Ibu Ruhani. Ia benar-benar pengganti ibuku yang jauh. Ibu Ruhani serupa dengan ibuku bila menasehatiku. Lembut menyentuh hati. Makanya anak akan berbakti. Berkat nasehat Ibu Ruhani, aku menerima pengalaman dituduh jatuh cinta. Awalnya aku ingin jelaskan kepada Ibu Ruhani fakta sesunggguhnya yang terjadi bahwa yang punya surat cinta adalah Bahar, tapi aku pikir aku tak punya alasan yang kuat karena nyata-nyata Bahar mengatakan bahwa surat cinta itu adalah suratku. Kalau aku menolak mati-matian dan tak mau mengakui, nanti Ibu Ruhani dan Pak Tondeng mencapku sebagai siswa yang cengeng dan tak bertanggung jawab. Mereka juga akan mencapku sebagai pengecut. Aku terima saja tuduhan Bahar yang keji itu. Yang penting di mata Ibu Ruhani dan Pak Tondeng aku bukan pengecut, Baharlah sesungguhnya yang pengecut dan pengkhianat, mudah-mudahan tidak dilaknat. Aku membuka buku pelajaranku dengan tersenyum. Ada perasaan bangga menyeruak dalam kalbuku. Ternyata selama itu aku lebih cakep daripada Bahar. Survey dari Tia yang membuktikan. Tia bahkan dengan lugunya mengatakan siap menikah denganku. Mungkin Tia berbakat jadi bintang sinetron.
...
Cerpenku yang berjudul “Konseptor Surat Cinta yang Sial” yang bergaya realis dan benar-benar adalah pengalaman pribadiku dimuat oleh Surat Kabar Harian(SKH) Mimbar Karya Sulsel saat itu. Semua siswa di SMU Bikeru membacanya karena perpustakaan sekolah berlangganan dengan SKH Mimbar Karya. Aku benar-benar bangga akan prestasi itu. Aku sangat berterima kasih pada Pak Tahir, kepala perpustakaan SMU Bikeru yang sangat memotivasiku untuk menulis. Pak Tahirlah yang membantuku mengirim cerpenku ke Mimbar Karya. Kebetulan Pak Tahir mempunyai teman yang berprofesi sebagai seorang wartawan di SKH Mimbar Karya.
Semua teman-teman memberiku ucapan selamat. Dengan prestasiku itu, Hutbah cepat tanggap sebagai pengelola mading di kolom surat. Ia langsung membuka ruang tanya jawab di kolom itu dan akulah nara sumber utamanya. Pertanyaan pertama yang datang dari pembaca adalah “Bagaimana caranya supaya bisa jadi penulis?” Pertanyaan itu aku jawab dengan model dialog:
Menjadi penulis itu gampang. Ambil pulpen dan kertas lalu menulislah apa saja yang Anda akan tulis. “Tapi saya bingung mau tulis apa.” Artinya anda tak punya ide untuk menulis, carilah ide terlebih dahulu. “Bagaimana caranya mencari ide?” Usahakan banyak membaca dan membaca. “Lalu?” Menulislah! “Apa yang saya tulis?” Anda tulis yang anda baca tadi! “Maksudnya?” “Anda catat atau buat ringkasan yang anda sudah baca tadi! “Cuma begitu?” Ya, begitulah calon penulis yang baik. “Kesimpulanya?” Untuk menjadi penulis, Anda harus banyak membaca, harus banyak menulis, harus banyak membaca dan menulis.
Pendapatku tersebut berdasarkan buku yang aku sudah baca dan memang aku praktekkan. Cara membaca dan cara belajarku memang unik, terkadang orang tuaku atau teman-temanku seperti Dayat dan Anton bertanya kenapa aku cuma menulis terus. Itulah aku. Cara belajarku adalah menulis. Makanya, setiap satu mata pelajaran biasanya aku mempunyai tiga buku catatan, buku tugas, buku catatan umum, dan buku ringkasan. Setiap kali membaca buku, aku akan menuliskan kesimpulan yang aku baca dalam buku ringkasan tersebut, ringkasan itu biasanya aku beri tanggapan lagi, tanggapan itu adalah ide pribadiku. Soal waktu belajar, aku suka belajar pada suasana tenang, makanya rata-rata aku tidur pada jam 9 malam dan bangun pada jam 2 dinihari.
Aku tak suka belajar bersama dengan Dayat dan Anton, karena kedua temanku itu berbeda gaya belajarku dengan aku. Aku suka suasana tenang, Dayat dan Anton tidak mempermasalahkan suasana. Mereka berdua bisa belajar dalam suasana ribut atau belajar sambil membunyikan musik. Dayat dan Anton bahkan cara belajarnya unik, kalau mereka membaca atau menghafal, suaranya terdengar nyaring. Awalnya aku jengkel kepada Dayat dan Anton karena aku tak bisa konsentrasi bila belajar bersama mereka. Tapi akhirnya aku bisa memahaminya, setiap kali Dayat atau Anton membaca atau menghafal, aku cukup diam saja menutup buku dan meletakkan pulpen sambil mendengar mereka.
Suatu ketika Dayat menghafal dengan suara nyaring, ia mengulang-ulangi kalimatnya berkali-kali, aku membetulkannya.
“Kau sudah hafal itu Beddu?” Dayat heran.
“Sudah hafal.” Jawabku.
“Kapan?” Dayat heran, karena yang ia hafal adalah bahan pelajaran yang belum dibahas di kelas.
“Baru saja, ketika kau baca.”
Ternyata dengan memahami orang lain kita akan mendapatkan banyak manfaat dan pelajaran pula.
Soal cara belajar, aku pernah membaca artikel yang mengatakan bahwa mantan presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln mempunyai keunikan dalam belajar, dan cara belajar Dayat dan Anton seperti Abraham Lincoln. Kalau Abraham Lincoln membaca surat kabar atau apa saja, suaranya terdengar nyaring, bahkan bisa membangunkan orang yang tidur. Ketika temannya bertanya tentang kebiasaannya, Lincoln menjawab, “Jika saya membaca dengan bersuara maka pikiran yang sampai kepada saya ada dua. Bukan hanya melihat apa yang saya baca, tetapi juga dapat mendengar. Dengan demikian saya dapat memahami isinya lebih mendalam.”
Begitulah. Dari cara belajar kami, sudah menunjukkan ciri-ciri mau jadi apa kami kelak. Meski kami bercita-cita jadi PNS, tapi kami punya spesifikasi yang berbeda-beda. Dayat ingin jadi guru sekaligus aktif jadi dai’. Cocoknya Dayat mungkin jadi guru agama saja. Tapi Dayat ingin jadi guru matematika, makanya Dayat sering menulis namanya Dayat Al-Jabar. Dayat memang hafal mati rumus-rumus aljabar. Anton juga bercita-cita jadi guru sekaligus jadi politikus. Tapi ketika aku berkomentar bahwa guru tidak boleh berpolitik, Anton yang memang suka melucu menjawab bahwa kalau dilarang berpolitik cukuplah ia jadi ketua KORPRI saja. Terkadang berorganisasi memang tak bisa dibedakan dengan berpolitik. Umar dan Hutbah yang sejak awal tak berminat untuk kuliah akhirnya berubah pikiran. Awalnya Hutbah bercita-cita ingin melanjutkan usaha dagang orang tuanya. Umar ingin jadi pembalap atau jadi petani di Kolaka. Tapi karena bergaul bersama kami, mereka juga ingin kuliah. Aku memang biasa menyemangati mereka bahwa untuk menjadi pengusaha yang handal atau menjadi petani yang professional haruslah dibutuhkan SDM yang handal. Akhirnya Hutbah bercita-cita mengambil Jurusan Ekonomi. Umar ingin kuliah di Fakultas Pertanian. Aku sendiri sejak lama menggantung cita-cita ingin jadi guru atau dosen sekaligus jadi penulis. Bahkan aku biasa bercanda bahwa penulis itu adalah PNS. Yang aku maksudkan sesungguhnya adalah penulis bisa disingkat menjadi PNS.
Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar