Minggu, 15 Mei 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 11 PESAN CINTA DARI KAJANG)

11. PESAN CINTA DARI KAJANG

Kompita benar-benar peduli dengan kelestarian hutan. Banyaknya bencana alam yang menimpa negeri ini karena alam dijamah dengan serakah oleh manusia yang berwajah tak ramah. Jamak manusia terlalu tamak mengeruk hasil hutan untuk kepentingan pribadi. Mereka tidak sadar bahwa ulahnya itu di kemudian hari akan menimbulkan amarah alam. Banjir bandang, erosi, longsor, adalah bahasa alam untuk menegur bangsa manusia yang tak berperikemanusiaan dan berperikealaman.

Untuk lebih menggugah kepedulian kami atas kelestarian hutan, kami anggota Kompita berencana mengunjungi Tanah Kajang untuk study banding atas keberhasilannya menjaga hutan mereka. Kajang terletak di Kabupaten Bulukumba tapi berbatasan langsung dengan Kabupaten Sinjai. Untuk kunjungan ke Tanah Kajang, oleh teman-temanku aku didaulat sebagai pimpinan rombongan. Aku memang mahir berbahasa Konjo sebagai bahasa sehari-hari orang Kajang. Kemahiranku berbahasa Konjo karena aku pernah sekolah di MTsN Tanete yang rata-rata siswanya dari kawasan Tanah Kajang dan Herlang yang memang berbahasa Konjo. Bahasa Konjo termasuk rumpun Bahasa Makassar.

“Nia saja yang jadi sekretarisnya.” Seperti biasa setiap rapat Hutbah merasa tak sah kehadirannya kalau tidak menggoda dan bercanda.

Entah, belakangan itu aku mulai senang-senang saja bila dijodoh-jodohkan dengan Nia. Bahkan terkadang aku yang memancing Hutbah untuk menggodaku. Hubungan Nia dan aku sesungguhnya adalah hubungan antar adik dan kakak saja, tapi godaan teman-teman kami seperti penguat bahwa kami memang serasi dan sehati. Bahkan pernah suatu ketika Hutbah menjelaskan perbedaan garis keturunan patrilineal dengan matrilineal lalu mengambil contoh Nia dan aku sebagai hubungan suami isteri. Tempo itu Nia langsung mengerling ke arahku, disaat yang sama aku menatapnya tanpa berkedip dengan seulas senyuman penuh arti. Nia menunduk sesaat, lalu kembali menatapku dengan senyuman yang sangat bermakna buatku, berbeda seratus delapan puluh derajat ketika ia mengembalikan surat cintaku dulu dan menyebutku sebagai kumbang jelek.

Kami anggota Kompita sepakat berkunjung ke Kajang pada hari Sabtu dan hari Minggu. Kebetulan Sabtu depan kala itu sekolah diliburkan karena tanggal merah.

“Tapi kata orang hari Sabtu ini adalah hari bilakkaddaro.” Umar nampak takut.
“Bilakkaddaro?” Nia ikut bergidik kaget.

“Ya, orang-orang kampung berkata begitu.” Umar mencoba meyakinkan, tapi nada kalimatnya juga seperti mengandung kecemasan.

“Semua hari itu baik, tergantung pada niat kita sendiri. Hari Sabtu nanti adalah hari baik kalau hari itu niat kita baik. Pun hari Sabtu nanti jelek kalau pada hari itu niat kita jelek.” Aku memberi penjelasan mengulang kalimat Kiyai Haji Ahmad Marsuki Hasan.

“Tidak semua hari itu baik, Beddu.” Hutbah menatapku seolah memperingatkan bahwa memang ada hari sial.

“Hari apa yang tidak baik?”

“Bilakkaddaro.” Hutbah menjawab mantap, tapi ia menatap ragu.

Hutbah dan Umar memang selalu seperguruan. Tapi mereka masih kalah dengan perguruanku, karena mereka selalu mengikuti pendapatku meski dengan pertanyaan yang membabi buta.

“Baguslah kalau hari keberangkatan Kompita ke Kajang bertepatan dengan hari bilakkaddaro, supaya kita semuanya berhati-hati.”

“Bilakkaddaro itu cuma takhyul.” Dayat mendukung pendapatku.

“Takhyul yang dimitoskan.” Anton menyela mendukung Dayat. Hutbah dan Umar tak bisa berkutik. Akhirnya keduanya menurut.

Kami tetap berangkat ke Tanah Kajang meski sebelumnya terjadi perdebatan bahwa waktu keberangkatan kami bertepatan dengan hari bilakkaddaro. Tetapi supaya keberangkatan kami merupakan inisiatif bersama dan bila terjadi hal-hal yang tak diinginkan merupakan tanggung jawab bersama, maka aku mengusulkan diadakan voting. Hasilnya, semuanya setuju berangkat. Akhirnya semua anggota Kompita berangkat ke Kajang. Hutbah dan Umar yang awalnya mempermasalahkan hari bilakkaddaro ternyata paling bersemangat, kedua temanku itu kuncinya memang cuma butuh penjelasan karena mereka berdua mudah menerima pendapat orang.

Kami memilih rute Bikeru-Tanete-Balangriri-Kajang. Kami sengaja memilih rute itu karena kami ingin menikmati pemandangan hutan karet yang membentang luas. Perkebunan karet milik perusahaan Lonsum(London Sumatera) itu hampir menguasai wilayah Bulukumba bagian Utara dan Timur bahkan sudah mulai merambah wilayah Sinjai.

Sebelum memasuki wilayah adat Kajang, kami mampir dulu di rumah salah seorang warga Kajang yang menyewakan pakaian hitam, karena kami tidak boleh memasuki wilayah adat tanpa pakaian hitam. Kami sekaligus menyewa seorang warga sebagai pengantar. Kami menyebutnya sebagai guide. Bersama seorang pengantar yang berasal dari daerah Kajang Luar itu kami memasuki kawasan tanah adat atau Kajang Dalam. Wilayah Kajang memang terbagi atas daerah Kajang Luar dan Kajang Dalam, kedua daerah itu dibatasi oleh balai kayu hitam. Memasuki daerah Kajang Dalam, semua tamu diwajibkan memakai pakaian hitam. Kalau melanggar, konon mereka akan beroleh celaka dan hilang diperjalanan. Tapi bukan alasan itu yang membuat kami anggota Kompita yang pada umumnya tak percaya dengan hal-hal berbau takhyul rela memakai pakaian hitam. Tetapi memang itulah peraturan yang kami harus patuhi sebagai tamu. Kami ikhlas memakai pakaian hitam, karena merupakan bentuk penghormatan atas masyarakat setempat. Masyarakat Kajang dalam kehidupan sehari-harinya pun memakai pakaian hitam-hitam seperti baju hitam, sarung hitam, dan ikat kepala hitam. Menurut mereka, warna hitam melambangkan kesederhanaan hidup dan simbol kedekatan dengan alam.

Kami memasuki wilayah Kajang Dalam yang terkenal mistis. Tapi kami tidak merasakan kemistisannya, karena penduduk setempat menyambut kami dengan ramah. Teramat ramah malah. Bahkan kami seperti tamu terhormat yang memasuki suatu wilayah. Banyak penduduk menyambut kami, membuka pintu, tersenyum, melambaikan tangan, atau mungkin banyak gadis-gadis Kajang yang malu-malu mengintip di celah-celah pintu menyaksikan kami. Pun anak-anak kecil berlarian di belakang kami seperti takut kehilangan momen penting. Kami berjalan kaki dari balai kayu hitam menuju rumah adat Ammatoa. Di rumah adat itulah kami akan dipersilakan berdiskusi dengan Ammatoa, pemimpin adat Kajang. Rumah panggung yang diperuntukkan bagi tamu itu berwarna hitam tanpa menggunakan paku sebagai perekat, tapi hanya diikat dengan tali yang biasanya terbuat dari bambu muda yang sudah dibuat serupa tali rafia. Rumah adat itu dikelilingi oleh pagar batu yang juga sudah dicet hitam.

Kami memasuki rumah adat dengan deg-degan. Kami bertanya-tanya bagaimana gerangan rupa Ammatoa. Menurut kabar yang kami dengar Ammatoa punya kesaktian. Selang beberapa menit kemudian, Ammatoa tiba bersama para Galla dengan menggunakan pakaian hitam dilengkapi dengan tudung kepala berwarna hitam. Galla merupakan kepala desa yang berada di luar kawasan yang berada dibawah pimpinan Ammatoa, Galla itu juga berperan mengingatkan masyarakat untuk mematuhi peraturan yang ada.

Kami memfokuskan diskusi pada topik bagaimana Ammatoa menjaga dan melestarikan hutan yang berada di kawasan Kajang.

“Masyarakat Kajang menganggap bahwa hutan adalah sesuatu yang sakral dan harus dihormati. Menjaga kelangsungan hutan berarti menghormati leluhur dan menjaga kelangsungan hidup masyarakat Kajang. Makanya masyarakat tidak boleh sembarangan menebang pohon di tanah Kajang.” Ujar juru bicara Ammatoa. Yang menjabat Ammatoa kala itu memang mempunyai juru bicara karena Ammatoa tidak begitu fasih berbahasa Indonesia.

“Jadi kalau masyarakat dilarang menebang pepohonan lalu dimana mereka mengambil kayu untuk membangun rumah Pak?” Aku mewakili Kompita mengajukan pertanyaan.

“Masyarakat boleh menebang pohon di hutan tetapi harus ada izin dan pertimbangan dari Ammatoa dulu karena hutan dan pohon terkait pasang, peraturan adat. Pertimbangan dari Ammatoa mencakup jumlah, ukuran, tujuan penggunaan serta jenis kayu yang akan diambil. Masyarakat yang menebang pohon harus menggantinya, setiap penebangan satu pohon harus diganti dengan menanam dua pohon yang sejenis di lokasi yang ditentukan oleh Ammatoa. Masyarakat yang sudah diberi izin menebang pohon diawasi oleh orang-orang kepercayaan Ammatoa. Tetapi ada kawasan hutan yang tidak boleh ditebang pohonnya sama sekali yaitu borong karamaya, hutan keramat.” Juru bicara Ammatoa memberi penjelasan secara rinci.

“Mengapa tidak boleh menebang pohon di borong karamaya Pak?”

“Karena kami masyarakat Kajang meyakini hutan tersebut sebagai awal datangnya leluhur kami.”

Aku memang pernah mendengar cerita bahwa kawasan borong karamaya terletak di daerah Kajang Dalam tepatnya di Desa Posik Tanah. Posik Tanah berarti Pusar Tanah(Bumi). Masyarakat Kajang percaya bahwa Desa Posik Tanah terletak pas di tengah-tengah bumi ini. Di Desa Posik Tanah itu pula konon terdapat lubang sumur yang kedalamannya tidak bisa diperkirakan bahkan meski semua kayu yang ada di Kajang disambung-sambung, tetap tidak bisa sampai ke dasar sumur. Konon lubang itu menghubungkan Kajang dengan dunia lain sehingga sangat sakral dan mistis. Lubang sumur itu memang tidak boleh didekati kecuali Ammatoa dan orang kepercayaannya. Kami merasa tidak perlu menanyakan langsung kepada Ammatoa tentang sumur itu, kami khawatir masalah itu sensitif. Lagian menurut perkiraanku pribadi, itu hanyalah mitos yang sengaja dipelihara agar masyarakat takut menebang pohon. Bahkan aku berpendapat mitos seperti itu harus dijaga untuk menjaga kelestariaan alam, termasuk mitos adanya penjaga Sungai Bejo berupa ikan besar.

Tentang sumur yang tanpa dasar itu, aku pernah mendengar cerita dari ayahku. Jadi cerita ini menurut versi ayahku saja. Konon pada zaman dahulu kala ada tujuh orang bersaudara bertempat tinggal di sekitar Posik Tanah. Mereka itu adalah petani yang sangat ulet dan rajin.

Pada suatu ketika, ketujuh bersaudara itu memagari kebun jagungnya agar tanamannya tidak terganggu oleh binatang. Tapi mereka gusar karena setiap pagi hari mereka menemukan tanaman jagungnya rusak oleh gangguan babi hutan. Tetapi mereka sangat heran karena pagar kebun mereka sangatlah kuat. Apalagi babi tidak bisa memanjat.

Salah satu dari mereka mencoba mengetahui bagaimana babi itu bisa masuk menyerbu tanaman jagungnya. Akhirnya ia mengetahui bahwa babi itu tidak berasal dari luar tapi berasal dari sebuah lubang besar yang terdapat dalam kebunnya sendiri. Lalu mereka bertujuh berencana untuk membunuh babi tersebut. Mereka meminjam sebuah tombak sakti yang terkenal berbisa. Akhirnya mereka berhasil menombak sang babi tersebut namun berakibat fatal. Tombak tersebut tinggal di dalam tubuh sang babi dan dilarikan turun ke lubang yang sangat dalam. Alangkah masygulnya mereka bertujuh karena yang punya tombak tidak mau menerima penggantian tombak miliknya kecuali tombak itu sendiri. Menurut yang empunya, tombak itu adalah tombak mana’(pusaka).

Ketujuh orang bersaudara itu berusaha keras untuk menemukan kembali tombak itu. Lalu mereka mengumpulkan rotan dari hutan yang akan dipergunakan sebagai tali tempat bergantung pada saat menuruni lubang yang sangat dalam itu. Rotan yang mereka kumpulkan sebanyak 40 pikul yang berarti dikumpulkan oleh 40 orang. Kemudian mereka membuat okong(sebuah tempat untuk meletakkan periuk, bentuknya seperti keranjang). Okong itu dipergunakan sebagai tempat berpijak kalau sedang diulur turun.

Yang pertama turun untuk mengambil tombak adalah saudara tertua. Tetapi ia menyatakan tak sanggup sampai ke bawah. Lalu berturut-turut saudara tertua kedua sampai keenam. Tapi semuanya tak mampu karena merasa takut. Lalu tibalah giliran si bungsu. Karena keenam saudaranya tak mampu mengambil tombak. Dan tentu saja bila tombak tidak ditemukan maka mereka bertujuh akan menjadi hamba sahaya dari orang yang punya tombak, maka si bungsu bersumpah tidak akan kembali bila ia tidak menemukan tombak itu. Ia tak akan rela menjadi hamba sahaya hanya gara-gara tombak.

Si bungsu diturunkan oleh keenam saudaranya. Keenamnya berharap-harap cemas. Setelah rotan sebanyak 40 pikul terulur semua maka sampailah si bungsu pada sebuah pohon beringin. Di bawah pohon beringin terdapat sebuah sumur dan sebuah istana. Si bungsu melihat seorang perempuan cantik sedang mencuci pakaian yang berlumuran darah. Maka bertanyalah si bungsu mengapa ia mencuci pakaian yang berlumuran darah.

Perempuan cantik itu menjawab bahwa pakaian yang ia cuci adalah pakaian sang raja yang juga adalah ayahnya yang terluka karena terkena duri ketika ia berkunjung ke Botting Langi(bumi). Bahkan ayahnya kini sedang sakit keras karena duri itu masih menancap di tubuhnya, tak ada yang bisa mengeluarkan duri tersebut dari tubuhnya.

Si bungsu senang mendengar kabar itu, karena ia tahu kini keberadaan tombak yang sedang dicarinya. Tombak itulah yang disebut duri oleh putri raja. Akhirnya si bungsu memperkenalkan diri sebagai seorang utusan dari Botting Langi yang ingin mengobati sang raja yang terkena duri.

Untuk mengobati sang raja, maka si bungsu meminta agar dibuatkan kelambu tujuh lapis untuk keperluan pengobatan raja. Setelah itu si bungsu meminta semua orang keluar dari kamar raja. Lalu si bungsu mencabut tombak itu secara paksa yang mengakibatkan kematian raja(babi) tersebut. Si bungsu berpesan bahwa demi kesembuhan sang raja, mereka baru diizinkan masuk kamar raja bila dirinya sudah pergi
Dan sebagai tanda mata si bungsu diberi sebuah guci. Guci itu bisa digunakan untuk menambah rezeki. Apa saja yang diminta akan terkabulkan dengan cara memukul-mukul guci sakti tersebut. Si bungsu pamit pulang setelah mendapatkan tombak dan guci tersebut. Ketika ia tiba pada sampai puncak beringin. Ia mendengar suara isak tangis dari istana, sebagian pengawal istana berusaha mencarinya. Si bungsu cepat-cepat naik ke okong dan memberi isyarat kepada saudara-saudaranya untuk ditarik naik.

Akhirnya ketujuh bersaudara itu berhasil mengembalikan tombak pada si empunya. Berita tentang guci sakti untuk penambah rezeki yang dimiliki tujuh bersaudara itu membuat para warga ingin meminjamnya. Termasuk orang yang pernah mereka pinjam tombaknya. Ketujuh bersaudara itu meminjamkan guci sakti pada pemilik tombak sakti tersebut. Karena pemilik tombak sakti itu ingin mendapatkan banyak rezeki maka ia memukul-mukul guci dengan keras hingga akhirnya guci itu pecah. Ketujuh bersaudara itu tidak mau menerima penggantian guci, mereka hanya mau menerima pengembalian yang aslinya dalam bentuk utuh.

Akhirnya orang yang mempunyai tombak sakti itu bersama keturunannya menjadi hamba sahaya dari ketujuh bersaudara karena tak mampu mengembalikan guci itu secarah utuh.

Begitulah cerita ayahku dulu.

“Lalu bagaimana kalau ada masyarakat yang melanggar peraturan disini, Pak?” Akhirnya Anton bertanya ketika melihatku terbengong mengingat-ingat cerita tentang Posik Tanah dari ayahku dulu.

“Apabila ada masyarakat yang melanggar peraturan adat maka yang bersangkutan akan dikenakan sanksi yang dikenal dengan pokko babbala. Sanksi ini berupa denda uang sebesar satu harga hewan ternak.”

“Bagaimana kalau masyarakat dari luar Kajang melanggar adat seperti menebang pohon Pak?” Aku mencoba kembali fokus pada pembicaraan.

“Hal itu belum pernah terjadi, karena selama ini pendatang dari luar Kajang bisa memahami adat dan peraturan disini.”

Kami semua anggota Kompita mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari jubir Ammatoa, sedangkan Ammatoa duduk tenang bersila, begitu khidmat.. Begitulah penjelasan yang kami dapat bahwa prinsip hidup masyarakat Kajang yang sederhana membuat pemakaian kayu efisien dan menjadikan hutan tetap lestari. Kami benar-benar salut pada Ammatoa dan masyarakat Kajang yang bersahabat dengan hutan dan pepohonan. Untuk menjaga kelestarian hutan, mereka tak perlu membuat semboyan berupa sticker yang berbunyi “Save The Jungle, Save The World” seperti yang kami sosialisasikan kepada masyarakat yang berdomisili di kawasan Hutan Lindung Balang Sinjai. Sosok Ammatoa memang benar-benar menjadi tokoh anutan. Ammatoa menjadikan hutan sebagai tempat multifungsi yang memiliki fungsi sakral sehingga terjaga kelestariannya. Ammatoa sama sekali tidak menjadikan hutan sebagai lahan komersil apalagi diperdagangkan, hal itu berkaitan erat dengan keberlangsungan anak cucu mereka kelak. Begitulah, seandainya pemerintah dan masyarakat Indonesia mau meniru masyarakat Kajang maka kelangsungan hutan kita tetap terjaga. Tak ada lagi illegal logging.

Setelah perbincangan dengan Ammatoa selesai, kami ingin melihat sendiri bagaimana kehidupan masyarakat Kajang yang begitu sederhana dan bersahaja. Kami juga mendapatkan penjelasan tambahan dari pengantar kami bahwa masyarakat Kajang sebagian besar berprofesi sebagai petani. Sedangkan perempuan Kajang berperan sebagai pengasuh anak serta membantu menopang perekonomian keluarga. Mereka menenun kain hitam di rumah untuk pakaian anggota keluarga sekaligus dijual ke Pasar untuk memenuhi kebutuhan lainnya.

Kami sempat singgah di sebuah rumah yang kebetulan masih keluarga dengan pengantar kami. Kami menyaksikan rumah masyarakat Kajang yang sangat sederhana dan unik. Rumah mereka sangat berbeda dengan rumah pada umumnya. Di rumah masyarakat Kajang kita terlebih dahulu akan mendapatkan dapur, bukan ruang tamu sebagaimana lazimnya. Setelah kami tanyakan mengapa demikian. Tuan rumah menjelaskan bahwa itu bermakna bahwa makanan apapun yang dimiliki oleh tuan rumah juga akan disajikan kepada tamunya, tidak ada yang disembunyikan. Kami sangat terharu dengan penjelasan mereka. Begitulah masyarakat Kajang, meski kelihatannya penuh mistik tetapi mereka memiliki rasa berbagi serta rasa solidaritas yang sangat tinggi. Setinggi mereka menjunjung adatnya.

Setelah mempelajari adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Kajang, khususnya bagaimana mereka melestarikan hutan, kami pulang dengan membawa banyak pengalaman. Di tengah perjalanan kami berbincang-bincang mengenai status hutan di Sinjai yang begitu mudah dibabas dan dibabat oleh oleh siapa saja.

“Sebaiknya kita membuat sticker baru yang berbunyi Belajarlah Pada Orang Kajang.” Hutbah yang pertama mengajukan usul.

“Hehehe! Hati-hati Hutbah. Bisa saja stickermu bernada mistis.” Dayat menimpali.

“Maksudmu Dayat?” Hutbah tak mengerti.

“Bukankah selama ini umumnya orang belajar kepada orang Kajang mengenai ilmu hitamnya.” Dayat bersungguh-sungguh.

Hutbah kelihatan bersungut-sungut. Kami semua tertawa melihat Dayat dan Hutbah. Waktu itu memang kami hanya mengenal Kajang dengan imej negatif sebagai pusat ilmu hitam berupa doti, sejenis ilmu pelet. Konon dengan ilmu dotinya, orang Kajang bisa membuat kepala orang menjadi lembek. Konon pula, orang lain takut berperkara dengan orang Kajang karena takut didoti atau dipelet. Tapi generasi sepertiku tidak begitu peduli dan tidak takut dengan ilmu hitam. Bukankah umur sudah ditentukan oleh Sang Maha Pencipta Kalau memang harus meninggal karena didoti maka memang itulah jalan ajal yang telah ditentukan oleh-Nya.

“Aku punya usul lain.”

Kami semua fokus ke Anton karena kami tahu Anton biasanya punya ide yang lucu dan unik. Ide gila malah.

“Apa usulmu Anton?”

Umar tak sabar lagi menunggu ide Anton. Aku sendiri sudah siap-siap ketawa karena dari mimiknya aku sudah bisa menebak bahwa usul Anton pasti lucu.

“Begini. Sebaiknya Umar sebagai ketua Kompita dipanggil saja Ammatoa.” Usul Anton ternyata cuma usil.

Riuh rendah ketawa kami berderai mendengar candaan Anton. Mobil carteran yang kami tumpangi pelan-pelan meninggalkan daerah Kajang menerobos kawasan hutan karet yang nampak menghijau. Pohon-pohon karet yang kami lewati nampak berlarian melambaikan tangan sambil tersenyum. Mungkin karena mereka tahu bahwa kami adalah anak-anak sekolah yang sangat peduli dengan kelestarian hutan.

“Aku punya usul.” Nia memecah keheningan.

Kami semua memperhatikan Nia. Nia jarang mengemukakan pendapat, tapi pendapatnya kadang cemerlang.

“Orang cantik pasti usulnya menarik.” Hutbah langsung menanggapi.

“Menurut pendapatku, sebaiknya pemerintah jangan memakai istilah Hutan Lindung tetapi diganti saja dengan istilah Hutan Adat.”

“Apa alasannya Nia?” Umar penasaran.

“Nama hutan adat lebih sakral daripada hutan lindung. Aku yakin masyarakat takut membabat hutan adat karena terkait dengan hukum adat dan mitos setempat, sedangkan hutan lindung cuma penamaan saja, bahkan terkadang tidak terlindungi.”

Kami semua terdiam mendengar pendapat Nia yang cemerlang. Kami mengangkat jempol untuknya. Sejak dulu memang aku percaya bahwa perasaan menjaga dan memelihara itu ada pada sosok perempuan, sosok Nia, sosok ibu. Ibu pertiwi.

Seperti biasanya kala itu sebelum acara yang satu berakhir, kami sudah menyusun program selanjutnya. Sebagai program selanjutnya sekaligus sebagai program terakhir dari kepengurusan di bawah kepemimpinan Umar adalah kunjungan ke hutan Sumpang Ale’. Kami sangat prihatin dengan hutan itu yang sedikit demi sedikit dibabat menjadi lahan pertanian. Kami berlima, Dayat, Anton, Hutbah, Umar, dan aku sudah duduk di kelas tiga sehingga tidak bisa lagi banyak kegiatan ekstrakurikuler apalagi kegiatan eksternal sekolah. Kami harus fokus belajar untuk menghadapi ujian akhir sekolah yang menurut informasi kepala sekolah, tahun itu standar kelulusan dinaikkan. Tapi kami tak khawatir dengan kelangsungan Kompita karena animo siswa untuk bergabung dengan Kompita sangat tinggi. Kami memang sudah mendoktrin mereka bahwa menjaga kelestarian hutan juga adalah ibadah. Meski tak bisa aktif secara langsung pada acara Kompita, kami tetap siap memberikan masukan-masukan dan kritik yang membangun.


Mobil kami sudah sampai di kampus SMU Bikeru. Kami semua bersyukur karena kami bisa kembali dengan selamat. Hari bilakkaddaro ternyata hari menyenangkan buat kami. Dan hari itu kami benar-benar bahagia membawa pesan cinta dari tanah adat Kajang. Pesan cinta kepada hutan. Cinta kepada lingkungan.


Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar