9. CINTA TAK PERNAH SALAH
Entah siapa dari temanku yang sengaja membesar-besarkan peristiwa di Bukit Gojeng. Tentang ketakutan Nia. Tentang aku yang mati-matian menghiburnya. Aku dan Nia dikabarkan sudah berpacaran. Awalnya aku biasa-biasa saja, tapi lama-kelamaan juga aku jengah dengan berita-berita itu. Entah, perasaan apa yang melandaku selama itu, karena sesungguhnya aku tidak siap dianggap berpacaran. Sebutan sudah punya pacar ternyata tidak begitu membanggakan bagiku. Sebutan itu terasa mengurangi kesakralan dan eksistensi diriku sebagai bintang sekolah. Aku tak mau dicap sebagai Hutbah jilid dua.
Meski perasaan cintaku pada Nia memang ada, mekar malah, dari sejak dulu. Tapi aku malu dicap berpacaran. Di mata rekan-rekan siswa apalagi di mata para guru, cap itu sangat menggangguku. Cap itu akan mengubah citraku di mata mereka, apalagi disuatu ketika bila prestasiku menurun pastilah akan dikait-kaitkan dengan kedekatanku pada Nia. Siswi-siswi yang juga selama itu mengagumiku karena prestasiku akan berbalik arah. Singkatnya, dengan berpacaran akan terjadi kontra produktif buatku yang akan menurunkan kredibilitasku sebagai bintang sekolah dan mungkin sosok idola. Setelah kupikir masak-masak, tentang siapa diriku, siapa keluargaku, ya diriku hanyalah siswa yang termiskin di sekolah yang hanya bisa dikenal gara-gara prestasi saja. Hanya prestasi semata. Tanpa prestasi aku hanyalah pelengkap penderita di sekolah itu. Jadi prestasi adalah permata buatku. Tanpa permata aku hanyalah batu hitam lebam yang mungkin terbuang dan tenggelam di Sungai Mangottong, Sungai Apareng, atau Sungai Bejo. Tak dilirik sama sekali.
Akhirnya aku menegaskan pada diri sendiri untuk tidak berpacaran dulu. Apalagi orang tuaku selalu menegaskan padaku bahwa satu-satunya harapanku untuk berubah hanyalah dengan pendidikan. Orang tuaku selalu menasehati diriku menjadi mattola palallo yang berarti aku harus punya pendidikan lebih tinggi dari kedua orang tuaku. Untuk itulah, orang tuaku bertekad untuk menyekolahkanku meski hidup mereka sangat pas-pasan. Sungguh sangat berdosa diriku kalau aku menyia-nyiakan harapan orang tuaku. Bahkan orang tuaku punya misi khusus yang harus kujalankan sebaik-baiknya. Karena aku anak sulung yang punya banyak adik yang masih kecil, maka aku yang fokus disekolahkan dulu dengan perhitungan bila aku berhasil, maka aku membantu menyekolahkan adik-adikku. Perhitunganku kala itu, ketika aku sudah sarjana, adik-adikku baru di SMA bahkan ada yang masih di SMP.
Tapi harus kuakui rasa rinduku pada Nia kian menusuk-nusuk jiwaku sejak kejadian di Bukit Gojeng. Ketika Nia memeluk aku karena ketakutan luar biasa, aku merasakan getar-getar aneh. Mungkin itulah yang disebut dengan getar-getar cinta. Dan anehnya, kala itu aku sebenarnya ingin sekali ayam misterius itu terus berbunyi agar Nia kian erat memelukku. Tapi aku tak mau curang dan memanfaatkan keadaan. Lagian untuk apa dipeluk kalau terpaksa, lagi pula menurutku berpelukan bukan cara terbaik untuk menyatakan cinta bagi remaja. Remaja sebaiknya menjatuhkan pilihan cintanya pada buku-buku pelajaran dan prestasi saja dulu. Tapi siapa yang kuasa menolak datangnya rasa cinta yang tak diundang? Tetapi dengan menyibukkan diri dengan belajar, lambat laun rasa cinta itu akan mengalir ke ruas-ruas buku yang mengasyikkan dan menyenangkan. Aku mencoba menguatkan diri dari serbuan perasaan rindu yang menggebu-gebu dengan melahap buku-buku.
Begitulah. Aku harus berusaha mengalihkan rasa cinta itu ke hal yang positif. Aku menganggap Nia hanyalah sahabatku saja. Meski banyak teman-temanku menganggap kami berpacaran. Aku tak peduli dengan anggapan mereka. Nia kelihatannya paham dengan sikapku. Aku menganggapnya sebagai adik dan dia menganggapku sebagai kakak.
Karena kami seperti adik dan kakak yang saling membantu, suatu ketika Nia mengundang aku datang ke rumahnya. Awalnya aku menolak dengan alasan malu-malu pada kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya. Aku mau saja berkunjung ke rumahnya asalkan bersama dengan Dayat, Anton, Umar, dan Hutbah. Tapi Nia ngotot menginginkan aku datang sendiri saja dulu ke rumahnya. Ada undangan khusus dari ayahnya, begitu katanya. Sekali lagi aku tak mau mengecewakannya. Aku pun penasaran dengan undangan tersebut. Aku bahkan deg-degan bercampur pikiran yang macam-macam. Jangan-jangan aku mau dijodohkan dengan Nia? Ataukah, ataukah? Nia mau memperkenalkan aku pada orang tuanya bahwa aku adalah pacarnya? Kebetulan aku pernah nonton sinetron di teve, anak laki-laki atau anak perempuan biasanya merasa bangga kalau memperkenalkan pacarnya pada orang tuanya. Tapi bukankah itu gaya anak muda di kota metropolitan dan kami hanyalah anak desa yang juga masih belia dan berstatus siswa. Aku sendiri pastilah sangat malu bila membawa perempuan ke rumahku, terkecuali kalau aku sudah benar-benar dewasa dan siap menikah kelak. Entah, pikiranku selalu melayang-layang dan berangan-angan berjodoh dengan Nia. Pikiran dan impian memang terkadang susah dibedakan.
Akhirnya aku memberanikan diri berkunjung ke rumah Nia. Sebelum berangkat ke rumah Nia, aku berusaha mengubur dalam-dalam statistik sompa, aku tak mau kaku dan kikuk di rumah Nia. Lagian aku dengar bahwa orang yang berpendidikan tinggi seperti orang tua Nia tidak lagi bersifat protokoler terhadap adat yang terkadang hanya mencipta sekat.
Rumah Nia terletak di Bikeru Satu atau penduduk sekitar menyebutnya Bikeru Seddi, atau aku dan teman-teman biasa mempelesetkannya menjadi Beirut One. Beirut adalah ibukota Libanon di Timur Tengah. Dari model rumahnya, aku semakin tahu kalau Nia turunan bangsawan Bugis tulen. Rumahnya masih bergaya rumah Bugis tempo doloe, rumah kayu yang berbentuk saoraja dengan deretan tiang-tiang lima petak kebelakang, juga mempunyai timpalaja tiga tingkat yang khas. Saoraja adalah tempat tinggal Puatta dan keluarganya. Aku memberanikan diri memasuki pekarangan rumah yang bernuansa Bugis itu.
Baru juga aku mau menaiki tangga. Nia sudah menyambutku dengan berteriak-teriak memanggil ayah dan ibunya. Aku sedikit grogi bercampur malu. Mungkin beginilah rasanya bila kelak bersilaturahmi dengan calon mertua.
“Silakan naik Nak!” Koor orang tua Nia ramah.
“Iye Puang.” Aku naik ke rumah Nia masih diselimuti rasa malu. Tapi aku mencoba tampil serileks mungkin, biar aku tidak ketahuan rasa malunya. Bagaimana tidak, yang menyambutku kedua orang tua Nia dan seorang perempuan yang cantiknya seperti pinang dibelah dua dengan Nia. Tapi dia nampak lebih dewasa dari Nia. Nia sendiri setelah tadi menyambutku dengan berteriak-teriak memanggil kedua orang tuanya, saat itu ia menghilang. Berarti kedatanganku betul-betul dipersiapkan dan direncanakan olehnya. Aku yakin Nia sibuk di dapur mempersiapkan penganan buat aku sebagai tamunya.
Aku membungkuk menjabat tangan kedua orang tua Nia. Lalu aku duduk di kursi kayu yang antik. Belum juga aku sempat berucap sepatah kata, Nia sudah muncul dengan nampan berisi teh hangat dan pisang goreng.
“Rajinnya Nia!” terdengar suara dari dalam menggoda.
Aku yakin suara itu berasal dari perempuan yang secantik Nia tadi. Nia kelihatan agak grogi digoda sedemikian rupa, tapi ia meletakkan nampan di depanku dengan senyum malu-malu. Kedua orang tuanya hanya senyum-senyum menyaksikan tingkah putrinya.
“Jangan malu-malu Nak Beddu! Biasalah, kakaknya Nia memang sering usil menggoda adiknya.” Ibu Nia mencoba mencairkan suasana.
Aku terperanjat dalam hati. Berarti Nia sudah bicara banyak tentang aku ke orang tuanya. Karena mereka sudah tahu namaku, padahal sewaktu berjabat tangan aku lupa menyebut nama karena deg-degan dan salah tingkah.
“Masa cowok cakep begitu kamu panggil kumbang jelek, Nia.” Suara perempuan yang menggoda itu terdengar lagi.
“Kak Mila!” Nia protes keras.
Perempuan yang ada di dalam itu tertawa lepas saja tanpa tahu bagaimana wajahku yang merona seperti pisang goring. Kulitku yang memang gelap kini seperti pisang goreng yang hangus. Kala itu terasa jantungku mau copot saja.
“Ya Allah! Ternyata kisah tragediku sudah diketahui semua oleh keluarga Nia. Alamat apa ini?” Aku membatin. Tapi aku tetap mencoba tersenyum.
“Dinikmati hidangan apa adanya Nak!” Ayah Nia mencoba melepaskan aku dari balutan rasa malu yang melilit-lilit kulitku.
Sejenak kemudian perempuan yang menggoda Nia yang memang sebelumnya juga menyambutku tapi belum sempat jabat tangan keluar dari kamar dengan tersenyum-senyum sambil mengulurkan tangannya kepadaku.
“Maafin ya Dik Beddu. Aku Mila, kakaknya Nia yang kuliah di Makassar.”
Aku menyambutnya dengan hangat, tapi kami hanya saling mendekapkan tangan di dada. Kakak Nia benar-benar cantik dengan jilbab warna hijau muda.
Akhirnya suasana menjadi cair.
Kakak Nia yang bernama lengkap Andi Mila Marlina kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Nia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Selain Mila, Nia masih mempunyai tiga kakak laki-laki. Ketiga kakaknya yang laki-laki sudah sarjana dan sudah bekerja. Seorang kakaknya jadi dosen di Universitas Haluleo Kendari, seorang jadi pengacara terkenal di Jakarta, seorang lagi sebagai wiraswastawan di Makassar. Ayah Nia adalah pensiunan pejabat di Dinas Kehutanan. Setelah pensiun, ayah Nia memilih pulang ke kampung halaman di Bikeru. Katanya tanah Bikeru tak bisa tergantikan oleh tanah manapun. Tapi orang tua Nia masih punya rumah di Makassar yang ditempati oleh Mila pada saat itu. Kakaknya yang berwiraswasta itu sudah punya rumah sendiri dan sudah menikah.
Mengetahui siapa sebenarnya Nia, tiba-tiba ada rasa rendah diri menggelayut di benakku. Ya, ternyata aku dan Nia terlalu banyak perbedaan. Antara bumi dan langit malah. Keluarga Nia sudah menapaki langit-langit kesuksesan, sedangkan keluargaku melata di bumi mengaiz rezeki dengan bajak dan cangkul. Ibuku bahkan jadi pedagang musiman dengan modal dengkul, keliling kampung mencari barang dagangan. Meski begitu, satu modal yang diwariskan kepadaku oleh ibuku, modal semangat. Semangat pantang menyerah. Tidak pernah lelah. Berkeringat dan berdarah-darah.
Untungnya, pada saat itu rasa rendah diriku mulai kusingkirkan pelan-pelan dengan keramahan orang tua dan kakak Nia. Aku memang banyak mendengar cerita bahwa orang yang benar-benar turunan bangsawan sangat baik tutur katanya serta sangat menghormati orang lain, bahkan tidak merasa dirinya puang. Biasanya yang agak sombong gaya bicaranya adalah orang yang merasa turunan bangsawan, atau sepupu kesekian kalinya bangsawan. Aku sebenarnya sudah ditatar baik-baik oleh kedua orang tuaku mengenal adab dan tatakrama. Siapapun yang aku ajak bicara yang penting lebih tua dariku maka aku harus memanggilnya puang, sebagai bentuk penghormatan. Tapi ungkapan puang itu cuma lazim di kalangan Bugis Sinjai dan Bulukumba. Pernah aku bercakap-cakap dengan seseorang dari daerah lain, kala itu ia protes karena aku menyapanya dengan kata puang padahal ia tak bergelar andi. Aku lalu jelaskan bahwa di Sinjai dan Bulukumba ungkapan puang maknanya meluas sebagai makna penghormatan. Bukan sekedar gelaran.
“Nia itu anak bungsu, Nak Beddu, makanya ia banyak tingkah supaya diperhatikan dan ...”
“Akh! Ayah!” Nia cepat-cepat mencegat kalimat ayahnya. Aku jadi penasaran dengan kalimat ayah Nia.
Pantas saja ia dikerjai oleh kakaknya, ternyata ia anak bungsu. Aku membatin. Biasanya memang anak bungsu itu sangat manja dan selalu mau disayang. Aku mulai menerka-nerka. Nia diledek oleh kakaknya sebagai ungkapan kedekatan antara adik kakak. Dan pastilah Nia sudah menceritakan semua pengalamannya pada kakak-kakaknya dan orang tuanya. Satu lagi sifat anak bungsu, ia biasanya sangat terbuka kepada kakak-kakanya termasuk hal-hal yang privacy seperti masalah cinta. Tapi saat itu aku tak perlu malu lagi. Bukankah Mila mencanda adiknya sedemikian rupa supaya aku mendengarnya, dan candaan itu sebagai ungkapan penerimaan atas kedatanganku.
“Begitulah Nak, Nia itu terkadang bertindak tanpa pikir-pikir dulu, biasalah anak bungsu, jadi maafkan atas kesalahannya.”
Ayah Nia memohon maaf atas sikap anaknya dulu menghinaku dengan menyebut aku sebagai kumbang jelek. Nia memang sudah menjelaskan semua pengalamannya tentang sikap kasarnya kepadaku dulu, dan siapa aku sebenarnya. Kata ayahnya Nia selalu dihantui rasa bersalah karena menghinaku. Ataukah rasa bersalah itu ada karena ada rasa yang lain yang menuntut, rasa cinta misalnya. Entah. Tapi kala itu aku terus mengingat-ingat pepatah Inggeris “When you forgive, you love.” Aku mencoba berbaik sangka saja. Lebih asyik. Berburuk sangka hanya menyiksa diri sendiri.
“Iya, maafkan adikmu Nak.” Ibu Nia tak kalah bijaksananya.
Aku merasa benar-benar terterima di rumah itu. Di tempat yang damai itu. Hm! Di rumah calon mertua itu. Kala itu rasa berbangka sangkaku menjelma geer.
“Insyaallah Puang, sejak dulu aku sudah memaafkan Nia. Lagian memang Nia tak pernah salah, aku yang salah...”
“Bukan kakak yang salah tapi aku…”
Nia berurai airmata menyesali sikapnya yang pernah menghinaku. Aku benar-benar terenyuh. Betapa baik dan terhormat keluarga itu. Kulihat Nia masih menunduk. Aku ingin sekali mengusap airmatanya dan membisikkan seuntai kalimat “Cinta tak pernah salah sayang.” Disamping Nia, Mila hanya tersenyum-senyum. Ia tak lagi menggoda adiknya. Padahal jujur kuakui godaan-godaannya adalah kalimat penyerta dan penjelas yang amat kurindukan kala itu. Bahkan Mila bergegas meninggalkan ruang tamu dengan kalimat penguat yang luar biasa bagiku.
“Jangan sakiti adikmu Beddu ya!”
“Iye Kak Mila, aku janji. ”Jawabku berjanji.
Perbincangan dengan ayah Nia benar-benar menyenangkan. Dan hari itu aku banyak tahu tentang pemikiran-pemikiran ayah Nia. Salah satu pemikirannya yang membuatku berbunga-bunga adalah tentang jodoh anak perempunnya.
“Iyalah Nak, saya juga mendengar cerita tentang kisah cinta La Bandu dan Besse. Tapi itu cerita dulu, saya yakin tak ada lagi sekarang ayah seperti ayahnya Besse. Saya pribadi tetap menghargai adat, tapi buat saya semua manusia sama dihadapan Tuhan, yang membedakan hanyalah kadar keimanan seseorang hamba. Dan ingat, semua kita adalah ata(hamba) di hadapan Allah.”
Begitulah komentar ayah Nia ketika aku sedikit menyinggung cerita-cerita jodoh yang tercegat oleh adat, bahkan aku sempat menyinggung tentang statistik sompa. Gaya khas ayah Nia yang sangat kebapakan serupa ayahku yang membuatku semangat bercerita apa saja. Ayah Nia menjawab semua pertanyaanku dengan sikap antusias dan senyum mengembang. Mungkin karena aku masih anak SMU dan belum matang dalam berdikusi sehingga aku cuma bertanya melulu. Ayah Nia dengan senang hati menjelaskan semuanya padaku. Biasanya memang pensiunan pejabat enak diajak bicara bertolak belakang dengan masa sebelum pensiun. Tapi aku yakin ayah Nia termasuk pengeculian.
Tiga jam berada di rumah Nia tak terasa bagiku. Untung saja hari itu adalah hari Minggu dan kebetulan tidak ada acara Kompita. Tiga jam terasa cuma tiga menit saja saking aku menikmati suasana di rumah Nia. Ayah Nia sangat memujiku karena aku siswa yang berprestasi dan kreatif, aku juga sosok pemberani dan tidak percaya pada hal-hal yang berbau takhyul. Nia yang menceritakan semua tentangku pada ayahnya. Tentu saja hari itu adalah hari terindah buatku karena aku merasa ayah Nia menerimaku berada disamping Nia. Begitulah yang aku tangkap dari pembicaraan. Dan satu lagi yang membuatku kian yakin dengan kegeeranku itu, orang tua Nia memintaku mengajari Nia berbahasa Inggris, karena saat itu di Bikeru belum ada tempat kursus. Istilahnya Nia mau privat Bahasa Inggris tapi gurunya adalah aku. Awalnya ayah Nia akan mencarikan guru Bahasa Inggris tapi Nia mengusulkan aku saja yang jadi gurunya, apalagi kekurangan Nia hanyalah speaking saja.
Aku pulang dari rumah Nia membawa bertangkai-tangkai bunga. Bunga-bunga cinta yang kian mekar di lubuk hatiku. Nia dan aku memang tak berpacaran, tapi orang tua Nia dan kakaknya memintaku untuk menjaga dan tidak menyakiti Nia. Intinya aku harus menyayangi Nia. Hubunganku dengan Nia seperti adik kakak yang mungkin lebih indah dari istilah apapun termasuk pacaran. Dan sejak aku di rumah Nia, aku sudah berjanji dan bertekad untuk menjaga dan menyayangi Nia, dan sangat berharap Nia adalah jodohku. Semoga. Karena manusia hanyalah berencana Tuhanlah yang menentukan. Tuhan mempertemukan, Tuhan pulalah yang memisahkan. Pertemuan dan perpisahan memang adalah takdir. Takdir Tuhan yang tak bisa diganggu gugat.
…
“Kursus privat atau kursus khusus.” Hutbah tak percaya kalau aku ke rumah Nia untuk mengajarinya Bahasa Inggris.
“Kursus khusus Bahasa Inggris, Hutbah.” Jawabku sekenanya.
“Maksudnya?”
“Maksud kamu kursus khusus itu apa?”
“Kursus cinta.”
Kami tertawa mendengar jawaban Hutbah. Umar geleng-geleng kepala. Hutbah memang kalau bicara topiknya selalu cinta dan cinta. Dayat hanya mesem-mesem. Anton cuma mendehem. Anton dan Dayat memang tak banyak bertanya bila menyangkut privacy orang. Umar tipe pendengar setia. Hutbah selalu mau tahu urusan orang. Hebatnya Hutbah, ia tipe easy going dan nothing to loose, ia tak pernah menganggap sesuatu itu adalah masalah, terkadang menyenangkan, terkadang pula menyebalkan, tapi ia selalu dirindukan.
“Begini Beddu, aku punya usul. Bagaimana kalau kita-kita ini diikutsertakan dalam kursus bersama Nia.” Ternyata keusilan Hutbah saat itu karena cemburu tidak diikutsertakan kursus.
“Sebaiknya jangan diganggu Nia.” Dayat memberi masukan ke Hutbah ketika ia melihatku terdiam dengan ide Hutbah.
“Tapi idenya Hutbah menarik ya.” Nampaknya Umar sudah ada motivasi juga belajar Bahasa Inggris. Anton hanya manggut-manggut memegang janggutnya yang mulai tumbuh. Entah dimana anak yang satu itu membeli obat penumbuh rambut.
Setelah menimang-nimang dan menimbang, aku tak bimbang lagi. Aku pikir idenya Hutbah sangat menariik. Alasannya karena aku ingin teman-teman setiaku bisa juga berbahasa Inggris, Dayat dan Anton sebenarnya Bahasa Inggerisnya bagus cuma mereka masih kaku untuk speaking. Mereka juga pasti butuh practice seperti Nia. Hutbah dan Umar semuanya lemah, aku dengar di kelas kalau kami berbahasa Inggris, apalagi kalau aku berdialog dengan Pak Darman, guru Bahasa Inggris kami, keduanya terkadang nyeletuk okey, yeah, yes, no, no money, no problem, no more, nombok dong. Tapi setidaknya Hutbah dan Umar sudah mau belajar Bahasa Inggris. Alasan lain, aku kasihan melihat ayah Nia yang selalu mengantar jemputku. Lagian Hutbah punya mobil yang bisa ditumpangi bareng ke rumah Nia. Sejak naik kelas tiga, memang aku tinggal di kompleks SMU Bikeru bersama dengan wali kelasku sekaligus guru geografiku yang masih bujangan bernama Pak Sunardi. Pak Sunardi yang berasal dari Mare, kabupaten Bone adalah guru yang sangat baik dan perhatian. Ia memanggilku tinggal di rumahnya supaya aku lebih konsentrasi belajar menghadapi EBTANAS(sekarang UAN). Selama itu memang aku pulang pergi dari rumahku di Mannanti ke sekolah yang berjarak puluhan kilometer. Kendaraan umum yang jarang membuatku tiba di rumah kadang jam 4 atau jam 5 sore. Jadilah aku siswa yang paling cepat pergi ke sekolah dan paling lambat tiba di rumah, karena mobil yang ke Bikeru berangkat pagi-pagi sekali.
Alasan lainnya yang membuatku menerima usul Hutbah karena aku malu digosipkan terus menerus berpacaran dengan Nia. Dan alasan yang paling membuatku memutuskan mengikutsertakan teman-temanku adalah aku mulai takut berdua-duaan terus dengan Nia. Orang tua Nia memang membiarkanku berdua dengan Nia karena memang sedang belajar. Tapi otak kecilku menangkap ada sesuatu
Dibaliknya. Ini mungkin pengaruh dari banyaknya aku membaca buku-buku cerita detektif dan cerita petualangan. Yang aku tangkap adalah keluarga Nia sedang menguji apakah aku tipe anak yang bisa dipercaya dan bertanggung jawab. Meski aku berusaha bersikap sebaik mungkin tapi aku sadar aku manusia biasa yang terkadang lupa diri bila diberi kepercayaan dan tanggung jawab. Harus kuakui bahwa akhir-akhir ini rasa cintaku pada Nia terus mekar di jiwaku, meski rasa cinta itu terus kuarahkan menjadi perasaan sayang yang lebih bersifat mengayomi, melindungi, menolong, dan selalu ingin dekat secara perasaan. Tapi rasa cinta itu terus muncul menyembul-nyembul di dasar hatiku. Tidak seperti rasa sayang, rasa cinta lebih bersifat memiliki, dan selalu ingin dekat secara fisik. Aku pikir sekarang masih tahap menyayangi Nia, belum saatnya mencintainya. Ya, sebenarnya aku malu terus-terusan berduaan dengannya karena pesan Kiyai Haji Ahmad Marsuki Hasan terus terngiang-ngiang di telingaku, “Berduaan dengan perempuan bukan muhrim pastilah ditemani oleh setan. Setan itu adalah provokator kejahatan.”
Ketika kuutarakan kepada orang tua Nia tentang rencanaku mengikutsertakan teman-temanku dengan menguraikan semua alasanku tadi, ayah dan ibu Nia berpandangan heran bercampur gembira.
“Ternyata kamu Nak berpikiran sangat dewasa.”
Ayah Nia tak bisa menahan kekagumannya padaku. Ibu Nia bahkan tak bisa berkata apa-apa, ia hanya bangkit dari tempat duduknya dan mengecup keningku. Sikap ibu Nia serupa sikap ibuku bila terharu. Begitulah sosok ibu yang selalu mengungkapkan rasa sayangnya dengan penuh kasih. Kulihat Nia sesekali muncul dibalik tirai. Sepulang dari rumah Nia, aku terus memuji ide Hutbah. Ide Hutbah benar-benar penuh berkah.
…
Teman-temanku sangat gembira terkhusus Hutbah dan Umar ketika kuberitahu bahwa Nia setuju kalau kami belajar bersama. Tapi aku mengajukan berbagai persyaratan, diantaranya tidak boleh di antar jemput oleh ayah Nia dan harus memakai mobilnya Hutbah. Harus memahami UUT alias undang-undang bertamu.
“Apa itu isi UUT?” Hutbah penasaran.
“Tidak boleh banyak bercanda dan tertawa ria di rumah orang, bersikap sopan pada tuan rumah.” Anton memberi penjelasan.
“Juga tak boleh balala(makan dengan rakus).” Dayat setengah bercanda.
Kami semuanya tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Dayat. Tapi akhirnya semua teman-temanku berjanji untuk mematuhi persyaratan yang kuajukan.
Belajar bersama Bahasa Inggris di rumah Nia sangatlah menyenangkan, kami sama-sama belajar. Meski aku yang didaulat sebagai trainer, aku juga banyak mendapatkan pelajaran, termasuk belajar memimpin dan mengarahkan jalannya diskusi. Topik kami memang lebih fokus speaking, aku menamai program belajar kami “SPEAKING FOCUS”. Awalnya Hutbah dan Umar kelihatan susah mengikuti irama kami tapi karena mereka berani bicara cas-cis-cus apa adanya. Awalnya Umar dan Hutbah hanya bisa bilang Oh no, Yes yeah, Little-little I can, tapi lama kelamaan mereka sudah bisa bicara meski sedikit demi sedikit. Begitulah pesan Pak Darman, guru Bahasa Inggris kami, bahwa belajar Bahasa Inggris kuncinya adalah si pebelajar harus berani bicara dan jangan takut salah. Katanya kalau si pebelajar takut salah maka selamanya mereka akan salah terus. Pak Darman benar, karena bahasa memang hanyalah kebiasaan saja. Atau setiap bercakap Pak Darman selalu mengulangi kalimat andalannya, “Language is a habit.”
Kesuksesan program Speaking Focus kami di rumah Nia bukan gara-gara aku semata. Tapi Mila, kakaknya Nia memberi kami tips-tips berdiskusi, beliau juga yang menyiapkan kami topik-topik diskusi. Topik diskusi kami adalah berdebat, contohnya “Which one do you like? Living in the city or living in the village”(Yang mana yang Anda suka? Tinggal di kota atau di desa?). Karena kami berjumlah enam orang maka aku membagi dua kelompok, setiap kali pertemuan aku merolling anggota kelompok.
Diskusi kami benar-benar hidup. Setelah berjalan dua bulan, Hutbah dan Umar benar-benar bisa bercakap dalam Bahasa Inggris. Yang membuat kami senang karena sejak keduanya bisa berbahasa Inggris, Hutbah dan Umar sangat bangga berbahasa Inggris. Kapan saja, di mana saja, keduanya tak segan-segan berbahasa Inggris seolah mereka ingin berpromosi bahwa mereka sudah jago berbahasa Inggris. Apalagi kalau mereka berada di sekolah, utamanya kalau di dekat siswi yang cantik. Meski terkesan hanya cari-cari perhatian tapi semua guru salut dengan Hutbah dan Umar yang banyak berubah sejak bergabung dengan kelompok ‘BAD’. Bad dalam Bahasa Inggris berarti ‘jelek/susah’, tapi yang kami maksudkan kelompok BAD adalah Beddu, Anton, dan Dayat. Penamaan itu dicetuskan oleh Anton, katanya sebagai motivasi untuk berubah dari yang jelek ke arah yang baik. Aku setuju saja kalau memang tujuannya baik. Kami selalu percaya bahwa niat baik adalah ibadah.
Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar