Catatan tentang Rindu dan Hujan
(sebuah catatan kenangan)
Oleh: dul abdul
rahman[1]
Suatu ketika di penghujung tahun
2003, saat musim hujan, saya berangkat ke Malaysia. Saya masih sangat ingat,
penerbangan dari Makassar ke Jakarta
kala itu dengan pesawat Garuda GA 631. Pesawat itu mengudara dari Bandara
Hasanuddin sekitar pukul 07.15 WITA, dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta sekira
pukul 08.15 WIB (atau 09.15 WITA). Kemudian pada jam 11.00 WIB, saya
meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta, saya menumpang pesawat Garuda GA 820
menuju KLIA (Kuala Lumpur
Internasional Airport).
Saya mendarat di Sepang, Selangor, sekira tepat pukul 13.30 waktu Malaysia.
Sedetail itukah saya mengingat
perjalanan saya 10 tahun silam? Ada
sebuah peribahasa Inggeris berbunyi: “We don’t remember days. We remember
moments. So, make moments worth remembering.” (Kita tidak mengingat waktu.
Kita hanya mengingat peristiwa. Maka, buatlah peristiwa itu berharga).
Begitulah, sesungguhnya waktu
perjalanan di atas tidak penting buat saya. Dan, saya pasti tidak akan
mengingatnya sedetail mungkin bila tidak ada ‘worth remembering’ yang
berkelindan dengan waktu perjalanan tersebut. Ada dua ‘worth remembering’ yang membuat
waktu perjalanan di atas terus teringat, apalagi ketika membaca kembali buku Tirai
Rindu karya Hasbullah Said ini.
…
Saya tiba di Bandara Hasanuddin
pagi-pagi sekali. Saat itu hujan turun sangat deras. Kala itu, Bandara
Hasanuddin masih berlokasi di Mandai, tidak sebagus dan secanggih sekarang yang
berlokasi di Sudiang. Setelah membayar sewa taksi, saya berlari menuju
pelataran bandara, pakaian saya sedikit basah. Saya masih menepuk-nepuk baju
saya yang terpercik oleh hujan ketika melihat seorang perempuan turun dari
taksi. “Wah dia juga pasti akan kehujanan, mana bisa berlari cepat dengan
pakaian kerudung seperti itu, bawa tas cukup besar pula,” batinku.
Saya cepat berlari ke arah perempuan
itu, saya mengambil tasnya lalu berlari kembali ke tempat semula. Dengan
langkah tertatih-tatih ditingkahi hujan, perempuan itu mengekor di belakang
saya. Meski agak kebasahan dan sedikit ngos-ngosan, perempuan itu tetap nampak
sumringah, lalu ia berucap dengan logat Melayu, “Terima kasih, Bang.”
Saya mengangguk senang. Lalu, dengan
disaksikan oleh hujan, kami pun berkenalan singkat. Perempuan Malaysia yang berbaju kurung
tersebut adalah seorang mahasiswa kedokteran di Universitas Hasanuddin. Ia pun
tahu, bahwa saya berangkat ke Malaysia
sebagai seorang terdidik, ya educated-man. Ehm! Perempuan berbaju kurung
tersebut akhirnya menjadi teman akrab dalam perjalanan Makassar-Jakarta-Kuala
Lumpur, dan mungkin sudah takdir, kami terus bersama hingga ke Kedah Darul
Aman. Hingga…
“Lalu apa hubungan antara cerita di
atas dengan buku Tirai Rindu ini?”
Aha! Baiklah saya akan ceritakan,
‘worth remembering’ kedua yang sesungguhnya masih berkelindan dengan kisah di
atas.
Ternyata, meski perempuan Malaysia
tersebut kuliah di fakultas kedokteran, ia sangat menyukai sastra. Manalah ada
orang Melayu yang tak suka sastra.
Saat transit selama tiga jam di
Bandara Soekarno-Hatta, di sela perbincangan kami yang kian akrab, perempuan
Melayu tersebut membaca koran yang dibawanya dari Makassar. Koran Harian
Pedoman Rakyat, sayang koran tertua di Makassar tersebut kini sudah tidak
terbit lagi.
“Saye nak suke cerita ni,” ujarnya
dengan logat Melayu yang sangat kental.
Saya menengok ke arahnya, sekedar
untuk menunjukkan minat.
“Cuba
bacalah, Bang!”
Saya
mendekat. Saya mengambil koran dari tangannya, hingga tangan kami tak sengaja
bersentuhan, perasaan saya sedikit dumba-dumba (sedikit bergetar). Lalu,
saya pun membaca tulisan cerpen yang berjudul “Tirai Rindu” karya
Hasbullah Said. Saya membacanya hingga tamat.
“Saye
suke perkisahannya.”
“Memang
bagus! I like it,” jawabku.
Kami harus berhenti membahas cerpen
Hasbullah Said tersebut, karena pesawat Garuda GA 820 segera mengudara menuju Malaysia.
Di atas pesawat, perempuan Melayu tersebut sempat berujar, “Budi dan Yuli, bisa
keh menyatu?” Ternyata perempuan Melayu tersebut terus teringat dengan cerita Tirai
Rindu. Pasti hingga kini.
Sebagai lelaki, tentu saja saya
harus memberikan jawaban. Ya, tentu jawaban yang mengandung pengharapan. “Kalau
sudah jodoh, pastilah Budi dan Yuli akan menyatu. Siapalah yang sanggup menolak
takdir Tuhan.”
Senyum perempuan Malaysia itu
merekah. Amat merakah. Hingga mampu mencipta sejarah. Ya, sejarah kami berdua.
…
Setelah membaca semua cerpen dalam
buku Tirai Rindu ini, saya sungguh percaya dengan ucapan perempuan
berbaju kurung 10 tahun silam. ‘Perkisahan’ Hasbullah Said memang menarik.
Hasbullah said begitu piawai mendedah madah yang meluah hibah. Dan, saya
merasakan begitu kuat, semua cerpen dalam buku ini, membekas dalam benak saya.
Hingga membuat saya tergamak.
Saya bahkan terus mengulang, dan
mengulang beberapa judul, “Desember Kenangan,” “Rindu Biru,” “Misteri Cinta,”
“Cintaku Jauh di Pulau.” Saya seolah berdiri di tirai rindu. Lalu, saya pun
menutup tulisan ini, di saat hujan masih terus turun. Hanya satu yang tak
mungkin saya tutup: kenangan. Dan cerita-cerita Hasbullah Said terus merawat
kenangan itu. Kenangan yang menjelma sejarah.
Tamannyeleng,
24 Februari 2014
tulisan ini adalah catatan pengantar buku TIRAI RINDU karya Hasbullah Said, diterbitkan
oleh Pustaka Puitika Yogyakarta 2014
[1]
Sastrawan dan peneliti budaya. Menulis buku sastra, diantaranya: Lebaran Kali
ini Hujan Turun (Makassar 2006), Pohon-Pohon Rindu (Yogyakarta,
2009), Daun-Daun Rindu (Yogyakarta, 2010), Perempuan Poppo
(Yogyakarta, 2010), Sabda Laut (Yogyakarta, 2010), Sarifah (Yogyakarta,
2011), La Galigo, Napak Tilas Manusia Pertama di Kerajaan Bumi
(Yogyakarta, 2012), dan La Galigo, Gemuruh Batin Sang Penguasa Laut
(Yogyakarta, 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar