KADAR REALISME MAGIS DALAM NOVEL PEREMPUAN POPPO
KARYA DUL ABDUL RAHMAN
(Tesis S2 Burhan
Kadir, 2014. Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Sastra Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)
Abstrak
Pokok
masalah dalam penelitian ini adalah
menghadirkan kembali mitos, magis dan tradisi dalam sebuah kesusastraan
Indonesia modern yakni pada sebuah novel Perempuan Poppo ditengah
hiruk-pikuk arus globalisasi dan paham modernitas yang semakin mewabah. Persoalan
yang kemudian ditemukan pengarang menghadirkan dunia magis itu, lalu kemudian
mematikannya dengan pikiran-pikiran realis dan menghadirkan pikiran-pikiran
modern dengan pembacaan-pembacaan magis. Pengarang memosisikan tradisi dalam
novel ini dengan oposisi modernitas serta oposisi lokalitas dan globalisasi
dalam konteks sosial dan budaya masyarakat Bugis-Makassar yang menjadi obyek
dalam cerita novel Perempuan Poppo ini. Untuk memecahkan masalah ini
digunakan cara pandang realisme magis.
Penelitian
ini menggunakan teori realisme magis yang merupakan cara pandang posmodernitas
untuk melihat gejala tradisi sebagai dunia magis dalam pengaruh modernitas
dalam sebuah karya sastra sebagai dunia riil. Hal pertama yang dilakukan dengan
teori adalah melihat kadar realisme magis dalam novel ini, pertama yakni
melihat lima karakteristik realisme magis untuk menentukan kadarnya, lalu
melihat relasi antar elemen itu dan menemukan fungsi struktur elemen tersebut.
Selanjutnya adalah menentukan kadar realisme magis dalam novel Perempuan
Poppo ini. Setelah kadar itu diidentifikasi, selanjutnya adalah melihat
konteks sosial dan budaya untuk melihat keberpihakan pengarang dengan dua dunia
tersebut dan ide yang coba dihadirkannya dalam novel Perempuan Poppo.
Dalam
novel Perempuan Poppo ini, pengarang mengakui keberadaan dunia magis
dalam dunia riil namun memisahkan dua dunia tersebut dengan posisi saling
berjauhan. Pengarang beranggapan bahwa dunia magis mengganggu kehadirannya pada
dunia riil. Pemisahan dunia magis dan dunia riil itu yang membuat novel ini
tidak dikategorikan sebagai karya realisme magis. Harapan yang coba dihadirkan
pengarang adalah masyarakat Bugis-Makassar menjadi masyarakat yang modern dan
tidak terganggu akan keberadaan dunia magis.
Ringkasan Hasil
Penelitian
A.
Karakteristik Realisme Magis
Langkah awal untuk melihat kadar
dan mengkategorisasi sebuah karya sastra bergenre realisme magis adalah dengan
menemukan elemen-elemen dari lima karakteristik yang digunakan untuk mengukur
kadar karya tersebut. Faris menentukan lima karakteristik tersebut, yaitu
pertama Irreducible Element atau elemen yang tidak dapat direduksi,
kedua Phenomena World atau dunia yang fenomenal, ketiga Unsettling
Doubt atau keragu-raguan yang menggoyahkan dan keempat Merging Realism
atau penggabungan magis dan riil, serta kelima Disruption Time, Space and
Identity atau gangguan atas waktu, ruang, dan identitas.
Lima karakteristik tersebut akan
digunakan untuk melihat kadar novel Perempuan Poppo karya Dul Abdul
Rahman, apakah termasuk dalam karya realisme magis atau bukan. Apabila kadar
tersebut terpenuhi dalam lima karakteristik ini dan dinyatakan sebagai sebuah
karya realisme magis, maka selanjutnya adalah apakah ada persamaan dan
perbedaan antara karya-karya realisme magis yang sudah ada sebelumnya. Hal
tersebut terungkap dalam buku Faris menyangkut tentang
pengungkapan-pengungkapan unsur magis dan riil tersebut berupa; apabila sama,
apa persamaannya dan apabila berbeda, apa perbedaannya.
Apabila ternyata kadar tersebut tidak
terpenuhi, misalnya magis mendominasi penceritaan atau justru riil yang
mendominasi alur cerira dan atau pada kasus lain yang mungkin ditemukan dalam
sebuah karya sastra disinyalir mempunyai kadar magis atau mitos seperti novel Perempuan
Poppo ini. Seperti dunia magis dan dunia riil atau elemen magis dan elemen
riil menjadi dua dunia terpisah jauh. Persoalan-persoalan ini nantinya mungkin
akan ditemukan di dalam pembahasan lima karakteristik tersebut sebagai sebuah
temuan dalam novel Perempuan Poppo. Selanjutnya adalah bagaimana melihat
karakteristik itu bekerja dalam novel ini. (Catatan: dalam intisari tulisan
ini, hanya akan dipaparkan salah satu contoh Irreducible Element sebagai contoh
saja).
Bunyi Magis
Hal pertama yang akan diidentifikasi
dari pengelompokan elemen magis beradasarkan objek magis adalah kemunculan
elemen magis sebagai suara atau bunyi magis. Elemen magis tersebut dapat
dilihat pemunculannya dari awal cerita, yaitu pada saat tokoh bernama Lam
selesai menulis dan ketika itu larut malam dan ingin berbaring.
Lam segera
memejamkan mata. Tapi lamat-lamat ia mendengar suara aneh, “po…po…po…” tapi ia
mencoba tidak menghiraukan bunyi itu. Di telinganya, bunyi itu memang jauh.
Teramat jauh, tapi firasatnya seolah dekat. “Aneh!” gumam Lam.
(Perempuan
Poppo: 16)
Ini
adalah pemunculan pertama objek magis berupa bunyi atau suara magis. Bunyi
tersebut merupakan bunyi dari makhluk jadi-jadian yang bernama Poppo. Penamaan
mahluk jadi-jadian Poppo ini karena berdasarkan dari suara po…po…po sendiri.
Narator hadir dalam adegan diatas dan menyatakan bahwa Lam mendengar suara
aneh. Po…po…po, jadi secara tidak langsung narrator menyatakan bahwa suara itu
aneh. Sedang Lam pada awalnya tidak memedulikan suara itu, namun akhirnya
merespon juga suara itu dengan mengatakan aneh berdasar firasatnya.
Pada
tindakan Lam yang mengaatakan aneh terhadap bunyi yang didengar berdasar atas
firasatnya, maka bunyi tersebut memang adalah bunyi aneh, bukan bunyi yang
sering didengar pada umumnya. Hal ini dikarenakan pikiran yang lahir dari
sebuah firasat adalah hal yang bertentangan dengan empiris karena firasat
adalah irasional bukan berdasar atas nalar atau logika dari ilmu pengetahuan
empiris. Hal ini seperti perkataan narrator, di telinganya bunyi itu memang
jauh, teramat jauh tapi firasatnya seolah begitu dekat, “Aneh” gumam Lam.
Pada adegan cerita ini, jelas terlihat respon Lam menjadi irrasional. Hal
tersebut membuat “suara aneh” diidentifikasi menjadi sebuah bunyi magis.
Namun
objek magis dari elemen bunyi tersebut menjadi reducible. Pertama,
karena hanya Lam dan narrator yang mendengar bunyi tersebut. Kedua, Lam dan
narrator hanya menganggap bunyi magis itu sebagai bunyi aneh. Aneh adalah
sebuah bentuk keraguan dari suara itu, ada ambiguitas yang dihadirkan di dalam
suara aneh tersebut, apakah itu suara memang magis atau tidak. Hal demikian
membuat elemen magis tersebut tidak dalam kategori irreducible.
Elemen
magis dengan bunyi magis kembali terdengar di kos Padaidi. Hal ini dapaat
dilihat dalam kutipan berikut:
“Po…po..po…” Malam itu sebenarnya sunyi. Tetapi bunyi itu membuat
gempar penghuni kos Padaidi. Awalnya hanyalah penghuni kos bernama Saribanong
yang mendengarnya. Ketika mulai bercerita, penghuni kos tidak percaya dengan
Saribanong yang memang suka bercanda. Tapi Saribanong bercerita panjang lebar
dengan tiada sanggup menyembunyikan ketakutannya. Memang saat itu bertepatan
dengan malam Jumat yang oleh banyak orang dianggap keramat.
(Perempuan Poppo: 19-20)
Bunyi
Poppo menjadi kali kedua kemunculannya dan terdengar oleh tokoh dalam cerita.
Saribanong terbata-bata menceritakan apa yang didengarnya, “Be…benar.
Saya…saya mendengar bunyi poppo itu sebanyak dua kali, sambil menunjuk ke arah
pohon mangga dekat asrama mereka bahwa bunyi yang didengarnya berasal dari
pohon mangga itu. Wajah Saribanong pucat pasi dan seperti tak mampu bernafas,
sesak dan tercekak menceritakan apa yang dia dengar” (Perempuan Poppo: 20).
Penggambaran detail dari narrator tentang kondisi tokoh Saribanong saat
mendengar bunyi poppo tersebut semakin meyakinkan bahwa yang didengar adalah
suatu bunyi magis.
Apalagi
dengan terlihatnya ketakutan pada diri Saribanong saat menceritakan apa yang
didengarnya kepada penghuni lain di kos Padaidi. Ketakutan tersebut menjadi
sebuah respon pada elemen magis tersebut bahwa bunyi poppo memang benar sebuah
bunyi magis. Artinya, suara poppo tersebut sangat dikenal oleh Saribanong.
Saribanong tidak mengetahui suara itu dengan pasti darimana berasal, hingga ada
perasaan ketakutan saat mendengaar bunyi itu, apalagi sampai dua kali
terdengar. Narrator pun hadir dan mendengar bunyi tersebut. Hal in terlihat
ketika narrator menggambarkan perasaan ketakutan Saribanong saat menceritakan
bunyi Poppo tersebut pada penghuni lainnya.
Narrator
seakan membuat bunyi tersebut semakin diyakini sebagai bunyi magis dengan
mengatakan bunyi itu membuat gempar penghuni kos Padaidi. Artinya, bunyi
itu memang menjadi sesuatu yang menakutkan. Apalagi malam itu adalah malam
Jumat yang oleh banyak orang dianggap keramat. Hal ini dikemukakan oleh
narrator dengan mengatakan bahwa malam jumat adalah malam keramat bagi sebagian
orang. Keadaan ini semakin memperkuat identifikasi bahwa memang bunyi Poppo itu
adalah bunyi magis, apalagi cerita Saribanong menjadi bukti bahwa suara itu
memang suara magis, apalagi cerita Saribanong menciptakan ketakutan pada
penghuni lainnya, khususnya perempuan, itu terlihat dengan respon mereka
mengatakan “Seram”, “Ikhhhh”, teman-temannya yang perempuan yang
mengelilinginya ikut bergidik. Mereka yakin kali ini Saribanong tidak beromong
kosong” (Perempuan Poppo:20).
Objek
magis tersebut adalah elemen magis yang disebabkan oleh bunyi magis, namun
tidak termasuk dalam karakteristik sebagai elemen yang tidak dapat direduksi.
Hal ini dikarenakan bahwa hanya tokoh Saribanong yang mendengarnya, penghuni
lain dalam kos tersebut tidak ada yang mendengar bunyi itu. Hal ini meski dapat
dikatakan sebagai sebuah peristiwa magis, namun tidak cukup meyakinkan
kebenarannya pada penghuni laki-laki kos Padaidi. Mereka tidak percaya dengan
adanya bunyi tersebut. Massarappi sebagai seorang petugas kesehatan, hanya
mengatakan setelah mendengar cerita Saribanong, “Tidak usah takut, tidak ada
poppo di kota, mungkin tadi Saribanong salah dengar.” Lalu tokoh laki-laki
lainnya bernama Pawenneri mengatakan, “Mungkin suara kelelawar yang kesasar,”
sambil berkacak pinggang, (Perempuan Poppo: 21)
Lam
juga mengatakan, “Tidak ada poppo di kota, Poppo hanya halusinasi dari desa
(Perempuan Poppo: 21). Lalu pernyataan Tenriadjeng yang mengatakan “Sudahlah
teman-teman, bunyi Poppo sebenarnya hanyalah halusinasi ketakutan seseorang.
Jangan diingat dan dibayangkan terus bunyi itu, karena hanya akan menciptakan
ketakutan (Perempuan Poppo: 23). Pernyataan Lam, isterinya Tendriajeng
serta penghuni laki-laki lainnya adalah sebuah kooptasi berdasarkan kode-kode
realisme pada bunyi poppo sebagai bunyi magis. Hal demikian membuat peristiwa
magis tersebut menjadi tereduksi, sehingga tidak dikategorikan sebagai Irreducible
Element.
B. Kadar
Realisme Magis
Gradasi posisi dunia magis dan dunia
riil dilihat sebelum menentukan kadar. Apakah posisi magis dan riil terletak
ditengah-tengah dan saling mengganggu, maka novel Perempuan Poppo
termasuk dalam karya realisme magis. Namun, kalau ternyata setelah melihat
keseluruhan struktur ceritanya tidak demikian, maka akan terlihat dimana posisi
magis dan riil, apakah berat di dunia riil atau berat di dunia magis.
Barangkali pada temuan nanti hanya terdapat dunia magis dan dapat juga cerita
novel ini murni realisme dunia magisnya hilang sama sekali. Untuk itu, perlu
ketelitian dalam melihat gradasi unsur dunia magis dan dunia riil dari struktur
narasi dalam novel Perempuan Poppo sebagai sebuah kesatuan cerita yang
saling berhubungan satu sama lain.
Di awal cerita novel Perempuan
Poppo menggambarkan realitas kehidupan Lam dan isterinya, bagaimana
keduanya hidup sebagai pasangan suami isteri yang bahagia dan mempunyai
sepasang anak. Lam berprofesi sebagai penulis juga menjadi dosen luar biasa pada
sebuah perguruan tinggi swasta. Isterinya pun sementara menyelesaikan kuliah di
jurusan ilmu keperawatan di salah satu kampus kesehatan di kota Makassar.
Sehari-hari, mereka membuat penganan tradisional, lalu dititipkan di
penjual-penjual dekat rumah kos mereka di kawasan Tamalanrea di area
Universitas Hasanuddin. Ini adalah gambaran yang digunakan pengarang untuk
melukiskan kehidupan dunia riil mereka yang sangat bahagia sebagai pasangan
suami istri.
Karakter Lam diperlihatkan oleh
pengarang lewat narrator menggunakan alur mundur dalam bentuk flashback
memori yang dihadirkan lewat tokoh Lam. Adegan itu saat Lam melamun mengingat
waktu dia datang bertemu orang tua Tenriadjeng isterinya dan melamar. Sosok Lam
diperlihatkan oleh narrator sebagai sosok yang sangat percaya diri, optimistis,
tekad yang kuat, dan laki-laki yang penuh semangat. Pada memori flashback
tersebut, narrator mulai menunjukkan keberadaan sisi magis dalam cerita. Hal
pertama adalah saat orang tua Tenriadjeng berpikir bahwa sosok Lam adalah orang
yang dapat membebaskan anaknya dari jeratan mistik. Kedua, saat narrator
memunculkan gejolak-gejolak dari laki-laki lain yang cemburu melihat Lam
mempersunting gadis cantik anak kepala desa sebagai gadis Poppo.
Kehadiran dunia magis itu bermula
dari pemahaman yang dibangun narrator lewat orang tua Tenriadjeng, diperkuat
dengan menyebutkan profesinya sebagai kepala desa, secara tidak langsung
menyebutkan bahwa di desa tersebut masih percaya akan adanya hal-hal mistik.
Lalu hal mistik itu disebutkan secara eksplisit “Poppo” seseorang yang menganut
ilmu hitam hingga dapat berubah wujud menjadi makhluk jadi-jadian dalam
kepercayaan Bugis-Makassar. Kepercayaan ini ada yang hanya sebatas mitos,
seperti Lam, Poppo hanya dianggap sebagai mitos untuk menakut-nakuti anak-anak
agar tidak berkeliaran malam-malam. Ada juga masyarakat yang percaya bahwa
Poppo ini ada yang nyata, inilah yang menjadi oposisi antara magis dan riil
dalam segi kepercayaan masyarakat pada dunia riil.
Salah satu wacana yang coba dibangun
dalam alur cerita novel Perempuan Poppo adalah pandangan modernisme, Lam
menjadi orang yang mewakili orang-orang yang berpikiran empiris. Rasional
sebagai pandangan yang modern, sebagai sebuah representase dari paham modernisme
Lam tidak percaya dengaan keberadaan Poppo, hanya sebagai sebuah mitos. Dari
rangkaian pemunculan objek magis di sekitarnya, Lam tidak percaya bahkan
membuat kooptasi dengan kode-kode realitas atas kehadiran elemen magi situ,
meski terlihat Lam menggunakan dongeng dalam memberikan pembelajaran hidup
untuk anak-anaknya dan berbicara tentang budaya local sebagai kekuatan untuk
melawan arus globalisasi yang semakin membuat budaya dan pengetahuan local
tergerus, bahkan dalam tulisannya pun Lam menjadikan tema budaya sebagai
spesialisasinya.
Faktor lain yang mempertentangkan
modernitas dengan tradisi adalah usahanya untuk membebaskan manusia dari
belenggu-belenggu kebudayaan yang ada sebelumnya yang sudah berhegemonik. Dalam
hal ini, modernitas menyatakan diri sebagai kekuatan cultural yang reflektif,
yang bekerja atas daya nalar, daya kognisi, atas dasar kesadaran, bukan daya
emosi atau perasaan yang bersifat naluriah, intuitif, tak sadar. Hal ini
sebagai sebuah gerakan kebudayaan baru. Modernitas berusaha terus menerus
membangun kemampuan reflektif manusia sehingga pada gilirannya dapat menyadari
operasi kebudayaan tradisional dan akhirnya melakukan kritis atas kebudayaan
tersebut (Faruk, 2011: 18).
Terlihat narrator membuat sebuah
dinamika dalam diri Lam, Lam sebagai orang yang berpandangan modern, empiris,
namun juga melawan globalisasi dengan kekuatan lokalitas. Wacana oposisi
selanjutnya yang dihadirkan adalah global versus lokalitas, sebagai manusia
yang berpikiran modern namun menggunakan pengetahuan-pengetahuan local untuk
melawan globalisasi, tetapi tidak percaya dengan mitos-mitos adalah sosok Lam
yang digambarkan pengarang lewat novel. Lam hanya mempercayai mitos sebagai
sebuah alat untuk menyampaikan ajaran budi pekerti orang tua dulu, begitu juga
dengan dongeng-dongeng yang setiap malam dijadikan pengantar tidur untuk
anak-anaknya.
Kehidupan manusia, dan dengan
sendirinya hubungan antarmanusia dikuasai oleh mitos-mitos. Sikap terhadap
sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri. Mitos menyebabkan untuk
disukai atau dibenci. Mitos akan menyebabkan suatu prasangka tertentu terhadap
sesuatu yang dinyatakan dalam mitos. Hanya melalui persentuhan diri dengan hal
tertentu, dapat diketahuinya kebenaran atau kesalahan dari mitos tersebut. Persentuhan
tersebut mungkin dapat memperkuat mitos itu atau mungkin juga dapat
meniadakannya (Junus, 1981: 84).
Polemik tentang magis dan riil,
mitos dan empirisme mulai terlihat setelah Lam mendengar suara Poppo, namun
narrator hanya menyebutkan suara itu sebagai suara aneh. Lam sebenarnya yang
mendengar suara itu pertama kali, namun Lam hanya menganggapnya sebagai suara
yang aneh karena Lam memang tidak percaya kalau Poppo itu nyata keberadaannya.
Berbeda dengan Saribanong, suara itu membuatnya ketakutan bahkan setelah
menceritakan apa yang didengarnya pada teman-teman sesama penghuni asrama maka
semua menjadi ketakutan. Hal ini adalah bentuk respon bahwa Poppo dipercayai
bukan sekedar mitos atau dongeng semata, Poppo dipercayai keberadaannya,
meskipun belum melihatnya secara langsung dengan hanya mendengar diri orang
lain bahwa itu suara Poppo.
Kejelasan akan hal itu semakin
terlihat setelah mereka menceritakan tentang bagaimana Poppo berdasarkan
pengalaman di kampungnya masing-masing. Tokoh bernama Saribanong misalnya,
Halimah, dan Hasnah yang paham betul bagaimana Poppo ittu, meski pengetahuan
itu hanya didapatkan dari cerita orang tua maupun kakeknya waktu masih tinggal
di kampung, tetapi Lam mengatakan kepada mereka semua, bahwa Poppo hanya ada di
desa, Poppo tidak ada di kota, meski yang dikatakan Lam ini hanya untuk membuat
teman-temannya tidak ketakutan dengan cerita Saribanong, namun secara tidak
langsung Lam membuat sebuah oposisi tentang desa dan kota. Desa adalah tempat
mitos dan hal yang menakutkan tersebut sedangkan kota adalah tempat dunia
modern dan yang baik-baik.
Seperti kata Junus dalam bukunya
mitos dan komunikasi, mustahil ada kehidupan tanpa mitos. Kita hidup dengan
mitos-mitos yang membatasi segala tindak-tanduk. Ketakutan atau keberanian
terhadap sesuatunya ditentukan oleh mitos-mitos yang hidup. Banyak hal yang sukar
dipercayai berlakunya, tapi berlaku hanya karena penganutnya begitu memercayai
sebuah mitos. Ketakutan pun akan sesuatu lebih disebabkan karena ketakutan akan
suatu mitos, bukan karena ketakutan akan keadaan yang sebenarnya. Karena itu
segala peraturan dalam kehidupan kita biasanya diterangkan dengan suatu alasan
mitos. Dengan kekuatan mitos yang ada padanya, peraturan itu diharapkan akan
dapat begitu mencekam kehidupan, sehingga masyarakat takut untuk melanggarnya.
Kehadiran suatu mitos merupakan kemestian terutama pada hal-hal abstrak,
sesuatu yang tidak jelas tentang baik dan buruknya, sesuatu yang ambiguous
(1981: 93-94).
Apa yang dikatakan Lam itu semakin
terlihat bagaimana dilema Lam sendiri dalam dirinya, dengan mengatakan hal
seperti itu seperti mengingkari apa yang diperjuangkan selama ini. Kekuatan
pengetahuan local untuk melawan arus globalisasi. Padahal pengetahuan local
hanya bisa didapatkan dalam kehidupan pedesaan, muncul dan bersemi dari
kehidupan yang masih murni tanpa pengaruh dunia perkotaan yang modern dan mulai
kehilangan identitasnya sebagai seorang manusia yang menjunjung tinggi adat dan
adab. Lam memosisikan dirinya sebagai orang-orang kota yang empiris dan memang
tidak percaya akan mitos-mitos.
Dalam cerita ini pengarang menggunakan
latar pegunungan, tempat yang magis dan mitos itu tersimpan dan berada. Ini ada
anggapan bahwa mistik itu berada sangat jauh dari kota. Dunia kampus juga
banyak menjadi latar kejadian dan tokoh-tokoh cerita juga banyak mahasiswa,
sepertinya pengarang memiliki alasan tersendiri menghadirkan dua dunia yang
saling bertentangan. Hal ini adalah sebuah pandangan bahwa dunia kampus sebagai
tempat yang sangat menjunjung tinggi empirisme, melahirkan agen-agen empiris,
yaitu mahasiswa. Kehadiran magis dianggap sebagai pengganggu kenyamanan hidup.
Hal itu terlihat bagaimana ketakutan dan tidak tenang menjalani hari-hari,
meski mereka percaya akan keberaadaan dunia magis itu, namun hanya dianggap
sebagai pengganggu, seperti terlihat dari beberapa adegan dalam karakteristik
di atas.
Hanya tiga orang mahasiswa dari
beberapa penghuni di asrama Padaidi yang percaya akan keberadaan Poppo, yaitu
Saribanong, Halimah, dan Hasnah, namun tetap menjadikan objek magis itu sebagai
hal yang menakutkan dan mengganggu kehidupan mereka. Mereka yang lainnya mengkooptasi
setiap pemunculan magis itu, sebagai seorang mahasiswa yang empiris dan
berpikiran modern atas logika dan yang diperhadapkan kepadanya harus terbukti
secara empiris dan rasional. Mereka menjadi manusia modern yang melupakan akar
budayanya dan tidak memercayai mitos-mitos sebagai pengetahuan local mereka
yang sarat akan ajaran-ajaran moral dan pengetahuan yang melampaui zamannya.
Hal tersebut terbukti dari beberapa
kejadian yang penting dalam cerita, pertama Lam sebagai manusia modern, empiris
dan rasion secara sadar sesuai apa yang terlihat dengan mata kepalanya,
menikahi seorang yang berparas cantik, dan baik, namun secara tidak sadar pula
menikahi seorang perempuan Poppo. Isterinya adalah seorang mahasiswa tentunya
juga sangat empiris, namun di dalam dirinya ada Poppo. Dia tidak menjadi
empiris hanya karena alasan sebagai anak berbakti, tidak ingin melihat orang
tuanya sedih, menderita, tidak lagi menjadi kepala desa, dan hidup melarat, dia
rela Poppo dimasukkan dalam dirinya sebagai tumbal untuk tetap menjaga harta
dan posisi orang tuanya. Padahal belum tentu itu semua terjadi bila ia menolak
Poppo itu menjelma dalam dirinya.
Persemaian rill dan magis ini dalam
objek yang empiris sebagai bentuk perlawanan akan orang-orang yang berpikiran
modern, orang-orang yang meninggalkan dan tidak mempercayai budaya leluhur
nenek moyangnya. Hal ini seperti yang dikatakan sebelumnya kejadian munculnya
elemen magis ini banyak terjadi di kampus. Ini adalah sebuah bentuk serangan ke
benteng dunia empiris dan modern, seperti menceritakan makam keramat yang
berada dalam kampus depan Masjid Kampus Universitas Hasanuddin. Agama
bersanding dengan kepercayaan kuno masyarakat Bugis-Makassar, yang semua
berjalan seiring dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada akhir cerita dalam novel ini,
setelah Lam mempercayai bahwa Poppo bukan sekedar mitos dan dunia magis itu
benar adanya, Lam terlihat menyembunyikan apa yang diketahuinya benar, meski
Lam menerima kenyataan bahwa isterinya adalah seorang perempuan Poppo, tetapi
Lam menyembunyikannya. Lam tidak ingin semua orang tahu bahwa Poppo itu
sebenarnya adalah jelmaan isterinya. Lam mengatakan kepada teman-teman sesama
penghuni asrama Padaidi bahwa sekarang sudah zaman modern, Poppo sudah tidak
ada, jadi jangan saling memfitnah lagi.
poppo itu perempuan ya?
BalasHapusya, perempuan, PEREMPUAN POPPO
Hapus