Menyelisik Ruang-ruang Kecemasan
Tiga Orang Penulis
Oleh: dul abdul
rahman[1]
Saya
selalu memosisikan diri, bila membaca sebuah buku atau tulisan, maka seumpama
saya memasuki sebuah rumah. Tentu saja, saya adalah seorang tamu. Dan,
kata-kata, frase, pun kalimat adalah suguhan dari sang empunya rumah. Manis,
pahit, amis, kecut, sesungguhnya hanyalah rasa saja. Dan selalu saja, soal rasa
hanyalah soal selera. Aha! Siapalah yang bisa memaksakan selera orang sama. Dan
siapalah yang mau berdosa memastikan, manis itu obat, dan pahit itu racun.
Setelah
bertamu ke ruang-ruang narasi ketiga penulis muda ini, segala rasa membuncah,
lalu meluah. Luahan-luahan rasa itu menumpuk pada sebuah ruang. Itulah
ruang-ruang kecemasan. Ruang yang di dalamnya terdiri dari bilik-bilik yang
berbeda. Itulah bilik interpretasi. Dan, tentu saja, kesuksesan awal
tulisan-tulisan dalam buku ini adalah mampu menghadirkan ruang-ruang kecemasan.
Tapi,
tentu saja, membaca ruang-ruang kecemasan dalam sebuah karya sastra bukanlah
sebuah keniscayaan bagi seorang pembaca. Bukankah, soal rasa hanyalah soal
selera saja. Tapi rasa, sebagaimana halnya dengan kata, juga butuh harmonisasi.
Manalah kopi enak diteguk kalau terasa teh, dan dimana pula letak enaknya kalau
teh beraroma kopi.
Ya! Bolehlah kita bersilang rasa soal selera,
tapi yang jelasnya, ruang-ruang kecemasan dalam karya sastra bukan hanya harus
ditafsirkan sebagai sebuah kegalauan pengarang atas dunia atau realitas yang
dihadapinya, tetapi juga merupakan sebuah dunia hiper-real yang berusaha
dibangunnya.
Bagi
seorang pengarang, dunia kecemasan merupakan salah satu hal yang urgen yang
harus disajikan dalam karya-karyanya. Dalam ruang-ruang kecemasan ini, seorang
pengarang berusaha membangun dunianya sendiri, minimal mereka berusaha
menghadirkan ketidak-setujuannya atau penentangannya terhadap realitas yang
berserakan di masyarakat yang dianggapnya bertentangan dengan nilai-nilai yang
diyakininya. Sebab dari dunia kecemasan inilah, manusia akan selalu dapat
mengintrospeksi diri. Dan itu berhasil dilakukan oleh ketiga penulis dalam buku
ini. Dunia hiper-real yang dibangun oleh Damang Averroes Al-Kharizmi terlihat sebangun
dengan dunia hiper-real Andi Paramata Anum, dunia hitam-putih. Sedikit agak
lain, Irhyl R Makkatutu membangun dunia hiper-realnya dengan warna abu-abu,
sebuah warna yang sebenarnya manipulatif, tak hitam tak putih. Ya, Irhyl R Makkatutu
lebih memilih berteriak lembut daripada Damang Averroes Al-Khawarismi dan Andi Paramata
Anum. Tapi ini juga soal selera, bukankah kata-kata yang ‘direndahkan’ belum
tentu bermakna lembut, dan siapalah yang berani mengklaim bahwa suara yang
‘ditinggikan’ selalu saja kasar.
Dalam
banyak hal, pertentangan nilai yang dialami oleh pengarang kadang memunculkan
dunia-dunia baru yang diyakininya sebagai dunia yang berisi nilai-nilai baik
yang seharusnya dijalankan oleh setiap individu. Dalam dunia-dunia baru ini
seorang pengarang menyajikan nilai-nilai yang diyakininya. Dunia makna dikelola
berdasarkan nilai-nilai kebenaran yang ingin disampaikan seorang pengarang pada
pembaca. Tentu saja, dari bilik-bilik kecemasan yang sunyi, Andi Paramata Anum,
Damang Averroes Al-Khawarismi, dan Irhyl R Makkatutu berteriak dan berbisik
menyuguhkan nilai-nilai yang diyakininya.
Bilik-bilik
Kesunyian Andi Paramata Anum
Meski berdiri di bilik-bilik kesunyian,
Andi Paramata Anum tetap berteriak dalam kisah-kisahnya. Lihatlah penggalan
dalam cerita “Derita Ragita”:
Rembulan, bintang, purnama tak habisnya kata
mewakili kiasan indah untuk diselami. Terkadang itu hanya perwakilan yang tak
berujung kebaikan. Ada yang meremehkan dengan buah bibir begitu busuk untuk
dinikahi, ada yang menyanjung namun begitu jorok untuk diselami. Lalu setelah
itu, semuanya akan diperhadapkan pada masalah-masalah yang hakekatnya akan
merasa terpatih dengan rekayasa yang disajikan. Aku tak ingin menyampur ragaku
dengan mereka, biarlah mereka yang jalani. Aku punya jalanku. Aku belajar
memahami jalanku. Jalan yang nantinya menjadi petunjuk setelah aku menemui luka
dan kerinduan.
Teriakan lain Andi Paramata Anum
dari bilik-bilik kesunyiannya, yang sesungguhnya adalah sebuah tangisan terekam
dalam kisah “Sisa Mimpi Semalam”:
Aku menoleh
pada teriknya malam, rasanya itu nyata, tapi sesaat aku sadar, apa ini
halusinasi bagiku ataukah nyata dalam hidupku. Baru kali ini aku melihat
teriknya malam, padahal biasanya malam membias rembulan yang begitu indah.
Mengapa saat ini terasa begitu penat, ngeri juga galau bagiku. Ah, kuingkari
apa yang kurasa. Rasanya aku berlari ke dalam dunia mimpi. Mimpi yang tak
mengembalikanku pada kenyataan. Aku memang bahagia, ya bahagia, tapi bukan
dalam ketidakpastian dengan keraguan hidupku.
Ada dua hal yang unik dalam kisah-kisah Andi Paramata Anum dalam buku
ini. Pertama, ruang-ruang kegelisahan yang dibangunnya adalah sebuah
dunia multi-tafsir atas realiatas yang dihadapinya dari kacamata seorang
perempuan. Kedua, dari “kacamata” seorang perempuan, Andi Paramata Anum
kadangkala dengan mata “sembab” mengusung potongan-potongan kegelisahannya
dengan cara menggedor-gedor bahkan menghentakkan palu godam secara “brutal”
sehingga pembaca tersentak dan terkepung kengerian.
Batu-batu
Kesedihan Irhyl R Makkatutu
Ketimbang berteriak dalam
ruang-ruang kecemasan yang sunyi, Irhyl R Makkatutu lebih memilih benyanyi
riang di atas alam yang tak mengenal batas. Lihatlah kutipan penggalan kisah
“Madah Gelombang”:
Riuh gelombang menghampir di telinga. Seorang
lelaki duduk di hadapan gelombang laut. Menikmati sepoi. Mengecuplah kenangan
yang malu-malu menampakkan dirinya. Di ujuang lazuardi sana, matahari mengintip
tajam ke arah lelaki itu. Warna yang dilahirkan mengagumkan merah dan kuning.
Kedua warna tersebut menyatu, menyempurnakan dirinya jadi jingga yang eksotik;
Jingga.
Dalam kisah “Kelopak Rindu”, dengan
lihai Irhyl R Makkatutu mendedahkan kisahnya:
Seorang gadis
duduk melamun memegang dagunya. Pandangannya lurus ke barat. Cemberut dan
kecewa terlukis di wajahnya. Sebuah batu kecil berwarna putih digenggamannya,
sesekali jemarinya mempermainkan benda itu dan tatapannya menyapu semua
sisinya. “Kapan batu jodoh ini berubah jadi pertemuan?”
Dalam semua bangunan kisah-kisahnya,
terlihat Irhyl R Makkatutu berdiri di atas batu-batu kepedihan sampi berdendang
lirih. Tetapi di akhir kisah-kisahnya, serupa Kahlil Gibran, Irhyl R Makkatutu
seolah berbisik, “Semakin dalam sang duka menggoreskan luka dalam sukma,
semakin mampu sang kalbu mewadahi bahagia.”
Jejak-jejak
Kerinduan Damang Averroes Al-Kharismi
Dalam jejak kisah-kisahnya, Damang
Averroes Al-Kharismi seumpama adalah seorang pejalan kaki. Ia adalah seorang
pengelana yang mencoba menapaki kembali jalan-jalan yang dilaluinya. Lihatlah
salah satu jejak kerinduan itu, dalam penggalan kisah “Hujan Airmata”:
Dusun
Batuleppa telah membawaku pada kedewasaan berpikir. Membawa pada usia yang
menjadi senja. Seakan uban ketuaan menjadi petanda. Tidakkah kampung ini
menjadi saksi. Bahwa, ia jauh lebih tua dibanding para penghuni yang tiap hari
lalu-lalang. Setiap udara pagi yang terbuka. Diramaikan oleh mereka yang turun
dari bukit Banyira menjajakan buah langsat dan rambutan di pasar Lancibung.
Telah menjadi pemandangan dan ocehan dari para pedagang eceran untuk
memanipulasi harga dalam mencari keuntungan pasar.
Jejak kerinduan lain Damang Averroes
Al-Kharismi yang mendedah airmata terekam dalam kisah “Memori Kematian”:
Tak lupa
untuk ayahku yang ada di pemakaman. Di kampung. Punya kenangan jelak dengan
kematian. Di sini aku benar-benar merasakan yang namanya kepedihan dan rasa
sakit saat orang kesayangan kita telah pergi. Engkau memang telah pergi
bertahun-tahun. Tapi kadang aku masih diingatkan dengan dirimu. Kematian.
Meski berjalan di atas jalan-jalan
berdebu, terlihat Damang Averroes Al-Khawarismi terlihat tidak gamang. Bahkan
ia berteriak, “Jalan-jalan yang berdebu ini telah meninggalkan jejak-jejak
makna dalam hidupku.” Begitulah, air mata tidaklah selalu wakil kelemahan. Pun,
air mata menetes tidak selalu mewakili kesedihan, tetapi ia mewakili rasa. Rasa
bahagia yang terekam indah lewat jejak-jejak makna.
…
Saya
merasa lega. Seumpama juga seorang pejalan kaki, saya sudah berhasil memasuki
semua ruang-ruang kecemasan ketiga penulis muda ini. Dari bilik-bilik kesunyian
Andi Paramata Anum, batu-batu kesedihan Irhyl R Makkatutu, hingga menyelami
jejak-jejak kerinduan Damang Averroes Al-Khawarismi.
Dan,
satu yang pasti. Bilik-bilik kesunyian, batu-batu kesedihan, dan jejak-jejak
kerinduan, semuanya menyuguhkan menu utama: Cinta.
Akhirnya
saya pun meninggalkan rumah kecemasan ketiga penulis muda berbakat ini. Saya
pun bernyanyi riang. Saya harap mereka mendengarkan nyanyian saya, nyanyian
yang pernah berkali-kali didendangkan oleh sosok yang sangat mengagungkan
cinta, Jalaluddin Rumi. “Andai tidak ada cinta, alam menjadi tidak mempesona,
kicauan burung tidak lagi merdu, panorama alam tidak lagi mengagumkan, bahkan
kehidupan membeku tanpa makna.”
Matabubu,
27 Februari 2014
[1]
Sastrawan dan peneliti budaya. Menulis buku sastra: Lebaran Kali ini
Hujan Turun (Makassar 2006), Pohon-Pohon Rindu (Yogyakarta,
2009), Daun-Daun Rindu (Yogyakarta, 2010), Perempuan Poppo
(Yogyakarta, 2010), Sabda Laut (Yogyakarta, 2010), Sarifah (Yogyakarta,
2011), La Galigo, Napak Tilas Manusia Pertama di Kerajaan Bumi (Yogyakarta,
2012), dan La Galigo, Gemuruh Batin Sang Penguasa Laut
(Yogyakarta, 2012)
catatan:
Tulisan ini adalah pengantar dari buku MENETAK SUNYI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar