16. ADA JANJI DI BULU PACCING
Secara de facto, aku dan Nia sebenarnya sudah menjadi sepasang kekasih. Tetapi tak sah rasanya kalau kami tidak meresmikan hubungan cinta kami secara lisan. Kami sengaja berjanjian bertemu di sebuah pagi yang indah pada saat hari cerah. Kami berjanji bertemu di Bulu Paccing. Bulu Paccing adalah sebuah bukit yang terletak di sebelah selatan SMU Bikeru. Dari puncak bukit itu kami bisa menikmati indahnya pepohonan yang menghijau di Hutan Lindung Balang. Dari kejauhan di ujung utara nampak Taman Purbakala Batu Pakke Gojeng yang indah. Sebuah pagi yang benar-benar indah. Burung-burung lalu lalang semakin menambah indahnya panorama alam. Cericit unggas pagi yang menunggu mentari pagi menemani kami. Di kaki Bukit Bulu Paccing memang menghampar sawah nan luas. Kami memandang puas. Sengaja kami memilih Bukit Bulu Paccing karena kami ingin agar hutan dan pepohonan menjadi saksi hubungan cinta kami.
Perasaanku deg-degan ketika mulai meraih tangan Nia. Entah mengapa perasaan deg-degan itu tiba-tiba melandaku padahal sebelumnya aku sudah memegang erat bahkan memeluknya di Bukit Gojeng. Mungkin karena saat itu berbeda dengan saat ketika di Bukit Gojeng. Di Bukit Gojeng aku memegang tangannya dan memeluknya untuk menghibur dan menguatkannya dari rasa takut. Sedangkan di Bukit Bulu Paccing aku memegang tangannya sebagai ungkapan mencintainya dalam bahasa non-verbal. Lalu.
Kami berpegangan tangan erat. Hanya itu. Kami tak mau berpelukan apatah lagi berciuman. Kami merasa tak pantas dan tak etis melakukannya. Biarlah setan mencap kami kampungan dalam berpacaran, yang jelasnya kami tak mau kesetanan dalam mengenal dan menyatakan cinta. Sesungguhnya kami hanya ingin menyatakan dan menyatukan perasaan dulu. Tangan kami berdua seolah saling mengaliri api cinta. Api cinta yang tak akan pernah padam meski ditelan misteri waktu.
“Nia! Aku mencintaimu, aku menyayangimu. Aku ingin engkaulah cinta pertama dan terakhirku.”
Aku menggenggam tangannya erat. Ia menunduk. Ia menangis. Mungkin ia menyesal dan kesal. Ia tak bisa mengucapkan ucapan yang sama kepadaku. Karena sebelumnya ia memang berpacaran dengan Hutbah.
“Kakak mungkin tidak percaya, tapi kakaklah laki-laki yang pertama yang benar-benar membuatku jatuh cinta.” Ucapnya memohon supaya aku memahaminya.
“Bagaimana dengan Hutbah?” Aku sedikit menggodanya.
“Kakaklah cinta pertamaku, yang sebelumnya hanyalah….” Kalimatnya menggantung.
“Cinta monyet?”
“Semacam itulah mungkin, Kak?”
“Jadi Nia menganggap Hutbah sebagai monyet? Nanti aku lapor ke Hutbah.”
Aku kian mencandanya. Ia menunduk malu-malu, tapi kakinya refleks menginjak kakiku. Sakit, tapi aku tak peduli, karena rasa cintaku padanya mengalahkan rasa sakit itu. Aku terus menatap wajahnya yang menunduk. Baru saat itu aku benar-benar menikmati kecantikan wajah Nia yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Kecantikannya serupa keindahan pepohonan yang menghiasi Hutan Lindung Balang, keindahan alami, kecantikan alami, keindahan dan kecantikan asasi.
Selanjutnya. Tangan kami berpegangan kian erat. Hati kami seolah terikat. Tak ada lagi sekat. Kami merasa berat untuk berpisah. Setelah kami merasa aliran rasa sayang dari kedua tangan kami sudah cukup menyatu dan bersekutu, akhirnya kami saling melepaskan pegangan tangan. Saat itu bukan lagi tangan kami yang berpegangan tapi hati kamilah yang berpegangan erat, terpahat oleh kalimat, bersahabat dengan adat yang ketat. Hati kami saling berjanji tak akan pernah berpisah. Hati kami tak mau mengikuti jejak kisah. Kisah sedih tentang cinta dan pengkhianatan cinta.
“Dik Nia! Besok kakak harus berangkat ke Ujung Pandang untuk kuliah, dan mungkin lama baru kita bisa berjumpa kembali.”
Aku menatap jauh ke puncak pepohonan Hutan Lindung Balang sambil menunggu reaksi Nia atas kepergianku besok.
“Aku selalu dihati kakak dan kakak selalu dihatiku. Hakekatnya kita tak berpisah Kak. Ketahuilah olehmu Kak, hanya kakaklah laki-laki yang kucinta dan kutunggu.” Jawabnya filosofis tapi kurasakan begitu romantis.
“Kini kakak sangat bahagia, kakak sudah ikhlas pergi jauh mengejar cita-cita untuk menggapai cinta.” Aku sedikit menekan kalimatku, karena memang hanya modal pendidikanlah yang bisa kuandalkan di hadapan Nia dan keluarga Nia.
“Tapi aku berpesan, meski kakak sudah kuliah tetapi tetap harus mencintai hutan, karena hutan dan pepohonan menjadi lambang cinta kita.”
“Hutan adalah cinta kita.” Aku meyakinkannya.
“Kakakku sayang! Aku bersumpah atas nama Bukit Bulu Paccing dan Hutan Lindung Balang, aku tak akan menduakan cinta kakak.” Nia bersumpah tapi ia seperti memohon pada pepohonan.
“Adindaku tercinta! Aku pun bersumpah atas nama pepohonan yang menghiasi Hutan Lindung Balang, aku tak akan mengkhianati cinta adinda.” Aku seperti merajuk pada pepohonan yang mulai menghijau di Bukit Bulu Paccing.
Sejenak kami saling diam. Kami bersama-sama memandang jauh. Memandang jejeran pepohonan yang menghijau di Hutan Lindung Balang. Sesekali mata kami menyapu Bukit Gojeng yang jauh di ujung sana membawa kami pada cerita cinta La Bandu dan Andi Besse. Kami terdiam, tapi hati kami saling berjanji dan berbisik bila kami saling kangen maka cukuplah kami memandang hutan. Hutan rindu. Hutan kenangan. Hutan tunangan.
Aku memang sungguh beruntung karena ayah Nia bukanlah sosok ayah Andi Besse yang setiap ucapannya selalu bertaburan sompa, sabda, dan pemali. Ketika mentari pagi sudah mulai tak bersahabat, kami meninggalkan Bukit Bulu Paccing dengan berpelukan perasaan. Hembusan angin pagi yang sepoi-sepoi membuat pepohonan merunduk ke arah kami, seolah pepohonan memohon pada kami, tak boleh ada pengkhianatan cinta, termasuk cinta pada pepohonan. Cinta pada hutan.
Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
6. S a r i f a h (Novel, Penerbit Diva Press Yogyakarta 2011)
7. La Galigo (Novel, Penerbit Diva Press Yogyakarta 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar