Selasa, 14 Juni 2011

POHON-POHON RINDU dul abdul rahman (BAB 14. SAVE THE MOTHER! SAVE THE MOTHERLAND)

14. SAVE THE MOTHER!
SAVE THE MOTHERLAND!

Menghadapi ujian akhir sekolah, kami yang duduk di kelas tiga saat itu tak bisa lagi aktif pada acara-acara eksternal Kompita. Maka untuk memperlancar urusan-urusan Kompita, diadakanlah pemilihan ketua yang baru menggantikan Umar. Pemilihan ketua Kompita diadakan di bukit Bulu Paccing yang berada di belakang sekolah kami yang berjarak sekitar tiga ratusan meter. Sengaja kami memilih bukit itu karena paling dekat dari sekolah kami dibandingkan dengan Hutan Lindung Balang atau Bukit Gojeng. Lagi pula, ketua Kompita yang akan terpilih pada saat itu harus fokus menghijaukan Bukit Bulu Paccing.

Tidak seperti waktu rapat penentuan apakah perempuan bisa jadi anggota Kompita yang kala itu Umar dan Hutbah sempat melontarkan gagasan masing-masing. Hutbah kala itu tidak setuju kalau perempuan jadi anggota Kompita, sebaliknya Umar setuju. Maka pada pemilihan ketua Kompita menggantikan Umar tak ada lagi dikotomi antara perempuan dan laki-laki, semua sama saja. Dengan Kompita bukan hanya kami belajar mencintai lingkungan dan hutan tetapi juga belajar berdemokrasi, beremansipasi, memahami, dan menerima saran dan pendapat. Setelah melalui proses demokrasi dan diskusi yang cukup alot laiknya pemilihan ketua partai politik maka terpilihlah Nia sebagai ketua Kompita menggantikan Umar.

Kami mendukung sepenuhnya atas terpilihnya Nia. Sebagai perempuan, Nia mempunyai visi yang visioner. Program pertama Nia adalah memperbaiki sticker baru sebagai ciri khas Kompita era kepemimpinan Nia. Nia mengusulkan stricker baru dalam dua bahasa yang berbunyi “SAVE THE THE JUNGLE SAVE THE WORLD! SAVE THE MOTHER SAVE THE MOTHERLAND!” dan “SELAMATKAN HUTAN SELAMATKAN DUNIA! SELAMATKAN IBU SELAMATKAN IBU PERTIWI!”

Selanjutnya Nia menjelaskan panjang lebar makna sticker barunya, “Ibu dan ibu pertiwi adalah dua hal yang harus disayang karena dari keduanyalah sumber cinta dan kasih sayang yang suci. Seorang anak bila ingin bertumbuh dengan sehat dan cerdas maka ia harus menyusu pada ibu, dan bila anak itu sudah dewasa dan ingin hidup bahagia dan sejahtera maka ia harus menyusu pada ibu pertiwi. Bila ibu dan ibu pertiwi murka maka tidak ada lagi kehidupan. Dan yang paling harus dicamkan oleh semuanya adalah murka ibu dan murka ibu pertiwi merupakan murka Tuhan.”

Kami semua memuji ide-ide Nia yang cerdas. Aku sendiri begitu terpesona dengan gagasan Nia yang begitu menjiwai makna ibu dan ibu pertiwi. Aku kian kagum padanya. Nia benar-benar sosok perempuan yang kelak akan jadi ibu dan menjelma jadi ibu pertiwi.

Kami melewati ujian akhir nasional dengan deg-degan. Saat itu Ujian Akhir Nasional, yang kala itu bernama Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasioal (EBTANAS), diujicobakan dengan sistem komputerisasi. Aku sendiri bukan soal ujian yang kutakuti tapi lembar jawabannya yang akan diperiksa oleh komputer. Jangan sampai komputer tak mampu membaca lembar jawabanku.

Kami menjawab soal-soal dengan ekstra hati-hati jangan sampai salah isi. Aku sendiri selalu berdoa agar bisa lulus ujian akhir. Aku memang telah berusaha maksimal dengan belajar keras bukan hanya saat menghadapi ujian tapi setiap saat.
Setelah kami melewati ujiaan akhir, kami benar-benar cemas menunggu detik-detik pengumuman kelulusan tiba. Meski yakin mampu menjawab soal-soal dengan baik, Dayat, Anton, dan aku tetap khawatir kalau-kalau lembar jawaban kami salah isi sehingga tidak lulus. Hutbah dan Umar kelihatan pasrah, tapi keduanya tak begitu resah karena mereka juga sudah belajar keras menghadapi ujian akhir. Mereka selalu bersama kami berlatih menjawab soal-soal pilihan ganda.

Akhirnya tibalah saatnya pengumuman kelulusan sekolah. Tapi saat itu pengumuman bukan ditempel di sekolah tapi di kantor polisi. Jika lembaran pengumuman ditempel di sekolah maka dikhawatirkan siswa yang tidak lulus akan membuat kerusakan, karena memang sudah diprediksi bahwa yang tidak lulus kebanyakan siswa yang malas dan nakal. Kami berlima berencana bila lulus dari sekolah, kami akan langsung menanam pohon pinus atau pohon-pohon lainnya di Bukit Bulu Paccing sebagai ungkapan nadzar. Kami sengaja tidak memilih pagi hari di saat semua teman-teman kami yang lain melihat pengumuman. Di pagi hari, kami berlima mengadakan “ekspedisi khusus” berjalan-jalan ke Hutan Lindung Balang untuk mencari bibit-bibit pepohonan yang akan ditanam di Bukit Bulu Paccing bila lulus Ebtanas. Nanti di sore hari kami akan melihat pengumuman kemudian menuju Bukit Bulu Paccing.

“Nadzar kita kan menanam pepohonan kalau lulus ujian, bagaimana kalau tidak lulus?” Hutbah kelihatan tidak begitu bersemangat mencari bibit pepohonan untuk ditanam karena khawatir tidak lulus.

“Sebaiknya kita lupakan dulu pengumuman sekolah, kita fokus dulu mencari bibit pepohonan.” Dayat menyemangati Hutbah.

“Sebaiknya kita bersegera mencari bibit pepohonan untuk menghijaukan Bukit Bulu Paccing sebelum meninggalkan Bikeru untuk kuliah di Ujung Pandang.” Umar memotivasi seolah-olah kami sudah lulus semuanya.

“Bagaimana kalau ada yang tidak lulus?” Anton sedikit protes dengan ketakabburan Umar yang sudah mengklaim kami akan meninggalkan Bikeru.

“Begini. Masing-masing kita menyiapkan pepohonan yang akan ditanam di Bulu Paccing. Kalau misalnya nanti ada diantara kita yang tidak lulus maka tetap kita kompak berlima ke Bukit Bulu Paccing.” Umar rupanya masih menjiwai jabatannya sebagai ketua Kompita yang kini dipegang Nia.

“Kan kalau tidak lulus, tidak ada kewajiban menanam pohon.” Hutbah keberatan.

“Begini saja. Kita ini kan pemrakarsa Kompita, jadi sebaiknya kita mendukung pendapat Umar. Walau ada di antara kita yang tidak lulus tetapi tetap harus berjiwa besar membawa bibit pohonnya ke Bukit Bulu Paccing. Kalau memang tidak mau menanam pohonnya karena nadzarnya tak kesampaian, kita merelakan teman yang lulus menanam pohon yang kita bawa.” Aku mencoba menengahi.

“Setuju.”

Teman-temanku langsung merespon. Akhirnya kami semangat mencari bibit pepohonan sambil memohon kepada Sang Pencipta pepohonan agar kami semua lulus ujian, lalu mengadakan penghijauan di Bukit Bulu Paccing. Setelah mendapat bibit-bibit pohon kami menuju kantor Polisi Resort Sinjai Selatan di Joalampe. Sekitar lima ratus meter dari kampus SMU Bikeru.

Kami berlima bergandengan tangan erat saat melihat pengumuman. Hutbah yang punya usul agar kami seperti dalam pertandingan sepak bola pada saat adu penalti. Kami berganti-gantian melihat pengumuman. Kesempatan pertama yang mengambil tendangan penalti alias melihat pengumuman adalah Umar, disusul Dayat, Anton, Hutbah, dan terakhir adalah aku.

Kami semua komat-kamit ketika Umar menuju ke papan pengumuman mencocokkan nomor tesnya. Kami terdiam sesaat ketika melihat pandangan Umar kesana kemari dan sesaat menoleh ke arah kami tanpa ekspresi. Lalu.

“Yes!”

Umar berteriak serupa menjebol gawang lawan. Umar lulus ujian. Umar bergabung berpegangan dengan kami. Ia terus tersenyum. Umarlah yang paling bahagia diantara kami. Selanjutnya Dayat maju ke depan. Dayat langsung menatap papan pengumuman sekilas. Dan.

“Yes!”

Dayat langsung sujud syukur. Skor 2-0. Anton maju dengan langkah pasti. Lalu.

“Yes!”

Ia melompat mengacungkan tangan. Skor 3-0. Hutbah bergegas tapi ia kelihatan lemas. Tingkah Hutbah membuat aku deg-degan, ketiga temanku sudah sumringah tapi mereka menahan perayaan kemenangan karena Hutbah dan aku belum melihat pengumuman. Ketika Hutbah mundur ke arah kami, kami terdiam karena Hutbah tidak punya ekspresi apa-apa. “Hutbah tidak lulus.” kami membatin. Tapi ketika Hutbah tiba ke tempat kami semula ia langsung mengangkat bibit pohonnya tinggi-tinggi.

“Yes! Pohon-pohon kesuksesan.”

Hutbah ternyata bercanda. Keempat temanku sudah berpesta karena mereka yakin kami sudah lulus semua. Mereka berpikir aku tidak mungkin tidak lulus.
Aku maju melihat pengumuman. Tapi hatiku tetap deg-degan. Kalau sampai aku tidak lulus, aku pasti akan jatuh pingsan. Aku mencocokkan nomor tesku. Lalu. Aku terdiam. Dan aku mendadak lemas. Dan jatuh di depan papan pengumuman. Kulihat teman-temanku berlarian ke arahku. Tidak ada suara dan tawa dari mereka. Mereka mengerumuniku. Hutbah langsung memelukku sambil menangis. Umar langsung memberiku air putih supaya aku minum. Dayat dan Anton tak bisa berkata apa-apa. Mereka tak percaya dengan kenyataan itu bahwa aku tak lulus ujian. Ketika kulihat dua orang polisi mendekati kami bermaksud menolong kami yang tidak lulus ujian. Aku langsung bangun mengambil bibit pohonku dan langsung mengangkat tinggi-tinggi.

“Allahu Akbar! Hidup pohon cinta! Hidup pohon kenangan! Hidup pohon kemenangan!”

Dayat, Anton, dan Umar geleng-geleng kepala. Hutbah kelihatan lemas dan malu-malu karena ia barusan menangis, pun aku mengalahkan aktingnya. Akhirnya kami merayakan kemenangan fantastik dengan skor 5-0. Polisi yang berjalan ke arah kami tadi akhirnya berbalik arah sambil mengomel.

“Dasar anak-anak nakal!”

Kami tak menghiraukan omelan Pak Polisi.

Kami bergegas ke Bukit Bulu Paccing memenuhi nazar kami. Kami merayakan keberhasilan lulus ujian dengan mengadakan penghijauan. Kami menanam pohon-pohon kemenangan. Tapi kami tetap ikut prihatin karena kami mendengar kabar bahwa ebtanas saat itu benar-benar naas. Hampir seluruh SMU di Sinjai bahkan Sulawesi Selatan anjlok dalam tingkat kelulusan. Di SMU Bikeru sendiri tingkat kelulusan hanya mencapai tiga puluh persen. Di kelas kami, dari empat puluh siswa hanya sepuluh yang lulus. Dan perjuangan kami anak-anak Kompita benar-benar mulus. Semua anggota Kompita dinyatakan lulus ujian.


Dul Abdul Rahman, dulabdul@gmail.com (sastrawan, novelis, peneliti, praktisi pendidikan).
Menulis buku:
1. Lebaran Kali ini Hujan Turun (Kumpulan cerpen, Nala Makassar, 2006)
2. Pohon-Pohon Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2009)
3. Daun-Daun Rindu (Novel, Diva Press Yogyakarta, 2010)
4. Perempuan Poppo (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)
5. Sabda Laut (Novel, Penerbit Ombak Yogyakarta, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar